Kamis, 06 Desember 2018

DARI PERJALANAN RELIGI HINGGA SIRAH NABI (1)

Suasana Senja di Sisi Selatan Pelataran Masjid Nabawi
Pagi masih buta, ketika kaki melangkah menuju titik temu di Bandara Internasional Juanda Terminal IA di Area Air Mancur. Tentu ini bukan pengalaman perdana melakukan perjalanan dengan pesawat, tapi perjalanan udara terlama dengan durasi waktu hampir 11 Jam dan tujuan yang tak biasa, Tanah Suci.
Masjid Nabawi
Destinasi pertama, setelah mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah dan menempuh perjalanan darat menggunakan bis selama hampir 6 jam, para jamaah yang berangkat bersama Travel Nur Dhuha Wisata pun sampai di Madinatul Munawwaroh. Kota yang diriwayatkan memiliki dua kali keberkahan dari Kota Makkah Al Mukarromah berdasarkan Doa Rasulullah dalam sebuah hadist riwayat Anas Bin Malik RA dalam Shohih Muslim.
Sesuai dengan namanya, Madinatul Munawwaroh, ‘Kota Yang Bercahaya’. Madinah memang merupakan gambaran dari struktur tata kota modern dengan banyaknya gemerlap lampu dan gedung pencakar langit. Di malam hari-dari sudut pandang yang tepat-, Kota Nabi ini akan nampak seperti taburan bintang di hamparan langit yang gelap.
Pelataran Masjid Nabawi
Bagi yang telah berkali-kali melakukan perjalanan suci seperti halnya Umroh atau bahkan Haji, pemandangan Kota Madinah mungkin bukan hal yang asing lagi. Namun bagi the first comer bahkan proses terbuka dan menutupnya Payung Masjid Nabawi pun menjadi momen spesial yang tak ingin dilewatkan.
Masjid Nabawi-Masjidnya Nabi, tak hanya menjadi Ikon Kota Madinah, tapi sekaligus tempat suci selain Masjidil Haram di Kota Makkah yang menjadi mimpi setiap Muslim untuk bisa mengunjunginya. Karena di tempat inilah Junjungan Umat Muslim sedunia bersama dua karib tercinta Nabi, Abu Bakar Ash-Shiddig dan Umar Bin Khattab dimakamkan. Bahkan sebuah tempat yang dijuluki sebagai Min Riyadhil Jannah (sebagian dari taman surga), Roudhoh, merupakan tempat paling Mustajabah-tempat terkabulnya segala doa- yang hampir selalu ramai dikunjungi setiap waktu. Roudhoh merupakan tempat mustajab yang berada diantara mimbar dan Rumah Baginda Rosul, yang saat ini sekaligus Makam Nabi  beserta dua sahabat.
Masjid Ghamamah
Masih di area sekitar masjid dengan 44 Pintu tersebut, para Jamaah Umroh maupun Haji dapat menemui banyak tempat bernilai sejarah. Sebut saja Area Pemakaman Baqi’, tempat pemakaman Keluarga dan Sahabat Nabi serta para jamaah haji dan umroh yang meninggal di Kota Suci. Berada di sisi Timur Masjid Nabawi yang hanya bisa dikunjungi Jamaah Laki-laki pada jam tertentu. “Pagi setelah Shalat Subuh sampai pukul 8. Setelah itu Sore Ba’da Shalat Ashar hingga menjelang Maghrib pukul 16.30 WSA,” terang Affan Syaiful Bahri, salah satu dari dua Muthowwif (Pembimbing) yang mendampingi jamaah selama berada di dua kota suci.
Berada di sisi luar Masjid Sebelah Barat keluar dari pintu 6, terdapat masjid dengan kubah putih bernama Masjid Ghamamah, ‘Awan’. Konon masjid tersebut merupakan lokasi dimana Rasulullah dan para sahabat melakukan Shalat Istisqho’, Shalat meminta hujan. Tak lama setelah shalat selasai dilakukan segumpalan awan pun menyelimuti di atas tempat tersebut dan turunlah hujan. Sehingga untuk mengenang peristiwa tersebut dibangunlah masjid.
Masjid Abu Bakar
(Berada di Barat Masjid Nabawi, tepat arah Pintu 6)
Bangunan masjid lainnya di lokasi berdekatan adalah Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali Bin Abi Thalib. Dikisahkan, bahwa tempat dibangunnya masjid tersebut merupakan kediaman kedua sahabat. Riwayat lainnya mengatakan, tempat tersebut merupakan lokasi dimana kedua sahabat mengikuti shalat Istisqo' bersama Nabi. Ada pula riwayat menjelaskan, bahwa disanalah shaf kedua sahabat kala mengikuti Sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Kendati berjuluk masjid, ketiga tempat tersebut tidak dipergunakan sebagai tempat shalat. “Tidak ada keistimewaan khusus untuk melakukan Shalat atau amalan lainnya di tempat-tempat tersebut selain dari sisi sejarahnya, untuk mengenang peristiwa atau keberadaannya,” terang Muthowwif yang lebih banyak dipanggil Ustadz tersebut.
Dialektika Peradaban Dua Kota Suci
Makkah dan Madinah layaknya dua sisi mata uang yang sejatinya satu meski memiliki karakteristik yang berbeda. Menilik pada sejarah, Makkah merupakan tempat dimana Syiar Agama Islam di masa Rasulullah pertama kali digaungkan. Namun Madinah merupakan tempat dimana gaung itu akhirnya terdengar sampai ke seluruh penjuru dunia.
Masjidil Haram
Madinah, bahkan digambarkan sebagai Replika Kota Madani yang dibangun Rasullullah. Peradaban yang tinggi serta didukung struktur masyarakat yang dinamis dan modern. Perbedaan sederhana yang akan didapati pada kedua kota suci, misalnya dari segi penataan tempat shalat. Di Madinah, kita akan mendapati bahwa wilayah bagi Akhwat dan Ikhwan terpisah sedemikian rupa, dengan jalur dan pintu berbeda untuk masuk kedalam masjid. Sedangkan di Makkah, pemandangan Shaf (Barisan Shalat, red) perempuan di depan laki-laki merupakan hal yang lumrah. Meski tidak benar-benar berbaur di satu tempat.
Namun, dari segi ketepatan waktu dan konsistensi, patutlah kita contoh yang dilakukan di Masjidil Haram. Ketika Adzan berkumandang, maka seketika itu juga para Askar (Polisi Penjaga) akan menutup pintu masuk ke Masjidil Haram. Sehingga para jamaah yang datang terlambat harus sholat di pelataran masjid.
Masih mengenai ketepatan waktu dan konsistensi, baik di Makkah, Madinah, bahkan Jeddah, hal menakjubkan adalah toko-toko yang akan tutup begitu adzan berkumandang. Tidak peduli apakah masih ada pembeli atau tidak. “Kalau ada yang tidak bayar pun mereka tidak peduli,” tutur Muthowwif di sela-sela perjalanan di Jeddah. (hay)