Rabu, 14 September 2016

Selfisness Man



Hai pria egois yang sibuk bertualang!
Masihkah kau berlari?
Sampai dimana?
Kapan akan merasa lelah?
Sudah lupa jalan pulang atau kau tidak ingat bahwa aku disini menunggumu berhenti?
Dengarkan aku, meski hanya di sela luangmu. Dan sekalipun tanpa hasratmu untuk membalas apa yang ingin kukatakan. Jalan ini semakin rumit, ada rongga yang begitu besar dan dalam di hati dan pikiranku. Jangan tanya kenapa? Itu serasa pertanyaan 10 sks yang harus kuselesaikan selama lebih dari satu semester. Rasanya aku bisa tertelan ke dalam kawah yang tanpa sengaja mungkin kubuat sendiri. Jika kau belum tahu, menolehlah sejenak, aku telah berada tepat di bibir jurang. Mungkin bukan urusanmu jika kemudian aku jatuh dan terkubur di kawah ini. Tapi kupastikan kau akan mendengar jeritan kesakitanku tepat setelah namamu kuteriakkan sebagai nada luka hatiku.
 Tidak. Jangan berpikir aku menyalahkanmu. Ini hanya rasaku. Rasa yang sungguh pernah kukira mati saat dengan kesadaran kukubur dia ketika kau bersamanya. Namun kini, ketika kita berdua sama-sama tertatih di jalan yang sama. Jalan kesendirian menantang luka yang terus terselip dengan bandelnya. Bisakah aku mencegah hati ini kembali mengingatmu? Kau bodoh jika mengira aku bisa melakukannya. Kukatakan sekali lagi, itu hal yang sulit bagiku. Kupikir otakku perlu diganti jika ingin hal itu terjadi.