Kamis, 29 September 2016

AKU, KAU, DAN DIA


Aku mulai berpikir hal yang konyol hari ini
Mungkin bukan cuma hari ini
Sudah beberapa hari berlalu
Sejak undangan terakhir yang kuterima bulan ini
Rasanya sudah lelah
Tapi jangan tanya ini lelah dalam hal apa
Aku sendiri juga lupa, atau tidak tahu.

Kau ingat,
Baik aku, kau, ataupun dia memiliki pikiran yang sama
Kita hanyalah pemain dalam panggung yang maha megah ini
Peran kita bisa jadi penting atau sekedar figuran
Tapi toh nyatanya kita ada
Cukup jalani saja perannya.

Tapi apa kau tahu,
Aku rasa aku sudah bosan dengan peran yang kujalankan selama ini
Untuk yang satu ini aku bisa berikan alasan.
Ayolah!
Aku kehilangan kalian berdua hanya dalam satu petikan jari
Kau, sahabat dan pelindungku
Dia, rekan sekaligus rival abadiku.
Yang sialnya, sama-sama pernah memiliki hatiku.

Katakanlah separuh ada padanya, separuh lagi untukmu
Selepas kalian pergi, aku tidak memiliki apapun
Aku kehilangan semuanya.
Aku hidup, atau harus kukatakan hanya bernapas?
Terserah padamulah.

Kau kesal?
Baiklah. akan kukatakan!
Aku ingin menghilang
Aku ingin pergi dan melepas peranku
Aku ingin bersembunyi jika perlu
Dan kau, kau,
Berhentilah mengintaiku

Kenanganmu saja sudah cukup mengganggu
Apalagi bayanganmu yang berjumpalitan dalam memoriku
Ini kepala bukan ruang tamu, apalagi taman bermain.
Pergilah!

Minggu, 25 September 2016

CINTA YANG BEDA



Hari ini kusingkirkan satu hal tentang dirimu
Bukan membuangnya
Hanya membuatnya tak nampak dan muncul sebagai bunga mataku
Seperti kenanganmu yang takkan pernah terhapuskan
Bayanganmu yang akan tetap mewarnai sebagian dari masa laluku
Keberadaanmu nyata adanya
Seperti rasaku yang tak terbantahkan
Namun jalan kita sudahlah berbeda
Seperti bahagia dan sedih yang tak lagi dapat kubahasakan
Maka biarlah hati ini belajar
Tentang bahasa dan cinta dengan cara yang berbeda
Kendati syairnya akan tetap sama
Untaian kata yang terlahir dari wujudmu

Jumat, 23 September 2016

KARENA HADIRMU ADALAH ILUSI


Aku sudah melepasmu sekali
Nyaris melupakanmu dan keterikatan yang menjalin di masa lalu
Kemudian senja yang kusangka mentari memberiku ilusi harapan merengkuhmu
Namun belum juga petang, harapan itu pupus bersama mega merah yang menyilaukan
Bagaimana aku menjelaskannya pada hatiku? dia begitu egois dan tak mau mendengarku
Aku masih berhenti di persimpangan yang pernah kita janjikan
Meski dengan kesadaran sepenuhnya, kau telah menikung di sudur jalan yang lain dari perjalanan

Jika hatiku egois, kakiku beku dan tak mau kuajak melangkah
Aku masih di jalan yang sama dengan harapan yang sama
Bahwa meski tak lagi memiliki jalan ke arahmu
Setidaknya di jalan ini aku dapat bertemu seseorang sepertimu
Apa kau akan bilang ini sangat tidak adil?
Lalu apa yang adil?
Apakah hati pernah diajarkan tentang rasa adil?
Jika pernah, kenapa dia selalu berontak dariku meski otakku serasa pecah untuk membuatnya mengerti?

Baiklah. Mari kita berdamai untuk hal ini
Biarkan hatiku yang egois, dengan ketidakadilan yang terus diperbuatnya padaku
Tapi, bisakah kau dan kenanganmu tak lagi jadi objek imajiku
Berhentilah menjadi ilusi yang menenggelamkanku
Berlakulah adil padaku untuk kali ini
Ijinkan aku bangun dan berhenti bermimpi


Rabu, 21 September 2016

KAU DAN SYAIRKU

https://dewiekezzie.files.wordpress.com/2010/12/60.jpg


Hari dimana aku sadar, jalanku kepadamu terhenti
Aku bahkan gagal memahami apa yang kurasakan
Bahagia dan sedih seperti sesuatu yang tak pernah kupahami
Seperti diksi yang tak kukenal

Hingga beberapa hari berlalu dan aku kembali mencoba untuk bertanya
Pada hatiku, hati yang tak pernah mau berdamai denganku
dan hanya satu kenyataan yang diperdengarkannya padaku

Kau hidup dalam syairku
Setiap kata yang kurangkai adalah kerinduanku pada kekuatan tak berbahasa
Yang hanya kudapatkan dengan mengingatmu
Mengingat setiap hal yang kupelajari untuk hidupku darimu

Lantas, apakah aku bisa disebut tengah bersedih hanya karena tak lagi sanggup menjangkaumu?
Atau aku harus dikatakan akan tetap bahagia dengan setiap hal tentang syairku yang terlahir dari wujudmu?

Sekali lagi, keduanya bukanlah diksi yang bisa kupahami sekarang
Bukan juga sesuatu yang ingin kuketahui
Itu saja.

Minggu, 18 September 2016

MASIH TENTANG AKU



Ya, ini tentang aku. Aku yang hampir selalu merasa bahwa diriku hanyalah serpihan dari masa lalu yang tersisa atau ditinggalkan. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku menjadi Radha. Yang meskipun terlahir dari wujudmu, bukankah kita tak pernah benar-benar menyatu?

Aku juga tidak berpikir menjadi Subadhra, yang sekalipun bergelarkan kesayangan toh aku harus berbagi. Pun menjadi Vrushali, yang demi sumpah dan tradisi harus  berada jauh darimu. Lantas sanggupkah aku menahan duka menjadi Panchali, yang kehormatannya seharga kehancuran seluruh dinasti.


Aku, cukuplah aku. Dan hanya akan menjadi aku.

Kamis, 15 September 2016

LUKA YANG SAMA



Ini kelahiranku,
Hari dimana aku mendengar kabar pernikahanmu
Aku bahagia untukmu
Tapi apakah langit menangis untukku?
Doa apa yang harus kupanjatkan untukmu?
Bahagia saja, apa itu cukup?

Seseorang bertanya padaku, apa yang akan kulakukan dengan semua kenanganmu yang nyata?
Memang harus kuapakan? dan apa yang bisa kulakukan?
Apa harus kucuci otakku agar setiap warnamu memudar?
Aku ingat kau pernah bilang bahwa hidupmu berwarna udara.
Lantas bagaimana aku menghapusnya?
Dan lagi, bagaimana bisa aku meghapusnya?
Selama ini, kau dan kenanganmu adalah kekuatan tak berbahasa untuk hidupku.
Jikapun bisa kuhapus, apa aku masih bisa dikatakan hidup?

Hidup ini benar-benar jadi ironi yang menarik kan sekarang?

Rabu, 14 September 2016

Selfisness Man



Hai pria egois yang sibuk bertualang!
Masihkah kau berlari?
Sampai dimana?
Kapan akan merasa lelah?
Sudah lupa jalan pulang atau kau tidak ingat bahwa aku disini menunggumu berhenti?
Dengarkan aku, meski hanya di sela luangmu. Dan sekalipun tanpa hasratmu untuk membalas apa yang ingin kukatakan. Jalan ini semakin rumit, ada rongga yang begitu besar dan dalam di hati dan pikiranku. Jangan tanya kenapa? Itu serasa pertanyaan 10 sks yang harus kuselesaikan selama lebih dari satu semester. Rasanya aku bisa tertelan ke dalam kawah yang tanpa sengaja mungkin kubuat sendiri. Jika kau belum tahu, menolehlah sejenak, aku telah berada tepat di bibir jurang. Mungkin bukan urusanmu jika kemudian aku jatuh dan terkubur di kawah ini. Tapi kupastikan kau akan mendengar jeritan kesakitanku tepat setelah namamu kuteriakkan sebagai nada luka hatiku.
 Tidak. Jangan berpikir aku menyalahkanmu. Ini hanya rasaku. Rasa yang sungguh pernah kukira mati saat dengan kesadaran kukubur dia ketika kau bersamanya. Namun kini, ketika kita berdua sama-sama tertatih di jalan yang sama. Jalan kesendirian menantang luka yang terus terselip dengan bandelnya. Bisakah aku mencegah hati ini kembali mengingatmu? Kau bodoh jika mengira aku bisa melakukannya. Kukatakan sekali lagi, itu hal yang sulit bagiku. Kupikir otakku perlu diganti jika ingin hal itu terjadi.