Senin, 03 September 2018

TENTANG SESEORANG YANG KUSEBUT 'AKU'



Aku menceritakan hal ini bukan untuk kau kasihani. Atau agar kau iba padaku. Bukan. Aku hidup meski tanpa keduanya.

Semua orang yang kukenal dalam 11 tahun terakhir akan melihatku sebagai seorang gadis yang telat menikah di penghujung usia kepala 2. Tidak. Itu tidak benar. Aku tidak telat menikah. Aku hanya telat jatuh cinta.

Usiaku 17 tahun, ketika lamaran datang padaku. Seperti umumnya, gadis di negeriku. Lamaran untuk anak gadis adalah hak ayahnya. Sedangkan ayahku, menjunjung tinggi perintah mertuanya bagai titah ibu kandungnya sendiri. Tak ada alasan untuk menolak. Itu adalah pertalian yang telah diikatkan sejak kelahiranku.

Lalu, genap 18 tahun usiaku. Ketika seragam putih abu2 baru saja kutanggalkan, pernikahanku digelar dengan sederhana. Aku putri sulung dari tiga bersaudara waktu itu. Tapi itu tak memberiku keistimewaan untuk mendapat pesta pernikahan yang meriah. Semua digelar layaknya pertemuan keluarga yang sedikit istimewa karena dihadiri sesepuh desa. Yang jelas sebagian besar pun masih berstatus kerabat jauh. Karena seperti itu pun status pria yang kemudian hari menjadi (mantan) suamiku. Kerabat jauh dari garis ibuku.

Detail dari kerumitan penyamaan persepsi kami sebagai pasangan adalah pernikahan yang berada di bawah tangan. "Sejak awal yang kuinginkan adalah H*sn*a (sepupunya).  Karena aku tahu, kita berasal dari dunia yang tidak sama. Jika kau bersedia, ikutlah bersamaku dan tinggalkan duniamu,"

Ketahuilah, pernikahanku hanya seumur jagung. Jika ada yang bilang, dalam 'perceraian' perempuan selalu pihak yang salah, aku terima itu. Seperti halnya aku terima, status jandaku di usia belum genap 20 tahun.

Aku salah, karena merampungkan pendidikan SMA sementara (mantan) suamiku bahkan tak tamat SMP. Aku salah, karena terlahir dari keluarga lebih berada dibandingkan dia. Aku salah, karena status sosial keluarga tempatku dilahirkan dianggap lebih tinggi. Aku salah, karena tinggal di rumah orang tuaku setelah menikah. Aku salah, karena menyetujui (mantan) suamiku bekerja di usaha milik orang tuaku.

Aku salah, karena sampai hari ini aku berpikir: 'Mungkinkah seseorang melupakan orang2 yang menyayanginya selama 20 tahun hidupnya, dan menukarnya dengan seseorang yang baru 12 minggu memiliki hak atas dirinya?'

Aku salah. Karenanya aku pasrah dengan segala stigma yang harus kuterima. Bahkan jika itu disebut karma sekalipun.

Dua bulan kemudian, sebuah lamaran kembali direncanakan. Tapi hal baik itu terhenti di tengah jalan. Aku tidak berminat mencari tahu penyebabnya. Yang kutahu, dia teman baik (mantan) suamiku. Hanya sebuah kalimat yang kuterima sebagai konfirmasi, 'Aku tak mungkin menyakiti temanku, dengan menikahi mantan istrinya sekalipun aku menginginkannya,'

Semua selesai. Selesai sebelum dimulai.

Aku melanjutkan hidupku. Melanjutkan pendidikanku. Meniti karierku yang meski tak terlampau cemerlang. Menjalani rutinitasku. Mengambil beban dari setiap tanggung jawab sebagai sulung. Barangkali ini caraku menukar air mata ibuku. Aku tak dapat membuatnya tersenyum dengan kebahagiaan pernikahanku. Setidaknya aku membuatnya tenang dengan kehidupan karierku yang tak perlu lagi ia khawatirkan.

Dengan permintaan ibuku, aku memang tak mengubah status dalam setiap tanda pengenalku. Menurutnya, apa gunanya itu. Orang tidak akan mau mengerti ataupun sekedar bertanya. Mereka hanya bisa menghujat. Sedang hidupku, tak butuh lagi kerumitan macam itu. Aku pun patuh.

Jika kau pikir, kisah tentang (mantan) suamiku dan sahabatnya adalah yang terakhir. Maaf, aku harus mengecewakanmu. Aku tidak paham kapan tepatnya, tapi kerabat jauh dari jalur ayah ibuku pun pernah menitipkan pesan lamaran. Tapi sekali lagi, pesan itu terhenti di tengah jalan. Kali ini, Nenekku sendiri yang memasang satir. 'Cucuku adalah putri ayahnya. Jika keponakanku saja tidak bisa mengikuti jalannya, apalagi kamu?'

Aku mencoba berpikir nenek hanya ingin menjagaku dari rasa sakit yang sama dan berulang. Meski sejujurnya, aku lebih melihat kemarahan yang dipendamnya. Aku mengecewakan dia dengan kegagalan pernikahanku. Aku membuatnya marah karena melanjutkan hidup. Aku membuatnya kehilangan harapan untuk bisa menyatukan dua nama keluarga melalui pernikahanku.

Aku salah. Salah, karena tidak cukup kuat untuk mengemban setiap harapan yang dinisbatkan pada pernikahanku.

Apa kau mulai mengasihaniku? Jangan! Jangan membuang waktu dan energimu untuk hal remeh seperti itu.

Atau kau merasa bersalah karena stigma yang kau berikan padaku? Itu pun jangan. Tidak perlu. Aku sudah terlatih menerima hal semacam itu, tak lagi terasa seberat yang kau pikirkan. Itu tak lebih seperti candaan ringan tentang betapa inginnya aku menghajarmu saat kau membuatku kesal. Itu tak benar-benar berarti severbal itu.

Ohya, kau ingat, sebelumnya aku bilang, bahwa aku tidak telat menikah: aku hanya telat jatuh cinta. Iya, aku masih bisa jatuh cinta setelah semua yang terjadi. Atau harus kubilang ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta? Meskipun aku tidak yakin.

Kami sama-sama kuliah di kampus kita tercinta. Di semester yang sama, fakultas berbeda. Air dan api, itulah gambaran kami. Selalu berselisih paham tapi saling menguatkan. Dia pria yang ambisius yang kadang kala lepas kontrol menuntut maunya. Tapi cukup bijaksana, dewasa, dan penuh pertimbangan.

Tak ada kata cinta dalam hubungan kami. Tapi layaknya penopang, dia selalu menjadi kekuatanku saat aku hampir jatuh. Begitupun aku baginya.

Dia adalah kekuatan yang kupanggil Candu. Kerinduan yang menjadi terlarang. Cinta yang hilang sebelum teraih.

Iba? Jangan. Sekali lagi jangan. Itu tidak ada gunanya bagiku ataupun bagimu.

Seperti yang kau pikirkan, dia pergi dariku. Hanya selang satu purnama setelah dia memanggilku. 'Kumohon datanglah meski untuk sekali. Bukan untuk mereka. Tapi aku. Karena aku yang membutuhkanmu,'

Bahkan tepat di hari pernikahannya, pria yang kusebut Candu itu masih saja menghipnotis dengan tatapan tajamnya yang terpaku padaku. Hanya beberapa menit yang kurasa seumur hidup. Tatapan yang hanya bisa kubalas senyum. 'Terima kasih sudah datang. Aku beruntung memiliki dua cahaya, dan sekarang keduanya mendampingiku,'

Apa aku sudah bilang, kalau aku dan ibunya memiliki nama yang sama? Mungkin itu sebabnya, aku merasa selalu ada pemujaan dalam suaranya saat memanggilku. Mungkin itu bukan cinta. Ia hanya segan. Menghargaiku. Entahlah.

Kau mungkin akan bilang, aku terlampau terlena, baper, salah tafsir, atau istilah apapun yang mungkin kau sematkan. Sekali lagi aku terima stigma yang ingin kau berikan. Aku tidak akan mengelak. Sejak awal, aku salah. Dan nikmatilah kebahagiaan menyalahkanku.

Dan tunggu, kau bisa menyalahkanku lagi dengan kisahku selanjutnya. Aku jatuh cinta lagi-yang lagi-pada sahabatku. Atau setidaknya begitu kukira. Bagaimana aku mengatakannya? Aku mengenalnya di hari pertama kuliah. Dia pemuda yang kacau. Memiliki kepandaian diatas rata-rata, tapi malasnya juga luar biasa. Selalu membuatku-yang kosma- harus berurusan dengan dosen dan absensi berikut nilai-nilainya yang harus dikatrol dengan remidi.

Tapi diluar itu, dia teman yang baik. Dia teman pertama yang menyapaku. Teman pertama yang mengajakku dalam diskusi-diskusi menyenangkan meski terkadang hanya dimengerti oleh kami berdua (Karya Sastra). Teman pertama yang memberiku rasa hormat tanpa menghakimi untuk setiap hipokritku. Teman pertama yang kata tidaknya nyaris tak pernah jadi ya bagiku.

Dia juga teman pertama yang mengajarkanku menikmati hidup. Menertawakan kesedihan. Juga menata ulang hati. Aku jatuh cinta padanya. Tapi secepat aku jatuh cinta, secepat itu pula aku harus puas hanya dengan menjadi karibnya. Dia memilih sahabatku. Aku bahagia untuknya.

Aku pikir sudah mengubur perasaan itu. Tapi ternyata, kuburannya tidak terlalu dalam. Aku terluka-lagi- saat tahu, hubungannya dengan sahabatku kandas di tengah jalan. Aku ada di persimpangan. Aku tahu mereka masih saling menyayangi walaupun harus terpisah oleh perjodohan.

Apa kau kira aku akan ada didepannya sebagai pengganti? Tidak. Aku memilih berada di belakang keduanya. Ayolah... Keduanya sahabatku. Sama seperti sahabat mantan(suami)ku. Kurasa, aku berpikir sama dengannya. Aku tidak akan menyakiti siapapun dari kedua sahabatku. Sekalipun itu dengan cara yang sama sekali tidak salah. Bahkan sekalipun aku begitu menginginkannya.

Sekarang katakan, kau bahagia menyalahkanku? Berbahagialah. I am happy for you, too!

Aku biarkan ia berlalu, merajut kembali hidupnya tanpa bayang-bayang cintaku. Aku telah bersumpah hanya akan menjadi sahabatnya, dan kutepati itu. Apa kau pikir aku gila? Ketahuilah, aku hidup karena aku tidak cukup waras untuk menangisi kemalanganku. Sekarang ia bahagia, kudoakan itu dengan tulus untuknya. Cintaku murni, tapi persahabatanku jauh lebih agung.

Baiklah. Lupakan dia!

Sekarang, apa kau masih ingin mendengar ceritaku? Kau tidak lelah? Duduklah dengan nyaman, luruskan kakimu, sandarkan punggung dan lehermu, karena kau mungkin akan lelah. Atau memang sudah lelah? Tapi kuharap ceritaku masih cukup menarik untuk kau dengar, karena aku berjanji membuatmu tahu banyak hal hari ini. Meskipun bukan keseluruhan diriku.

Mantan suami, sahabatnya, kerabat jauh, candu, sahabatku. Ceritaku belum berakhir, seperti hidupku yang masih berjalan. Kau tentu pernah dengar, KKN menumbuhkan banyak rasa, mengikat banyak hubungan? Atau kau juga mengalaminya? Tapi kita tidak akan membahas tentangmu. Tenang saja. Hari ini adalah hariku. Tentangku.

Tapi kali ini, aku tidak jatuh cinta. Aku menahan diri untuk jatuh cinta. Alasannya sederhana, waktu itu masih ada Candu. Dia menyabotase seluruh kewarasanku. Sehingga aku mengabaikan keberadaan seseorang yang mencoba mendukungku. Singkat cerita, dia adalah orang yang menyadarkan aku dan kegilaanku akan Candu. Sebelumnya kupikir Candu hanya obsesiku. Dia selalu begitu mengintimidasi dan aku benci terintimidasi. Aku mencoba menyainginya dalam setiap kesempatan, tanpa aku sadari justru pesonanya tak memberiku kesempatan berpaling.

Ustadz, hanya itu identitas yang kuberikan untuknya. Aku mencoba menghormatinya, meski tak bisa menitipkan hatiku padanya. Aku sangat tahu ketulusan yang dia berikan. Tapi aku tak bisa memaksa hatiku menerimanya. Hatiku jarang sekali bersepakat dengan otakku hingga hari ini. 
Dia menunggu cukup lama, dengan berbagai cara. Sampai akhirnya dia menyerah. Aku bahagia sekaligus terluka. Bahagia karena dia memilih kepastian dibanding menungguku. Setidaknya itu mengurangi satu rasa bersalahku, karena tak bisa menerima hadirnya. Tapi terluka, karena ia pergi dengan luka yang kutorehkan. Meski tanpa sengaja.

Apa kali ini kau akan bilang aku mencoba menyombongkan diri? Tidak. Kali ini kumohon, jangan memandangku sehina itu. Aku benar-benar terluka menjadi penyebab luka orang lain. Tapi yang bisa kulakukan hanyalah berdoa, agar hidupnya dipenuhi dengan kebahagiaan. Jikapun itu berarti dengan melupakan atau membenciku, kuterima. Asal dia bahagia.

Aku sangat klise ya? Iya. Begitulah aku. Kawan, setelah semua ini, apa yang kau lihat dariku? Rasa sakit, kebencian, kasihan, atau apa? Ketahuilah, aku tidak ingin kau berubah atau berusaha mengubahmu. Sejak awal tujuanku hanyalah, membuatmu tahu. Bukan sebagai apologi atas ketidakmampuanku. Bukan pula pembenaran atas setiap pilihanku yang mungkin bagimu salah. Bukan. Sama sekali bukan.

Kawan, inilah jawabanku. Jawaban yang tak harus membuatmu puas. Tapi aku puas, bahwa aku tak lagi menyimpan beban rahasia. Terima kasih untuk mengingatkanku, aku memiliki jejak yang nyaris kulupakan atau berusaha kukubur. Dan kini, aku menggalinya untukmu. Syukurku, bahwa itu tak lagi terasa sakit.