Jumat, 31 Juli 2015

Mahligai Kasih

Anak-anakku,
Kau bangun mahligai cinta
Di taman kehidupanmu yang teduh hari ini
Kembang kasih tengah mekar di hatimu
Bersemi,
Merajut hari-hari, yang telah lama kau titi
Kau tengadahkan jiwa,
Dalam lantunan tembang kesyukuran abadi
Tetapi,
Kutitip pesan untukmu, anak-anakku
Taman bathin yang kau sirami
Dengan cahaya harapan dan keindahan
Takkan selalu cerah,
Meski tak kering berkah
Jika kau tatap zaman di kejauhan
Engkau tengah berlayar
Di arung Samudera raya
Di antara karang, topan dan bulan purnama
Perjalananmu panjang, anakku
Dan tak miskin rintangan
Serta godaan
Namun, layar telah kau kembangkan
Jangan surut dan tertinggal di buritan
Satukan jiwamu,
Jemput masa depanmu,
Di tanah kemenangan
Abadi dalam keberkahan Tuhan
Cikeas, 4 Februari 2004
Diambil dari buku kumpulan puisi "Taman Kehidupan" karya Susilo Bambang Yudhoyono.

Kamis, 30 Juli 2015

The Potters: Bintangku

Oh bintangku terlalu pagi kau meninggalkan ku
Teringat pesanmu, pesan terakhirmu yang kau titip pada ku
Oh bintangku ku teringat sentuhan jemari mu
Kau lalu berkata tibalah saatnya waktu yang tepat berpisah
Selamat tinggal engkau bintangku

Oh bintangku kering sudah tetesan ar mata
Berakhirlah semua cerita cinta kita karena kau memilih dia
Oh bintangku dengarlah engkau di dalam tidurmu
Dan biarkan aku sendiri tanpa mu karena
kau bukan untuk ku
Selamat tidur engkau bintangku

Selamat tidur engkau bintang yang ku sayang
Dan bantu aku melupakan mu
Dan selamat jalan damailah kau bersamanya
Dan gapai semua mimpi yang indah

Oh bintangku kering sudah tetesan air mata
Berakhirlah semua cerita cinta kita karena kau memilih dia
Selamat tidur engkau bintangku




*The Last Candu

Karna: Menuju Pembebasan (1)


Pertarungan kita berdua telah pasti kejadiannya adikku, Arjuna. Sumpahmu, kewajibanku, keduanya menghendaki satu dari kita berdua mencapai pembebasannya.  Hidupku tak pernah lebih baik daripada kematian itu sendiri, jadi jika kali ini aku yang harus menghadapi pembebasanku, lakukan itu atas dasar kebenaran, Adikku.

Karna              : Raja Madra, bawa kereta keluar . Ambil roda kereta keluar dari tanah.
Raja Madra    : Itu bukan tugasku. Aku ini dihukum untuk menjadi kusirmu, maka aku mengendarai keretamu. Bagaimanapun aku bukan pelayanmu. Aku adalah Raja Madra, berlutut di tanah untuk mengangkat roda kereta adalah penghinaan bagiku.
Karna              : Tugas dari seorang laki-laki tidak membuat dia besar atau kecil, Raja Madra. Perilakunyalah yang membuat dia besar atau kecil. Aku tidak membutuhkan bantuanmu. Aku adalah putra dari seorang Shudra. Aku adalah putra dari seorang kusir. Aku sudah terbiasa dengan kereta sejak aku masih kecil. Roda kereta telah menjadi mainanku. Dan aku masih ingat hari-hari masa kecilku.
….
Khrisna           : Maharathi Karna. Beberapa saat yang lalu kau menentang Arjuna untuk berduel. Dengan berdiri di tanah, Sekarang Arjuna terimalah tantangan itu!
Arjuna            : Madhava, dia tidak memiliki senjata apapun. Dan aku tidak bisa menyerang seseorang yang tidak bersenjata.
Khrisna           : Inilah waktunya menyelesaikan perang, Temanku. Selama Karna memiliki busur di tangannya, mengalahkannya itu sangat sulit. Dia tidak boleh memberikan kemenangannya pada temannya, Duryodhana. Bagaimanapun dia harus kala. Untuk alasan itulah kenapa inilah waktu untuk membunuhnya.
Karna              : Jangan meninggalkan kebenaran, Vasudev. Biarkan aku mengeluarkan roda kereta ini. Setelah itu aku akan berperang dengan Arjuna.
Khrisna           : Bahkan dengan menggunakan kata-katamu sebagai senjata kamu dapat menyebut seorang perempuan sebagai pelacur dan meninggalkan kebenaran, Raja Angga Karna?!
                        Sebentar lagi matahari tenggelam. Setelah mengambil sumpah, tidak pantas bagi seorang kesatyria menjadi ragu, Temanku. Temabakkan panahmu!
Karna              : Arjuna, aku selalu membiarkan kebenaran hidup. Aku selalu meminta pertarungan yang adil denganm,u. biarkan aku mengeluarkan roda kereta ini. Biarkan aku menjadi maharhati sekali lagi. biarkan aku memegang panahku.
Khrisna           : Jangan menunda temanku. Angkat busurmu!
Karna              : Jangan melakukan kebenaran, Arjuna. Jika kau membiarkan ketidakbenaran maka aku akan melakukannya juga. Aku akan memanggil brahmastra. Dengan ledakannya, seluruh pasukan kuru, setiap pria, wanita bahkan binatang akan menjadi abu.
Khrisna           : Tembakkan panahmu!
Karna              : Aku memanggilmu senjata Brahmatra.
….
Khrisna           : Raja Angga Karna melupakan pengetahuannya. Hanya di saat krisis dia akan melupakan pengetahuannya, Temanku. Jika krisis dihindari maka dia akan memanggil pengetahuannya kembali. Inilah waktu yang tepat. Bunuh Raja Angga Karna!
Karna              : Hentikan Arjuna! Jika kamu kesatria. Jika kamu seorang maharathi, Berhentilah! Kamu tidak menyerang seorang prajurit yang tidak bersenjata.
Khrisna           : Ingatlah saat terakhir Abhimanyu, Raja Angga Karna! Ketika Abhimanyu mati, dia tidak bersenjata hingga tetesan darah di dadanya, dan kamu membunuhnya, Raja Angga Karna.
Karna              : Aku membunuh Abhimanyu untuk menghilangkan penderitaannya.
Arjuna            : Dan siapa yang membuatnya menderita, Raja Angga? Temanmu, sekutumu menyikas seorang anak selama enam jam. Kamu tetap diam, Raja Angga. Bukankan kamu juga melupakan kebenaran?
                        Tapi bagaimanapun aku memberikanmu kesempatan. 30 menit sebelum matahari tenggelam, Raja Angga. Jika kau tidak memanggil pengetahuanmu dalam 15 menit, maka dalam 15 menit berikutnya aku akan membunuhmu dengan Anjali-Astra.
….
Karna              : Kenapa ini terjadi padaku, Bagwan Parashurama? Pengetahuanku, kemampuanku, kenapa mereka menjauh dariku? Kenapa ini terjadi padaku, Bagwan Parashurama?
Khrisna           : Raja Angga Karna!
                        Cobalah ingat kata-kata Bagwan Parashuram!
(Pergilah, Karna! Suatu saat, ketika itu menjadi pembuktian terbesar dalam hidupmu, pengetahuanmu akan meninggalkanmu, akan menghilang, dan tidak akan berguna untukmu)

Kabar tentang kutukan hidupku, tak pernah sedikitpun membuatku takut. Bagaimana bisa seseorang merasa takut, sementara seumur hidupnya ia tak pernah berada di tempat yang aman?

Jumat, 24 Juli 2015

Tentang Kita dan Ketakutanku

 Ahad, 19 Juli 2015 (3 Syawal 1436)
Teruntuk kau yang kelak akan menjadi imam bagiku dan anak-anak kita.

Aku menulis ini tepat ketika sakit akibat tamu bulanan yang menyiksa. Beberapa menakutiku dengan kemungkinan tidak suburnya rahimku. Tapi kau tahu, aku akan selalu mengabaikan justifikasi itu. Karena tak ada yang berhak mendahului Kuasa Tuhan. Juga tak ada yang dapat menyakiti kita kecuali kita memberinya kesempatan untuk menyakiti kita.

Aku masih sepenuhnya yakin dengan mimpi sederhana tentang keluarga kecil yang akan kita bangun. Aku, kau, dan anak-anak yang akan lahir dari rahimku. Anak-anak yang akan meramaikan kehidupan kita. Kau akan mendebatku tentang laki-laki atau perempuan sebagai anak pertama? Bagaimana jika kita berdoa agar memiliki anak kembar, jadi kita tidak perlu berdebat siapa yang akan menang atau kalah.

Aku sadar apa yang akan kau dengar dariku mungkin terkesan terburu-buru, ditengah proposal hidup yang masih kita susun untuk diajukan pada sang Pemberi Hidup. Ketahuilah, ini kulakukan karena aku tidak tahu harus membagi ini pada siapa. Entah apa yang akan terjadi didepan kita tapi telah kutasbihkan namamu sebagai satu-satunya yang akan menerima bakti akan kesetiaan dan cinta yang Tuhan anugerahkan untukku.

Kau tahu hidupku selalu dipenuhi dengan ‘ketidakbenaran’ sesuatu yang kau larang untuk kusebut sebagai kutukan. Kumohon biasakan dirimu dengan hal itu. Satu-persatu akan kita buktikan itu tidak berlaku bagi kita. Aku selalu meyakinkan diriku untuk tidak lagi  merasa takut karena kau ada untukku. Tapi bagaimana jika ketakutanku itu ada kaitannya denganmu?

Aku telah melihat begitu banyak pernikahan berubah menjadi upacara kematian tanpa pemakaman. Bagaimana tidak, ketika selalu kami perempuan yang akan menerima tulah ketika kehidupan pernikahan berjalan tak sebagaimana mestinya. Atau tak seperti yang pria inginkan. kenapa selalu kami yang harus berkorban meninggalkan satu untuk yang lain?

Baiklah kita lupakan hal itu. Kepalaku seketika pening membicarakannya. Tapi kumohon dengarkan apa yang ingin kuminta untuk kita. Ya, Kita. Karena setelah menikah bukan lagi tentang aku atau kau, tapi kita.

Ketahuilah, setelah menikah kau tak hanya mengikatkan diri denganku, tapi juga keluargaku. Berlaku juga sebaliknya. Apa yang kita lalui dan rasakan akan berimbas pada keluarga kita. Jadi kumohon pertimbangkan itu untuk apapun yang ingin kau lakukan. Aku sadar, kita tidak hidup di negeri dongeng dimana semuanya berlaku secara magis. Disini kita hanya menuai apa yang kita tanam. Akan ada banyak onak dan duri dalam perjalanan kita, untuk menguji sebarapa kuat kita akan menjalankan kehidupan ini bersama.

Jika kelak terjadi perselisihan diantara kita, seberapapun marahnya kau padaku kumohon jangan biarkan keluarga kita melihat kebencian dimatamu. Marahlah padaku, tapi jangan pernah mengangkat tanganmu padaku. Jika kesalahanku masih bisa kuperbaiki, bisakah kau tidak menaikkan oktaf suaramu padaku. Bisakah kau memelukku dan mengatakan kau tidak suka dengan yang kulakukan atau kuucapkan, setelah itu mintalah aku berubah. Aku bersumpah, selama kau memintanya dengan cinta dimatamu bahkan hidupku pun akan kupersembahkan di kakimu.


Atau jika itu tidak bisa kau lakukan, bisakah kau tetap ada dalam jarak pandangku. Tetaplah tidur disampingku bahkan sekalipun dengan cara memunggungiku. Jangan pernah meminta pergi atau menjauh dariku. Karena aku tidak akan bisa mengerti apapun tanpa kau ada disampingku. Biarkan aku belajar dari kesalahanku tapi jangan meninggalkanku.

Kau mungkin akan begitu sibuk dengan dunia atau karirmu. Aku tidak akan protes akan hal itu. Karena kutahu dibalik semuanya terselip sumpahmu untuk membahagiakanku. Tapi bisakah kau tidak bosan dan marah saat aku terlampau sering bertanya? Sungguh itu bukan kecemburuan, hanya kekhawatiran dan kerinduan yang mungkin akan sulit kubahasakan. Jika tidak mungkin bagimu bahkan untuk memelukku di malam hari karena kesibukanmu, sisakan sedetik saja dari waktumu untuk tersenyum padaku. Dengan begitu aku akan tahu bahwa kau baik-baik saja.

Lalu anak-anak kita. Kita mungkin akan berselisih tentang bagaimana seharusnya kita mendidik mereka. Aku mungkin juga akan melakukan kesalahan, karena aku tidak bisa menjamin akulah sosok ibu terbaik, tapi percayalah bahwa aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kalian. Jika kelak aku terpaksa harus memarahi anak-anak kita karena kesalahannya, bisakah kita tidak memperdebatkan itu didepan anak kita. Bicaralah padaku saat kita hanya berdua. Karena kuharap anak-anak kita akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan penuh tanggung jawab. Bukannya cengeng dan manja karena merasa selalu memiliki seseorang yang akan menyelamatkannya ketika melakukan kesalahan.

Dan jika aku tidak ingin kau mengangkat tangan padaku, itu berlaku juga untuk anak-anak kita. Kita akan mendidik mereka dengan kasih sayang dan ketegasan, tapi bukan dengan teriakan dan pukulan. Itu tidak akan mendidik mereka, kau tahu.

Dan jika kau tidak keberatan, bisakah aku mengkafling senyummu setiap kali aku membuka dan menutup mata? Hanya untukku.