Rabu, 16 Desember 2015

Wisata Religi Segoropuro Pasuruan

Situs

Berburu Berkah Sang Wali

Hari menjelang senja, ketika tim DD memutuskan berbelok menuju arah Desa Segoropuro, Kec Rejoso, Kab Pasuruan. Sekitar 10 kilometer arah timur dari jantung Kota Pasuruan melalui jalur Pasuruan-Surabaya. Dari arah tersebut sebelah kiri jalan terdapat gapura Desa Kemantren Rejo. Selanjutnya, masuk 2,5 kilometer menuju makam Segoropuro ditandai gapura Desa Segoropuro.
Tujuannya tak lain adalah berziarah ke makam Sayid Arif bin Abdurrahim, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Segoropuro. Bagi yang belum pernah ziarah ke Makam Segoropuro, akses menuju lokasi terbilang mudah. Didukung pula dengan banyaknya penunjuk arah menuju kompleks makam. Wisata Religi Makam Segoropuro, begitulah bunyi tulisan penunjuk lokasi yang terpampang di pinggir jalan raya.
Sebuah halaman parkir yang nampak lengang menyambut DD saat memasuki kompleks makam. Luasnya area parkir sempat membuat DD memarkir kendaraan leluasa dan diparkir tepat di depan pintu masuk makam. Pemandangan lain, yang juga sempat terlihat adalah jajaran toko di sisi timur yang menjual aneka suvenir, makanan dan minuman.
“Kok sepi?” sebuah pertanyaan tak terucap muncul di benak kami. Maklum, bagi pengunjung yang berasal dari Surabaya-Sidoarjo mungkin akan sedikit dibuat heran dengan kondisi makam yang cenderung sunyi. Betapa tidak, di Surabaya terdapat makam Sunan Ampel yang nyaris tidak pernah sepi pengunjung maupun pedagang yang memadati area sekeliling makam. Namun, kesan itu mulai terbantahkan ketika tak lama berselang datang dua rombongan mobil besar turut memasuki area makam Segoropuro.
“Kalau hari biasa para peziarah datang silih berganti, Biasanya jumlah pengunjung melonjak saat malam Jumat Legi, peringatan haul setiap 10 Jumadil Akhir, atau pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir puasa Ramadhan.,” tutur pria paruh baya yang menyambut DD di pintu masuk.
Beruntung DD datang di hari biasa. Jika tidak, jangankan bebas menentukan tempat parkir, duduk tenang berdzikir pun mungkin sulit. Sebab, pada hari-hari tertentu suasana makam yang lengang akan berubah menjadi lautan manusia yang memadati hampir setiap sudut makam.
Di luar hari-hari khusus, kompleks makam Segoropuro memang menyajikan suasana yang hening cenderung mistis. Rindangnya pepohonan, kicauan burung, juga lokasi makam yang agak tinggi atau berbukit menambah kesan alami. Kendati di area seluas 2.500 meter persegi itu, telah dibangun aneka bangunan bergaya modern, seperti masjid, tempat wudlu, musala khusus putri, juga area makam utama dibentuk menjadi bangunan bercungkup.
Tempat menarik lainnya, di sudut kompleks makam dapat dijumpai sebuah goa, yang konon dipercayai sebagai alternatif tempat tirakatan bagi yang ingin melakukannya. “Yang datang ke sini bukan cuma mereka yang ingin berziarah. Ada pula yang melakukan tirakatan atau ritual khusus. Termasuk mereka yang tengah mencalonkan diri di jabatan-jabatan tertentu,” kata Abdul Karim, juru kunci makam ditemui di rumahnya yang tak jauh dari kompleks makam.
Abdul Karim juga menjelaskan, peziarah yang datang tak hanya dari dalam kota, namun juga dari Jember, Banyuwangi, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Jombang, Madura, Solo, bahkan Cirebon. Sesekali, tempat ini juga mendapat tamu dari luar negeri.
Di kompleks makam Segoropuro terdapat tiga makam utama, yaitu Sayid Arif Abdurrahim, Sayid Abdurrahman, dan Mbah Kendil Wesi. Ketiga tokoh tersebut merupakan penggerak syiar Islam di pesisir Jawa, seperti Madura dan Pasuruan.

Cahaya, Karomah dan Sebutan ‘Mas’
            Bercerita mengenai Makam Segoropuro, dalam hal ini kisah Sayid Arif bin Abdurrahim tidak akan lepas dari kisah beberapa tokoh ulama besar lainnya. Sayid Arif yang memiliki nama lengkap Sayid Ali Al-arif Basyaiban merupakan putra sulung dari Sayid Abdurrahman bin Umar Basyaiban asal Yaman.
Ibundanya adalah Ny Syarifah Khadijah binti Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) atau yang dikenal dengan sebutan Raden Ayu Bangil. Sayid Arif merupakan kakak kandung dari Sayid Sulaiman Basyaiban yang dimakamkan di Kanigoro, Kab Jombang. Sementara itu, keduanya juga merupakan keponakan, murid, sekaligus menantu dari Kyai Sholeh Semendi bin Syarif Hidayatullah.
            Seperti halnya putra seorang ulama, keduanya mendapat pendidikan agama yang kuat dari orangtua dan pamannya. Tak hanya itu, ketika masih muda atas perintah sang ayah keduanya juga sempat menimba ilmu di pesantren Sunan Ampel Surabaya. “Konon, waktu mondok inilah karomah beliau berdua mulai terlihat. Sampai kemudian keduanya mendapat sebutan mas (sejenis ‘Gus’),” kata Abdul Karim.
            Kisah itu bermula, ketika salah seorang pengasuh pondok yang tengah berjalan di sekitar area pesantren mendapati cahaya menyilaukan dari salah satu kamar santri. Karena kondisi sekitar yang gelap, sang kyai kesulitan mengenali tubuh dua orang yang ternyata menjadi sumber cahaya tersebut. Sehingga munculah inisiatif membuat ikatan pada sarung keduanya.
            Pagi harinya, sang kyai menanyakan perihal ikatan yang dibuatnya tersebut. Sampai akhirnya diketahui bahwa tubuh yang mengeluarkan cahaya emas menyilaukan tersebut adalah Sayid Arif dan Sayid Sulaiman. Sehingga sang kyai berpesan pada semua santri agar mulai hari itu, keduanya dipanggil dengan sebutan ‘Mas’.
            Kisah menarik lainnya adalah sekembalinya dua bersaudara tersebut dari pesantren dan menemui sang ibunda di Cirebon. Selang beberapa waktu, sang ibunda kembali meminta keduanya menemui pamannya, Kyai Sholeh Semendi di Pasuruan untuk menimba ilmu.
            Singkat cerita, sesampainya di Pasuruan, Kyai Sholeh memberikan perintah yang mustahil pada keduanya. Membabat hutan dalam waktu sehari. Namun karena kebersihan hati dan ketawadluan keduanya, perintah tersebut tetap dipatuhi. Dan sungguh luar biasa, tugas itu berhasil dengan baik kurang dari sehari, dan tanpa berbekal alat berat apa pun. Selain pisau kecil yang konon diberikan sang bunda sebelum berangkat.
            “Kisah tentang karomah beliau banyak sekali. Makanya kebiasaan di sini adalah tawassul Alfatihah ditujukan pada Sayid Arif, Sayid Abdurrahman putra beliau, dan Mbah Kendil Wesi, murid beliau yang juga punya karomah. Hajat apa pun, pendidikan, pekerjaan, jodoh, keselamatan, dengan hati bersih dan tulus mohon pada Allah, Insyaallah makbul (terkabul),” tutur Abdul Karim. (hay, uul, yus)


Senin, 23 November 2015

JEJAK SEJARAH PETILASAN ARYA DAMAR


Candi Tawangalun, Buncitan, Sidoarjo

JEJAK SEJARAH PETILASAN ARYA DAMAR

Mempelajari situs kuno selalu menarik. Entah dari segi kisah maupun aspek mistis yang hampir selalu mengiringi. Namun yang lebih utama adalah bagaimana menjaga kelestariannya sebagai warisan budaya masa lalu. Jangan sampai, kelak kejayaan bangsa hanya tinggal cerita. Karena jika bukan kita siapa lagi akan melestarikannya?



Kebosanan akan hiburan yang mindstream, membawa salah seorang kru Derap Desa (DD) menelusuri jejak sejarah yang nyaris terlupakan. Candi Tawangalun menjadi salah satu objek sejarah yang ditawarkan rekan sesama pekerja media kala itu. Alasannya sederhana, peninggalan kerajaan Majapahit ini nyaris tidak tersentuh renovasi.
Beruntung, didepan onggokan batu bata merah yang sebelumnya dikira sisa kontruksi tersebut terdapat tulisan Candi Tawangalun dengan huruf kapital. Lengkap dengan deretan kalimat undang-undang tentang pelestarian bangunan ataupun peninggalan sejarah. Kalau tidak, barangkali tidak akan ada pengunjung yang tahu kalau bangunan berundak itu adalah candi bersejarah.
Kondisi ini, tentu saja, sangat berbeda dengan candi-candi yang umumnya masih banyak ditemui di sekitar Sidoarjo. Candi Pari atau Sumur di Kec Porong, Sidoarjo misalnya. Kendati mengalami kerusakan di beberapa bagian akibat termakan usia, tapi bentuk aslinya sebagai sebuah candi masih dapat disaksikan.
"Kalau dibilang berantakan, ya, memang begini keadaannya. Tapi memang inilah Candi Tawangalun," tutur Ahmad Saiful Munir, juru kunci Candi Tawangalun, menanggapi keterkejutan DD yang kala itu berkunjung.
Candi Tawangalun berdiri di sebuah area perbukitan kecil di kawasan Kampung Baru Desa Buncitan Kec Sedati Kab Sidoarjo. Berada ditepian pesisir selat berupa rawa yang dijadikan tambak bandeng. Selain itu, di lokasi perbukitan itu pula tepatnya disebelah selatan area candi yang lebih lapang terdapat sebuah pemakaman umum.
Diyakini, Candi Tawang Alun dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Hal ini terlihat dari material batu bata merah padat bercorak Hindu. Tawangalun dulunya juga dikenal dengan sebutan Candi Sumur Windu. Hal ini berdasarkan bentuk candi yang berlubang di tengah dengan diameter mencapai satu meter persegi. Juga bekas struktur konstruksi berundag yang dipakai sebagai tangga menuju perut candi. Kendati saat ini, tidak ada lagi sumber air yang mengalir dari dalam Candi Tawangalun.
Dilihat dari bentuk dan posisinya, Candi Tawangalun juga diyakini hanyalah salah satu dari keseluruhan bangunan kompleks candi. Berdasarkan analogi kontruksi bangunan Candi Pari, disimpulkan Candi Tawangalun merupakan bangunan pendukung untuk mensucikan diri sebelum seseorang melakukan pemujaan dan tirakat di candi utama.
“Dulu banyak sekali reruntuhan candi di sekitar sini. Tapi sekarang yang masih bisa dijumpai tinggal Candi Tawangalun ini,” tutur Saiful mendukung.
 Selain menjadi satu-satunya situs yang tersisa, Candi Tawangalun yang resmi diakui sebagai situs sejarah sejak 2008 ini, keadaannya jauh dari kata layak. Perawatan ala kadarnya dari juru kunci candi yang membuatnya bertahan di tepi pemukiman penduduk yang semakin merangsek mendekati kompleks candi.
Salah satu upaya Saiful, dengan memasang pembatas pagar kayu mengelilingi kompleks candi. Ia juga menjadikan kompleks Candi Tawangalun sebagai ‘galeri seni tanpa dinding’ dengan menempatkan beberapa karya buatannya. Patung Gajah Mada, dan beberapa fosil ikan purba, karang, kerang, batuan laut, dan fosil laut lainnya ditata membentuk gunungan menghiasi area candi yang cenderung gersang tersebut.
Hal miris lainnya, area candi yang diyakini dulunya merupakan kawasan laut dangkal yang sudah mengering terdapat beberapa lubang yang menyemburkan lumpur. Hanya saja intensitasnya tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan. Kendati terdapat pula salah satu lubang semburan yang berasa di sisi candi yang sempat menyebabkan beberapa batu bata bangunan candi longsor terbawa arus lumpur.
“Itu sebabnya saya bikin kubangan disini, supaya lumpurnya tertampung disini sehingga tidak mengganggu bangunan candi,” terang Saiful sembari menunjuk kolam kecil di selatan candi yang kala itu mengering.
Ada peristiwa menarik perihal lubang semburan lumpur tersebut, menjelang terjadinya tragedi semburan Lumpur Lapindo, 29 Mei 2006, genangan lumpur di tempat ini mengalami peningkatan. Namun karena ketidakpahaman Saiful, hal itu diabaikan. Tidak lama setelah peristiwa itu, terdengar kabar terjadi bencana lumpur lapindo.
“Selama ini ya sebatas ini yang bisa saya lakukan. Saya berharap pemerintah maupun masyarakat, ayolah kita lebih peduli terhadap peninggalan sejarah. Jangan sampai ini hilang,” pesan Saiful penuh harap.

Petilasan Arya Damar
Berada di areal Candi Tawangalun kita akan merasakan angin semilir bercampur hembusan angin hangat, khas udara pesisir. Sesekali bau belerang menghampiri indra penciuman, menambah kesan mendalam tentang kejayaan masa silam ketika candi ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Masa dimana nilai-nilai kehidupan dipelajari dan dipegang teguh sebagai panutan.
Seperti layaknya semua tempat bersejarah, Candi Tawangalun hidup diantara masayarakat yang memiliki kearifan lokalnya sendiri. Kisah mistis yang berujung pada larangan dan keharusan terbukti mampu menjadi peringatan agar masyarakat tidak berbuat cela. Pesan moral dari mitos itu jelas: jangan merusak. Sebuah cara yang elegan untuk memelihara konstruksi pemahaman bahwa situs-situs sejarah dibangun sebagai tempat suci, dan siapapun harus bertanggung jawab kepada kelestarian kesuciannya.
Sejarah Candi Tawangalun sendiri erat kaitannya dengan keberadaan Putri Alun, salah seorang selir Raja Majapahit, Brawijaya II dan anaknya Jaka Dila atau yang juga dikenal dengan nama Arya Damar. Dikisahkan, pada masa Kerajaan Majapahit ada seorang butho (raksasa, red) yang bernama Resi Tawangalun. Resi  Tawangalun mempunyai putri yang bernama Putri Alun. Suatu ketika Putri Alun yang menyukai Raja Brawijaya meminta kepada sang ayah agar merubahnya menjadi cantik sehingga Raja Brawijaya II tertarik padanya.
Singkat cerita, Sang Raja Brawijaya pun mempersunting Putri Alun menjadi selirnya. Namun Putri Alun yang seorang raksasa muncul sifat aslinya. Suatu hari pelayan istana mendapati Putri Alun dengan lahap menyantap daging mentah. Kejadian itu dilaporkan pada Raja Brawijaya II, raja pun marah dan kesal sehingga tanpa pikir panjang mengusir Putri Alun yang kala itu sedang hamil tua. Dalam keadaan sedih, Putri Alun pun kembali pada ayahnya dan melahirkan anak yang di beri nama Jaka Dila.
Saat beranjak dewasa, Jaka Dila menanyakan siapakah ayahnya. Putri Alun pun mengatakan bahwa ayahnya adalah Raja Brawijaya II. Demi mendapat pengakuan, Jaka Dila pun datang menemui Raja Barawijaya II. Sebagai syarat untuk pengekuannya, Raja Brawijaya II meminta Jaka Dila membuat damar (lampu) tanpa pegangan, asal muasal Julukan Arya Damar. Serta syarat kedua, membawakan tanah yang harus sama persis dengan tanah yang ada di kerajaan (Trowulan).
Berbekal kesaktian yang diwariskan kakeknya, kedua syarat tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Akan tetapi bukannya mengakui Jaka Dila sebagai anak, Raja Brawijaya II justru kembali mengajukan syarat ketiga, membunuh Resi Tawangalun, kakeknya.
Ditengah keinginan mendapat pengakuan dan kebimbangan harus membunuh kakeknya, Jaka Dila memilih menyepi di Candi Tawangalun dan kemudian mukso.
“Versi ceritanya beragam. Ada yang meyakini bahwa candi ini dibangun Putri Alun untuk tempat semedi Jaka Dila. Sebagian juga mengatakan ini persembahan Raja Brawijaya II untuk Putri Alun. Tapi intinya sama, Candi Tawangalun ini merupakan tempat semedinya Jaka Dila sebelum akhirnya muksa,” jelas Saiful.
Disamping kisah tersebut, candi sederhana yang cenderung berantakan tersebut juga konon masih menyimpan nilai-nilai mistiknya sendiri. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan warga Buncitan, termasuk Saiful ketika masih anak-anak.
Seperti ketika ada seorang bapak mengambil beberapa batu bata dari Candi Tawangalun untuk dipasang di rumahnya. Malam harinya, ia merasa didatangi sesosok orang yang lantas memukulinya. Keesokan harinya, batu yang telah terlanjur terpasang itu pun dibongkar, dan dikembalikan ke kompleks candi. Tak berapa lama kemudian, si bapak pun meninggal dunia.
“Ada juga kejadian di satu sekolahan yang seluruh siswanya kesurupan. Usut punya usut di sekolah tersebut banyak batu bata candi ini. Akhirnya ya dikembalikan dan berjanji tidak akan mengambil lagi,” terang Saiful yang sudah hampir 14 tahun menjadi Juru Kunci Candi Tawangalun. (hay)

Saridjah ‘Ibu Soed’ Niung Bintang Soedibjo


Saridjah ‘Ibu Soed’ Niung Bintang Soedibjo

MEMANTIK JIWA NASIONALIS LEWAT LAGU PATRIOTIS

Jika ditanya apa saja lagu wajib yang kita hafal, barangkali masih tersisa barang satu dua lagu. Namun bagaimana dengan penciptanya? Masihkah kita mengingat mereka? Ibu Soed, salah seorang Maestro musik Indonesia, lewat keceriaan lagu ciptaannya, berusaha mematri semangat patriotis anak bangsa. Lagu yang kini gaungnya pun nyaris pudar ditelan lagu-lagu modern yang bahkan tak memiliki nilai filosofis apalagi semangat pengajaran yang baik.


Kreatif, berbakat, nasionalis, dan penuh dedikasi. Begitulah refleksi singkat yang tercermin dari sosok, Saridjah Niung Bintang Soedibjo. Refleksi itu kiranya tidak berlebihan jika melihat lagu-lagu gubahannya yang sarat nilai patriotisme. Sebagian besar lagu anak yang diciptakannya juga sangat terkenal di kalangan pendidikan Taman Kanak-Kanak Indonesia.
Diperkirakan mencapai 480 jenis lagu anak dan nasional telah diciptakan Saridjah Niung, meski tak semuanya bisa kita temui saat ini. Masih ingat dengan lagu Berkibarlah Benderaku, Bendera Merah Putih, atau lagu Naik-Naik Ke Puncak Gunung yang hampir selalu disenandungkan dalam perjalanan liburan? Ya, itu sedikit dari ratusan lagu gubahan Saridjah Niung yang lebih dikenal dengan sebutan Ibu Soed. Nama yang disandang setelah menjadi Istri R. Bintang Soedibjo pada tahun 1927.
Ibu Soed lahir sebagai putri bungsu dari dua belas orang bersaudara. Ayah kandungnya adalah Mohamad Niung, seorang pelaut asal Bugis yang menetap lama di Sukabumi dan menjadi pengawal Prof Dr Mr J F  Kramer. Pensiunan Wakil Ketua Hoogerechtshof (Kejaksaan Tinggi) di Jakarta pada masa itu. J F Karmer pula yang lantas menjadi orang tua angkat Ibu Soed. Sekaligus yang berperan besar dalam mengasah kemahirannya di bidang musik, terutama bermain biola.
Kecuali itu,  latar belakang J F Kramer yang seorang Indo-Belanda beribukan keturunan Jawa ningrat juga membuat Ibu Soed dididik menjadi patriotis dan mencintai bangsanya. Karenanya tidak heran jika dalam hampir sebagian besar lagu gubahan Ibu Soed selalu memiliki nilai filosofis patriotisme.
Untuk memperdalam ilmunya di bidang seni suara dan musik, Ibu Soed juga melanjutkan sekolah di Hoogere Kweek School (HKS) Bandung . Setelah tamat, ia kemudian mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Ketika menjadi guru musik di HIS Petojo, HIS Jalan Kartini, dan HIS Arjuna yang masih menggunakan Bahasa Belanda (1925-1941) inilah, Ia prihatin melihat anak-anak Indonesia yang tampak murung. Hal ini membuat Ibu Soed berpikir untuk menyenangkan mereka dengan bernyanyi lagu ceria. Didorong rasa patriotisnya, Ibu Soed pun mulai menciptakan lagu anak dan mengajar mereka untuk menyanyi dalam Bahasa Indonesia.
Tokoh Musik Multitalent
Ibu Soed lahir di Sukabumi pada 26 Maret 1908 dan meninggal pada tahun 1993 di Jakarta pada usia 85 tahun. Melihat rentang waktu tersebut maka tidak heran jika Ibu Soed juga berjuluk sebagai tokoh musik tiga jaman (Belanda, Jepang, dan Indonesia). Kariernya di bidang musik bahkan sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Suaranya pertama kali disiarkan dari radio NIROM Jakarta periode 1927-1928.
Semasa hidupnya, Ibu Soed tidak hanya dikenal sebagai pemusik dan guru musik. Disamping keahliannya mencipta lagu anak-anak, ia juga adalah penyiar radio, dramawan, dan seniman batik Indonesia. Salah satu karya batik khas Indonesia yang dibuat berdasarkan konsepsi Presiden Soekarno diberi nama Batik Terang Bulan, memperoleh penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah Indonesia dan MURI.
Ibu Soed juga pernah menulis naskah sandiwara dan mementaskannya. Operette Balet Kanak-kanak Sumi di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 1955 bersama Nani Loebis Gondosapoetro sebagai penata tari dan RAJ Soedjasmin sebagai penata musiknya.
Saat aktif sebagai anggota organisasi Indonesia Muda tahun 1926, Ibu Soed pun membentuk grup Tonil Amatir yang dipentaskan guna menggalang dana untuk acara penginapan mahasiswa Club Indonesia. Aktivitasnya tidak hanya menonjol sebagai guru dan aktivis organisasi pemuda, tetapi juga berperan dalam berbagai siaran radio sebagai pengasuh siaran anak-anak (1927-1962).
Karena reputasinya yang aktif dalam pergerakan Nasional, pada tahun 1945 Rumah Ibu Soed di Jalan Maluku No. 36 Jakarta pernah menjadi sasaran aksi penggeledahan pasukan Belanda. Beruntung salah seorang tetangganya yang berkebangsaan Belanda meyakinkan mereka bahwa mereka salah sasaran. Sebab profesi Ibu Soed yang hanya pencipta lagu dan suaminya seorang pedagang. Kendati selamat dari penggeledahan, Ibu Soed dan seorang pembantu tetap harus bersusah payah membuang pemancar radio gelap ke dalam sumur. (nurhayati)


DIILHAMI PERISTIWA SEJARAH BANGSA
Banyak lagu Ibu Soed yang menjadi lagu populer abadi. Beberapa diantaranya juga telah dinyatakan sebagai lagu wajib nasional yang kerap diperdengarkan dalam kesempatan kenegaraan. Salah satunya pada perayaan Proklamasi Kemerdekaan republik Indonesia, 17 Agustus.
Bagi sebagian orang, lagu berkibarlah benderaku, Indonesia tanah airku, barangkali hanyalah lagu masa kecil yang kerap disenandungkan di bangku Taman Kanak-kanak. Namun lupakah kita bagaimana lagu tersebut digubah? Semangat yang mendasarinya? Pak Kasur, salah seorang rekannya yang juga tokoh pencipta lagu anak-anak, mengatakan, Ibu Soed selalu menghadirkan semangat patriotisme di setiap lagu yang diciptakan.
Sebagai contoh, patriotisme terdengar sangat kental dalam lagu Berkibarlah Benderaku. Lagu yang diciptakan Ibu Soed setelah melihat kegigihan Jusuf Ronodipuro, seorang pimpinan kantor RRI menjelang Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947. Dimana Jusuf menolak untuk menurunkan Bendera Merah Putih yang berkibar di kantor RRI, walaupun dalam ancaman senjata api pasukan Belanda.
Ceritanya bermula pada malam 21 Juli 1945. Saat Jusuf yang ketika itu berusia 33 tahun menolak perintah di bawah ancaman senjata dari para serdadu Belanda yang meminta agar dia menurunkan bendera merah-putih yang tengah berkibar. Ancaman senjata, dia balas dengan gertak ancaman pula, "Kalau memang bendera harus turun, maka dia akan turun bersama bangkai saya!" cecar Jusuf yang lalu mengilhami lahirnya sebuah lagu perjuangan tersebut.
Sebagai pemusik yang mahir memainkan biola, Ibu Soed juga turut mengiringi lagu Indonesia Raya bersama W.R. Supratman saat lagu itu pertama kali dikumandangkan dalam acara Sumpah Pemuda di Gedung Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Pada tahun-tahun perjuangan, Ibu Soed juga bersahabat dengan Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Kusbini, dan tokoh-tokoh nasionalis lain.
Sebagai generasi muda penerus bangsa, sudah selayaknya kita meniru semangat nasionalisme para pejuang bangsa. Tidak hanya dengan mengangkat senjata di tangan. Tapi juga melalui karya terbaik yang kita dedikasikan demi kemajuan bangsa. (ati)


BIODATA
Nama  Lengkap           : Saridjah Niung Bintang Soedibjo
Nama Panggilan         : Ibu Soed
TTL                              : Sukabumi, 26 Maret 1908
Suami                          : R Bintang Soedibjo
Karya                           : Tanah Airku,
Pendidikan                  : Hoogere Kweek School Bandung, Pendidikan Seni Suara dan Musik
Pekerjaan                    : Pemusik, Guru Musik, Komponis, Penyiar Radio, Dramawan, Seniman Batik
Meninggal                   : Jakarta, tahun 1993

Beberapa lagu ciptaan Ibu Soed
  • Anak Kuat
  • Berkibarlah Benderaku
  • Bendera Merah Putih
  • Burung Kutilang
  • Dengar Katak Bernyanyi
  • Desaku
  • Hai Becak
  • Indonesia Tumpah Darahku
  • Himne Kemerdekaan
  • Kampung Halamanku
  • Kupu-kupu yang Lucu
  • Lagu Bermain
  • Lagu Gembira
  • Main Ular-Ularan
  • Menanam Jagung
  • Naik Delman
  • Naik-Naik ke Puncak Gunung
  • Nenek Moyang
  • Pagi-pagi
  • Pergi Belajar
  • Tanah Airku
  • Teka-Teki
  • Tidur Anakku
  • Tik Tik Bunyi Hujan
  • Waktu Sekolah Usai

Liza Juliati Cristiani, Anggota Pokja III TP PKK Kota Surabaya


Liza Juliati Cristiani, Anggota Pokja III TP PKK Kota Surabaya

SAYA ORANG INDONESIA

“Kalau bisa memilih, saya ingin menjadi Ratu Elisabeth yang sampai tua dielu-elukan orang. Tapi kita tidak bisa memilih. Jadi jangan lihat warna kulit, di sini jiwa kami Indonesia,” ujar Liza J Cristiani. Satu dari sedikit perempuan keturunan Thionghoa yang memilih bergelut di organisasi berbasis kemasyarakatan, PKK. Kendati diskriminasi kesukuan masih kerap hadir. Seperti apakah?



Pembawaan yang riang dan energik membuat Liza-panggilannya, terkesan lebih muda dari usianya. Perempuan yang menginjak usia hampir kepala tujuh tersebut masih aktif melakukan berbagai kegiatan. Khususnya kegiatan sosial yang sudah pasti menyita begitu banyak waktunya.
Ditemui di kediamannya, Liza yang saat ini masih terhitung sebagai anggota aktif TP PKK Kota Surabaya, memang dituntut menjalani aktifitas yang padat sekaligus mobile. Akan tetapi meski begitu, Liza masih menyempatkan diri mengikuti pelatihan berbagai macam kerajinan. Sehingga tak heran, ketika pertama bertandang ke rumahnya, Puspa seolah memasuki sebuah galeri seni.
Rumahnya tidak terlalu besar. Meski juga tidak bisa dibilang kecil, namun tertata rapi dan artistik. Meja kursi kayu berukir berada di sudut selatan ruangan. Dihiasi beberapa pahatan kayu berbentuk angsa di atas meja yang ternyata toples makanan. Terdapat pula pigora tiga dimensi berisi kerajinan bunga kering yang berada di dinding sebelah utara ruangan. Tak hanya itu, sebuah lemari besar yang sekaligus berfungsi sebagai penyekat ruangan, nampak penuh dengan berbagai macam karakter patung boneka kecil. Belum lagi, lukisan-lukisan yang seolah menunggu giliran untuk dipajang.
Jika ditanya apakah semua itu hasil karyanya, sudah pasti jawabannya iya. Namun apakah Liza seorang pekerja seni, ia bergumam cukup lama sebelum memutuskan untuk menjawab. “Saya itu suka belajar apa saja hal baru yang belum saya tahu. Tapi kalau ditanya untuk apa semua kerajinan ini, hanya untuk kesenangan. Saya gak ada pikiran untuk mengkomersilkan karya-karya saya ini,” tutur Liza kemudian.
Sangat suka belajar dan ulet. Kedua sifat itulah yang membuatnya tak jarang menjadi utusan untuk mengikuti berbagai pelatihan kerajinan yang digelar beberapa instansi pemerintah. Bahkan bisa dikatakan, kebiasaan itulah yang membuat Liza diangkat menjadi anggota PKK Kota Surabaya, khususnya Pokja III.
Sebelum aktif di PKK Kota Surabaya, Liza telah cukup banyak berkecimpung di organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satunya  Lions Club Surabaya Kencana. Di organisasi ini pula, ia mengenal Juretta Mursyam, Plt Ketua TP PKK Kota Surabaya yang kemudian merekrutnya. Meski jauh sebelumnya, tawaran untuk berkegiatan di PKK telah sering diterima. Namun ditolak, dengan alasan kedua anaknya belum bisa ditinggal.
“Ketika masa Pak Bambang DH jadi walikota, Bu Mursyam kembali menagih janji. Ayo Bu Liza ikut PKK, sekarang mau alasan apa lagi, anak-anak sudah besar dan mandiri,” kenang Liza diiringi tawa.

Belajar Nasionalisme
Terlahir di Bondowoso, pada 16 Juli 1948 dan dari keluarga Kristen Katolik yang taat, Liza menjalani pendidikan dasar di Sekolah Dasar Katolik di Banyuwangi. Namun memasuki jenjang sekolah menengah, ia memilih masuk ke sekolah menengah negeri dibanding sekolah Katolik seperti saudara-saudaranya. Alasannya terbilang klise, ia ingin merasakan bagaimana bergaul dalam keberagaman. Perbedaan agama, suku, ras, bukan halangan untuk bisa hidup berdampingan dalam kerukunan.
Liza bahkan mengaku geram ketika mengetahui masih banyak diskriminasi yang terjadi di masyarakat. Ditambah lagi dirinya yang masih tergolong keturunan Thionghoa yang tak luput dari sinisme masyarakat. Padahal sekalipun ia tak pernah menganggap kesukuannya sesuatu yang berbeda.
“Saya mungkin Chinese, tapi saya hafal lagu kebangsaan Indonesia, sila-sila pancasila. Bahkan krama inggil pun saya fasih, justru bahasa mandarin yang saya tidak bisa sama sekali,” ujar Liza setengah berkelakar ketika ditanya, alasannya bersedia berkecimpung di dunia sosial.
Mengabaikan sinisme masyarakat, Liza mengaku senang menjalani kesehariannya di dunia sosial. Meski kelelahan dan kekecewaan terkadang menghampiri ketika niat baiknya dipandang sebelah mata, kepuasan melihat kebahagiaan orang-orang yang dibantu menghapus semua rasa lelah dan kecewanya. Ia hanya berharap bahwa kelak, masayarakat  akan bisa melihat dedikasi yang dilakukan dibanding dari mana dia dilahirkan.
“Kalau bisa memilih, saya ingin menjadi Ratu Elisabeth yang sampai tua dielu-elukan orang. Tapi kan kita tidak bisa memilih. Saya Warga Negara Indonesia, terus warna kulit harus dibeda-bedakan? Dulu para pejuang banyak yang orang Thionghoa. Sedang sekarang, tidak sedikit  kan orang selain Thionghoa yang jadi penghianat bangsa, korupsi dan lain-lain. Jadi jangan lihat warna kulit, disini Jiwa kami Indonesia,” ujar Liza berapi-api. (nurhayati)





ORANG TUA JADI PANUTAN

            Memiliki jiwa sosial yang tinggi dan rasa nasionalisme yang tanpa pamrih bukanlah suatu hal yang dipelajarinya dengan sengaja. Hal itu berangkat dari perilaku kedua orang tuanya. Ketika muda, Liza memiliki kebiasaan membagi makanan pada pengemis yang rutin datang ke rumahnya. Setiap Hari Jumat, Liza selalu menyisakan pisang yang seharusnya ia makan untuk diberikan pada pengemis.
“Ibu gak pernah ngasih tahu, Liza kamu musti begini-begitu. Tapi dari apa yang ibu saya lakukan setiap hari, saya terdorong untuk menirunya,” terang Liza yang memiliki Sekolah Luar Biasa (SLB) di daerah Karangpilang, Surabaya.
            Ditanya mengenai rencana membuka usaha, Liza berpendapat bahwa setiap orang telah memiliki bagian rejekinya masing-masing. Sehingga biarlah dia yang mendapat bagian untuk berbagi ilmu, dan orang lain yang membuka usaha dari kerajinan yang dia ajarkan tersebut.
            “Kalau mau bikin usaha umur saya sudah berapa. Kalau bicara keinginan, saya justru lebih ingin memiliki sebuah galeri seni untuk memajang karya saya. Biar nanti kalau ada yang datang dan ingin belajar, saya akan bagikan ilmu saya. Termasuk juga membina anak-anak di SLB supaya punya keahlian yang siapa tahu berguna untuk penghidupannya kelak,” katanya penuh harap.

(ati)






BIODATA
Nama                          : Liza Juliati Cristiani
TTL                              : Bondowoso, 16 Juli 1948
Anak                            :
·         Ir Andreas D Perdanaputra
·         Monica Permanasari J, drg, MM, PhD
Aktifitas Organisasi     :
·         Anggota Pokja III TP PKK Kota Surabaya
·         Anggota Lions Club Surabaya Kencana
·         Komunitas Batik Surabaya (Kibas)
·         Asosiasi Pengrajiin Bunga Kering dan Buatan (Aspringta)
·         Ikatan Persatuan Bunga Indonesia (IPBI)

SIMPANLAH KEBAHAGIANMU


SIMPANLAH KEBAHAGIANMU
Tahukah apa yang paling berbahaya dari diri seseorang? Mulutnya. Segalah hal yang baik dan buruk muncul dari mulut sebelum akhirnya dimanifestasikan dalam perbuatan. Berapa banyak kemarahan, sakit hati, hingga yang berujung pada permusuhan hanya karena ucapan yang tidak terjaga.
Setiap dari kita tentu pernah merasa bagaimana rasanya dihina, dicaci  maki, bahkan dihujat. Sakit hati atau marah itu sangat wajar. Tapi apa yang harus kita lakukan setelahnya? Mendendam? Membalas dengan yang lebih buruk? Atau bersabar?. Tidak ada satupun pilihan yang mudah, tapi setiap pilihan akan ada konsekuensinya.
Puspanita,
Alkisah, ada seseorang yang sangat menikmati kebahagiaan dan ketenangan di dalam hidupnya. Orang tersebut mempunyai dua kantong. Pada kantong yang satu terdapat lubang di bawahnya, tapi pada kantong yang lainnya tidak terdapat lubang.
Segala sesuatu yang menyakitkan yang pernah didengarnya seperti makian dan sindiran, ditulisnya di sebuah kertas, digulung kecil, kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang berlubang. Tetapi semua yang indah, benar, dan bermanfaat, ditulisnya di sebuah kertas kemudian dimasukkannya ke dalam kantong yang tidak ada lubangnya.
Pada malam hari, ia mengeluarkan semua yang ada di dalam saku yang tidak berlubang, membacanya, dan menikmati hal-hal indah yang sudah diperolehnya sepanjang hari. Kemudian ia merogoh kantong yang ada lubangnya, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Maka ia pun tertawa dan tetap bersukacita karena tidak ada sesuatu yang dapat merusak hati dan jiwanya.
Puspanita,
Itulah gambaran dari apa yang seharusnya kita lakukan. Menyimpan semua yang baik di “kantong yang tidak berlubang”, sehingga tidak satupun yang baik yang hilang dari hidup kita. Sebaliknya, simpanlah semua yang buruk di “kantong yang berlubang”. Maka yang buruk itu akan jatuh dan tidak perlu kita ingat lagi.
Namun sayang sekali.. masih banyak orang yang melakukan dengan terbalik! Mereka menyimpan semua yang baik di “kantong yang berlubang”, dan apa yang tidak baik di “kantong yang tidak berlubang”. Akibatnya, jiwa menjadi tertekan dan tidak ada gairah dalam menjalani hidup.
Oleh karena itu, agar bisa menikmati kehidupan yang bahagia dan tenang, nikmatilah setiap kebahagiaan yang kita punya dan lupakan kesedihan yang singgah dalam hidup kita. Mari mencoba, menyimpan hanya yang baik dan bermanfaat. (ati,dbs)