Jumat, 24 Juli 2015

Tentang Kita dan Ketakutanku

 Ahad, 19 Juli 2015 (3 Syawal 1436)
Teruntuk kau yang kelak akan menjadi imam bagiku dan anak-anak kita.

Aku menulis ini tepat ketika sakit akibat tamu bulanan yang menyiksa. Beberapa menakutiku dengan kemungkinan tidak suburnya rahimku. Tapi kau tahu, aku akan selalu mengabaikan justifikasi itu. Karena tak ada yang berhak mendahului Kuasa Tuhan. Juga tak ada yang dapat menyakiti kita kecuali kita memberinya kesempatan untuk menyakiti kita.

Aku masih sepenuhnya yakin dengan mimpi sederhana tentang keluarga kecil yang akan kita bangun. Aku, kau, dan anak-anak yang akan lahir dari rahimku. Anak-anak yang akan meramaikan kehidupan kita. Kau akan mendebatku tentang laki-laki atau perempuan sebagai anak pertama? Bagaimana jika kita berdoa agar memiliki anak kembar, jadi kita tidak perlu berdebat siapa yang akan menang atau kalah.

Aku sadar apa yang akan kau dengar dariku mungkin terkesan terburu-buru, ditengah proposal hidup yang masih kita susun untuk diajukan pada sang Pemberi Hidup. Ketahuilah, ini kulakukan karena aku tidak tahu harus membagi ini pada siapa. Entah apa yang akan terjadi didepan kita tapi telah kutasbihkan namamu sebagai satu-satunya yang akan menerima bakti akan kesetiaan dan cinta yang Tuhan anugerahkan untukku.

Kau tahu hidupku selalu dipenuhi dengan ‘ketidakbenaran’ sesuatu yang kau larang untuk kusebut sebagai kutukan. Kumohon biasakan dirimu dengan hal itu. Satu-persatu akan kita buktikan itu tidak berlaku bagi kita. Aku selalu meyakinkan diriku untuk tidak lagi  merasa takut karena kau ada untukku. Tapi bagaimana jika ketakutanku itu ada kaitannya denganmu?

Aku telah melihat begitu banyak pernikahan berubah menjadi upacara kematian tanpa pemakaman. Bagaimana tidak, ketika selalu kami perempuan yang akan menerima tulah ketika kehidupan pernikahan berjalan tak sebagaimana mestinya. Atau tak seperti yang pria inginkan. kenapa selalu kami yang harus berkorban meninggalkan satu untuk yang lain?

Baiklah kita lupakan hal itu. Kepalaku seketika pening membicarakannya. Tapi kumohon dengarkan apa yang ingin kuminta untuk kita. Ya, Kita. Karena setelah menikah bukan lagi tentang aku atau kau, tapi kita.

Ketahuilah, setelah menikah kau tak hanya mengikatkan diri denganku, tapi juga keluargaku. Berlaku juga sebaliknya. Apa yang kita lalui dan rasakan akan berimbas pada keluarga kita. Jadi kumohon pertimbangkan itu untuk apapun yang ingin kau lakukan. Aku sadar, kita tidak hidup di negeri dongeng dimana semuanya berlaku secara magis. Disini kita hanya menuai apa yang kita tanam. Akan ada banyak onak dan duri dalam perjalanan kita, untuk menguji sebarapa kuat kita akan menjalankan kehidupan ini bersama.

Jika kelak terjadi perselisihan diantara kita, seberapapun marahnya kau padaku kumohon jangan biarkan keluarga kita melihat kebencian dimatamu. Marahlah padaku, tapi jangan pernah mengangkat tanganmu padaku. Jika kesalahanku masih bisa kuperbaiki, bisakah kau tidak menaikkan oktaf suaramu padaku. Bisakah kau memelukku dan mengatakan kau tidak suka dengan yang kulakukan atau kuucapkan, setelah itu mintalah aku berubah. Aku bersumpah, selama kau memintanya dengan cinta dimatamu bahkan hidupku pun akan kupersembahkan di kakimu.


Atau jika itu tidak bisa kau lakukan, bisakah kau tetap ada dalam jarak pandangku. Tetaplah tidur disampingku bahkan sekalipun dengan cara memunggungiku. Jangan pernah meminta pergi atau menjauh dariku. Karena aku tidak akan bisa mengerti apapun tanpa kau ada disampingku. Biarkan aku belajar dari kesalahanku tapi jangan meninggalkanku.

Kau mungkin akan begitu sibuk dengan dunia atau karirmu. Aku tidak akan protes akan hal itu. Karena kutahu dibalik semuanya terselip sumpahmu untuk membahagiakanku. Tapi bisakah kau tidak bosan dan marah saat aku terlampau sering bertanya? Sungguh itu bukan kecemburuan, hanya kekhawatiran dan kerinduan yang mungkin akan sulit kubahasakan. Jika tidak mungkin bagimu bahkan untuk memelukku di malam hari karena kesibukanmu, sisakan sedetik saja dari waktumu untuk tersenyum padaku. Dengan begitu aku akan tahu bahwa kau baik-baik saja.

Lalu anak-anak kita. Kita mungkin akan berselisih tentang bagaimana seharusnya kita mendidik mereka. Aku mungkin juga akan melakukan kesalahan, karena aku tidak bisa menjamin akulah sosok ibu terbaik, tapi percayalah bahwa aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kalian. Jika kelak aku terpaksa harus memarahi anak-anak kita karena kesalahannya, bisakah kita tidak memperdebatkan itu didepan anak kita. Bicaralah padaku saat kita hanya berdua. Karena kuharap anak-anak kita akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan penuh tanggung jawab. Bukannya cengeng dan manja karena merasa selalu memiliki seseorang yang akan menyelamatkannya ketika melakukan kesalahan.

Dan jika aku tidak ingin kau mengangkat tangan padaku, itu berlaku juga untuk anak-anak kita. Kita akan mendidik mereka dengan kasih sayang dan ketegasan, tapi bukan dengan teriakan dan pukulan. Itu tidak akan mendidik mereka, kau tahu.

Dan jika kau tidak keberatan, bisakah aku mengkafling senyummu setiap kali aku membuka dan menutup mata? Hanya untukku.