Sabtu, 28 September 2013

"Aku mendengar dan merasakan bebanmu, Ayah."

Suatu ketika, ada seorang anak perempuan yang bertanya kepada ayahnya, tatkala tanpa sengaja dia melihat ayahnya sedang mengusap wajahnya yang mulai keriput dengan badan yang terbongkok-bongkok, disertai suara batuk-batuknya.
Anak perempuannya itu bertanya pada ayahnya : "Ayah, mengapa wajah ayah kian berkerut-kerut dan berkedut-kedut. Badan ayah yang kian hari kian membongkok ?" Demikian pertanyaannya.
Ayahnya menjawab : "Sebab ayah lelaki." Itulah jawaban ayahnya. Anaknya itu tergamam : "Saya tidak mengerti." Dengan berkerut mendengar jawaban dari ayahnya.
Ayahnya hanya tersenyum, lalu dibelainya rambut anak perempuannya itu, menepuk-nepuk bahunya, kemudian ayahnya berkata : "Anakku, kamu memang belum mengerti tentang lelaki." Demikian bisik ayahnya, yang membuat anak gadisnya bertambah kebingungan.
Karena perasaan ingin tahu , kemudian anaknya itu menghampiri Ibunya lalu bertanya kepada Ibunya : "Ibu, mengapa wajah ayah semakin hari semakin berkerut dan berkedut? Dan badannya kian hari kian membongkok? Ayah tidak mengeluh pun dengan keadaannya yang membongkok itu.
Ibunya menjawab : "Anakku, jika seorang lelaki yang benar-benar bertanggung-jawab terhadap keluarga memang akan jadi begitu ." Hanya itu jawaban si ibu.
Anak perempuannya itu pun beranjak dewasa, tetapi dia tetap saja tak mengerti, mengapa wajah ayahnya yang tadinya tampan menjadi berkerut-kerut dan badannya menjadi bongkok ?
Hingga pada suatu malam, dia bermimpi. Di dalam mimpi itu seolah-olah dia mendengar suara yang sangat lembut, namun jelas sekali. Dan kata-kata yang terdengar dengan jelas itu ternyata suatu kalimat sebagai jawaban atas pertanyaannya selama ini.
"Saat Kuciptakan lelaki, aku menjadikannya sebagai pemimpin keluarga serta sebagai tulang belakang dari bangunan keluarga, dia senantiasa akan berusaha untuk menahan setiap hujungnya, agar keluarganya merasa aman, teduh dan dilindungi."
"Kuciptakan bahunya yang kekar dan berotot untuk membanting tulang menghidupi seluruh keluarganya dan kegagahannya harus cukup kuat pula untuk melindungi seluruh keluarganya."
"Kuberikan kodrat kepadanya agar selalu berusaha mencari sesuap nasi yang berasal dari titis keringatnya sendiri yang halal dan bersih, agar keluarganya tidak kelaparan, walaupun seringkali dia mendapat cercaan dari anak-anaknya."
"Kuberikan keperkasaan dan mental yang teguh yang akan membuat dirinya pantang menyerah, demi keluarganya dia merelakan kulitnya tersengat panasnya matahari, demi keluarganya dia merelakan badannya basah kuyup kedinginan karena tersiram hujan dan dihembus angin, dia relakan tenaga perkasanya demi keluarganya, dan yang selalu dia ingat, adalah disaat semua orang menanti kedatangannya dengan mengharapkan hasil dari jerih payahnya."
"Kuberikan kesabaran dan ketekunan yang akan membuat dirinya sentiasa berusaha membimbing keluarganya tanpa adanya keluh kesah, walaupun disetiap perjalanan hidupnya keletihan dan kesakitan kerapkali menyerangnya."
"Kuberikan perasaan keras dan gigih untuk berusaha berjuang demi mencintai dan mengasihi keluarganya, didalam keadaan dan situasi apapun juga, walaupun anak-anaknya selalu melukai perasaannya, melukai hatinya. Padahal perasaannya itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat dimana anak-anaknya tertidur lelap. Serta sentuhan perasaannya itulah yang memberikan kekuatan apabila dia sedang menepuk-nepuk bahu anak-anaknya agar selalu saling menyayangi dan saling mengasihi sesama saudara.
"Kuberikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengertian dan kesadaran terhadap anak-anaknya tentang perlunya menuntut ilmu untuk bekalan masa hadapan, walaupun seringkali ditentang oleh anak-anaknya."
"Kuberikan kebijaksanaan dan kemampuan padanya untuk memberikan pengetahuan dan menyadarkan, bahawa Isteri yang baik adalah Isteri yang setia terhadap suaminya, Isteri yang baik adalah Isteri yang senantiasa menemani, dan bersama-sama menghadapi perjalanan hidup baik suka maupun duka, walaupun seringkali kebijaksanaannya itu akan menguji setiap kesetiaan yang diberikan kepada Isteri, agar tetap berdiri, bertahan, sejajar dan saling melengkapi serta saling menyayangi."
"Kuberikan kerutan diwajahnya agar menjadi bukti, bahawa Laki-laki itu senantiasa berusaha sekuat daya pikirnya untuk mencari dan menemukan cara agar keluarganya bisa hidup didalam keluarga sakinah dan badannya yang terbongouk-bongkok agar dapat membuktikan, bahwa sebagai Laki-laki yang bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya, senantiasa berusaha mencurahkan sekuat tenaga serta segenap perasaannya, kekuatannya, demi kelangsungan hidup keluarganya."
"Kuberikan kepada lelaki tanggungjawab penuh sebagai pemimpin keluarga, sebagai tiang belakang, agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Dan hanya inilah kelebihan yang dimiliki oleh lelaki, walaupun sebenarnya tanggungjawab ini adalah amanah di dunia dan akhirat."
Terbangun anak perempuannya itu, dan segera dia berlari, bersuci, berwudhu dan melakukan solat malam hingga menjelang subuh. Setelah itu dia hampiri bilik ayahnya yang sedang berzikir, ketika ayahnya berdiri anaknya itu mencium tangan ayahnya.
"Aku mendengar dan merasakan bebanmu, Ayah."

CINTA SUAMI

Usianya sudah tidak terbilang muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi dia masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.
Dari isinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang keempat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ketiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnya pun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari sebelum berangkat kerja Sang suami sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum.
Untunglah tempat berkantor Sang suami tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Sang suami sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan Sang suami lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.
Pada suatu hai, saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya –karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing– Sang suami memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu ‘agar semua anaknya dapat berhasil’.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata: “Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu.”Sambil air mata si sulung berlinang. “Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak, dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Si Sulung melanjutkan permohonannya.
”Anak-anakku…Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat*… kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dengan apapun.
Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah batin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit.” Sang suami menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya
Sejenak meledaklah tangis anak-anak lekaki tua tersebut, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata sang istri, dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.

 “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan batinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu. Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama, dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit…”

HATI SANG AYAH

Coba sejenak kau lihat raut keletihan di wajah ayahmu. lihatlah helai rambut yang memutih di kepalanya dan kau akan melihat betapa ayahmu telah bekerja membanting tulang dan menguras keringat demi membesarkan, merawat, menyayangi dan menjagamu. dan dibalik ketidaknyamananmu, ada sebuah cinta yang selalu menjadi pelindungmu. 
Coba kau katakan sekali saja, ”Aku sayang sama ayah” , maka kau akan melihat guratan senyum kebahagiaan dari raut bibirnya yang mungkin tidak pernah kau lihat sebelumnya. Biasanya, bagi seorang anak perempuan yang sudah dewasa, yang sedang bekerja diperantauan, yang ikut suaminya merantau di luar kota atau luar negeri, yang sedang bersekolah atau kuliah jauh dari kedua orang tuanya, akan sering merasa kangen sekali dengan ibunya. lalu bagaimana dengan ayah? 
Mungkin karena ibu lebih sering menelepon untuk menanyakan keadaanmu setiap hari, tapi tahukah kamu, jika ternyata ayah-lah yang mengingatkan ibu untuk menelponmu?
Mungkin dulu sewaktu kamu kecil, ibu-lah yang lebih sering mengajakmu bercerita atau berdongeng, tapi tahukah kamu, bahwa sepulang ayah bekerja dan dengan wajah lelah ayah selalu menanyakan pada ibu tentang kabarmu dan apa yang kau lakukan seharian?
Pada saat dirimu masih seorang anak perempuan kecil. ayah biasanya mengajari putri kecilnya naik sepeda. dan setelah ayah mengganggapmu bisa, ayah akan melepaskan roda bantu di sepedamu… kemudian ibu bilang : “ jangan dulu ayah, jangan dilepas dulu roda bantunya ” , ibu takut putri manisnya terjatuh lalu terluka. tapi sadarkah kamu? bahwa ayah dengan yakin akan membiarkanmu, menatapmu, dan menjagamu mengayuh sepeda dengan seksama karena dia tahu putri kecilnya pasti bisa.
Pada saat kamu menangis merengek meminta boneka atau mainan yang baru, ibu menatapmu iba. tetapi ayah akan mengatakan dengan tegas : “boleh, kita beli nanti, tapi tidak sekarang” tahukah kamu, ayah melakukan itu karena ayah tidak ingin kamu menjadi anak yang manja dengan semua tuntutan yang selalu dapat dipenuhi?
Saat kamu sakit pilek, ayah yang terlalu khawatir sampai kadang sedikit membentak dengan berkata : “sudah di bilang! kamu jangan minum air dingin!”. berbeda dengan ibu yang memperhatikan dan menasihatimu dengan lembut. ketahuilah, saat itu ayah benar-benar mengkhawatirkan keadaanmu.
Ketika kamu sudah beranjak remaja. kamu mulai menuntut pada ayah untuk dapat izin keluar malam, dan ayah bersikap tegas dan mengatakan: “ tidak boleh !”. tahukah kamu, bahwa ayah melakukan itu untuk menjagamu ? karena bagi ayah, kamu adalah sesuatu yang sangat – sangat luar biasa berharga. setelah itu kamu marah pada ayah, dan masuk ke kamar sambil membanting pintu. dan yang datang mengetok pintu dan membujukmu agar tidak marah adalah ibu.
Tahukah kamu, bahwa saat itu ayah memejamkan matanya dan menahan gejolak dalam batinnya, bahwa ayah sangat ingin mengikuti keinginanmu, tapi lagi-lagi dia harus menjagamu?
Ketika seorang cowok mulai sering menelponmu, atau bahkan datang ke rumah untuk menemuimu, ayah akan memasang wajah paling cool sedunia. ayah sesekali menguping atau mengintip saat kamu sedang ngobrol berdua di ruang tamu. sadarkah kamu, kalau hati ayah merasa cemburu?
Saat kamu mulai lebih dipercaya, dan ayah melonggarkan sedikit peraturan untuk keluar rumah untukmu, kamu akan memaksa untuk melanggar jam malamnya. maka yang dilakukan ayah adalah duduk di ruang tamu, dan menunggumu pulang dengan hati yang sangat khawatir. dan setelah perasaan khawatir itu berlarut-larut. ketika melihat putri kecilnya pulang larut malam hati ayah akan mengeras dan ayah memarahimu. sadarkah kamu, bahwa ini karena hal yang di sangat ditakuti ayah akan segera datang? “bahwa putri kecilnya akan segera pergi meninggalkan ayah.”
Setelah lulus sma, ayah akan sedikit memaksamu untuk menjadi seorang dokter atau insinyur. ketahuilah, bahwa seluruh paksaan yang dilakukan ayah itu semata-mata hanya karena memikirkan masa depanmu nanti. tapi toh ayah tetap tersenyum dan mendukungmu saat pilihanmu tidak sesuai dengan keinginan ayah.
Ketika kamu menjadi gadis dewasa. dan kamu harus pergi kuliah dikota lain. ayah harus melepasmu di bandara. tahukah kamu bahwa badan ayah terasa kaku untuk memelukmu ? ayah hanya tersenyum sambil memberi nasehat ini-itu, dan menyuruhmu untuk berhati-hati. padahal ayah ingin sekali menangis seperti ibu dan memelukmu erat-erat.
Yang ayah lakukan hanya menghapus sedikit air mata di sudut matanya, dan menepuk pundakmu berkata “Jaga dirimu baik-baik ya sayang”. ayah melakukan itu semua agar kamu kuat…. kuat untuk pergi dan menjadi dewasa.
Disaat kamu butuh uang untuk membiayai uang semester dan kehidupanmu, orang pertama yang mengerutkan kening adalah ayah. ayah pasti berusaha keras mencari jalan agar anaknya bisa merasa sama dengan teman-temannya yang lain. ketika permintaanmu bukan lagi sekedar meminta boneka baru, dan ayah tahu ia tidak bisa memberikan yang kamu inginkan. kata-kata yang keluar dari mulut ayah adalah : “Tidak…. Tidak bis !” padahal dalam batin ayah, ia sangat ingin mengatakan “Iya sayang, nanti ayah belikan untukmu”. Tahukah kamu bahwa pada saat itu ayah merasa gagal membuat anaknya tersenyum?
Saatnya kamu diwisuda sebagai seorang sarjana. ayah adalah orang pertama yang berdiri dan memberi tepuk tangan untukmu. ayah akan tersenyum dengan bangga dan puas melihat putri kecilnya yang tidak manja berhasil tumbuh dewasa, dan telah menjadi seseorang.
Sampai saat seorang teman lelakimu datang ke rumah dan meminta izin pada ayah untuk mengambilmu darinya. ayah akan sangat berhati-hati memberikan izin.. karena ayah tahu. bahwa lelaki itulah yang akan menggantikan posisinya nanti.
Dan akhirnya…. saat ayah melihatmu duduk di panggung pelaminan bersama seseorang lelaki yang di anggapnya pantas menggantikannya, ayah pun tersenyum bahagia. apakah kamu mengetahui, di hari yang bahagia itu ayah pergi kebelakang panggung sebentar, dan menangis ? ayah menangis karena ayah sangat berbahagia, kemudian ayah berdoa.
Dalam lirih doanya kepada tuhan, ayah berkata : “ Ya Tuhan tugasku telah selesai dengan baik…. putri kecilku yang lucu dan kucintai telah menjadi wanita yang cantik…. bahagiakanlah ia bersama suaminya…”
Setelah itu ayah hanya bisa menunggu kedatanganmu bersama cucu-cucunya yang sesekali datang untuk menjenguk. dengan rambut yang telah dan semakin memutih. dan badan serta lengan yang tak lagi kuat untuk menjagamu dari bahaya. ayah telah menyelesaikan tugasnya. “Ayah, ayah, bapak kita… adalah sosok yang harus selalu terlihat kuat. bahkan ketika dia tidak kuat untuk tidak menangis… dia harus terlihat tegas bahkan saat dia ingin memanjakanmu. . dan dia adalah yang orang pertama yang selalu yakin bahwa ‘kamu bisa’ dalam segala hal.. semoga semua ayah di dunia selalu berbahagia.

Jumat, 27 September 2013

MEMULAI DARI HAL KECIL

Setiap orang pasti memiliki mimpi atas hidupnya. Ada yang ingin menjadi presiden, pelaut, guru, dan masih banyak lagi. Yang jelas semua orang ingin mencapai kesuksesan dengan segala macam usaha yang dilakukan. Ada pepatah kuno yang mengatakan apa yang kita nikmati saat ini adalah buah dari usha kita dimasa yang lalu. So, jangan berharap mendulang kesuksesan jika enggan bekerja keras untuk mimpi kita.
Namun kerapkali kita atau sebagian besar orang menganggap jika ingin menjadi orang besar maka lakukanlah hal yang besar. Seperti itukah?
Janganlah memperumit hidup dengan segala standard dan mimpi yang jauh dari kemampuan. Karena bisa jadi hal kecil yang kita lakukan justru memiliki arti besar yang tidak kita sangkakan. Bukankah besar kecilnya sesuatu tergantung pada pembandingnya?
Sebuah cerita menarik tentang seorang anak pantai yang tengah terlihat sibuk memindahkan bintang laut yang terbawa air pasang. Bintang laut tersebut terdampar dengan jumlah ratusan di pantai, dan tak bisa kembali ke laut sampai air pasang berikutnya.
Sebentar-sebentar, anak tersebut berlari membawa seekor bintang laut. Dengan tangannya yang mungil, ia berhati-hati membawa bintang laut menuju ke air, kemudian memasukkannya ke sana. Usaha ini tentunya tidak mudah. Di saat air sedang surut, pantai menjadi hamparan pasir yang jaraknya bisa sangat luas dan jauh dari air.
Seorang kakek yang tadinya duduk diam dekat atas bukit penasaran. Apa sih yang dilakukan anak pantai tersebut? Akhirnya, ia turun dari bukit dan mendatangi anak tersebut.
"Hei, kamu. Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya kakek
"Aku sedang memindahkan bintang laut ini ke air, kek. Kasihan mereka terdampar," kata anak kecil tersebut polos.
Si kakek menggelengkan kepala. Kemudian terkekeh melihat usaha si anak tersebut. "Ah, kau. Sampai kapan kau akan memindahkan bintang laut tersebut. Jumlahnya sangat banyak, tak mungkin kau bisa menyelamatkan semuanya."
Si anak itu kemudian menjawab, "Kakek, mungkin aku tidak bisa menyelamatkan semua bintang laut itu. Tetapi dia, yang ada di tanganku, sedang berusaha kuselamatkan. Dan dia pasti selamat," katanya tetap bersemangat. Ia kemudian meneruskan usahanya. Sementara si kakek yang tadinya meremehkan usaha si anak kecil itu, akhirnya ikut membantu.

The power of future is a influence, not authorithy -noname

Kerapkali  orang berpikir, haruslah melakukan pekerjaan yang besar untuk mengubah dunia, untuk menciptakan sesuatu bagi dunia. Jika ternyata pekerjaan tersebut terlalu besar, akhirnya kebanyakan orang mundur, dan memilih tak berbuat apa-apa. Berpikir terlebih dahulu kalau usahanya bakal sia-sia, sekian banyak orang memilih acuh pada problem yang terjadi di sekitar kita.
Berbeda dengan kebanyakan orang, si anak pantai berpikir simple. Mungkin memang ia tak bisa mengubah dunia dengan melakukan pekerjaan besar. Tetapi, dengan kemampuan dan tenaga yang ia punya, ia bisa mengubah dunia dengan melakukan hal-hal kecil. Memindahkan bintang laut adalah contoh kecil, demikian juga dengan membuang sampah di tempatnya, mengantri, berbagi dengan sesama, memakai sit belt di dalam kendaraan, mematuhi rambu lalu lintas, tidak memakai ponsel saat berkendara, dan hal kecil lainnya, yang ternyata apabila dilakukan oleh semua orang, dapat mengubah dunia.
Tindakan kecil yang sederhana dapat membuat perbedaan besar kepada seseorang yang sedang membutuhkan. Kita sering mendambakan untuk melakukan sesuatu yang besar, namun sering kali kita lupa bahwa yang besar itu sering dimulai dengan sesuatu yang kecil. Mulailah berbuat kebajikan pada hal-hal kecil, maka engkau akan diberkati dalam hal-hal besar. Sadarilah pengaruh besarnya, sekecil apapun yang Anda lakukan, pada akhirnya hal tersebut akan mempengaruhi hidup Anda.

“Karena melakukan hal kecil yang sederhana itu lebih penting daripada tak melakukan apa-apa” ~ bee_is_cute

JIKA TANPAMU


Kau terus bertanya alasan dari kemarahan dan sinisku, meski tak satupun penjelasan kuberikan untukmu. Entahlah mungkin hatiku telah mati rasa atau kau yang tak pandai membaca celahnya. Kini, setelah kupahami semuanya kita seolah benar-benar tak bisa lagi berpikir bersama. Kembali atau pergilah, meski sejujurnya aku tak sekuat itu setelah kusadari . . .
Suatu pagi yang seharusnya indah,
Kenyataannya pagi ini memang indah. Matahari bersinar lamat, kendati jam di pergelangan kiriku telah menunjuk angka 7. Jajaran pohon pinus di sekelilingku membuatnya terhalang dariku. Udara pagi pun masih terasa sejuk dari tempat ini dan seharusnya mendamaikan jiwaku.
Mungkin aku terlelap sejenak. Hingga sebuah suara membuatku terjaga sekalipun tak lantas membuatku terperanjat. Suara siapa? Entahlah. Itu juga yang sedang kupikirkan. Satu dari orang-orang yang kini mengisi beberapa sudut taman, aku rasa tidak mungkin. Kami bahkan tak saling mengenal.
Sudahlah! Otakku menolak mencerna. Mungkin karena lelah.
***
“Pagi, ada kabar apa hari ini?” tanyaku masih dengan tas dan beberapa map yang kugamit. Mungkin karena aku tak menyebutkan nama, tiga sosok hidup didalam ruangan yang sama denganku tak bergeming. Mereka sibuk, atau pura-pura sibuk.
Kuletakkan tas dan map yang tadi kubawa dan duduk disamping perempuan berkacamata yang tengah sibuk dengan komik naruto favoritnya. Dewi, namanya. Kusenggol lengannya dan memberi isyarat menunjuk kedua rekanku yang lain. yang ditanya hanya mengernyitkan dahi dan menggeleng enggan.
“Waktu aku datang udah kayak gitu,” bisiknya seolah tak ingin keduanya mendengar yang kami bicarakan.
Meski nampak sibuk, tapi aku tahu keduanya tak sedang mengerjakan apapun. Imran dan Hasymi. Laptop Imran hanya menunjukkan beberapa gambar yang dilihat acak, tak seperti sedang dipilih. Hasymi lebih parah lagi laptopnya menyala tapi hanya terlihat foto avenged Savenfold yang menjadi desktop backgroundnya.
“Imran, aku rasa foto yang kemarin rencananya kita pasang di banner kurang pas deh, kenapa gak pakai foto kegiatan kita di Bromo dulu. Ohya Hasy, kamu udah ke percetakan? Undangan harus sudah kelar awal minggu depan. Kalau tidak pimpinan kita itu bisa berceramah seharian,” cerocosku lantas mengambil alih laptop yang dipegang Imran tanpa permisi. Keduanya bergeming sebatas saling pandang.
Belum sempat mereka merespon pertanyaanku, seorang lelaki jangkung berpakaian batik coklat melepas sepatu dan melemparnya serampangan di depan pintu dan sibuk dengan telepon genggamnya. Aku yang tadinya berpikir membuat kedua temanku ini bicara malah ikut-ikutan bergeming.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya pada kami berempat. Aku melirik sepatunya yang tergeletak tak beraturan hingga masuk kedalam ruangan yang sengaja kami pasang karpet tanpa kursi supaya lebih santai. Harusnya dia sadar dengan tulisan “Alas Kaki dilepas” yang  kami tempel di pintu.
“Oh itu. Ya ya maaf,” dia sadar dengan yang kumaksud lantas merapikan sepatunya.
“Ehm . . iya! Soal foto aku juga emang udah rencana mau merubahnya. Foto itu terlalu gelap dan pastinya jelek begitu dicetak. Tadi aku udah sempat kumpulin beberapa foto, kamu bisa pilih yang menurut kamu pas entar biar aku sampaikan ke Pras untuk segera di desain,” ujar Imran mengalihkan perhatianku ke arahnya.
“Undangannya udah ada di percetakan, rencananya sore ini aku ambil. Kamu tinggal siapin list undangannya entar biar aku dan Dewi yang handle. Ya kan Dew?,”
Dewi mengacungkan jempol tanda sepakat.
“Darimana saja? Sudah dua hari ini gak ke basecamp?” tanya Maulana yang telah duduk disalah satu sudut ruangan didekat map dan tas yang tadinya kuletakkan.
“Aku bisa menghandle semua pekerjaanmu jika memang kamu terlalu sibuk. Sam mungkin memang lebih butuh bantuanmu ketimbang kami.”
“Sebentar, maksud kamu apa? Apa selama ini pekerjaanku disini terbengkalai?” jawabku dengan pertanyaan.
“Memang belum dan aku tidak akan mengambil resiko sampai semuanya kacau. Ini menyangkut acara tahunan kampus dan aku tidak mau semua berantakan,” balas Maulana nyaris tanpa ekspresi. Tangannya sibuk membolak-balik map milikku.
“Seperti yang kamu bilang ini acara kampus, menyangkut kepentingan banyak orang. Aku tidak mau egois, kuanggap kau bercanda, kan kuabaikan bahwa aku tersinggung dengan ucapanmu. Lain kali berpikirlah dua kali sebelum berbicara seperti itu,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Jika boleh jujur rasanya ingin pergi saja meninggalkan ruangan yang tiba-tiba terasa sangat pengap ini.
Maulana beranjak dari tempatnya duduk berjalan mendekatiku, Imran dan Hasymi.
“Aku memberimu kesempatan untuk tidak memperumit keadaan. Tidak semua hal bisa dikompromikan. Aku harap kau mengerti, itu saja,” ucapnya sembari menepuk punggungku dan berjalan meninggalkan kami.
Sudah dua bulan ini aku memang membagi tenaga untuk dua kegiatan bisa dibilang cukup menyita waktu. Aku tim pelaksana dari Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional yang digelar setiap tahun di kampusku. Kegiatan ini menjadi sangat vital karena akan dihadiri oleh berbagai utusan dari universitas dan institut dari seluruh Indonesia. Juga beberapa utusan universitasluar negeri yang melakukan studi banding. Singkat kata semua harus berjalan lancar jika tidak, nama baik kampus ini yang menjadi taruhannya.
Di jurusan, aku dipercaya sebagai asisten editor jurnal fakultas. Sam, merupakan salah seorang senior yang juga ketua HMJ di jurusanku. Dari dialah aku mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi penulisan tersebut. Entah dengan alasan apa, yang jelas Sam dan Maulana adalah musuh bebuyutan. Ya, meskipun mereka tidak pernah beradu tanding seperti dalam film-film aksi yang pernah kulihat. Mereka tetap saling menyapa jika kebetulan berpapasan di jalan. Sekedar untuk basa-basi kukira.
Maulana teman seangkatanku di beberapa kegiatan ekstra kampus. Teman baik jika boleh dikatakan begitu walaupun kami nyaris seperti anjing dan kucing yang tak pernah akur. Maulana anak dari salah seorang pejabat di kantor rektorat dan hal itu membuatnya sedikit banyak dikenal oleh beberapa orang penting di kampus ini.
Proyek LKTIN ini pun salah satunya karena kedekatan itu. Maulana diberikan wewenang untuk menggandeng beberapa lembaga intra dan ekstra kampus untuk pelaksanaannya. Aku menjadi satu dari orang yang dipilih untuk membantunya.
Yang jadi pertanyaan sekarang, aku termasuk yang paling paham dengan sikap dan tabiat Maulana. Marah, mengomel, intruksi, setelah itu tertawa konyol tanpa berdosa menjadi lagu hariannya. Tapi kali ini aku merasa dia jauh lebih menjengkelkan daripada yang pernah aku kompromikan.
“Kenapa begitu sulit membuatmu mengerti?!” umpat Maulana didepan pintu dan pergi dengan geram setelah menatap tajam ke arahku.
Aku yang tadinya beranjak untuk mengejar Maulana justru terduduk lemas hingga menimpa kaki Imran yang tadinya berselonjor kaki. Imran seperti mendapatiku hendak roboh menopang punggung dengan tangan kanannya. Tangannya yang lain menggenggam tanganku, memastikan aku duduk dalam posisi yang benar.
“Jangan bicara apa-apa?” potongku ketika Imran dan Hasymi hendak membuka mulut
“Mungkin dia benar, aku terlalu lelah dengan banyak kegiatan. Belum lagi, skripsiku yang sudah diujung tanduk. Rasanya aku memang butuh istirahat,” ucapku kemudian
“Maulana memang sedikit keterlaluan, tadi juga dia sempat marah-marah karena dua hari ini kamu tidak disini. Aku udah bilang bahwa pekerjaanmu tetap terkonsep dengan baik. Jadi aku harap jangan diambil hati ya. Kita semua kan tahu seperti apa dia, sebentar lagi juga dia baik,” ujar Hasymi.
“Kamu terlalu banyak bicara. Lain kali jangan pernah lagi berusaha membelaku di depan Maulana. Kesalahan kecil yang kalian lakukan akan jadi kiamat bagi Maulana jika itu aku,” aku beranjak menggamit tas dan map ku kembali.
“Aku balik dulu, kerjakan saja apa yang menjadi tugas kalian. Aku juga akan menyelesaikan tugasku,” lantas aku pergi dari ruangan itu mengacuhkan ketiga rekanku yang mungkin terpaku di tempatnya.
***
Aku baru sadar, aku terjaga dari tidur singkatku di bangku taman ini bukan oleh suara siapapun melainkan suaraku sendiri. Nadya, nama gadis bermata api itulah yang pertama kali muncul dari mulutku pagi ini dan seolah menyentakku.
Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Sedang sibuk apa dia? Bersama siapa? Huuh…! Pertanyaan terakhir terasa mencekik. Aku menelan ludah melewati kerongkongan yang seolah menjadi semakin sempit ketika menuju dadaku.
“Maulana..!” suara serak yang sangat kukenal, Imran. Dia sudah ada dihadapanku ketika aku hendak menoleh.
“Kamu itu udah tuli, pikun atau bagaimana. Hanphone mana?” cercanya dengan nafas tersengal.
Dengan lugu kuulurkan handphone yang kuletakkan disampingku padanya.
“Lihat!” ucapnya menunjukkan layar hanphoneku.
Hanya nampak layar handphone bergambar logo kampus. Tapi sedetik kemudian aku tersadar saat melongok jam yang terpampang. Jam menunjukkan pukul 07.15. terperanjat dan segera berlari menuju motor yang terparkir di tepi taman. Imran menguntit di belakangku. Aku baru sadar ini hari wisudaku, jam 07.00 itu artinya aku terlambat 15 menit.
Mungkin benar, aturan ada untuk dilanggar. Nyatanya aku tetap bisa masuk ke ruang wisuda dengan sedikit lobying. Atau mungkin karena orang tuaku. Biarlah!
Aku menyisir barisan kedua dari barisan tempatku duduk, dari ujung depan hingga buncitan terakhir. Berharap menemukan sesuatu. Tapi nihil. Tak ada satupun wajah yang kucari.
***
Pagi sekali, terlalu pagi untuk memulai kuliah, terlalu pagi untuk juga memasuki basecamp kegiatan ekstrakampus yang kumuhnya tingkat langit ini. kukatakan kumuh bukan karena kotor, tapi justru karena banyaknya barang dengan segala fungsi dan coraknya berjubel menjadi satu. Ya, meskipun semua tertat dengan rapi. Tapi jangan coba mencari barang jika bukan kau sendiri yang meletakkannya. Dijamin takkan bisa ditemukan.
Aku berputar memandangi sekeliling tempat yang telah menjadi keseharianku selama berada di kampus. Seperti rumah kedua. Tiap sudutnya menyimpan kenangan, tertawa kecil ketika seberkas memori konyol melintas di otakku dan seketika menitikkan air mata tanpa sebab.
“Nadya, kenapa hanya berdiri? Kamu kelihatan asing dengan tempat ini,” sapa Imran yang baru saja selesai mandi. Celana kolor pendek dan kaos oblong membuat tubuh tambunnya nampak seperti boneka teddy bear.
Lucu, tapi aku tidak tertawa. Aku hanya tersenyum lantas membuka tas, menyodorkan beberapa map dan amplop coklat padanya. Dia menerimanya.
“Sejauh mana sekarang perkembangan acara kalian?” tanyaku kemudian sambil mengambil sebuah modul kuliah yang kuyakini milik Maulana. Aku tahu itu karena ada tanda tangan di halaman depannya.
“Acara kalian? Sejak kapan ada kata kalian, bukannya ini acara kita?” jawabnya dengan sedikit sinis kukira
“Sory, aku salah pakai istilah ya. Ya . . . maksudku LKTIN” kilahku
“Kamu bertanya seolah kamu tidak ikut mengerjakannya, seperti yang kamu tahu persiapan sudah bisa dikatakan finishing, Cuma tinggal memastikan kesiapan pengisi acara inti, rundown acara darimu sudah dibawa ke rektorat, tinggal menyesuaikan dengan jadwal para penggede aja!” Imran bicara tanpa menghentikan aktifitasnya, ganti baju di bilik ruangan lain di samping tempatku berdiri sejak tadi. Hanya terpisah oleh selembar kayu triplek setinggi 2 meter. Rasanya seperti berbicara dengan angin.
Beberapa waktu kemudian kudengar hp Imran yang tergeletak di dekatku berdiri, berdering. Kulihat nama Maulana yang muncul. Aku memanggil Imran agar mengangkat hp miliknya. Belum sempat diangkat si penelepon sudah muncul dari pintu depan. Raut mukanya nampak lusuh. Mungkin lelah.
“Eh, Nadya. Apa kabar?” sapanya datar lantas membongkar beberapa file di laci meja komputer yang biasa kupakai.
“Baik!” dengan sedikit senyuman ramah.
“Imran, file proposal dan MoU yang . . .” aku menjulurkan beberapa map yang tadi kuserahkan pada Imran.
“Semuanya yang dibutuhkan untuk penanda tanganan kontrak kerja sudah ada di map itu. Tinggal dicek jika ada yang perlu disesuaikan aku bisa ganti secepatnya,” terangku tanpa menunggu Maulana bertanya.
Maulana meletakkan map-map itu diatas meja. Membolak-balik halaman tanpa dibaca kukira. Beberapa saat kemudian Imran muncul dengan sisir di tangan kanannya. Ransel abu-abu kesayangannya terselempang di bahu kanannya.
“Eh, aku ada kuliah jam kedua, mungkin jam 9an aku baru bisa nemenin kamu, Lan. Atau kalau buru-buru ajak Nadya aja!” lantas memasang sepatu didepan pintu.
“Imran, kita teman tapi aku gak suka kalau kamu gak profesional. Bukannya aku minta kamu yang siapkan semua surat-surat ini.” ucap Maulana dengan kemarahan yang dipendam kukira.
Imran menoleh ke arahku dengan penuh tanda tanya. Aku beri isyarat agar dia jangan menjawab.
“Maulana, aku minta maaf jika aku sudah bekerja dengan tidak profesional. Tapi tolong jangan limpahkan kemarahan atas kesalahanku pada Imran,”
“Apa aku terlihat marah? aku pimpinan disini, aku berhak kasih komando pada timku. Dan sebagai pimpinan aku juga berhak menetukan siapa yang kuijinkan bekerja bersamaku atau tidak. Aku harap kalian menghargai itu,” jawabnya lantas menyulut rokok.
Takkan kujelaskan bagaimana rasanya. Selain aku sendiri bingung. Siapa yang bisa tebak Maulana akan berbicara seperti itu. Tapi aku cukup pandai menangkap maksudnya. Selama ini aku tetap bertahan dalam tim ini meskipun Maulana nyaris menganggapku seperti tiada
Kali ini mungkin sudah cukup. Semua persiapan telah kubereskan, selanjutnya biar mereka yang tuntaskan. Aku yakin mereka mampu. Tak perlu ada aku. Ya, tak perlu.
Aku pergi tanpa berpamitan pada Maulana, hanya segurat senyum untuk Imran yang terpaku di depan pintu dengan sepatu yang terpasang sebelah. Kutepuk punggungnya sebagai isyarat bahwa aku baik-baik saja. Mungkin juga bermakna selamat tinggal.
***
“Lan, seperti yang kamu bilang, kita teman. Apapun yang terjadi selamanya akan seperti itu. Tapi jujur, aku tidak suka caramu memperlakukan Nadya,” ucap Imran lemah, tapi tak mengurangi aura kekecewaan di dalamnya. Kemudian kembali memasang sepatunya yang ternyata baru terpasang sebelah ketika Nadya pergi.
“Aku juga tidak bersikap seperti itu. Aku juga muak dengan semua kekonyolan ini,”  kusandarkan kepalaku pada meja komputer yang sehari-hari dipakai Nadya. Pening.
“Lalu apa maksud semua ini? Lan ingat kita butuh dia,” nyaris hampir membentak.
“Aku juga ingin dia tetap ada disini. Bukan cuma untuk acara ini, tapi . . .” pening di kepalaku semakin berat. Rasanya aku harus istirahat. Kurebahkan tubuhku di karpet.
“Aku mungkin yang paling tahu siapa kamu, jika kamu mencintai Nadya harusnya pertahankan dia disisimu, Bukan malah menyingkirkan dia,” bisik Imran padaku.
“Ada Sam diantara kami. Cukup satu kali aku berurusan dengannya,”
Imran menghela nafas panjang. Seolah melepas sesuatu yang mengganjal. Beranjak pergi meninggalkan aku yag meringkuk di basecamp.
“Mungkin karena Nadya temanku, jadi aku yakin dia bukan Gladis yang meninggalkanmu demi Sam, atau siapapun perempuan yang pernah melukai hatimu” ucapnya sebelum menghilang dari pandanganku.
Langit-langit putih diatasku seperti hendak runtuh. Tulangku terasa tak bertenaga. Secepatnya kupaksa diriku terlelap. Benar, aku butuh istirahat.
***
Kupandang langit-langit gedung megah tempat wisuda ini. putih bersih, semburatnya perlahan nampak seperti langit. cahaya matahari yang menerobos dari celah jendela kaca sedikit menyilaukan. Tiba-tiba teringat kenangan setahun yang lalu, saat kami, aku, Nadya, Imran, Hasymi, Dewi dan beberapa teman memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan berkemah. Bumi Perkemahan Cuban Rondo menjanjikan suasana yang cukup alami untuk mengusir penat.
Aku juga masih ingat, bagaimana aku membuat Nadya marah karena kejahilanku. Aku memasang cabe bubuk teramat banyak di makanannya dan itu membuatnya muntah seketika. Itu rencana Imran meski dia menyarankan untuk memasang garam. Tapi justru kuganti dengan cabai bubuk.
Warna merah dari caos sarden yang kami bawa sebagai bekal tentu saja menyamarkan warna bubuk cabainya. Malam harinya, sebagai hukuman aku terpaksa begadang menjaga Nadya yang tiba-tiba mengalami demam. Ringkih sekali gadis ini, pikirku.
Ukh . . . kenapa aku jadi ikut-ikutan mual. Keplaku semakin pening ketika berjalan mengikuti rombongan untuk merampungkan prosesi wisuda. Menerima ijasah dan sang rektor memindahkan benang toga yang nangkring di kepalaku. Berbagai wangi dari parfum yang berjubel di ruangan ini membuatku pun mual. Kutahan sepenuhnya karena tak mungkin aku muntah disini dalam kondisi seperti ini.
Kakiku semakin lemas ketika menunggu giliran MC memanggil namaku. Keringat dingin dan sakit di kepalaku makin tak tertahan. Hingga akupun terhuyung tepat di depan salah seorang dosen yang ditugaskan untuk mengatur barisan.
Aku sempat mendengar sebuah suara memanggilku. Terdengar keras, semakin lambat dan akhirnya hilang. Sempat aku melihat gadis bermata api itu, sebelum akhirnya semua menjadi gelap, lantas  aku tak melihat atau mendengar apapun.
***
Mungkin aku hanya takut, jika kau terlalu indah untuk kumiliki. Sehingga kuciptakan tameng untuk membentengi diriku darimu. Padahal, senyum perahu naga dan binar mata apimu itu yang selalu kurindukan. Kini, aku hanya bisa berharap kau bahagia dengan jalan yang kau pilih. Dan aku menjadi kuat meski tanpamu.
Hanya saja, jika waktu bisa diulang meski itu tidak mungkin. Satu hal yang aku ingin kau tahu, aku rasa aku mencintaimu. Aku tidak yakin apa besok akan tetap seperti itu, Seperti halnya aku tidak yakin apa aku masih bisa bertemu denganmu.