LAZIMNYA sebuah desa hanya memiliki satu atau dua kompleks
pemakaman. Namun tidak demikian dengan Leran yang memiliki 13 lokasi pemakaman.
Istimewanya, sebagian makam di desa ini berusia ratusan tahun. Selain menjadi ‘prasasti’
peradaban sejarah, situs makam itu juga menjadi bukti bahwa Islam telah masuk di
Jawa jauh sebelum abad ke-15, zamannya para wali.
LERAN, di masa
Pemerintahan Kerajaan Majapahit, dikenal dengan nama Sembalo. Tidak ada
literatur pasti mengenai kapan Sembalo berganti nama menjadi Leran. Namun
diyakini masyarakat sekitar, Leran dulu merupakan pusat perdagangan
internasional yang banyak dikunjungi pedagang Cina, Arab, Gujarat, Kalkuta,
Siam, Benggali, dan Campa. Maka penamaan Leran pun dikaitkan dengan kata “Lerenan” yang berarti tempat
peristirahatan atau persinggahan.
Menemukan Desa Leran tidaklah sulit. Berada
sekitar satu kilometer dari pintu Gerbang Tol Manyar yang menghubungkan Gresik
dengan Surabaya. Dengan jarak 26,20 km dari pusat kota provinsi, perjalanan menuju
Leran dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan menggunakan kendaraan roda
empat. Atau Sekitar 8 km dari Pusat Kota Gresik melalui jalan Daendels (sisi
pantura) yang menuju ke arah Lamongan.
Berada di pesisir utara Pulau Jawa, Desa
Leran masih menyisakan sisi kehidupan Kota Bandar sebagai bukti masa lalunya.
Hampir 78 persen wilayahnya berupa lahan budidaya ikan dan sejenisnya (tambak, red),
yakni sekitar 1.069,30 ha dari luas wilayah 1.365,24 ha. Selebihnya 86,19 ha
merupakan saluran air berupa sungai atau bengawan, 68,97 ha lahan kosong, 44,76
ha area pemukiman, 29,40 kawasan pinggiran sungai, 22 ha sawah, 7,80 ha lahan
perkebunan, 6,09 ha jalan kampung, 10,05 ha wilayah pemakaman, dan 20,68 ha
berbagai jenis lahan lainnya.
Desa Leran juga memiliki enam tempat
pemandian umum, masing-masing Telaga Mati, Telaga Sigaran Pesucinan, Telaga
Kembar Leran, Telaga Kedung, Telaga Kuti, dan Telaga Tlogojero. Namun yang
lebih menarik, di hampir setiap sisi jalan desa terdapat papan nama bertuliskan
‘Tanah Makam Islam Desa Leran’.
“Ceritanya dulu di Leran pernah terjadi
pagebluk yang menyebabkan banyak orang meninggal sehingga tempat pemakaman pun
tersebar di hampir seluruh desa. Total ada 11 titik pemakaman umum, dan dua
Makam situs Purbakala” terang Amirul Mu’minin, Sekdes Leran yang secara khusus
menjadi ‘guide’ tim Derap
Desa (DD) saat mengunjungi desa itu menjelang ramadhan lalu.
Bersama Amir, DD pun berkesempatan mengunjungi Masjid Pesucinan, peninggalan
Syekh Maulana Malik Ibrahim dan Komplek Makam Panjang yang merupakan daya tarik
utama Desa Leran, peninggalan akhir abad ke-13.
Masjid Pesucinan
Salah satu bukti bahwa Maulana Malik
Ibrahim pernah singgah dan berdakwah di Leran pada tahun 1370 M adalah
keberadaan Masjid Pesucinan. Meski beberapa abad usianya, jangan bayangkan
kondisi masjid itu sarat akan unsur klasik. Sebaliknya, keseluruhan bagian
masjid kini telah mengalami pemugaran, sehingga yang nampak hanyalah arsitektur
masjid kekinian.
Dua warisan Syekh Maulana Malik Ibrahim yang
tersisa hanyalah, kolam di tengah area masjid dan cungkup masjid. Sampai hari
ini, air kolam itu diyakini masyarakat setempat berhasiat untuk obat.
“Kalau mencari
bukti ketuaan desa, mungkin sudah tidak ada. Tapi kalau yang disebut tua di
Leran ya Masjid Pesucinan dan Makam
Panjang,” ujar Abdul Manan, Kades Leran saat ditemui DD di kantor desanya.
Makam Panjang
Selain daya tarik Masjid Pesucinan, keberadaan Makam Panjang pun tak kalah
menarik. Di tempat ini terdapat makam utama dengan bangunan cungkup tinggi
sekira 15 meter yang dipercaya, makam Siti Fatimah Binti Maimun. Selain itu, tiga
kompleks makam panjang yang ukurannya mencapai sekitar 7-9 meter.
“Sebenarnya, yang dikenal masyarakat sini secara turun
temurun itu Retno Swari. Menurut KH. Abu Naim (alm) dari pengamatan hasil riyadlah beliau dulu, nama asli makam
puteri ini adalah Maimunah Binti Mahmud Syah Alam. Tapi masyarakat luar sudah
terlanjur mengenalnya sebagai makam Siti Fatimah binti Maimun,” terang Amirul
Mu’minin.
Sebelum memasuki gapura utama makam
Fatimah, pengunjung akan disambut dua makam panjang sekira 6 meter bertuliskan R.
Sa'id (kanan) dan R. Ahmad (kiri). Konon keduanya merupakan Talang Pati atau penjaga pintu gerbang
utama sang puteri.
Sementara, posisi komplek makam panjang
berada di sebelah kanan Makam Fatimah binti Maimun, dengan jarak sekitar 100 meter.
Di tempat itu terdapat tiga kompleks makam panjang. Komplek pertama, berisi tiga
makam dengan panjang sekitar 9 meter dengan pagar batu setinggi pinggang dan
gapura sebagai pintu masuk setinggi setengah meter. Masing-masingnya betuliskan
Sayyid Karim, Sayyid Ja'far, dan Sayyid Syarif.
Komplek kedua di sisi kanannya, berisi dua makam yang sedikit lebih pendek sekitar 8 meter. Makam yang juga dikelilingi tembok batu tanpa gapura itu merupakan makam Sayyid Djalal dan Sayyid Djamal. Di luar pagar depan makam tersebut terdapat pula makam Sayyid Djamaluddin yang hanya dikelilingi pagar besi dengan pajang sekitar tujuh meter.
Salah satu sumber yang dicuplik Amir menyatakan,
panjangnya makam tersebut hanyalah upaya memanipulasi letak jasad yang dikubur.
Pasalnya, para sayyid yang dimakamkan di tempat itu merupakan punggawa pilihan
yang sakti. Sebagian tradisi terdahulu, kain kafan orang sakti diyakini bisa dijadikan
jimat kesaktian. Karena itu, selalu menjadi incaran.
‘’Namun ada versi lain yang menyatakan, panjangnya
makam ini karena sejumlah senjata sakti kesayangan para sayyid itu juga ikut
dikuburkan disitu,’’ imbuh Amir.
Sementara itu, di dalam cungkup utama bangunan
makam Retno Swari yang menyerupai candi pada masa Hindu-Budha itu berisi 5
makam. Selain makam dengan nisan bertutup kain hijau bertuliskan Fatimah binti
Maimun, juga terdapat empat makam lain di sebelah kanan dan kirinya.
Di sebelah kanan, terdapat tiga makam yang
diyakini sebagai para kerabat puteri bertuliskan Putri Kamboja (Kerajaan
Cambodia Mianmar), Putri Kucing (Kerajaan
Serawak Malaysia), dan Putri Keling (Taiwan). Dan di sisi kiri, terdapat sebuah
makam yang disebut sebagai emban
(pengasuh) Retno Swari bernama Nyai Seruni.
Di dalam komplek makam panjang, juga terdapat
makam penduduk Leran karena dulunya tempat itu merupakan wilayah pemakaman
umum. Akhirnya pada tahun 1963, komplek itu diambil alih Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala (BP3) Jatim dan tidak lagi menjadi makam umum.
Beberapa pemugaran juga telah dilakukan.
Hal itu diupayakan untuk tetap menjaga keaslian bentuk makam. Dalam beberapa
waktu terakhir, telah dilakukan pembangunan pagar mengelilingi kompleks
pemakaman seluas 23.150 m2.
Abdul Manan, Kades Leran menyebutkan,
pembangunan pagar komplek makam dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
pembangunan senilai Rp 1,5 miliar untuk pagar di sisi selatan dan timur. Pada
tahap kedua yang meliputi saluran air dan pagar sisi utara dan barat senilai Rp
4 miliar.
Saat ini juga direncanakan pembangunan
beberapa sarana penunjang, seperti tempat parkir, kantor yayasan pengelola
makam, museum, hingga rumah juru kunci yang diperkirakan menelan dana sekitar
Rp 10 miliar. Dana pelaksanaan pembangunan itu bersumber dari Dinas Pekerjaan
Umum Kab Gresik. (hay, uul, yus, eru)
DATA
MAKAM DI LERAN
- Makam
Umum (Islam)
- Makam
Jangkang 130 m2.
- Makam
Gede 2.720 m2
- Makam
Cilik 5.130 m2
- Makam
Dukuh 9.200 m2
- Makam
Santri 2.470 m2
- Makam
Senteg Glerek 6.880 m2
- Makam
Gambang 1.250 m2
- Makam
Kedung 9.850 m2
- Makam
Kramat Gede 9.070 m2
- Makam
Kramat Cilik 1.050 m2
- Makam
Tuhu 10.900 m2
- Makam
Situs (Suaka Purbakala)
- Makam
Tlogo Jero 580 m2
- Makam
Panjang 23.150 m2
DATA DESA
Nama Desa : Leran
Kepala
Desa : Abdul Manan, Msi
Sekretraris
Desa : Amirul Mu’minin
Kaur
Keuangan : M Tho’at Aziz
Kaur
Umum : Khoifin
Kasi
Kesra : Fadholi
Kasi
Ekobang : Elin Indahsari
Nama
Dusun : Kuti, Kedung, Pesucinan,
Pesantren, Makam Panjang, Dukuh Lestari
Kepala
Dusun : Abu Khasan (lainnya
kosong menunggu pengangkatan)
Ketua
BPD : Khamdan, S Ag, M.PdI
Luas
Wilayah : 1.365,24 ha
Jumlah
Penduduk : 5.118 Jiwa
Jumlah
KK : 1.228 KK
Batas
Desa
·
Batas
Utara :Desa Betoyokauman, Desa
Betoyoguci, Desa Banyuwangi,
Desa Manyarejo dan Desa Manyarsidomukti (Kec. Manyar)
Desa Manyarejo dan Desa Manyarsidomukti (Kec. Manyar)
·
Batas
Timur : Desa Manyarejo, Desa Peganden,
Desa Banjarsari (Kec. Manyar)
·
Batas
Selatan :Desa Banjarsari, Desa Tebalo
(Kec. Manyar) dan Desa Tebaloan, Desa Ambeng-ambeng Watangrejo (Kec.
Duduksampeyan)
·
Batas
Barat :Desa Petisbenem, Desa Kemudi
(Kec. Duduksampeyan)
Ihtiyar
Meluruskan Sejarah
MENGUNJUNGI Leran bak menelusuri masa silam. Mengapa? Karena
Leran menyimpan banyak situs sejarah. Salah satunya Makam Fatimah Binti Maimun
yang biasa diyakini masyarakat setempat sebagai makam Retno Swari, atau Nyi Mas
Ayu Putri.
SEJARAH memang tak pernah
tunggal. Selalu ada pembanding atas versi yang muncul. Begitu juga dengan makam
Leran. Hasil kajian sejarah yang dicuplik Sekdes Leran, Amirul Mu’minin, memunculkan
versi baru dari cerita yang ada.
Menurut versi kajian itu, keberadaan
makam berawal dari kedatangan Syekh Maulana Malik Ibrahim ke Desa Leran sekitar
tahun 1369 masehi. Setelah berdakwah selama dua tahun, Maulana Malik Ibrahim bermaksud melakukan
negoisasi dengan Raja Brawijaya III (Sebagian menyebut Raja Brawijaya IV, red.),
agar masyarakat pribumi diberi kebebasan memeluk Agama Islam, tanpa ada tekanan
dari pihak kerajaan.
Maulana Malik Ibrahim pun berkirim surat
meminta bantuan pada kerabatnya di Kedah, Malaka, Sultan Mahmud Syah Alam. Tak
beberapa lama datanglah Sultan Mahmud Syah
bersama 88 pasukan menaiki tiga kapal. Dalam rombongan itu, turut pula
putri Sultan Mahmud Syah, bernama Maimunah binti Mahmud Syah Alam.
Selanjutnya dua orang kerabat dekat
Sultan Mahmud Syah, yakni, Sayid Karim
dan Sayid Djafar diutus menemui raja. Karena tak berhasil, keduanya memutuskan
kembali ke Leran dan meninggalkan pesan, berupa dua buah delima untuk
disampaikan pada raja sebagai salam perkenalan. Setelah buah tersebut dibuka,
ternyata berisi berlian.
Maka takjublah sang raja. Dikejarlah dua
utusan tersebut untuk diminta kembali. Namun keduanya menolak. Sang raja pun
malu dan murka atas penolakan itu. Maka dikirimlah puting beliung untuk
menggulung keduanya hingga mereka linglung dan salah arah.
Mendapati utusan pertamanya gagal,
Maulana Malik Ibrahim pun memutuskan datang sendiri menemui sang raja. Ikut bersamanya,
Maimunah binti Mahmud Syah Alam.
“Tapi
dasare raja jaman semono, deleng wadon ayu langsung kepincut. Maka diajukanlah
syarat, sang raja mau masuk Islam asalkan putri itu bersedia dinikahi,” terang
Amir dengan sedikit gelak tawa.
Namun permintaan tersebut ditolak. Sang
raja pun kembali malu dan murka. Sepulang dari kerajaan, Raja Brawijaya lantas
mengirim teluh yang menyebabkan terjadi pagebluk
(wabah penyakit, red) di Desa leran. Pagebluk
berbentuk penyakit sampar itu akhirnya banyak menewaskan penduduk , termasuk
Maimunah binti Mahmud Syah Alam dan beberapa putri pengiringnya.
Selang beberapa waktu, Raja Brawijaya
memutuskan bertandang ke Leran.
Malangnya, Maimunah binti Mahmud Syah Alam yang hendak ditemui telah meninggal.
Untuk menghormati sang puteri, dibangunlah sebuah cungkup di makam itu. Maimunah
binti Mahmud Syah Alam juga diberi gelar Retno Swari.
Konon, lanjut Amir, saat membangun
cungkup itu, Raja Brawijaya dibantu pasukan Jin dan berencana menyelesaikannya
dalam satu malam. Namun belum sampai
selesai, di sekitar Manyar sudah terdengar bunyi lesung dan ayam berkokok. Pasukan
Jin pun pergi terbirit.
‘’Itulah
sebabnya ketika pertama kali ditemukan, makam ini tidak memiliki atap. Atap
cungkup berbentuk limas itu dibangun pada kisaran abad 20. Pemugarannya
dilakukan selama tiga tahun mulai 1979-1981 menggunakan jenis batu yang sama
dari Gujarat India, ini kata Kepala Purbakala’’ terangnya.
Dengan begitu, kisah ini jelas berbeda
dengan kisah yang berkembang selama ini bahwa, makam dalam cungkup itu adalah
makam Siti Fatimah binti Maimun yang meninggal tahun 1082 masehi.
Meluruskan
Sejarah
Berkait dengan perbedaan tersebut,
menurut Amir, semua itu bermula pada tahun 1952 M, pada saat pihak Museum
Nasional melakukan observasi di area makam dan menemukan batu bertuliskan
Fatimah Binti Maimun Bin Hibatalllah, wafat tanggal 7 Rajab 475 H atau 2
Desember 1082 M. Batu itu kemudian diyakini sebagai batu nisan dari makam
tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan, posisi batu saat
ditemukan hanya menempel di dinding makam, bukan sebagaimana layaknya batu
nisan. Selain itu, batu itu juga memiliki lubang sehingga timbul banyak
spekulasi apakah itu nisan atau prasasti,” ucap Amir mempertanyakan.
Ia lalu menyuplik temuan KH Mukhtar
Jamil, sejarawan asal Gresik. Menurutnya, batu makam bertuliskan Fatimah binti
Maimun juga ditemukan di Gujarat (Cambay) India. Pendapat ahli menyatakan, batu
tersebut memiliki struktur yang sama dengan yang ditemukan di Phanrang,
Thailand. Asal muasalnya juga dari Cambay, India.
Yang menguatkan, di kawasan sekitar Gujarat
terdapat kebiasaan keluarga kerajaan yang mengharuskan anggota keluarganya bila
bepergian jauh menyeberangi lautan, membawa bukti silsilah keluarga. Dengan
begitu, dimungkinkan siapapun yang membawa batu tersebut, merupakan keturunan
dari Fatimah binti Maimun bin Hibatallah asal Gujarat India.
“Itulah sebabnya kalau saya diminta
bercerita, saya bilang, jika menyebut Fatimah Binti Maimun, jelas tidak ada
kaitannya dengan Maulana Malik Ibrahim. Tapi kalau mengikutkan sejarah Maulana
Malik Ibrahim, maka sebutlah Retno Swari atau Maimunah binti Mahmud Syah Alam” pungkas
Amir. (hay,uul,eru,yus)
>>>> Drs. Abdul Manan, M.Si, Kades Leran
TAMPILAN kesehariannya khas ala pesantren: pakaian
gamis, sarung, juga peci putih di kepala. Penampilan itu juga yang tak jarang
dilakukan saat berada di kantor desanya, Leran Kec. Manyar Kabupaten Gresik.
‘’Maaf saya
masih pakaian gini. Biasanya, setelah subuhan, sebelum jam kantor dimulai, saya
sudah ada disini. Makanya, ini tadi saya juga belum sempat ganti baju,’’ ujar
Abdul Manan, Kades Leran mengawali pembicaraannya dengan DD di kantornya.
Bagi masyarakat
Leran, penampilan seperti itu mungkin bukan hal yang aneh. Sebab, tradisi di
desa itu memang kental dengan budaya pesantren. Apalagi, Abdul Manan juga
merupakan kades dengan latar belakang santri.
Bahkan sebagian
besar pendidikannya dihabiskan di Pondok Pesantren (Ponpes), mulai Ponpes Tanwirul
Qulub Lamongan, Mambaul Hisan Sidayu Gresik, hingga Pondok Suci Manyar, Gresik.
Maka, tak heran, jika sosok Abdul Manan juga dikenal dekat dengan ulama. Bahkan
saat masih kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 1990, ia
telah bergabung dalam Forsipa (Forum Silaturrahmi Pengajian Anak) Masjid Rahmat,
Kembang Kuning, Surabaya.
Lalu bagaimana
bisa beralih menjadi Kades? Manan pun mengaku, tak pernah berpikir akan terjun
ke dunia politik praktis, seperti pencalonan dirinya sebagai kades, dua tahun
lalu. Semua itu lantaran dorongan masyarakat yang menghendaki dirinya maju saat
Pilkades. Sebelumnya, selama 17 tahun, ia menjabat sebagai Kepala MTs. Nurul
Huda yang lokasinya tepat di depan balai desa Leran. ‘’Sekarang mau tidak mau, ya harus ngurusi desa. Karena amanat
masyarakat,’’ sergahnya.
Menurut Manan,
kendati Leran merupakan desa tua sebagaimana sejarahnya sebagai Kota Bandar,
namun banyak hal yang masih harus dibenahi. Khususnya pembangunan infrastruktur
dan pelestarian situs purbakala desa.
Masjid Pesucinan
misalnya, hingga kini pengelolaannya masih dilakukan warga meskipun tanah telah
mendapat sertifikasi BP3 Jatim sebagai situs purbakala. Sementara makam
panjang, belum memiliki pengelolaan yang jelas akibat kurang baiknya koordinasi
antara yayasan pengelola dan juru kunci makam.
“Kami dari pihak
desa mau membuat Perdes juga tidak bisa, karena itu sepenuhnya
wewenang BP3 Jatim,” ujar pria yang pernah menjadi anggota Khatib
Masjid Rahmat Kembang Kuning Surabaya ini.
Kendala
tersebut, menjadikan tidak optimalnya pembangunan yang dilakukan di beberapa
situs potensial desa. Karena setiap perubahan yang akan dilakukan harus
mendapat persetujuan dari BP3 Jatim, yang dinilai kurang pro aktif. Ditambah
lagi dengan sepinya kunjungan, menjadikan Leran seolah tenggelam bersama dengan
sejarah besar yang membangunnya.
“Ada unen-unen (anggapan di
masyarakat) Makam
Panjang dulu pernah ramai, kemudian sepi karena memang tidak boleh diramaikan. Pertimbangnnya karena
peziarah campur antara laki-laki dan perempuan tidak boleh,” ujar ayah tiga
anak tersebut.
Terlepas dari hal itu, Abdul Manan
menegaskan akan tetap mengupayakan perbaikan dalam sistem pengelolaan, baik
Masjid Pesucinan maupun Makam Panjang. Ia sangat berharap, perbaikan sistem
pengelolaan nanti akan membawa dampak terhadap kunjungan dan kelestarian dua
situs tersebut.
“Nanti
ketika rapat persiapan Haul Makam Panjang, akan kami pertegas lagi. Intinya
makam panjang ini boleh diramaikan atau tidak. Kalau tidak, ya sudah. Tapi kalau sepakat boleh
diramaikan, ayo bersama kita tata
semuanya. Apalagi Pemkab Gresik juga mendukung sepenuhnya upaya ini,” tekad
Abdul Manan. (hay,uul,eru,yus)
BIODATA
Nama : Drs Abdul Manan, MSi
TTL :
Gresik, 14 April 1970
Jabatan : Kades Leran (2013-2019)
Istri :
Zumrotul Muadhomah
Anak :
3 orang
·
Faiq Junaizatur
Rifqiyyah
·
Aiz Zakiyyatul
Fakhiroh
·
Alvi Farichatus
Salmiyah
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusDerap Desa
BalasHapusbisakah nama Amir yang ada dalam posting diatas di-link-kan ke nama Akun Amir yang komentar ini.
BalasHapusnah itu dia masalahnya, dos pundi caranya? hehe
BalasHapusHemmmmmm Jadi Ngerti Sejarah DS.Leran || trimakasih banyak atas pencerahannya
BalasHapus