Jumat, 25 November 2016

SEPATU LUPA




"Gaun apa yang akan kau pakai malam ini?" tanyamu di pagi hari
Tanpa lupa mengobrak-abrik isi lemari
Yang telah dengan setengah hati kutata berhari-hari

"Apa aku harus memakai sesuatu yang istimewa?" jawabku asal.
"Tentu saja," jawabmu mantab. "Ini bukan rutinitas yang akan kau lalui setiap hari. Tampillah dengan mempesona. Bukankah dia istimewa?" ucapmu dengan pertanyaan yang aku yakin sama sekali tidak butuh jawaban.

"Seistimewa apa?"

Apakah seistimewa roti lapis yang selalu kau buatkan untuk pagiku yang sibuk
Atau seistimewa selimut yang selalu kau balutkan setiap malam
bahkan ketika aku lupa melepas sepatu sebelum tidur
Ataukah masih lebih istimewa dari pijatan lembutmu di kepalaku ketika aku mengeluh pusing?

"Ayo, katakan! Apakah ada yang lebih istimewa dari itu?"

"Kau terus mendebatku. Dia bukan ibumu yang akan melakukan setiap hal kecil yang menjadi tugas kami itu. Sebaliknya, kau yang harus menjaganya," satu jeweran mendarat di telinga

Jaga rumahnya untuk tetap nyaman ditinggali
Jaga piringnya untuk tetap terisi
Jaga ranjangnya untuk tetap hangat ditiduri
Juga jaga hatinya untuk tetap kau miliki

"Sebanyak itu?"
"Akan lebih banyak lagi. Tapi kau akan menikmatinya,"

"Kalau begitu dia tidak istimewa," ucapku menghakimi.
"Kau mau mendebatku lagi?" sekarang kau mulai berkacak pinggang.

"Tidak. Tidak. Baiklah, aku akan menurutimu ibuku yang istimewa dan satu-satunya,"

Akan kupakai gaun paling istimewa yang kau beli dari hasil menjual sawah
Supaya dia tahu, aku adalah putri dari ibu yang istimewa
yang menyayangiku seolah aku adalah satu-satunya

Akan kupakai bedak berwarna tanah
Supaya dia melihat bagaimana aku akan hidup dalam dunianya

Akan kupasang celak yang hitam bagai tinta di mataku
Supaya dia ingat, bagaimana garis hidup kami menyatu

Juga akan kupoleskan gincu berwarna merah
Supaya dia tidak lupa,
Disini,
Ada hati sewarna darah
Yang harus dia jaga dengan nyawanya

"Sekarang aku sempurna kan?" aku berputar bagai manekin pajangan
"Belum,"
"Kenapa lagi?"
"Karena kau lupa memakai sepatumu,"

"Ya ampun....!"


Rabu, 23 November 2016

BUNGA RAMPAI


Senja itu sewarna tembaga
Ketika gelak tawa memilih pergi
Di ujung hari engkau berdiri
Gelap diantara semburat cahaya

Getar bibirmu menyambutku
Basah dirimu menyelimutiku
Hangat suaramu menjanjikan kerinduan
Seperti sumpah yang tak meminta persetujuan

Disini,
Dalam gelap sunyi
Hati meronta merintih
Meminta candu untuk obati luka diri

Disini,
Ditengah deras mata air penantian
Tergambar cinta dalam kubangan
Menunggu perjamuan tanpa sajian

Disini,
Pada tanah ladang tempatmu menuai janji merah
Ada hati sewarna darah
Yang telah lupa cara mengikat sumpah

Disini,
Ditempat kau berdiri
Hujan ini tumpah
Lengkap dengan kisah
Yang tak pernah sempat diakhiri

Selasa, 22 November 2016

CAMELIA



I.
Dia Camelia
puisi dan pelitamu
kau sejuk seperti titik embun membasahi daun jambu
di pinggir kali yang bening
sayap-saayapmu kecil lincah berkeping
seperti burung camar
terbang mencari tiang sampan
tempat berpijak kaki dengan pastimengarungi nasibmu
mengikuti arus air berlari
dia Camelia
engkaukah gadis itu
yang selalu hadir dalam mimpi-mimpi di setiap tidurku
datang untuk hati yang kering dan sepi
agar bersemi lagi
hmm ... bersemi lagi
kini datang mengisi hidup
ulurkan mesra tanganmu
bergetaran rasa jiwaku
menerima harum namamu
Camelia oh Camelia
Camelia oh Camelia
Camelia oh Camelia

II.
Gugusan hari-hari
Indah bersamamu Camelia
Bangkitkan kembali
Rinduku mengajakku kesana
Inginku berlari
Mengejar seribu bayangmu
Camelia
Tak peduli kau kuterjang
Biar pun harusku tembus padang ilalang
Tiba-tiba langkahku terhenti
Sejuta tangan telah menahanku
Ingin kumaki mereka berkata
Tak perlu kau berlari
Mengejar mimpi yang tak pasti
Hari ini juga mimpi
Maka biarkan ia datang
Di hatimu... di hatimu..

III.
Di sini dibatu ini
Akan kutuliskan lagi
Namaku dan namamu
Maafkan bila waktu itu
Dengan tuliskan nama kita
Kuanggap engkau berlebihan
Sekarang setelah kau pergi
Kurasakan makna tulisanmu
Meski samar tapi jelas tegas
Engkau hendak tinggalkan kenangan
Dan kenangan
Disini kau petikkan kembang
Kemudian engkau selitkan
Pada tali gitarku
Maafkan bila waktu itu
Kucabut dan kubuang
Kau pungut lagi dan kau bersihkan
Engkau berlari sambil menangis
Kau dakap erat kembang itu
Sekarang baru aku mengerti
Ternyata kembangmu kembang terakhir
Yang terakhir
Oh Camelia, katakanlah ini satu mimpiku
Oh oh oh oh oh
Camelia, maafkanlah segala silap dan salahku
Disini dikamar ini
Yang ada hanya gambarmu
Kusimpan dekat dengan tidurku
Dan mimpiku

IV.
Senja hitam 
ditengah ladang
Dihujung permatang engkau berdiri
Putih diantara ribuan kembang
Langit diatas rambutmu
Merah tembaga
Engkau memandangku
Bergetar bibirmu memanggilku
Basah dipipimu air mata
Kerinduan, kedamaian oh
Batu hitam diatas tanah merah
Disini akan kutumpahkan rindu
Kugenggam lalu kutaburkan kembang
Berlutut dan berdoa
Surgalah ditanganmu,
Tuhanlah disisimu
Kematian adalah tidur panjang
Maka mimpi indahlah engkau
Camellia, Camellia oh
Pagi, engkau berangkat hati mulai membatu
Malam, kupetik gitar dan terdengar
Senandung ombak dilautan
Menambah rindu dan gelisah
Adakah angin gunung, adakah angin padang
Mendengar keluhanku, mendengar jeritanku
Dan membebaskan nasibku

Dari belenggu sepi

BOCAH



Lidahku jadi kelu
Bukan karena sariawan yang mengganggu
Tapi akibat gumpalan ragu
Yang entah kapan akan menemukan titik temu

Siapa dirimu yang terus saja bertanya
Seolah aku ini sang panitera
Yang terduduk manis dan terus berbicara
Memberi keputusan untuk setiap perkara

Aku masih adalah bocah
Yang mengira langit berwarna merah darah
Hanya karena aku suka bermain dengan senja
Lalu terdiam dan meringkuk setelah gelap tiba

Aku masih adalah bocah
Yang bemain seperti hidup adalah selamanya
Hanya karena itu satu hal tersisa yang dipunya
Lalu berduka bagai itu adalah akhir dunia

Aku masih adalah bocah
Yang meringkuk dan bergelung di sudut kamar
Hanya untuk menikmati resah
Lalu terlelap dalam mimpi yang samar

Berharap bahwa segalanya berakhir
Ketika dunia berubah warna
Atau bermula dengan akhir
Yang memberangus segalanya

Senin, 21 November 2016

Si Gadis Api


Langit berwarna merah saga yang nyaris terlihat seperti kobaran api unggun. Tapi bukan untuk merayakan kemenangan atau kebahagiaan. Melainkan amarah sang gadis api yang telah terkobarkan demi kehormatan. Mereka bertanya tentang hak perempuan dalam permainan. Pun juga hak pemegang bidak di lantai dadu. Seperti itu adalah perjanjian jual beli tanpa barang yang layak untuk dihargai.

Bagaimana seseorang berkelakar tentang keadilah, yang bahkan tanpa pengetahuan akan benar dan salah tak seorangpun berhak menjadi raja. Bahkan bukankah dengan memiliki rambut dikepala, tak membuat seseorang menjadi singa.

"Diam semuanya! Diamlah saja!" Si Gadis Api berteriak dalam riak kemarahannya. "Melindungiku sudah diluar kemampuan kalian. keberanian untuk melindungi atas nama kebenaran sudah tidak ada lagi dalam diri kalian. Apa gunanya kebenaran jika itu membuat kita lemah? Kalau aku memang terlindungi sekarang, maka hanya Yang Kuasa lah yang akan melakukannya,"

Apakah itu penyerahan diri? Tidak. Itu adalah keputusasaan. Ketika cinta, rasa hormat, dan kedudukan menjadi ironi dalam kehidupan. Maka jangankan keinginan, napas dalam hidup serasa sebuah kesalahan yang pernah terlimpahkan tanpa diminta. Bagaimana hidup akan berlaku setelahnya? Perang besar, pertumpahan darah, kematian, kehilangan, kesedihan, kekosongan. Apakah ada kebahagiaan? Itu konyol. Perang selalu membawa kehancuran. Hasilnya adalah penderitaan dan beban setelah peperangan. Bagaimana bisa kau mengharapkan ada kebahagiaan untukmu setelah peperangan.

Tapi bahkan perang besar, kadangkala menjadi satu-satunya jalan miris yang logis ketika retorika tak lagi mencerahkan. Bukankah tidak ada waktu dalam kehidupan manusia yang tidak terhubung dengan kematian. Kenyataannya adalah setiap perjalanan akan berakhir pada kematian. sehingga perjalanan pada akhirnya akan berada pada peraturan, "Berjuanglah untuk kebenaran saja," entah apa yang akan kau dapat atau harus kau korbankan. Sebab tidak satupun dari hidupmu yang adalah milikmu, "Yang mendapatkan sesuatu belum tentu menang. Dan yang kehilangan juga belum tentu kalah. Itu hanya akibat dari waktu. Kalau sesuatu membuat seseorang begitu takut maka dia sudah dikalahkan,"

Seperti itulah jalannya akan berlaku, Kesatria tangguh Abimanyu memang menjadi alasan untuk sebuah perubahan, akan tetapi anaknyalah yang mengambil langkah pertamanya. Lantas apa itu mengubah rasa sakit saat ribuan panah itu mengambil bait demi bait harapan kekuatan dinasti yang diperjuangkannya? Sekali tidak. dan tentu tidak. Itulah kenapa, kesedihan masa depan bisa merusak kebahagiaan masa kini, tapi kebahagiaan masa depan tidak akan bisa menghapus kesedihan masa kini.

Sekarang kutanyakan lagi satu pertanyaan, apa itu keputusasaan? Kali ini pun juga tidak. Itu adalah penyerahan diri. Kendati Bisma dianggap tidak berdaya karena posisinya, Guru Drona yang terikat oleh sumpahnya, serta Karna yang terikat janji persahabatan pada sahabatnya. Atau bahkan Drupadhi yang hanyalah bidak dalam permainan dadu pembersihan dinasti....

Marah Tanpa Amarah, Bahagia Tanpa Tawa



Aku telah melihat banyak hal yang hidup tunjukkan padaku
Tapi ketidakberdayaan adalah yang paling menyiksaku
Sebab sekalipun marah, tak ada amarah yang terlampiaskan
Bahagiapun tak serta merta menciptakan tawa

Dadaku sesak oleh beban yang tak kasat mata
Hatiku sakit oleh luka yang tak berdarah
Latunan lagu, terdengar bagai nyanyian pemakaman tanpa kematian
Juga hembusan napas yang tak lagi berarti kehidupan

Setiap beban dan luka barangkali hanya sementara
Pun juga bahagia yang menjadi gula untuk hidup yang ada
Tapi bukankah hati tercipta untuk merasa
Dan kini ia memilih menyesap segalanya
Mencoba menikmatinya dengan cara yang gila

Dan ketika aku menangis, maka lihatlah!
Air mataku telah menggenangi halaman rumahmu

Jumat, 18 November 2016

CANDU


Tak perlu secawan sianida untuk bisa membunuhku
Sebab senyummu saja sudah cukup mematikan
Seperti halnya aku tidak butuh alasan
Ketika hati ini terikat dan memilih hidup untukmu



DENDAM



Jangan melewati jalan itu!
Itu jalan yang salah
Biarlah, aku tahu
Toh jalan yang benar justru membawaku dalam kubangan resah

Jangan pakai baju itu!
Itu tidak cocok untukmu
Tak pernah ada yang cocok untukku
Setidaknya yang ini tidak mencekikku

Berapa kali sudah kutelan debut serakah dari ambisimu?
Sebanyak apa harus kumengerti kicau riak dari maumu?
Bisakah sekarang kita berdamai?
Seperti permainanmu yang tak kunjung usai
Terserak apik bagai dendam yang tersemai

Bertingkahlah, selagi jiwa dalam otakku terhalang untuk berontak
Itu baik untukmu. Saat ini.

LANGKAH



"Perhatikan langkahmu!"
Itu pesanmu, sebelum kau pergi dengan secarik rindu
Yang jelas tersobek dari sebagian hatiku
Mengurat nadi dari hati yang tak pernah bersedia menunggu

Seperti pesan itu,
Aku berjalan menyusuri lorong semu
Tentu saja dengan pilu
Sebab kemanapun arahku
Stasiunnya tetaplah dirimu

Berapa lama lagi kebohongan ini tersimpan dalam bilik hatimu?
Tidakkah kau jemu?
Bukankah hatimu masih hati yang dulu
Hati yang tersusun dari puzzle hidupku?

Baiklah, aku kalah.
Tapi jangan paksa aku menyerah!
Sebab meski berdarah
Segalanya tetap mencipta sejarah...

Selamat pulang!


GARIS TEPI



"Tak seharusnya kau melintasi batasanmu!
Perhatikan dan pahami lagi,
kemana seharusnya langkahmu kau bawa!" pesan sang empu
lengkap dengan cerutu terbakar yang telah menghitamkan garis bibirnya
Seolah menegaskan bagaimana ironi bijak selalu saja meluncur indah
seperti halnya asap dari cerutunya.

Aku tak pernah luput memperhatikan apa yang kau sebut batasan
Garis tipis yang entah siapa yang tulis
Tapi nyata, bagai tanda kepemilikan
yang sanggup mencekik hingga batas oksigenmu menipis

Lantas bagaimana aku harus membawa diri?
Jika menerima, berarti mati
Menolak berarti tersisih
Jadi tak ada bedanya dimana aku berdiri

Kau hanya tidak tahu,
Berapa lama aku telah pernah tinggal disana
Duduk manis bagai pertapa
Menikmati setiap doa yang selalu saja menguar satu persatu
tanpa terbaca

Ibu, masihkah kau me-reka batasan itu lagi?
Percayalah, seperti biasa
Batasan itu hanya akan kulintasi
Lagi, dan lagi,




Senin, 14 November 2016

YOU

Kita bertemu di persimpangan
Tak ada duka atau kecewa yang harus ditelan
Hanya kisah perjalanan yang kan kita bagi
Namun kita punya arti




TENANG

Bangun di fajar subuh
Dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh kecintaan
Istirahat di terik siang
Merenungkan puncak getaran cinta
Pulang kala senja
Dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dalam doa
Bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran
Tersungging di bibir senyuman





MUNGKIN

Mungkin
Kita harus berhenti mencintai agar tak lagi tertekan
Berhenti percaya agar tak selalu merasa dikhianati
Berhenti berharap sebelum menerima kekecewaan
Atau berhenti hidup, meski mati tak memberi solusi
Hanya mungkin.

PUDAR

Cinta,
Aku tidak bisa mengatakan yang lain lagi
Wajahmu memudar bersamaan dengan padamnya cahaya di langit ini
Rasanya begitu sulit melepaskan diri
Meski akhirnya aku harus menyerah
Pada gelombang yang menarikku ke bawah
Dan kemudian aku mati.



Minggu, 13 November 2016

MIMPI

Pancaran hangat sinar mentari 
Tembus dalam asaku
Sorot matamu yang sebening kaca 

Pernah menghiasi hariku
Tampak ukiran senyum di bibirmu 

Seakan bagai aliran sungai
Aku masih ingat terasa sejuk itu, 

Damai, dan bersahabat
Namun saat aku tersadar, 

Ternyata ini hanya mimpi belaka




RINDU

Bukan pada diksi yang sama aku jengah
Tapi pada hati yang sama aku marah


||Alright. I didn't lose him
    He was never mine in the first place.


Rabu, 09 November 2016

BOM WAKTU



Kupikir aku akan mati oleh ambisiku
Meski bukan dengan cara memberontak sistem semu
Atau dengan mengkambinghitamkan hakikat abdi
Pun juga tidak dengan memasrahkan diri

Aku hampir selalu lupa
Bagaimana menikmati luka tanpa air mata
Menjalani sedih tanpa merintih
Melupakan lelah tanpa menjadi jengah

Mereka bilang aku manusia
Yang selalu bereaksi serupa dengan apa yang diterima
Atau berdiam diri menahan murka
Hingga batas penantian yang jelas kentara

Aku manusia atau bom waktu?