Minggu, 14 Agustus 2016

Tentang Aku, Kau, dan Hujan (2)

Hujan ini Jatuh di hari yang sama ketika segenggam garam dilempar dengan sengaja ke hatiku
Hatiku yang menganga meski tak berdarah
Seperti air hujan yang jatuh dari kelopak bunga yang hampir bersemi namun harus patah karena derasnya tingkah hujan
Hidup ini bukankah sementara, tapi kenapa seolah aku harus berjuang selamanya
Seolah aku harus menjaga hati agar tetap bersisa meski takkan pernah utuh lagi
Ketika sisa cinta ini harus kupertahankan, aku hanya berharap bahwa tubuh ini masih cukup mampu menemani langkahku yang tak mudah
Untuk sejengkal harapan itulah tubuh ini kubawa berlari
Menjemput cahaya yang tak hanya menjadi segaris bagian dari namaku, doa hidupku, juga taqdir baik dari perjalanan yang kutempuh
mimpi akan cinta yang sempurna dan menyempurnakan, indah dan mengindahkan, hidup dan menghidupkan, besar dan membesarkan.

Alfinurya, 9 Juli 2016

Tentang Aku, Kau, dan Hujan

Hujan tak memilih di tanah mana dia harus jatuh
Tapi tanah bisa memilih untuk menjadi tempat tumbuh bunga-bung kecil penyemarak musim semi, atau berakhir dalam gersang tak berpesona
Bunga terakhir yang berkembang adalah pejuang terakhir yang berjaya
apakah aku akan menjadi tanah tempat bertumbuh, ataukah bunga terakhir yang berkembang hanya tentang pilihan
Karena sekalipun menjadi hujan yang tak memilih tanah, aku akan tetap menjadi hujan yang menumbuhkan.
Atau membersihkan
Dan itulah pilihanku.

Alfinurya, 9 Juli 2016




Pejuang Terakhir

Ketidakberuntungan ini adalah jalan yang kupilih.
Tapi di akhir, kupastikan aku adalah pejuang terakhir yang berjaya.
Petarung pertama yang mendapatkan tempatnya diantara para kesatria.
Pujangga pertama yang bersua dengan syairnya yang penuh irama suci.

Alfinurya, 9 Juli 2016