Senin, 21 November 2016

Si Gadis Api


Langit berwarna merah saga yang nyaris terlihat seperti kobaran api unggun. Tapi bukan untuk merayakan kemenangan atau kebahagiaan. Melainkan amarah sang gadis api yang telah terkobarkan demi kehormatan. Mereka bertanya tentang hak perempuan dalam permainan. Pun juga hak pemegang bidak di lantai dadu. Seperti itu adalah perjanjian jual beli tanpa barang yang layak untuk dihargai.

Bagaimana seseorang berkelakar tentang keadilah, yang bahkan tanpa pengetahuan akan benar dan salah tak seorangpun berhak menjadi raja. Bahkan bukankah dengan memiliki rambut dikepala, tak membuat seseorang menjadi singa.

"Diam semuanya! Diamlah saja!" Si Gadis Api berteriak dalam riak kemarahannya. "Melindungiku sudah diluar kemampuan kalian. keberanian untuk melindungi atas nama kebenaran sudah tidak ada lagi dalam diri kalian. Apa gunanya kebenaran jika itu membuat kita lemah? Kalau aku memang terlindungi sekarang, maka hanya Yang Kuasa lah yang akan melakukannya,"

Apakah itu penyerahan diri? Tidak. Itu adalah keputusasaan. Ketika cinta, rasa hormat, dan kedudukan menjadi ironi dalam kehidupan. Maka jangankan keinginan, napas dalam hidup serasa sebuah kesalahan yang pernah terlimpahkan tanpa diminta. Bagaimana hidup akan berlaku setelahnya? Perang besar, pertumpahan darah, kematian, kehilangan, kesedihan, kekosongan. Apakah ada kebahagiaan? Itu konyol. Perang selalu membawa kehancuran. Hasilnya adalah penderitaan dan beban setelah peperangan. Bagaimana bisa kau mengharapkan ada kebahagiaan untukmu setelah peperangan.

Tapi bahkan perang besar, kadangkala menjadi satu-satunya jalan miris yang logis ketika retorika tak lagi mencerahkan. Bukankah tidak ada waktu dalam kehidupan manusia yang tidak terhubung dengan kematian. Kenyataannya adalah setiap perjalanan akan berakhir pada kematian. sehingga perjalanan pada akhirnya akan berada pada peraturan, "Berjuanglah untuk kebenaran saja," entah apa yang akan kau dapat atau harus kau korbankan. Sebab tidak satupun dari hidupmu yang adalah milikmu, "Yang mendapatkan sesuatu belum tentu menang. Dan yang kehilangan juga belum tentu kalah. Itu hanya akibat dari waktu. Kalau sesuatu membuat seseorang begitu takut maka dia sudah dikalahkan,"

Seperti itulah jalannya akan berlaku, Kesatria tangguh Abimanyu memang menjadi alasan untuk sebuah perubahan, akan tetapi anaknyalah yang mengambil langkah pertamanya. Lantas apa itu mengubah rasa sakit saat ribuan panah itu mengambil bait demi bait harapan kekuatan dinasti yang diperjuangkannya? Sekali tidak. dan tentu tidak. Itulah kenapa, kesedihan masa depan bisa merusak kebahagiaan masa kini, tapi kebahagiaan masa depan tidak akan bisa menghapus kesedihan masa kini.

Sekarang kutanyakan lagi satu pertanyaan, apa itu keputusasaan? Kali ini pun juga tidak. Itu adalah penyerahan diri. Kendati Bisma dianggap tidak berdaya karena posisinya, Guru Drona yang terikat oleh sumpahnya, serta Karna yang terikat janji persahabatan pada sahabatnya. Atau bahkan Drupadhi yang hanyalah bidak dalam permainan dadu pembersihan dinasti....

Marah Tanpa Amarah, Bahagia Tanpa Tawa



Aku telah melihat banyak hal yang hidup tunjukkan padaku
Tapi ketidakberdayaan adalah yang paling menyiksaku
Sebab sekalipun marah, tak ada amarah yang terlampiaskan
Bahagiapun tak serta merta menciptakan tawa

Dadaku sesak oleh beban yang tak kasat mata
Hatiku sakit oleh luka yang tak berdarah
Latunan lagu, terdengar bagai nyanyian pemakaman tanpa kematian
Juga hembusan napas yang tak lagi berarti kehidupan

Setiap beban dan luka barangkali hanya sementara
Pun juga bahagia yang menjadi gula untuk hidup yang ada
Tapi bukankah hati tercipta untuk merasa
Dan kini ia memilih menyesap segalanya
Mencoba menikmatinya dengan cara yang gila

Dan ketika aku menangis, maka lihatlah!
Air mataku telah menggenangi halaman rumahmu