Kamis, 06 Agustus 2015

Situs Sejarah dan Mitos Air Penyembuh

Masjid Maulana Malik Ibrahim, Leran, Manyar, Gresik
Menelusuri jejak sejarah selalu menarik. Tak hanya melihat kilas balik peradaban di masa lampau, namun juga berbagai tradisi dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat, menarik untuk dikaji. Salah satunya jejak kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke Nusantara. Peninggalannya berupa masjid, kolam tempat wudlu, hingga peninggalan purbakala lain menjadi kekayaan Nusantara yang harus dilestarikan.

Berkunjung ke Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, orang seolah ‘dipaksa’ mengurutkan kembali fakta sejarah tentang masuknya agama Islam ke Nusantara. Salah satunya adalah kedatangan Maulana Malik Ibrahim pada kisaran tahun 1370-1371 M, yang konon mengendarai kapal dan mendarat di Desa Sembalo yang kini dikenal dengan nama Desa Leran.

Gresik, khususnya Desa Leran, sejak abad ke-11 dikenal sebagai pusat perdagangan internasional, atau dikenal dengan nama Kota Bandar. Sebagai Kota Bandar, Gresik banyak dikunjungi pedagang China, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Benggali, Campa dan lain-lain.

Mengacu pada fakta sejarah tersebut, penamaan Leran yang berasal dari kata “Lerenan” berarti tempat peristirahanan atau persinggahan. Tempo dulu, Leran punya peran penting dalam penyebaran Islam. Khususnya di Tanah Jawa. Desa ini juga menjadi tempat pendaratan Maulana Malik Ibrahim. Pria yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gresik ini diyakini menjadi salah satu penyebar Islam pertama di Pulau Jawa.

Namun sejarah sebagai pelabuhan internasional kala itu agaknya telah terkikis habis. Desa yang terletak tujuh kilometer di barat laut Kota Gresik itu secara fisik tidak banyak berbeda dengan kota lain pada umumnya. Tanah-tanah gersang di kampung yang luasnya kira-kira 1.300 meter persegi itu sekarang lebih didominasi oleh petak-petak tambak.

Meski demikian, sisa-sisa kejayaan Leran masih bisa ditelusuri dari sejumlah peninggalan. Salah satunya, masjid yang dibangun Maulana Malik Ibrahim. Masjid yang diberi nama Masjid Maulana Malik Ibrahim, atau orang lokal menyebutnya Masjid Pesucinan itu dibangun di tepian kolam besar di sebelah timur Dusun Pesucinan.

Meski sebagai masjid yang bernilai sejarah, jangan membayangkan kondisi masjid yang penuh dengan unsur klasik. Karena hampir keseluruhan bagian masjid telah mengalami renovasi. Sehingga yang akan ditemui adalah masjid dengan arsitektur yang benar-benar baru dan modern.

Namun sebagai upaya pelestarian, tanah masjid telah disertifikasi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) sebagai peninggalan sejarah. Sehingga meski telah dipugar menjadi masjid modern, namun lokasi masjid masih diakui sebagai tempat bersejarah.
Seperti halnya bentuk gapura yang menyambut kedatangan pengunjung ketika hendak memasuki areal masjid. Sebuah gapura persegi dengan lubang masuk berbentuk lengkung, dan sepasang ornamen simetris berhias ukiran kaligrafi Arab.

Masjid Pesucinan memiliki atap bergaya limasan dengan atap berupa cungkup dari gerabah. Menurut Amirul, Carik Desa Leran, yang mendampingi Derap Desa berkeliling, cungkup tersebut merupakan satu-satunya bagian asli dari masjid. Selebihnya telah diganti atau diubah selama masa renovasi. Termasuk bedug penanda masuknya waktu salat, yang kini berada di Museum Kabupaten Gresik.

Memasuki bagian dalam masjid, pandangan mata akan langsung disuguhkan pada sebuah mimbar salat dengan bentuk yang relatif unik. Mimbar yang konon dibuat dari pilar-pilar asli Masjid Pesucinan ini terlihat penuh dengan berbagai macam ornamen. Mimbar kayu ini menjadi satu-satunya benda menarik yang ada di dalam ruangan Masjid Pesucinan Leran.

Masih di bagian dalam masjid, ruang utamanya tidak terlalu luas. Terdapat empat pilar kayu yang menyangga bagian tengah masjid. Saat kami menengadah ke atas melihat bagian langit-langit masjid, tidak tampak ukir-ukiran seperti kebanyakan masjid. Meski relatif baru, agaknya kesan simpel dan sederhana tetap dipertahankan dalam arsitektur masjid.

Saat itu, Masjid Pesucinan untuk kesekian-kalinya kembali direnovasi. Tampak berserakan material bangunan yang sedianya digunakan memperluas bagian dalam masjid di bagian barat masjid.

“Semua bagian masjid bisa dibilang sudah tidak ada yang asli selain cungkup di atap. Bahkan tembok ini yang nantinya dirobohkan dan diperluas, juga baru. Ini sisa pemugaran sekitar tahun 1980-an,” kata Amir sembari memandu berkeliling di area masjid.

Pesucinan dan Air Penyembuh

Tidak banyaknya literatur yang menjelaskan secara rinci kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke Desa Leran, juga pembangunan masjid. Sehingga memunculkan banyak asumsi yang berkembang di masyarakat. Mulai dari yang berkaitan dengan aspek historis hingga magis.

Masyarakat percaya, sosok Maulana Malik Ibrahim adalah ‘waliyullah’ dengan karomah luar biasa. Sebagian masyarakat percaya, Masjid Pesucinan tidak dibangun sebagaimana pada umumnya, namun muncul secara tiba-tiba pada tengah malam. Hal ini diyakini karena masyarakat pada masa itu banyak yang masih beragama Hindu-Budha, sehingga pembangunan masjid akan mengganggu tatanan sosial masyarakat kala itu.

Berkembang pula kepercayaan bahwa kapal yang dinaiki Maulana Malik Ibrahim  saat mendarat di Leran, masih berada di sekitar lokasi masjid. Namun telah terkubur di bawah Bumi Leran. Hal ini didasarkan pada pengalaman penggalian tim arkeologi dari BP3 Prov Jatim yang menemukan beberapa peninggalan purbakala yang diyakini sebagai bagian dari bangkai kapal Maulana Malik Ibrahim.

Amir menuturkan bahwa dari cerita yang berkembang di masyarakat, pernah ada yang mencoba menerawang keberadaan kapat tersebut. Dan dibenarkan kalau kapal itu masih terkubur di tanah. Tetapi setelah dilakukan penggalian kapal itu tidak dapat ditemukan.
“Kepercayaan di masyarakat begitu. Namun karena kapal itu milik orang yang punya karomah atau dengan kata lain kesaktian, maka barang-barangnya pun sakti. Kira-kira begitu yang diyakini masyarakat,” ujar Amir.

Satu lagi yang tidak kalah menarik adalah keberadaan sumur dan kolam air di sebelah utara bagian utama masjid sebelum pelebaran. Kubangan air yang oleh masyarakat sekitar disebut Pesucinan (tempat bersuci, Jawa) juga diyakini salah satu peninggalan Maulana Malik Ibrahim.

Sesuai dengan namanya yang kemudian diadopsi sebagai nama dusun, tempat itu dulunya dipakai Maulana Malik Ibrahim dan pengikutnya berwudlu sebelum melaksanakan salat. Ada pula yang mengatakan, dinamakan Pesucinan karena masjid itu merupakan tempat mensucikan diri bagi penduduk lokal yang masuk Islam. Salah satu alat mensucikan diri adalah dengan membasuh diri menggunakan air yang ada di kolam samping masjid.

Menariknya lagi, tak hanya dianggap sebagai tempat berwudlu, endapan air yang terdapat pada kubangan kolam tempat dikumpulkannya air yang diambil dari sumur di sebelahnya diyakini mampu mengobati penyakit gondok. Di samping juga airnya, dipercaya bisa mengobati segala macam penyakit.

Kala itu salah seorang warga, Mukhtar Jamil (60 tahun) yang tengah menuruni kolam berbentuk persegi dan berundak guna mengambil air. Sebelumnya dia tampak merapalkan beberapa bacaan doa. Lelaki sepuh tersebut mengaku mengambil air untuk puteranya yang disinyalir terkena penyakit kiriman (teluh, red).

“Orang sini percaya air ini bisa menyembuhkan segala penyakit, medis maupun non-medis. Kebiasaannya, sebelum mengambil air, mereka Wasilah Alfatihah dulu ditujukan pada Maulana Malik Ibrahim dan beberapa ahli kubur yang ada di kompleks pemakaman Fatimah Binti Maimun,” tutur Amir.

Tak hanya masyarakat sekitar, beberapa pengunjung dari dalam dan luar kota kerap pulang dengan membawa air yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan. Amir sendiri menilai, terlepas dari aspek kebenarannya, hal itu ia kembalikan kepada keyakinan masing-masing individu.


Ia hanya bisa mengingatkan bahwa kesembuhan sepenuhnya dari Tuhan. “Mitos atau bukan itu kadang ‘kan sugesti. Orang kadang sembuh dari sakit, salah satunya juga ditunjang bagaimana sugesti terhadap dirinya,” lanjutnya. (hay, uul, eru, yus)