Sabtu, 19 Juli 2014

RAHWANA


Ketika kita mendengar Judul RAMAYANA yang terlintas di benak kita adalah kisah tentang Perjuangan seorang pangeran dari Negara Ayodia, Rama menyelamatkan istrinya Shinta yang diculik dan hendak di peristri oleh Raja Raksasa Rahwana.
Dalam banyak pengisahan kerapkali hanya diceritakan hingga epos ke-5 dari keseluruhan 7 epos Ramayana. Yakni ketika Rama di bantu pasukan kera yang dipimpin Hanoman mengalahkan pasukan Raksasa yang dipimpin Rahwana. Shinta kembali ke pelukan Rama, sedangkan Rahwana gugur dalam perang.
Dua epos selanjutnya sejujurnya tak kalah menarik. Pada epos 6 dan 7 justru menampilkan cerita yang berbeda dari sebelumnya.
Saat kemudian Shinta diketahui hamil, Rama murka. Dia menuduh bahwa anak dalam kandungan Shinta adalah anak Rahwana. Shinta sedih atas tuduhan Rama. Karena kenyataanya Rahwana takut menyentuh Shinta. Ego Rahwana memaksa untuk memiliki Shinta, tapi pada akhirnya hatinya menang karena tidak tega menyakiti orang yang dia cintai.
Tak lama Rama menuntut Shinta untuk membuktikan kesucianya dengan ritual pati obong. Sebuah ritual melompat kedalam api. Shinta bersedia. Di saksikan Rama, Lesmana dan puluhan warga Shinta melompat kedalam kobaran api. Setelah api padam, ternyata Shinta selamat.
Lesmana dan warga bersorak gembira, tapi tidak dengan Rama. Malam harinya Rama mengajak Lesmana untuk bicara empat mata. Dia meminta Lesmana membawa Shinta ke tengah hutan Baratha dan membunuhnya. Lesmana yang tak kuasa menolak pun akhirnya menyanggupi dengan berat hati.
Alih-alih membunuh Shinta, Lesmana justru membuatkan sebuah rumah pohon di tengah hutan untuk Shinta tinggali. Dia menceritakan permintaan Rama kepadanya. Shinta menangis sejadinya namun berterima kasih pada kebaikan hati Lesmana.
Untuk mengelabui Rama, Lesmana sengaja berburu rusa dan membawa panah yag telah berlumuran darah pada Rama. Rama senang, dan beberapa waktu kemudian justru menikah dengan adik sulung Rahwana, Surpanakha.
Sementara Shinta, saat tiba waktunya melahirkan ia berjuang melahirkan anaknya tanpa pertolongan siapapun. Dalam rasa sakit yang hebat dia berusaha meraih-raih tirai untuk digenggam sambil dia mendorong anaknya keluar. Malang dia meraih ekor se-ekor ular raksasa. Kaget dan panic, dua anak kembar Shinta lahir, namun Shinta sendiri tidak selamat.
Dalam keadaan kritis itu jiwa Rahwana menerobos keluar dari Dhurma (alam setelah mati) menjemput anak kembar Shinta dan menyerahkan dalam asuhan Valmiki (seorang sakti, resi, dewa). Dua anak kembar yang akhirnya diberi nama Lava dan Khusa. Dalam perjalannanya, Rahwana bertutur “Hai Dunia? Sesungguhnya siapa yang bajingan? Aku atau Rama?”
Ramayana memang merupakan sebuah karya sastra yang mengagumkan. Betapa dalam tiap epos-nya mengundang kita untuk berdecak kagum dengan aksi, emosi, dan penokohan karakternya.
Satu hal, dalam cerita tersebut tidak ada karakter yang benar-benar baik, dan tidak ada yang sepenuhnya hitam. Lihatlah Rama, yang heroik tapi tega menyuruh adiknya untuk membunuh istrinya. Bahkan menikah dengan adik sulung musuh bebuyutanya. Lalu Lesmana, yang loyal dan setia tapi dalam kebingungannya dia memilih menghianati raja sekaligus kakaknya. kemudian Shinta, yang setia namun dihatinya diam-diam mengagumi Rahwana.
Sedang Rahwana, dia yang sangat Jahat dengan merebut Shinta dari Rama. Namun tetap mencintai Shinta meskipun dengan cara yang salah. Betapa dia sangat takut untuk menyakiti orang yang dicintainya.
Sebuah dialog yang agaknya layak menjadi renungan seperti yang disampaikan Shinta ketika Rama menggugat kesuciannya “Rahwana cuma sekali menyentuhku, saat ia meculikku. Setelah itu ia tak pernah menyentuhku lagi. Ia sangat menghargaiku sebagai wanita. Jika kamu cinta padaku, kamu tidak akan meminta apa-apa padaku. Sekalipun aku sudah tak suci lagi. Kau inginkan tubuhku yang suci, sedang tubuh itu sendiri tak memiliki apa-apa, tak tahu apa-apa, dan tak seorang pun di dunia ini yang tubuhnya suci. Kau menuntut kesempurnaan dariku, sedangkan dirimu sendiri tak sempurna. Justru Rahwana dengan cintanya telah menunjukkan kebesaran hati sesungguhnya. Meski nyawanya terbunuh di tanganmu, ketulusan cintanya tak akan terbunuh”.

Kisah Radheya : KUTUKAN YUDHISTIRA



Ya, barangkali benar kekacauan itu akibat keegoisan Kunti dan kebungkaman Khrisna….

Perang Bharatayudha telah berakhir, banyak yang berguguran di pihak Kurawa, pun Pandawa. Yudhistira baru saja menyelesaikan persembahan kepada putra-putra Drupadi dan yang lainnya.
Keadaan Kunti sangat menyedihkan. Tiga hari yang lalu,  Radheya gugur di tangan Arjuna, terjadi perayaan yang meriah di kubu Pandawa, ia mendengarnya dari Sanjaya.
Hari ini, Kunti  melihat jenazah putra pertamanya, ia berjanji tak akan membuat dirinya pingsan.
Kresna hanya memandang sesaat. Ia memandang Radheya dan ia melihat istrinya menangisi suaminya. Ia melihat itu semua dan masih saja tidak berkata apa-apa.
Sekarang pada akhir kejadian ini, Kunti berjalan bersama mereka, semua melihat persembahan air suci di tepi sungai suci Gangga. Gangga yang sama, Gangga yang telah mengambil anaknya beberapa puluh tahun silam. Gangga masih mengalir dengan tenang seperti pada hari yang tidak bisa ia lupakan, saat menghanyutkan kotak kayu di sungai itu.
Radheya tidak memiliki putra yang bisa melakukan upacara untuknya. Mereka semua sudah tewas. Radheya masih saja anak yatim, sama seperti di saat ia membuangnya. Hati Kunti seakan-akan meledak karena kesedihan yang mendalam, ia terbakar karena penyesalan diri, karena ketidakadilan yang telah dilakukannya kepada anak sulungnya. Ia setidaknya harus melakukan hal ini bagi Radheya.
Sekarang, Kunti akan melakukan sesuatu yang akan membuat pucat wajah semua wajah anak-anaknya. Ia mendekati Yudhistira dan meletakkan tangannya pada punggung Yudhistira.
“Ya, Ibu, ada apa? Mengapa kau memanggilku?”
Kunti harus menelan segala kesedihan agar tidak keluar dari bibirnya,“Masih ada orang yang tersisa. Kau harus membuat persembahan ini untuknya juga.”
Kresna satu-satunya orang yang tahu, melihat Kunti dengan welas asih di matanya.
”Satu orang lagi? Aku tidak mengerti. Aku ingat orang-orang yang tewas dengan baik, pastilah aku tidak akan lupa pada orang yang telah mati untukku. Siapakah orang yang harus mendapat persembahan ini?”
“Radheya-lah orangnya. Kau juga harus membuat persembahan untuknya…”
“Tetapi Ibu, mengapa aku harus melakukannya untuk Radheya? Ia seorang sutapura. Aku seorang ksatriya. Mengapa kau memintaku untuk melakukannya, Ibu?“
Sesaat berlalu, Kunti diam dengan segala kesedihan di hatinya, ia mengambil nafas dalam dan berkata, “Yudhisthira, kau harus melakukannya. Radheya bukan seorang sutaputra, dia seorang ksatriya.”
“Aku sangat bingung dengan kata-katamu, bagaimana kau tahu ia seorang ksatriya. Mengapa aku harus mempersembahkan air suci untuk Radheya. Katakan padaku, siapa ayah Radheya sebenarnya?”
“Radheya adalah putra Surya. Ibu kandung Radheya adalah seorang gadis kecil. Surya memberi putra ini kepadanya. Ia terlahir dengan kavaca dan kundala. Ibunya takut dengan hinaan dunia. Kau tahu, bahwa ia seorang gadis yang berada di rumah ayahnya. Ia harus menyimpan rahasia ini. Ia meletakkan anak pada kotak kayu dan menghanyutkannya pada sungai ini, Gangga. Anak ini dipungut Adirata dan menyerahkannya kepada isterinya Radha, karena itulah disebut Radheya, dan itulah nama yang  sangat dicintainya. Ibunya adalah seorang ksatriya. Ia telah melakukan ketidakadilan kepada putra pertamanya. Ia memiliki beberapa orang anak tetapi hatinya kosong karena ini.”
Yudhistira dan yang lainnya takjub mendengarkan cerita ini, segalanya terlupakan, ”Ibu, siapakah ibu Radheya? Ibu yang keji yang membuang anaknya di sungai Gangga ketika ia lahir? Kau pasti mengenalnya karena kau menceritakan kejahatan dengan lengkap. Siapakah, Ibu?”
Semua mata memandang Kunti, Kunti memandang mereka semua. Ia melihat Kresna. Ia memandangnya dengan mata yang penuh dengan belas kasihan. Kunti memandang dengan tepat pada mata Yudhistira dan berkata, “Wanita itu masih hidup. Akulah wanita itu. Radheya adalah putraku, putraku yang pertama!” Kunti jatuh dan tak sadarkan diri.
Yudhistira tidak bisa memikirkan itu semua. Ia berdiri memandang mereka semua, ia terus menggumam, “Radheya adalah kakakku dan kami telah membunuhnya…”
Arjuna segera berlari ke arahnya dan menangis, ”Apa yang telah aku lakukan, Tuhan? Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana aku bisa hidup setelah semua yang telah terjadi? Aku telah membunuh kakakku. Kakakku, aku telah membunuhnya!”
Arjuna tidak mampu berdiri. Lalu ia duduk di tanah dan berteriak, ”Aku telah membunuh kakakku, dan aku telah berbangga karena aku telah membunuhnya!”
Kresna dan Yudhistira mendekatinya. Arjuna bergetar seperti orang demam, matanya merah. Bhima duduk di samping Arjuna, ia juga sangat terkejut. Ia seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba menjadi tua.
Pandawa memberi hormat penuh kesedihan. Kunti disadarkan dengan percikan air. Untuk pertama kali, Yudhistira tidak memperhatikan ibunya. Ia tidak bisa melihat ketidakadilan ini pada Radheya dan pada Pandawa. Ia pergi dan duduk bersama Arjuna dan Kresna. 
Yudhistira memalingkan wajahnya pada ibunya, seraya bertanya, “Apakah Radheya tahu hal ini? Apakah ia tahu siapa dirinya?”
“Ya,” kata Kresna
Yudhistira mengalihkan matanya kepada Kresna, semua Pandawa melihat Kresna.
“Apakah kau tahu mengenai hal ini, Kresna?” tanya Yudhistira
“Ya,” jawab Kresna.
Tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkata sepatah kata pun setelah itu. Radheya tahu, bahwa dirinya putra Surya dan Kunti, dan ia membiarkan saudaranya menghinanya dengan 'sutaputra'. Yudhistira memukul kepalanya sendiri sambil berkata, ”Ketika aku mendengar Radheya tewas, aku berlari ke medan perang untuk melihat apakah benar-benar ia tewas, aku sangat bahagia melihat dirinya tewas. Ibu, bagaimana kau tega melakukan hal ini kepada kami, mencintai kami seperti yang engkau lakukan?”
Yudhistira pergi dan berdiri di tepi sungai Gangga, seakan-akan persembahan air suci untuk Radheya telah terbayar karena airmata Yudhistira.
Narada berbicara pada Yudhistira, “Mengapa engkau sangat sedih? Dengan berkat Kresna dan bantuan saudara-saudaramu yang pemberani kau menjadi penguasa dunia! Tahun-tahun penderitaan berakhir. Aku bahagia dan memberi selamat atas keberhasilanmu.”
Kesedihan Yudhistira muncul, ia berkata, “Tuanku, aku tidak ditakdirkan untuk bahagia. Semua kebahagiaan yang seharusnya milik kami, hilang. Karena kami diberitahu bahwa Radheya adalah saudara kami. Mengapa engkau membiarkan hal ini terjadi?”
“Aku pernah sangat marah pada Radheya. Aku memalingkan mataku padanya. Aku melihat kakinya, semua kemarahanku hilang. Aku tidak bisa marah padanya. Kakinya seperti kaki ibu kami. Aku sangat penasaran dengan kesamaan ini. Selama bertahun-tahun aku mencoba menyelesaikan permasalahan ini. Guru, ketika aku mengetahui sekarang, mengapa kaki Radheya mirip kaki ibuku, hatiku hancur berkeping-keping. Bagaimana aku bisa bahagia setelah pembunuhan terhadap yang agung seperti dirinya. Radheya seharusnya menjadi penguasa Kerajaan Kuru? Aku tidak bisa menghibur diriku lagi.”
“Ibuku memberitahuku, bahwa Radheya memberinya anugerah yang ia inginkan. Radheya mengatakan bahwa ia tidak akan membunuh Pandawa yang lain kecuali Arjuna. Ia harus bertarung dengan Arjuna. Aku sekarang menyadari mengapa ia tidak membunuh Bhima pada saat Jayadrata kalah. Ia mengampuni Bhima, ia pergi tanpa membunuhnya. Malam itu, ia bertarung dengan Sadewa. Hari berikutnya, Nakula. Pada hari terakhir dalam hidupnya, ia bertarung denganku. Kami dibiarkan hidup. Ia tidak membunuh kami , karena ia tidak mau melakukannya. Betapa baik dan mulia saudara yang kami miliki. Dan, Arjuna telah membunuhnya ketika ia tidak siap untuk bertarung. Aku tidak  bisa mengampuni diriku karena kebiadaban ini. Kami telah menjadi orang yang paling jahat dalam pertempuran ini.”
Narada menenangkan hatinya. Hal ini membuat Pandawa semakin sedih, cerita ini membuat mereka makin rendah hati. Ini  membuat mereka menyadari bahwa jalan Tuhan sangat misterius. Tetapi kesedihan tidak pernah meninggalkan hati Yudhistira. Ini adalah luka baru yang tidak akan pernah dapat disembuhkan.
Yudhistira tidak pernah bisa memaafkan ibunya, karena ketidakadilan yang ia perbuat terhadap Radheya dan juga pada mereka semua.
“Ibu telah membohongi kami  semua, dengan menyimpan rahasia itu dari kami. Engkaulah yang menyebabkan dosa besar ini. Semoga mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia...”

Senin, 07 Juli 2014

SURAT TERAKHIR KARNA


Satu tanya sekaligus kutukku, kenapa dunia menghinakan hadirmu Basukarna, Suryaputra?

Beberapa jam sebelum sebelum pagi, sebelum gelombang pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi. Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Vrushali istrinya.
“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan dengarkan mereka, Vrushali. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh. Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati.
“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia. Sebab, siapa sebenarnya aku, Vrushali, selama ini, selain seorang yang tak jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?
“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.
Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku. Bagiku, Vrushali, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.
“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang sebenarnya. Ia anak pungut, Vrushali.
Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku. Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih sayang.
Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang hanyut, di sepanjang tepian.
“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berdusta, juga pada diriku sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku. Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Vrushali, ilmu pun telah jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.
“Aku datang berguru kepada Drona, tapi Drona menolakku karena aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.
“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku tindakan Pangeran Duryudana. Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku meminangmu.
“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak bertanding dengan anak raja.
Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima itu.
“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang kesatria ada bukan hanya karena ayah bundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak dikenal.

“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu,Vrushali, yang menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mati, istriku, kenanglah kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa memandangmu, ketika kau memandangku.”
Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna, saudara seibunya.

Desa Pucangan Kec Palang Kab Tuban




BERNAFAS DARI KAPUR

Familiar dengan istilah tanah berbatu? Desa Pucangan punya istilah sebaliknya, batu bertanah. Di tempat inilah puluhan orang menggantungkan hidup sebagai pekerja batu kumbung, apalagi jika bukan demi sesuap nasi.



Senja mulai temaram ketika segerombolan pria berpakaian lusuh itu nampak berselonjor kaki di halaman sebuah rumah. Kulit gelap sawo matang aksen khas penduduk pesisir, seolah gambaran keseharian mereka memanggang diri di bawah terik matahari.
Kalau dulu pekerjaan pembuatan batu kumbung ini baru menyerap kurang lebih 5-10% tenaga kerja dari masyarakat. Kebanyakan berada pada sektor pertanian dan lain-lain. Cuma setelah hampir 20 tahun ini ada perkembangan. Sektor usaha batu kumbung ini semakin besar dari segi penyerapan tenaga kerjanya terutama pekerja laki-laki,” ujar Moh Syafi’i, Kepala Desa Pucangan mengawali cerita.
 Wilayah Gunung Singget yang berada di Dusun Singget lah yang kini menjadi lahan penghidupan baru bagi umumnya masyarakat Desa Pucangan. Terlepas sebagai pemilik lahan maupun hanya sebagai buruh potong batu.
Kendati berbentuk pertambahan, namun pengelolaan lahan batu kumbung tak ubahnya seperti tanah pertanian atau rumah yang bisa disertifikatkan (menjadi hak milik, red). Kepemilikan tanaha diakui telah ada sejak tahun 50an yang kemudian berpindah kepemilikan melalui warisan atau pembelian.
Syafi’i menjelaskan bahwa pekerjaan batu kumbung ini telah banyak merubah kondisi masyarakat. Terutama dari segi perekonomian. Dalam lima tahun terakhir misalnya, terdapat penambahan jumlah pemilik mobil yang besar di Desa Pucangan. Para pengusaha batu kumbung yang mayoritas adalah penduduk lokal bergantian menambah armada untuk memperlancar usaha mereka di sentra batu kumbung.
Hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahkan oleh Syafi’i sendiri, yang kini tercatat sebagai salah seorang pemilik lahan dan pengusaha batu kumbung skala besar di Desa Pucangan. Dibantu 25 pekerja dengan empat mesin serkel (mesin pemotong batu kumbung, red) Syafi’i mampu menghasilkan sedikitnya 6000 biji batu kumbung perhari dengan keuntungan minimal 600 ribu rupiah setiap harinya.
Lebih lanjut Syafi’i menjelaskan, perubahan besar makin terasa dalam tiga tahun terakhir setelah adanya mesin pemotong batu kumbung. Sebelumnya para penambang batu kumbung harus memilah-milah lahan yang mudah dijangkau. Pasalnya, para penambang yang awalnya menggunakan gergaji tangan harus mengambil batu dengan cara membuat gorong-gorong di area gunung batu kapur. Selain tidak efektif dan efisien, penambangan dengan cara seperti itu memiliki resiko kecelakaan yang tinggi.
Dengan adanya mesin serkel, perkerjaan para penambang batu kumbung buikan saja dimudahkan, resiko kecelakaan kerja pun bisa diminimalisir. Kini, para penambang batu tidak perlu lagi membuat gorong-gorong yang menyerupai gua. Akan tetapi memotongnya langsung dari atas gunung.
Intinya dengan adanya sentra kumbung, contohya saya yang dulunya tidak punya apa-apa, sekarang Alhamdulillah mampu mengubah status. Terlepas dari hutangnya berapa? Kalau dulu rasanya tidak mungkin Pucangan bisa jadi seperti sekarang,” ujar Syafi’i setengah berkelakar.

Batu Bertanah

            Tidak terlalu sulit mencari alamat Desa Pucangan. Bukan saja situasi pedesaan yang kental dengan suasana guyub rukun. Tim DD yang terbilang awam dengan wilayah Tuban pun cukup dimudahkan dengan masyarakat yang ramah dan paham betul ketika ditanyai alamat orang nomor satu di Desa Pucangan tersebut.
            Ke arah timur dari alun-alun Kota Tuban sejauh 110 m terdapat belokan pertama sebelah kiri menuju Jl Panglima Sudirman. Masih di Jl Panglima Sudirman sejuh 200 m menuju arah Jl Raya Tuban-Gresik sekitar tujuh km kemudian sampailah tujuan di Desa Pucangan, Kec Palang, Kab Tuban. Disinilah Tim DD mulai melacak kediaman sang kepala desa medio April lalu.
            Tak ada yang istimewa dari kondisi wilayah Desa Pucangan. Seperti umumnya suasana desa, beberapa areal perkebunan dan pertanian masih nampak mendominasi sebagian wilayah Desa Pucangan. Sebagian besar tanaman palawija seperti padi, jagung, kacang tanah, kacang panjang dan beberapa jenis sayuran menghijaukan suasana.
            Tak seberapa jauh dari pandangan mata tepatnya dari arah kediaman Moh Syafi’I di Dusun Pucangan terlihat puncak gunung kapur yang belakangan diketahui berada di Dusun Singget.

            “Kalau mau dibilang sentranya batu kumbung Kecamatan Palang ya di desa Pucangan. Wong Desa Leran Kulon, Leran Wetan, Sendoro gak punya gunung. Gunungnya cuma satu itu di Dusun Singget, Desa Pucangan,” jelas Kades Syafi’I menunjuk ke arah gunung yang mulai terlihat koyak di beberapa sisinya.
Meskipun menjadi satu-satunya desa di Kecamatan Palang yang memiliki potensi gunung kapur, namun hingga saat ini tidak ada peraturan khusus berkaitan dengan aktifitas penambangan batu kapur oleh warga pemilik lahan. Bahkan Syafi’I menuturkan, Desa Pucangan justru terkenal dengan hasil pertanian khususnya kacang tanah kualitas super.
Keraguan bahwa wilayah pegunungan kapur tentunya sulit untuk ditanami nyatanya tidak terbukti di Desa Pucangan.         40 persen wilayah Desa Pucangan merupakan sawah irigasi yang bisa dipanen hingga dua kali setahun. Selebihnya merupakan lahan tadah hujan dan termasuk pula wilayah pegunungan.
Menariknya, di area pegunungan aktifitas yang ada bukan saja pertambangan batu kumbung, beberapa wilayah juga tetap ditanami beberapa macam tanaman khususnya jagung dan kacang tanah.
Dari segi pertanian tidak ada masalah, cuma dari segi ekonomisnya yang membuat ini menjadi beralih status. Meskipun umumnya wilayah batu kapur tapi nyatanya tetap bisa ditanami dan terbukti subur. Karena gak ketang sak senti limang senti yo onok lemahe (sekalipun hanya satu hingga lima centi tetap ada tanahnya, red). Tapi kan kemudian dibawahnya itu yang mengandung kapur,” terang Kades yang baru menjabat enam bulan saat ditemui ini.
(hay,uul)




INVESTASI EKONOMI MASA DEPAN

Insyaallah untuk sentra batu kumbung memang lebih menguntungkan. Karena disini kita kan harian. Setiap waktu kita bisa bekerja disini. Berbeda dengan di pertanian yang ada tahapan-tahapan. Habis tanam seminggu lagi baru ada pekerjaan, banyak masa kosongnya.  Dan pilihannya adalah lari ke pekerjaan ini,” tutur Syafi’I menjelaskan kenapa sentra batu kumbung menjadi pilihan utama di tengah kosongnya masa pertanian.

Dari segi ekonomi, usaha pembuatan batu kumbung memang menjanjikan income yang tidak sedikit. Ada dua system kerja yang ummnya dilakukan di Desa Pucangan, pekerja harian dan borongan. Bagi pekerja yang baru belajar biasa digaji antara lima puluh hingga enam puluh ribu rupiah. Sedangkan bagi mereka yang telah berpengalaman, pekerja harian mendapat gaji antara delapan puluh hingga seratua ribu rupiah perhari. Jam kerja rata-rata sama, antara jam delapan hingga empat sore.
Sedangkan bagi pekerja borongan umumnya mereka mendapatkan bagian 200 rupiah dari setiap batu kumbung yang dihasilkan. Nilai ini kecil, tapi coba dikalikan dengan jumlah batu kumbung yang bisa dihasilkan setiap harinya. Dengan asumsi minimal 1500 biji per hari permesin yang umumnya dikelola oleh lima orang, sedikitnya setiap orang bisa mengantongi gaji enam puluh ribu perhari. Jumlah ini akan semakin banyak seiring dengan banyaknya batu kumbung yang bisa dihasilkan.
Dibanding menjadi perantauan hasilnya lumayan. Makanya sekarang banyak perantauan yang pulang dan memulai bekerja di sektor batu kumbung ini,” terang Syafi’i dengan nada mengiming-ngimingi.
Pemasaran batu kumbung pun relatif normal sepanjang tahun. Didukung dengan kualitas yang jelas jauh jika dibandingkan dengan batu bata merah. Batu kumbung karena berasal dari batu gunung asli memiliki ketahanan yang kuat. Hal ini pula yang menjadikan batu kumbung lebih banyak digunakan pada proyek-proyek besar.
Masih terkait pemasaran, Syafi’i mengaku saat ini cakupannya tidak hanya lokal Tuban. Tapi telah merambah Bojonegoro, Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Cara pemesanannya pun sangat fleksibel. Pembeli bisa datang langsung ke tempat pemotongan batu kumbung dan mengangkutnya. Atau bisa pula membeli batu kumbung yang telah diangkut empunya ke tepi jalan atau rumah.
Mengenai harga, Syafi’i mengatakan bahwa batu kumbung ukuran 10cm x 25cm umumnya dijual dengan harga 700-750 rupiah per biji. Sedangkan untuk ukuran 28cm x 28cm harganya yang umumnya disebut batu umpak, dijual dengan harga 4500-5500 rupiah per biji.
Bisa diambil atau diantar tergantug kesepakatan. Harga juga bisa bervariasi,  tergantung situasi. Semisal kalau di tempat kita biasa jual ke tetangga 500 rupiah, jika orang luar yang ambil kami bisa kasih harga 550 rupiah perbiji. Paling ndak kan kita juga pengen bati gak ketang 25 repes (paling tidak kita juga menginginkan keuntungan sekalipun 25 rupiah). Sedangkan kalau sudah diluar tempat kisaran 700-750rp,” ujar Syafi’I merincikan.
Usaha batu kumbung memang menguntungkan. Terutama bagi mereka yang telah bisa dikatakan stabil dalam hal pola kerja. Indikasinya, memiliki pekerja tetap, mesin lebih dari dua, armada atau mobil pengangkut, dan relasi dengan distributor. Maka bukan berlebihan jika dikatakan, cukup dengan ongkang-ongkang kaki, uang mengalir dengan sendirinya.
Namun, seperti pada umumnya pertambangan setelah barang habis maka berhenti pula sumur uang tersebut. Bahkan tanpa ragu, Syafi’i mengatakan bahwa usaha ini hanya akan bertahan paling lama 10 tahun. Karena dalam kurun waktu tersebut bisa dipastikan, gunung yang kini masih nampak menjulang itu akan menjadi dataran.
Menanggapi hal ini, sarjana ilmu pemerintahan Unibraw Malang ini justru berkelakar penuh filosofis.
Harapan saya masyarakat desa pucangan sudah kaya semua dan sudah mampu menciptakan pekerjaan yang lain. Menggantikan pekerjaan itu,” jawabnya. Nyaris tanpa ekspresi kekhawatiran. (hay,uul)




DATA DESA

Nama Desa                                                     : Pucangan
Kades                                                              : Muh Syafi’i SiP
BPD                                                                 : Heri Utomo, SE MM
Sekdes                                                                        : Lasmari SH
Kaur Umum dan pemerintahan                   : Sanadji
Kaur Ekonomi dan Keuangan                      : Sunar
Kaur Pemberdayaan dan pembangunan   : Karnadi
Kasi Pertanian dan Pengairan                     : Sudjoko
Kasi Kesejahteraan Masyarakat                  : M. Sunan Nur
Kasi Keamanan dan Ketertiban                   : Sukikah Al Darman
Penduduk                                                       : +- 5100jiwa, Pr 2600, Lk 2500
Luas Desa                                                      : 44.577 Ha
Dusun                                                             : Pomahan,  1 rw 3 rt Mukhohar
                                                                 Singget, 2 rw, 8 rt Prayitno
                                                                 Pucanganom, 2 rw, 8 rt
                                                                 Pucangan, 1 rw, 8 rt Shohib
Batas-batas                                                    :
Utara   : Gesikharjo, Glodog, Palang
Selatan: Ngimbang
Barat   : Cendoro
Timur : Leran Kulon


Muh Syafi’i, SiP, Kades Pucangan Kec Palang Kab Tuban

Pengen Sugih, Yo Adol Watu

Sebagai kades, pengalamannya barangkali belum teruji waktu. Lain halnya sebagai pengusaha batu kumbung. Berbekal empat mesin dan 25 pekerja, Syafi’i bisa dibilang adalah salah satu pengusaha besar batu kumbung di Desa Pucangan.
Saya ingat dulu itu ada guyonan (kelakar, red) orang tua ‘nek pengen sugih yo adolen watu iku’ (kalau ingin kaya, juallah batu itu, red). Dan sekarang pepatah itu sudah dibuktikan, memang sentra batu lebih menguntungkan secara ekonomis,” ujar Syafi’i.
Sebelumnya, pria kelahiran Tuban 12 Juli 1981 ini pun mengalami jatuh bangun merintis usaha batu kumbung tersebut. Mengawali usaha dengan satu mesin berkapasitas 1500 biji perhari, Syafi’i mengaku pernah berkeliling Bojonegoro, Lamongan, dan Gresik untuk mengenalkan batu kumbung. Kini Syafi’i pun bisa menikmati jerih payahnya. Pasalnya, hampir seluruh toko bangunan di tiga wilayah tersebut mengenal dan menjadi rekanan bisnisnya.
 Soal keuntungan, Syafi’i menyatakan pemilik mesin dengan empat mesin sedikitnya bisa mengantongi 400 ribu perhari. Jumlah itu merupakan keuntungan bersih setelah dikurangi berbagai biaya operasional, ongkos pekerja, hingga biaya penyusutan barang.
Dijelaskan Syafi’i, di lahan miliknya ia menjalankan system borongan bagi para pekerjanya dengan upah 200 rupiah per biji. Dengan harga jual paling murah 500 rupiah perbiji, dikurangi 200 rupiah upah pekerja, 100 rupiah pemilik lahan, 100 rupiah pemilik mesin, dan 100 rupiah biaya operasional dan penyusutan barang. Dengan asumsi setiap mesin menghasilkan 1500 biji, empat mesin menjadi 6000 biji per hari. Maka baik pemilik mesin maupun pemilik lahan bisa meraup untung kisaran 600 ribu rupiah perhari.

Keuntungan lain dari pemilik lahan adalah bahwa nilai tersebut bisa didapatnya hanya dengan menginvestasikan sekitar tiga puluh juta rupiah untuk harga satu mesin serkel. Bisa dibayangkan, bagi pengusaha dengan empat mesin speeti Syafi’I maka total investasi untuk mesin sekitar 120 juta rupiah. Jumlah ini akan tertebus hanya dalam waktu sedikitnya 7 bulan kerja dengan perhitungan keuntungan per hari 600 ribu rupiah. Sedang mesinnya sama sekali tidak berkurang.
            Bagaimana jika lahan batu kumbungnya sudah habis?
Masih dengan gaya santai tanpa beban, Pria kelahiran Tuban, 12 juli 1981 ini merencanakan untuk menginvestasikan keuntungannya dengan membuka toko bahan bangunan. Jika kelak lahan miliknya sudah tidak lagi menghasilkan.
Siapa tahu nanti bisa beralih ke property. Atau bisa buka lahan baru di Rengel, Paciran dan lain-lain. Yang penting semangat kerjanya tetap tinggi,” ujarnya mantap memungkasi pembicaraan yang tak terasa telah melewati waktu maghrib. (hay,uul)

BIODATA
Nama              : Muh Syafi’i, SiP
TTL                 : Tuban, 12 juli 1981
Jabatan           : Kades Pucangan Kec Palang Kab Tuban
Istri                 : Sumining
Anak               : Amelia Maharani (7 tahun)
                          Haidar Daffa Dean (2 tahun)