Kamis, 10 Maret 2016

Agung Sumbodo, Ketua KJA UPT PBA Situbondo

 MERETAS MIMPI DI LEPAS PANTAI
           
Jika masih ada yang mengira, orang tidak akan bisa kaya hanya dengan memelihara ikan, maka anggapan itu salah. Agung Sumbodo buktinya. Nelayan dari Situbondo ini mampu meraup kentungan hingga 150 juta perbulan. Bandingkan jumlahnya dengan gaji pegawai negeri?
           
Matanya seolah tak berkedip memandang ke arah laut lepas. Kulitnya yang kecoklatan cenderung legam seolah mengatakan bagaimana sinar matahari memangganggnya seharian. Beberapa bekas luka di kaki dan tangannya menjadi salah satu jenis resiko pekerjaannya. Hanya seula senyum yang tersungging manis dari bibir hitam khas perokok yang menandakan ia sangat menikmati pekerjaannya.
Sama seperti yang lainnya, Agung Sumbodo hanya satu dari banyak nelayan yang menggantungkan hidup dari sumber daya alam yang dihasilkan laut. Awalnya, hasil yang ia dapatkan memang tidak seberapa. Tapi semua berubah sejak tahun 2010, dimana akhirnya dia memutuskan beralih menjadi peternak ikan kerapu dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA).
Usaha tersebut ia pilih melalui bantuan dan petunjuk dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Budi Daya Ikan Kabupaten Situbondo. Kerapu dipilih karena memiliki potensi yang sangat bagus. Selain nilai ekonominya yang beberapa waktu terakhir terus merangkak naik, beberapa jenis kerapu seperti kerapu cantik juga relatif tahan dari penyakit. Karena tahan penyakit, biaya pemeliharaannya lebih murah dan potensi gagal panennya rendah.
Seiring dengan berjalannya waktu, Agung kini memiliki keramba apung dengan jumlah petak atau lubang sekitar 36 petak. Setiap petak mampu menghasilkan Rp 21 juta–Rp 24 juta dari hasil setiap panen 4–5 kuintal kerapu.
“Alhamdulillah, banyak sekali perubahan setelah saya membuat keramba jaring apung ini. Bahkan kami masih selalu kekurangan stok karena tingginya permintaan ikan kerapu. Khususnya ke luar negeri,” tutur Agung, ditemui di pesisir pantai Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Situbondo baru-baru ini.
Dari sisi harga, kata Agung, Ikan kerapu termahal adalah jenis kerapu tikus yang bisa mencapai Rp 350 ribu /kg. Ini lantaran budidayanya membutuhkan waktu yang cukup lama. Sedangkan untuk jenis kerapu macan harganya Rp 150 ribu /kg, kerapu cantik Rp 135 ribu/kg dan kerapu cantang Rp 100 ribu /kg.
“Omzet yang dihasilkan dari 12 lubang KJA milik saya bisa menghasilkan sekitar Rp 150 juta per bulan,” ujarnya dengan bangga.
Agung yang semula hanya nelayan biasa dengan penghasilan pasang surut kini justru mampu mempekerjakan orang lain. Bahkan ia berani menjamin di Desa Klatakan saat ini tidak ada lagi warga yang menganggur. Hal itu karena tingginya harga jual ikan kerapu, menarik minat warga setempat untuk mencoba peruntungan di bisnis budidaya ikan Kerapu dengan sistem KJA.
Agung yang saat ini tercatat sebagai Ketua Asosiasi Budi Daya Jaring Apung pun menyatakan, anggotanya yang semula hanya 120 orang, saat ini sudah lebih dari 140 orang. Sejauh ini, Agung merasakan peran pemerintah sejak awal pembuatan KJA. Mulai pembinaan, pemberian bibit, hingga pemasaran.
“Kami setiap bulan masih kewalahan memasok permintaan. Karena itu, kami berharap, semakin banyak petani atau nelayan yang turut dalam budi daya KJA,” katanya.
Agung mencontohkan, permintaan sekali kirim ke Jepang sekitar 35 ton belum bisa dipenuhi karena petani baru bisa menghasilkan 20 ton sekali kirim dalam sebulan. “Padahal setiap tahun pengusaha KJA selalu untung,” tegasnya. (hay)