Senin, 23 November 2015

Leran: Desa Seribu Makam Warisan Masa Silam

Desa Leran,  Kec. Manyar, Gresik

LAZIMNYA sebuah desa hanya memiliki satu atau dua kompleks pemakaman. Namun tidak demikian dengan Leran yang memiliki 13 lokasi pemakaman. Istimewanya, sebagian makam di desa ini berusia ratusan tahun. Selain menjadi ‘prasasti’ peradaban sejarah, situs makam itu juga menjadi bukti bahwa Islam telah masuk di Jawa jauh sebelum abad ke-15, zamannya para wali.

LERAN, di masa Pemerintahan Kerajaan Majapahit, dikenal dengan nama Sembalo. Tidak ada literatur pasti mengenai kapan Sembalo berganti nama menjadi Leran. Namun diyakini masyarakat sekitar, Leran dulu merupakan pusat perdagangan internasional yang banyak dikunjungi pedagang Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Benggali, dan Campa. Maka penamaan Leran pun dikaitkan dengan kata “Lerenan” yang berarti tempat peristirahatan atau persinggahan.
Menemukan Desa Leran tidaklah sulit. Berada sekitar satu kilometer dari pintu Gerbang Tol Manyar yang menghubungkan Gresik dengan Surabaya. Dengan jarak 26,20 km dari pusat kota provinsi, perjalanan menuju Leran dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan menggunakan kendaraan roda empat. Atau Sekitar 8 km dari Pusat Kota Gresik melalui jalan Daendels (sisi pantura) yang menuju ke arah Lamongan.
Berada di pesisir utara Pulau Jawa, Desa Leran masih menyisakan sisi kehidupan Kota Bandar sebagai bukti masa lalunya. Hampir 78 persen wilayahnya berupa lahan budidaya ikan dan sejenisnya (tambak, red), yakni sekitar 1.069,30 ha dari luas wilayah 1.365,24 ha. Selebihnya 86,19 ha merupakan saluran air berupa sungai atau bengawan, 68,97 ha lahan kosong, 44,76 ha area pemukiman, 29,40 kawasan pinggiran sungai, 22 ha sawah, 7,80 ha lahan perkebunan, 6,09 ha jalan kampung, 10,05 ha wilayah pemakaman, dan 20,68 ha berbagai jenis lahan lainnya.
Desa Leran juga memiliki enam tempat pemandian umum, masing-masing Telaga Mati, Telaga Sigaran Pesucinan, Telaga Kembar Leran, Telaga Kedung, Telaga Kuti, dan Telaga Tlogojero. Namun yang lebih menarik, di hampir setiap sisi jalan desa terdapat papan nama bertuliskan ‘Tanah Makam Islam Desa Leran’.
“Ceritanya dulu di Leran pernah terjadi pagebluk yang menyebabkan banyak orang meninggal sehingga tempat pemakaman pun tersebar di hampir seluruh desa. Total ada 11 titik pemakaman umum, dan dua Makam situs Purbakala” terang Amirul Mu’minin, Sekdes Leran yang secara khusus menjadi ‘guide’  tim Derap Desa (DD) saat mengunjungi desa itu menjelang ramadhan lalu.
Bersama Amir, DD pun berkesempatan mengunjungi Masjid Pesucinan, peninggalan Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Komplek Makam Panjang yang merupakan daya tarik utama Desa Leran, peninggalan akhir abad ke-13.

Masjid Pesucinan
Salah satu bukti bahwa Maulana Malik Ibrahim pernah singgah dan berdakwah di Leran pada tahun 1370 M adalah keberadaan Masjid Pesucinan. Meski beberapa abad usianya, jangan bayangkan kondisi masjid itu sarat akan unsur klasik. Sebaliknya, keseluruhan bagian masjid kini telah mengalami pemugaran, sehingga yang nampak hanyalah arsitektur masjid kekinian.
Dua warisan Syekh Maulana Malik Ibrahim yang tersisa hanyalah, kolam di tengah area masjid dan cungkup masjid. Sampai hari ini, air kolam itu diyakini masyarakat setempat berhasiat untuk obat.
“Kalau mencari bukti ketuaan desa, mungkin sudah tidak ada. Tapi kalau yang disebut tua di Leran ya Masjid Pesucinan dan Makam Panjang,” ujar Abdul Manan, Kades Leran saat ditemui DD di kantor desanya.

Makam Panjang
Selain daya tarik Masjid Pesucinan,  keberadaan Makam Panjang pun tak kalah menarik. Di tempat ini terdapat makam utama dengan bangunan cungkup tinggi sekira 15 meter yang dipercaya, makam Siti Fatimah Binti Maimun. Selain itu, tiga kompleks makam panjang yang ukurannya mencapai sekitar 7-9 meter.
“Sebenarnya,  yang dikenal masyarakat sini secara turun temurun itu Retno Swari. Menurut KH. Abu Naim (alm) dari pengamatan hasil riyadlah beliau dulu, nama asli makam puteri ini adalah Maimunah Binti Mahmud Syah Alam. Tapi masyarakat luar sudah terlanjur mengenalnya sebagai makam Siti Fatimah binti Maimun,” terang Amirul Mu’minin.
Sebelum memasuki gapura utama makam Fatimah, pengunjung akan disambut dua makam panjang sekira 6 meter bertuliskan R. Sa'id (kanan) dan R. Ahmad (kiri). Konon keduanya merupakan Talang Pati atau penjaga pintu gerbang utama sang puteri.
Sementara, posisi komplek makam panjang berada di sebelah kanan Makam Fatimah binti Maimun, dengan jarak sekitar 100 meter. Di tempat itu terdapat tiga kompleks makam panjang. Komplek pertama, berisi tiga makam dengan panjang sekitar 9 meter dengan pagar batu setinggi pinggang dan gapura sebagai pintu masuk setinggi setengah meter. Masing-masingnya betuliskan Sayyid Karim, Sayyid Ja'far, dan Sayyid Syarif.






Komplek kedua di sisi kanannya, berisi dua makam yang sedikit lebih pendek sekitar 8 meter. Makam yang juga dikelilingi tembok batu tanpa gapura itu merupakan makam Sayyid Djalal dan Sayyid Djamal. Di luar pagar depan makam tersebut terdapat pula makam Sayyid Djamaluddin yang hanya dikelilingi pagar besi dengan pajang sekitar tujuh meter.
Salah satu sumber yang dicuplik Amir menyatakan, panjangnya makam tersebut hanyalah upaya memanipulasi letak jasad yang dikubur. Pasalnya, para sayyid yang dimakamkan di tempat itu merupakan punggawa pilihan yang sakti. Sebagian tradisi terdahulu, kain kafan orang sakti diyakini bisa dijadikan jimat kesaktian. Karena itu, selalu menjadi incaran.
‘’Namun ada versi lain yang menyatakan, panjangnya makam ini karena sejumlah senjata sakti kesayangan para sayyid itu juga ikut dikuburkan disitu,’’ imbuh Amir.
Sementara itu, di dalam cungkup utama bangunan makam Retno Swari yang menyerupai candi pada masa Hindu-Budha itu berisi 5 makam. Selain makam dengan nisan bertutup kain hijau bertuliskan Fatimah binti Maimun, juga terdapat empat makam lain di sebelah kanan dan kirinya.
Di sebelah kanan, terdapat tiga makam yang diyakini sebagai para kerabat puteri bertuliskan Putri Kamboja (Kerajaan Cambodia Mianmar), Putri Kucing  (Kerajaan Serawak Malaysia), dan Putri Keling (Taiwan). Dan di sisi kiri, terdapat sebuah makam yang disebut sebagai emban (pengasuh) Retno Swari bernama Nyai Seruni.
Di dalam komplek makam panjang, juga terdapat makam penduduk Leran karena dulunya tempat itu merupakan wilayah pemakaman umum. Akhirnya pada tahun 1963, komplek itu diambil alih Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim dan tidak lagi menjadi makam umum.
Beberapa pemugaran juga telah dilakukan. Hal itu diupayakan untuk tetap menjaga keaslian bentuk makam. Dalam beberapa waktu terakhir, telah dilakukan pembangunan pagar mengelilingi kompleks pemakaman seluas 23.150 m2.
Abdul Manan, Kades Leran menyebutkan, pembangunan pagar komplek makam dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama pembangunan senilai Rp 1,5 miliar untuk pagar di sisi selatan dan timur. Pada tahap kedua yang meliputi saluran air dan pagar sisi utara dan barat senilai Rp 4 miliar. 
Saat ini juga direncanakan pembangunan beberapa sarana penunjang, seperti tempat parkir, kantor yayasan pengelola makam, museum, hingga rumah juru kunci yang diperkirakan menelan dana sekitar Rp 10 miliar. Dana pelaksanaan pembangunan itu bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kab Gresik. (hay, uul, yus, eru)



DATA MAKAM DI LERAN

  1. Makam Umum (Islam)
    • Makam Jangkang 130 m2.
    • Makam Gede 2.720 m2
    • Makam Cilik 5.130 m2
    • Makam Dukuh 9.200 m2
    • Makam Santri 2.470 m2
    • Makam Senteg Glerek 6.880 m2
    • Makam Gambang 1.250 m2
    • Makam Kedung 9.850 m2
    • Makam Kramat Gede 9.070 m2
    • Makam Kramat Cilik 1.050 m2
    • Makam Tuhu 10.900 m2
  2. Makam Situs (Suaka Purbakala)
    • Makam Tlogo Jero 580 m2
    • Makam Panjang 23.150 m2



DATA DESA

Nama Desa                  : Leran
Kepala Desa                : Abdul Manan, Msi
Sekretraris Desa          : Amirul Mu’minin
Kaur Keuangan           : M Tho’at Aziz
Kaur Umum                : Khoifin
Kasi Kesra                   : Fadholi
Kasi Ekobang              : Elin Indahsari
Nama Dusun               : Kuti, Kedung, Pesucinan, Pesantren, Makam Panjang, Dukuh Lestari
Kepala Dusun             : Abu Khasan (lainnya kosong menunggu pengangkatan)
Ketua BPD                 : Khamdan, S Ag, M.PdI

Luas Wilayah              : 1.365,24 ha
Jumlah Penduduk       : 5.118 Jiwa
Jumlah KK                  : 1.228 KK

Batas Desa
·                                                                  Batas Utara     :Desa Betoyokauman, Desa Betoyoguci, Desa Banyuwangi,
Desa Manyarejo dan Desa Manyarsidomukti (Kec. Manyar)
·                                                                  Batas Timur     : Desa Manyarejo, Desa Peganden, Desa Banjarsari (Kec. Manyar)
·                                                                  Batas Selatan  :Desa Banjarsari, Desa Tebalo (Kec. Manyar) dan Desa Tebaloan, Desa Ambeng-ambeng Watangrejo (Kec. Duduksampeyan)

·                                                                  Batas Barat     :Desa Petisbenem, Desa Kemudi (Kec. Duduksampeyan)



Ihtiyar Meluruskan Sejarah

MENGUNJUNGI Leran bak menelusuri masa silam. Mengapa? Karena Leran menyimpan banyak situs sejarah. Salah satunya Makam Fatimah Binti Maimun yang biasa diyakini masyarakat setempat sebagai makam Retno Swari, atau Nyi Mas Ayu Putri.

SEJARAH memang tak pernah tunggal. Selalu ada pembanding atas versi yang muncul. Begitu juga dengan makam Leran. Hasil kajian sejarah yang dicuplik Sekdes Leran, Amirul Mu’minin, memunculkan versi baru dari cerita yang ada.
Menurut versi kajian itu, keberadaan makam berawal dari kedatangan Syekh Maulana Malik Ibrahim ke Desa Leran sekitar tahun 1369 masehi. Setelah berdakwah selama dua tahun,  Maulana Malik Ibrahim bermaksud melakukan negoisasi dengan Raja Brawijaya III (Sebagian menyebut Raja Brawijaya IV, red.), agar masyarakat pribumi diberi kebebasan memeluk Agama Islam, tanpa ada tekanan dari pihak kerajaan.
Maulana Malik Ibrahim pun berkirim surat meminta bantuan pada kerabatnya di Kedah, Malaka, Sultan Mahmud Syah Alam. Tak beberapa lama datanglah Sultan Mahmud Syah  bersama 88 pasukan menaiki tiga kapal. Dalam rombongan itu, turut pula putri Sultan Mahmud Syah, bernama Maimunah binti Mahmud Syah Alam.
Selanjutnya dua orang kerabat dekat Sultan Mahmud Syah, yakni, Sayid  Karim dan Sayid Djafar diutus menemui raja. Karena tak berhasil, keduanya memutuskan kembali ke Leran dan meninggalkan pesan, berupa dua buah delima untuk disampaikan pada raja sebagai salam perkenalan. Setelah buah tersebut dibuka, ternyata berisi berlian.
Maka takjublah sang raja. Dikejarlah dua utusan tersebut untuk diminta kembali. Namun keduanya menolak. Sang raja pun malu dan murka atas penolakan itu. Maka dikirimlah puting beliung untuk menggulung keduanya hingga mereka linglung dan salah arah.
Mendapati utusan pertamanya gagal, Maulana Malik Ibrahim pun memutuskan datang sendiri menemui sang raja. Ikut bersamanya, Maimunah binti Mahmud Syah Alam.
Tapi dasare raja jaman semono, deleng wadon ayu langsung kepincut. Maka diajukanlah syarat, sang raja mau masuk Islam asalkan putri itu bersedia dinikahi,” terang Amir dengan sedikit gelak tawa.
Namun permintaan tersebut ditolak. Sang raja pun kembali malu dan murka. Sepulang dari kerajaan, Raja Brawijaya lantas mengirim teluh yang menyebabkan terjadi pagebluk (wabah penyakit, red) di Desa leran. Pagebluk berbentuk penyakit sampar itu akhirnya banyak menewaskan penduduk , termasuk Maimunah binti Mahmud Syah Alam dan beberapa putri pengiringnya.
Selang beberapa waktu, Raja Brawijaya memutuskan bertandang ke  Leran. Malangnya, Maimunah binti Mahmud Syah Alam yang hendak ditemui telah meninggal. Untuk menghormati sang puteri, dibangunlah sebuah cungkup di makam itu. Maimunah binti Mahmud Syah Alam juga diberi gelar Retno Swari.
Konon, lanjut Amir, saat membangun cungkup itu, Raja Brawijaya dibantu pasukan Jin dan berencana menyelesaikannya dalam satu  malam. Namun belum sampai selesai, di sekitar Manyar sudah terdengar bunyi lesung dan ayam berkokok. Pasukan Jin pun pergi terbirit.
 ‘’Itulah sebabnya ketika pertama kali ditemukan, makam ini tidak memiliki atap. Atap cungkup berbentuk limas itu dibangun pada kisaran abad 20. Pemugarannya dilakukan selama tiga tahun mulai 1979-1981 menggunakan jenis batu yang sama dari Gujarat India, ini kata Kepala Purbakala’’ terangnya.
Dengan begitu, kisah ini jelas berbeda dengan kisah yang berkembang selama ini bahwa, makam dalam cungkup itu adalah makam Siti Fatimah binti Maimun yang meninggal tahun 1082 masehi.

Meluruskan Sejarah
Berkait dengan perbedaan tersebut, menurut Amir, semua itu bermula pada tahun 1952 M, pada saat pihak Museum Nasional melakukan observasi di area makam dan menemukan batu bertuliskan Fatimah Binti Maimun Bin Hibatalllah, wafat tanggal 7 Rajab 475 H atau 2 Desember 1082 M. Batu itu kemudian diyakini sebagai batu nisan dari makam tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan, posisi batu saat ditemukan hanya menempel di dinding makam, bukan sebagaimana layaknya batu nisan. Selain itu, batu itu juga memiliki lubang sehingga timbul banyak spekulasi apakah itu nisan atau prasasti,” ucap Amir mempertanyakan.
Ia lalu menyuplik temuan KH Mukhtar Jamil, sejarawan asal Gresik. Menurutnya, batu makam bertuliskan Fatimah binti Maimun juga ditemukan di Gujarat (Cambay) India. Pendapat ahli menyatakan, batu tersebut memiliki struktur yang sama dengan yang ditemukan di Phanrang, Thailand. Asal muasalnya juga dari Cambay, India.
Yang menguatkan, di kawasan sekitar Gujarat terdapat kebiasaan keluarga kerajaan yang mengharuskan anggota keluarganya bila bepergian jauh menyeberangi lautan, membawa bukti silsilah keluarga. Dengan begitu, dimungkinkan siapapun yang membawa batu tersebut, merupakan keturunan dari Fatimah binti Maimun bin Hibatallah asal Gujarat India.
“Itulah sebabnya kalau saya diminta bercerita, saya bilang, jika menyebut Fatimah Binti Maimun, jelas tidak ada kaitannya dengan Maulana Malik Ibrahim. Tapi kalau mengikutkan sejarah Maulana Malik Ibrahim, maka sebutlah Retno Swari atau Maimunah binti Mahmud Syah Alam” pungkas Amir. (hay,uul,eru,yus)



>>>> Drs. Abdul Manan, M.Si, Kades Leran                                                                          

Jatuh Bangun Kelola Situs Sejarah

TAMPILAN kesehariannya khas ala pesantren: pakaian gamis, sarung, juga peci putih di kepala. Penampilan itu juga yang tak jarang dilakukan saat berada di kantor desanya, Leran Kec. Manyar Kabupaten Gresik.
‘’Maaf saya masih pakaian gini. Biasanya, setelah subuhan, sebelum jam kantor dimulai, saya sudah ada disini. Makanya, ini tadi saya juga belum sempat ganti baju,’’ ujar Abdul Manan, Kades Leran mengawali pembicaraannya dengan DD di kantornya.
Bagi masyarakat Leran, penampilan seperti itu mungkin bukan hal yang aneh. Sebab, tradisi di desa itu memang kental dengan budaya pesantren. Apalagi, Abdul Manan juga merupakan kades dengan latar belakang santri.
Bahkan sebagian besar pendidikannya dihabiskan di Pondok Pesantren (Ponpes), mulai Ponpes Tanwirul Qulub Lamongan, Mambaul Hisan Sidayu Gresik, hingga Pondok Suci Manyar, Gresik. Maka, tak heran, jika sosok Abdul Manan juga dikenal dekat dengan ulama. Bahkan saat masih kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1990, ia telah bergabung dalam Forsipa (Forum Silaturrahmi Pengajian Anak) Masjid Rahmat, Kembang Kuning, Surabaya.
Lalu bagaimana bisa beralih menjadi Kades? Manan pun mengaku, tak pernah berpikir akan terjun ke dunia politik praktis, seperti pencalonan dirinya sebagai kades, dua tahun lalu. Semua itu lantaran dorongan masyarakat yang menghendaki dirinya maju saat Pilkades. Sebelumnya, selama 17 tahun, ia menjabat sebagai Kepala MTs. Nurul Huda yang lokasinya tepat di depan balai desa Leran. ‘’Sekarang mau tidak mau, ya harus ngurusi desa. Karena amanat masyarakat,’’ sergahnya.
Menurut Manan, kendati Leran merupakan desa tua sebagaimana sejarahnya sebagai Kota Bandar, namun banyak hal yang masih harus dibenahi. Khususnya pembangunan infrastruktur dan pelestarian situs purbakala desa.
Masjid Pesucinan misalnya, hingga kini pengelolaannya masih dilakukan warga meskipun tanah telah mendapat sertifikasi BP3 Jatim sebagai situs purbakala. Sementara makam panjang, belum memiliki pengelolaan yang jelas akibat kurang baiknya koordinasi antara yayasan pengelola dan juru kunci makam.
“Kami dari pihak desa mau membuat Perdes juga tidak bisa, karena itu sepenuhnya wewenang BP3 Jatim,” ujar pria yang pernah menjadi anggota Khatib Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya ini.
Kendala tersebut, menjadikan tidak optimalnya pembangunan yang dilakukan di beberapa situs potensial desa. Karena setiap perubahan yang akan dilakukan harus mendapat persetujuan dari BP3 Jatim, yang dinilai kurang pro aktif. Ditambah lagi dengan sepinya kunjungan, menjadikan Leran seolah tenggelam bersama dengan sejarah besar yang membangunnya.
“Ada unen-unen (anggapan di masyarakat) Makam Panjang dulu pernah ramai, kemudian sepi karena memang tidak boleh diramaikan. Pertimbangnnya karena peziarah campur antara laki-laki dan perempuan tidak boleh,” ujar ayah tiga anak tersebut.
Terlepas dari hal itu, Abdul Manan menegaskan akan tetap mengupayakan perbaikan dalam sistem pengelolaan, baik Masjid Pesucinan maupun Makam Panjang. Ia sangat berharap, perbaikan sistem pengelolaan nanti akan membawa dampak terhadap kunjungan dan kelestarian dua situs tersebut.
“Nanti ketika rapat persiapan Haul Makam Panjang, akan kami pertegas lagi. Intinya makam panjang ini boleh diramaikan atau tidak. Kalau tidak, ya sudah. Tapi kalau sepakat boleh diramaikan, ayo bersama kita tata semuanya. Apalagi Pemkab Gresik juga mendukung sepenuhnya upaya ini,” tekad Abdul Manan. (hay,uul,eru,yus)


BIODATA
Nama                     : Drs Abdul Manan, MSi
TTL                       : Gresik, 14 April 1970
Jabatan                  : Kades Leran (2013-2019)
Istri                        : Zumrotul Muadhomah
Anak                     : 3 orang
·      Faiq Junaizatur Rifqiyyah
·      Aiz Zakiyyatul Fakhiroh
·      Alvi Farichatus Salmiyah

5 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. bisakah nama Amir yang ada dalam posting diatas di-link-kan ke nama Akun Amir yang komentar ini.

    BalasHapus
  3. nah itu dia masalahnya, dos pundi caranya? hehe

    BalasHapus
  4. Hemmmmmm Jadi Ngerti Sejarah DS.Leran || trimakasih banyak atas pencerahannya

    BalasHapus