Jumat, 27 September 2013

JIKA TANPAMU


Kau terus bertanya alasan dari kemarahan dan sinisku, meski tak satupun penjelasan kuberikan untukmu. Entahlah mungkin hatiku telah mati rasa atau kau yang tak pandai membaca celahnya. Kini, setelah kupahami semuanya kita seolah benar-benar tak bisa lagi berpikir bersama. Kembali atau pergilah, meski sejujurnya aku tak sekuat itu setelah kusadari . . .
Suatu pagi yang seharusnya indah,
Kenyataannya pagi ini memang indah. Matahari bersinar lamat, kendati jam di pergelangan kiriku telah menunjuk angka 7. Jajaran pohon pinus di sekelilingku membuatnya terhalang dariku. Udara pagi pun masih terasa sejuk dari tempat ini dan seharusnya mendamaikan jiwaku.
Mungkin aku terlelap sejenak. Hingga sebuah suara membuatku terjaga sekalipun tak lantas membuatku terperanjat. Suara siapa? Entahlah. Itu juga yang sedang kupikirkan. Satu dari orang-orang yang kini mengisi beberapa sudut taman, aku rasa tidak mungkin. Kami bahkan tak saling mengenal.
Sudahlah! Otakku menolak mencerna. Mungkin karena lelah.
***
“Pagi, ada kabar apa hari ini?” tanyaku masih dengan tas dan beberapa map yang kugamit. Mungkin karena aku tak menyebutkan nama, tiga sosok hidup didalam ruangan yang sama denganku tak bergeming. Mereka sibuk, atau pura-pura sibuk.
Kuletakkan tas dan map yang tadi kubawa dan duduk disamping perempuan berkacamata yang tengah sibuk dengan komik naruto favoritnya. Dewi, namanya. Kusenggol lengannya dan memberi isyarat menunjuk kedua rekanku yang lain. yang ditanya hanya mengernyitkan dahi dan menggeleng enggan.
“Waktu aku datang udah kayak gitu,” bisiknya seolah tak ingin keduanya mendengar yang kami bicarakan.
Meski nampak sibuk, tapi aku tahu keduanya tak sedang mengerjakan apapun. Imran dan Hasymi. Laptop Imran hanya menunjukkan beberapa gambar yang dilihat acak, tak seperti sedang dipilih. Hasymi lebih parah lagi laptopnya menyala tapi hanya terlihat foto avenged Savenfold yang menjadi desktop backgroundnya.
“Imran, aku rasa foto yang kemarin rencananya kita pasang di banner kurang pas deh, kenapa gak pakai foto kegiatan kita di Bromo dulu. Ohya Hasy, kamu udah ke percetakan? Undangan harus sudah kelar awal minggu depan. Kalau tidak pimpinan kita itu bisa berceramah seharian,” cerocosku lantas mengambil alih laptop yang dipegang Imran tanpa permisi. Keduanya bergeming sebatas saling pandang.
Belum sempat mereka merespon pertanyaanku, seorang lelaki jangkung berpakaian batik coklat melepas sepatu dan melemparnya serampangan di depan pintu dan sibuk dengan telepon genggamnya. Aku yang tadinya berpikir membuat kedua temanku ini bicara malah ikut-ikutan bergeming.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya pada kami berempat. Aku melirik sepatunya yang tergeletak tak beraturan hingga masuk kedalam ruangan yang sengaja kami pasang karpet tanpa kursi supaya lebih santai. Harusnya dia sadar dengan tulisan “Alas Kaki dilepas” yang  kami tempel di pintu.
“Oh itu. Ya ya maaf,” dia sadar dengan yang kumaksud lantas merapikan sepatunya.
“Ehm . . iya! Soal foto aku juga emang udah rencana mau merubahnya. Foto itu terlalu gelap dan pastinya jelek begitu dicetak. Tadi aku udah sempat kumpulin beberapa foto, kamu bisa pilih yang menurut kamu pas entar biar aku sampaikan ke Pras untuk segera di desain,” ujar Imran mengalihkan perhatianku ke arahnya.
“Undangannya udah ada di percetakan, rencananya sore ini aku ambil. Kamu tinggal siapin list undangannya entar biar aku dan Dewi yang handle. Ya kan Dew?,”
Dewi mengacungkan jempol tanda sepakat.
“Darimana saja? Sudah dua hari ini gak ke basecamp?” tanya Maulana yang telah duduk disalah satu sudut ruangan didekat map dan tas yang tadinya kuletakkan.
“Aku bisa menghandle semua pekerjaanmu jika memang kamu terlalu sibuk. Sam mungkin memang lebih butuh bantuanmu ketimbang kami.”
“Sebentar, maksud kamu apa? Apa selama ini pekerjaanku disini terbengkalai?” jawabku dengan pertanyaan.
“Memang belum dan aku tidak akan mengambil resiko sampai semuanya kacau. Ini menyangkut acara tahunan kampus dan aku tidak mau semua berantakan,” balas Maulana nyaris tanpa ekspresi. Tangannya sibuk membolak-balik map milikku.
“Seperti yang kamu bilang ini acara kampus, menyangkut kepentingan banyak orang. Aku tidak mau egois, kuanggap kau bercanda, kan kuabaikan bahwa aku tersinggung dengan ucapanmu. Lain kali berpikirlah dua kali sebelum berbicara seperti itu,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Jika boleh jujur rasanya ingin pergi saja meninggalkan ruangan yang tiba-tiba terasa sangat pengap ini.
Maulana beranjak dari tempatnya duduk berjalan mendekatiku, Imran dan Hasymi.
“Aku memberimu kesempatan untuk tidak memperumit keadaan. Tidak semua hal bisa dikompromikan. Aku harap kau mengerti, itu saja,” ucapnya sembari menepuk punggungku dan berjalan meninggalkan kami.
Sudah dua bulan ini aku memang membagi tenaga untuk dua kegiatan bisa dibilang cukup menyita waktu. Aku tim pelaksana dari Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional yang digelar setiap tahun di kampusku. Kegiatan ini menjadi sangat vital karena akan dihadiri oleh berbagai utusan dari universitas dan institut dari seluruh Indonesia. Juga beberapa utusan universitasluar negeri yang melakukan studi banding. Singkat kata semua harus berjalan lancar jika tidak, nama baik kampus ini yang menjadi taruhannya.
Di jurusan, aku dipercaya sebagai asisten editor jurnal fakultas. Sam, merupakan salah seorang senior yang juga ketua HMJ di jurusanku. Dari dialah aku mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi penulisan tersebut. Entah dengan alasan apa, yang jelas Sam dan Maulana adalah musuh bebuyutan. Ya, meskipun mereka tidak pernah beradu tanding seperti dalam film-film aksi yang pernah kulihat. Mereka tetap saling menyapa jika kebetulan berpapasan di jalan. Sekedar untuk basa-basi kukira.
Maulana teman seangkatanku di beberapa kegiatan ekstra kampus. Teman baik jika boleh dikatakan begitu walaupun kami nyaris seperti anjing dan kucing yang tak pernah akur. Maulana anak dari salah seorang pejabat di kantor rektorat dan hal itu membuatnya sedikit banyak dikenal oleh beberapa orang penting di kampus ini.
Proyek LKTIN ini pun salah satunya karena kedekatan itu. Maulana diberikan wewenang untuk menggandeng beberapa lembaga intra dan ekstra kampus untuk pelaksanaannya. Aku menjadi satu dari orang yang dipilih untuk membantunya.
Yang jadi pertanyaan sekarang, aku termasuk yang paling paham dengan sikap dan tabiat Maulana. Marah, mengomel, intruksi, setelah itu tertawa konyol tanpa berdosa menjadi lagu hariannya. Tapi kali ini aku merasa dia jauh lebih menjengkelkan daripada yang pernah aku kompromikan.
“Kenapa begitu sulit membuatmu mengerti?!” umpat Maulana didepan pintu dan pergi dengan geram setelah menatap tajam ke arahku.
Aku yang tadinya beranjak untuk mengejar Maulana justru terduduk lemas hingga menimpa kaki Imran yang tadinya berselonjor kaki. Imran seperti mendapatiku hendak roboh menopang punggung dengan tangan kanannya. Tangannya yang lain menggenggam tanganku, memastikan aku duduk dalam posisi yang benar.
“Jangan bicara apa-apa?” potongku ketika Imran dan Hasymi hendak membuka mulut
“Mungkin dia benar, aku terlalu lelah dengan banyak kegiatan. Belum lagi, skripsiku yang sudah diujung tanduk. Rasanya aku memang butuh istirahat,” ucapku kemudian
“Maulana memang sedikit keterlaluan, tadi juga dia sempat marah-marah karena dua hari ini kamu tidak disini. Aku udah bilang bahwa pekerjaanmu tetap terkonsep dengan baik. Jadi aku harap jangan diambil hati ya. Kita semua kan tahu seperti apa dia, sebentar lagi juga dia baik,” ujar Hasymi.
“Kamu terlalu banyak bicara. Lain kali jangan pernah lagi berusaha membelaku di depan Maulana. Kesalahan kecil yang kalian lakukan akan jadi kiamat bagi Maulana jika itu aku,” aku beranjak menggamit tas dan map ku kembali.
“Aku balik dulu, kerjakan saja apa yang menjadi tugas kalian. Aku juga akan menyelesaikan tugasku,” lantas aku pergi dari ruangan itu mengacuhkan ketiga rekanku yang mungkin terpaku di tempatnya.
***
Aku baru sadar, aku terjaga dari tidur singkatku di bangku taman ini bukan oleh suara siapapun melainkan suaraku sendiri. Nadya, nama gadis bermata api itulah yang pertama kali muncul dari mulutku pagi ini dan seolah menyentakku.
Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Sedang sibuk apa dia? Bersama siapa? Huuh…! Pertanyaan terakhir terasa mencekik. Aku menelan ludah melewati kerongkongan yang seolah menjadi semakin sempit ketika menuju dadaku.
“Maulana..!” suara serak yang sangat kukenal, Imran. Dia sudah ada dihadapanku ketika aku hendak menoleh.
“Kamu itu udah tuli, pikun atau bagaimana. Hanphone mana?” cercanya dengan nafas tersengal.
Dengan lugu kuulurkan handphone yang kuletakkan disampingku padanya.
“Lihat!” ucapnya menunjukkan layar hanphoneku.
Hanya nampak layar handphone bergambar logo kampus. Tapi sedetik kemudian aku tersadar saat melongok jam yang terpampang. Jam menunjukkan pukul 07.15. terperanjat dan segera berlari menuju motor yang terparkir di tepi taman. Imran menguntit di belakangku. Aku baru sadar ini hari wisudaku, jam 07.00 itu artinya aku terlambat 15 menit.
Mungkin benar, aturan ada untuk dilanggar. Nyatanya aku tetap bisa masuk ke ruang wisuda dengan sedikit lobying. Atau mungkin karena orang tuaku. Biarlah!
Aku menyisir barisan kedua dari barisan tempatku duduk, dari ujung depan hingga buncitan terakhir. Berharap menemukan sesuatu. Tapi nihil. Tak ada satupun wajah yang kucari.
***
Pagi sekali, terlalu pagi untuk memulai kuliah, terlalu pagi untuk juga memasuki basecamp kegiatan ekstrakampus yang kumuhnya tingkat langit ini. kukatakan kumuh bukan karena kotor, tapi justru karena banyaknya barang dengan segala fungsi dan coraknya berjubel menjadi satu. Ya, meskipun semua tertat dengan rapi. Tapi jangan coba mencari barang jika bukan kau sendiri yang meletakkannya. Dijamin takkan bisa ditemukan.
Aku berputar memandangi sekeliling tempat yang telah menjadi keseharianku selama berada di kampus. Seperti rumah kedua. Tiap sudutnya menyimpan kenangan, tertawa kecil ketika seberkas memori konyol melintas di otakku dan seketika menitikkan air mata tanpa sebab.
“Nadya, kenapa hanya berdiri? Kamu kelihatan asing dengan tempat ini,” sapa Imran yang baru saja selesai mandi. Celana kolor pendek dan kaos oblong membuat tubuh tambunnya nampak seperti boneka teddy bear.
Lucu, tapi aku tidak tertawa. Aku hanya tersenyum lantas membuka tas, menyodorkan beberapa map dan amplop coklat padanya. Dia menerimanya.
“Sejauh mana sekarang perkembangan acara kalian?” tanyaku kemudian sambil mengambil sebuah modul kuliah yang kuyakini milik Maulana. Aku tahu itu karena ada tanda tangan di halaman depannya.
“Acara kalian? Sejak kapan ada kata kalian, bukannya ini acara kita?” jawabnya dengan sedikit sinis kukira
“Sory, aku salah pakai istilah ya. Ya . . . maksudku LKTIN” kilahku
“Kamu bertanya seolah kamu tidak ikut mengerjakannya, seperti yang kamu tahu persiapan sudah bisa dikatakan finishing, Cuma tinggal memastikan kesiapan pengisi acara inti, rundown acara darimu sudah dibawa ke rektorat, tinggal menyesuaikan dengan jadwal para penggede aja!” Imran bicara tanpa menghentikan aktifitasnya, ganti baju di bilik ruangan lain di samping tempatku berdiri sejak tadi. Hanya terpisah oleh selembar kayu triplek setinggi 2 meter. Rasanya seperti berbicara dengan angin.
Beberapa waktu kemudian kudengar hp Imran yang tergeletak di dekatku berdiri, berdering. Kulihat nama Maulana yang muncul. Aku memanggil Imran agar mengangkat hp miliknya. Belum sempat diangkat si penelepon sudah muncul dari pintu depan. Raut mukanya nampak lusuh. Mungkin lelah.
“Eh, Nadya. Apa kabar?” sapanya datar lantas membongkar beberapa file di laci meja komputer yang biasa kupakai.
“Baik!” dengan sedikit senyuman ramah.
“Imran, file proposal dan MoU yang . . .” aku menjulurkan beberapa map yang tadi kuserahkan pada Imran.
“Semuanya yang dibutuhkan untuk penanda tanganan kontrak kerja sudah ada di map itu. Tinggal dicek jika ada yang perlu disesuaikan aku bisa ganti secepatnya,” terangku tanpa menunggu Maulana bertanya.
Maulana meletakkan map-map itu diatas meja. Membolak-balik halaman tanpa dibaca kukira. Beberapa saat kemudian Imran muncul dengan sisir di tangan kanannya. Ransel abu-abu kesayangannya terselempang di bahu kanannya.
“Eh, aku ada kuliah jam kedua, mungkin jam 9an aku baru bisa nemenin kamu, Lan. Atau kalau buru-buru ajak Nadya aja!” lantas memasang sepatu didepan pintu.
“Imran, kita teman tapi aku gak suka kalau kamu gak profesional. Bukannya aku minta kamu yang siapkan semua surat-surat ini.” ucap Maulana dengan kemarahan yang dipendam kukira.
Imran menoleh ke arahku dengan penuh tanda tanya. Aku beri isyarat agar dia jangan menjawab.
“Maulana, aku minta maaf jika aku sudah bekerja dengan tidak profesional. Tapi tolong jangan limpahkan kemarahan atas kesalahanku pada Imran,”
“Apa aku terlihat marah? aku pimpinan disini, aku berhak kasih komando pada timku. Dan sebagai pimpinan aku juga berhak menetukan siapa yang kuijinkan bekerja bersamaku atau tidak. Aku harap kalian menghargai itu,” jawabnya lantas menyulut rokok.
Takkan kujelaskan bagaimana rasanya. Selain aku sendiri bingung. Siapa yang bisa tebak Maulana akan berbicara seperti itu. Tapi aku cukup pandai menangkap maksudnya. Selama ini aku tetap bertahan dalam tim ini meskipun Maulana nyaris menganggapku seperti tiada
Kali ini mungkin sudah cukup. Semua persiapan telah kubereskan, selanjutnya biar mereka yang tuntaskan. Aku yakin mereka mampu. Tak perlu ada aku. Ya, tak perlu.
Aku pergi tanpa berpamitan pada Maulana, hanya segurat senyum untuk Imran yang terpaku di depan pintu dengan sepatu yang terpasang sebelah. Kutepuk punggungnya sebagai isyarat bahwa aku baik-baik saja. Mungkin juga bermakna selamat tinggal.
***
“Lan, seperti yang kamu bilang, kita teman. Apapun yang terjadi selamanya akan seperti itu. Tapi jujur, aku tidak suka caramu memperlakukan Nadya,” ucap Imran lemah, tapi tak mengurangi aura kekecewaan di dalamnya. Kemudian kembali memasang sepatunya yang ternyata baru terpasang sebelah ketika Nadya pergi.
“Aku juga tidak bersikap seperti itu. Aku juga muak dengan semua kekonyolan ini,”  kusandarkan kepalaku pada meja komputer yang sehari-hari dipakai Nadya. Pening.
“Lalu apa maksud semua ini? Lan ingat kita butuh dia,” nyaris hampir membentak.
“Aku juga ingin dia tetap ada disini. Bukan cuma untuk acara ini, tapi . . .” pening di kepalaku semakin berat. Rasanya aku harus istirahat. Kurebahkan tubuhku di karpet.
“Aku mungkin yang paling tahu siapa kamu, jika kamu mencintai Nadya harusnya pertahankan dia disisimu, Bukan malah menyingkirkan dia,” bisik Imran padaku.
“Ada Sam diantara kami. Cukup satu kali aku berurusan dengannya,”
Imran menghela nafas panjang. Seolah melepas sesuatu yang mengganjal. Beranjak pergi meninggalkan aku yag meringkuk di basecamp.
“Mungkin karena Nadya temanku, jadi aku yakin dia bukan Gladis yang meninggalkanmu demi Sam, atau siapapun perempuan yang pernah melukai hatimu” ucapnya sebelum menghilang dari pandanganku.
Langit-langit putih diatasku seperti hendak runtuh. Tulangku terasa tak bertenaga. Secepatnya kupaksa diriku terlelap. Benar, aku butuh istirahat.
***
Kupandang langit-langit gedung megah tempat wisuda ini. putih bersih, semburatnya perlahan nampak seperti langit. cahaya matahari yang menerobos dari celah jendela kaca sedikit menyilaukan. Tiba-tiba teringat kenangan setahun yang lalu, saat kami, aku, Nadya, Imran, Hasymi, Dewi dan beberapa teman memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan berkemah. Bumi Perkemahan Cuban Rondo menjanjikan suasana yang cukup alami untuk mengusir penat.
Aku juga masih ingat, bagaimana aku membuat Nadya marah karena kejahilanku. Aku memasang cabe bubuk teramat banyak di makanannya dan itu membuatnya muntah seketika. Itu rencana Imran meski dia menyarankan untuk memasang garam. Tapi justru kuganti dengan cabai bubuk.
Warna merah dari caos sarden yang kami bawa sebagai bekal tentu saja menyamarkan warna bubuk cabainya. Malam harinya, sebagai hukuman aku terpaksa begadang menjaga Nadya yang tiba-tiba mengalami demam. Ringkih sekali gadis ini, pikirku.
Ukh . . . kenapa aku jadi ikut-ikutan mual. Keplaku semakin pening ketika berjalan mengikuti rombongan untuk merampungkan prosesi wisuda. Menerima ijasah dan sang rektor memindahkan benang toga yang nangkring di kepalaku. Berbagai wangi dari parfum yang berjubel di ruangan ini membuatku pun mual. Kutahan sepenuhnya karena tak mungkin aku muntah disini dalam kondisi seperti ini.
Kakiku semakin lemas ketika menunggu giliran MC memanggil namaku. Keringat dingin dan sakit di kepalaku makin tak tertahan. Hingga akupun terhuyung tepat di depan salah seorang dosen yang ditugaskan untuk mengatur barisan.
Aku sempat mendengar sebuah suara memanggilku. Terdengar keras, semakin lambat dan akhirnya hilang. Sempat aku melihat gadis bermata api itu, sebelum akhirnya semua menjadi gelap, lantas  aku tak melihat atau mendengar apapun.
***
Mungkin aku hanya takut, jika kau terlalu indah untuk kumiliki. Sehingga kuciptakan tameng untuk membentengi diriku darimu. Padahal, senyum perahu naga dan binar mata apimu itu yang selalu kurindukan. Kini, aku hanya bisa berharap kau bahagia dengan jalan yang kau pilih. Dan aku menjadi kuat meski tanpamu.
Hanya saja, jika waktu bisa diulang meski itu tidak mungkin. Satu hal yang aku ingin kau tahu, aku rasa aku mencintaimu. Aku tidak yakin apa besok akan tetap seperti itu, Seperti halnya aku tidak yakin apa aku masih bisa bertemu denganmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar