Minggu, 29 Desember 2019

DIALEKTIKA DUA KOTA SUCI


(Bersambung)
Hanya sekitar dua jam mataku terpejam. Alarm pukul 02.45 WSA berteriak tepat di telingaku sebelum akhirnya kupaksakan air dingin mengguyur tubuh dan menjagakan mataku. Setelah cukup dengan peregangan otot sekenanya, kubangunkan rekan-rekanku dan beralih mengirim pesan pada Muthowwif kami karena tak berhasil menelpon Team Leader. Untuk apa? Bertanya jalan menuju Masjid Nabawi, hehe.... Tahu sendiri lah.... I am a first comer. Begitu juga teman sekantor yang jadi teman sekamarku. Ada dua lagi sebenarnya, karena kami berempat di satu kamar. Salah satunya sudah pernah haji, tapi Eyang Uti itupun tak lagi paham arah ke Masjid Nabi.
"Kalau keluar dari hotel belok kanan lewat dari pintu 6 atau pintu  7 keluar masuknya," balasan WA dari Muthowwif masuk ke ponselku. Pintu yang dimaksud Muthowwif adalah Gerbang menuju pelataran masjid, bukan pintu masjidnya. Meskipun pada akhirnya, dengan penuh tanggung jawab Muthowwif yang sepantaran denganku itu memilih mengantar kami hingga ke pintu masuk area shalat perempuan, pintu masjid ke-12.
"Jangan lupa, keluar dan masuk lewat pintu 6 atau 7. Lebih mudah untuk sampai ke arah hotel. Habis shalat kembali ke hotel untuk sarapan. Setelahnya ada agenda pengenalan area masjid," terang sang Muthowwif menjelaskan agenda kami. Nada bicara yang detail membuatku merasa seperti murid bengal yang sedang diceramahi sang guru. Hihihi
Waktu Shalat Subuh belum tiba saat kami memilih shof di luar pintu 12 Masjid Nabawi. Menikmati semilir angin dingin disertai lantunan ayat-ayat baik dari pengeras suara di masjid maupun para jamaah. Kutelusuri setiap sudut yang bisa ditangkap oleh mataku. Mencoba merekamnya sebaik mungkin sebagai kenangan dalam hidupku. Pintaku satu, "Semoga selalu ada kesempatan lainnya di kemudian hari aku kembali ke tempat ini," Aamiiin....
Seolah menjadi satu dari ritual pasti lainnya, ‘darah’ bening kembali menganak sungai dari mataku. Menambah sembab dan kebas di wajahku yang bahkan belum tuntas sisa kemarin. Barangkali ini pengalaman subuh pertamaku bangun di pagi buta, duduk patuh di masjid, menikmati suasana syahdu menyambut panggilan ibadah wajib. Karena biasanya, aku lebih sering terbangun ketika matahari nyaris mengintip dibalik bukit.
"Mau bangun jam berapa? Keburu Subuhnya dipatok ayam," teringat omelan ‘sang ratu’ di rumah setiap kali bangun kesiangan. Mengingatnya, membuatku menyesali diri yang selalu khilaf menjalankan kewajiban terhadap Ilahi. Semakin terasa kecil diri ini.
Subuh kulalui dengan syahdu. Ada banyak hal yang kupelajari. Disini tak ada Qunut saat subuh dan dzikir sesudah shalat. Sesuatu yang bukan hal baru, tapi pertama kali kualami sendiri. Bukan sekedar kutahu dari kitab pelajaran di pesantren. Tak ada juga saling bersalaman usai shalat kecuali di kalangan sesama jamaah Indonesia. Hal yang sangat khas Nusantara.
Satu lagi, selalu ada Shalat Ghoib usai Rawatib. Tidak hanya di Madinah, tapi juga di Makkah. Atau barangkali di seluruh Masjid di Tanah Suci. Entahlah, aku belum sempat menanyakan hal itu. Mengingat aku hanya shalat jamaah di dua masjid itu selama di Tanah Suci.
Ah, otakku kembali memutar file-file lawasnya untuk mengingat bagaimana cara dan bacaan Shalat Ghoib. Lantas seperti biasa, mbah google memberi jawaban. See, ‘Santri macam apa aku ini?!’
***
Sejenak akan kuceritakan tentang apa yang kulihat di masjid yang telah membuatku jatuh cinta di pandangan pertama ini.
Masjid Nabawi memiliki 41 pintu dan 44 gerbang. Pastikan mengingat dari gerbang mana kita masuk pertama kalinya dan searah dengan hotel tempat menginap. Karena itu akan jadi satu-satunya pintu teraman bagi jamaah agar terhindar dari ‘lupa jalan pulang.’ Sebab, setiap sisi masjid hanya ada gedung pencakar langit yang seringkali menyusahkan untuk diingat detailnya satu persatu. Barangkali itu juga sebabnya, Muthowwif berkali-kali mengingatkan hal itu pada jamaah.
Di sekitar area masjid, para Jamaah Umroh maupun Haji dapat menemui banyak tempat bernilai sejarah. Sebut saja Area Pemakaman Baqi’, tempat pemakaman Keluarga dan Sahabat Nabi serta para jamaah haji dan umroh yang meninggal di Kota Suci. Berada di sisi Timur Masjid Nabawi yang hanya bisa dikunjungi jamaah laki-laki pada jam tertentu. Pagi setelah Shalat Subuh sampai pukul 08.00 WSA. Setelah itu sore Ba'da Shalat Ashar hingga menjelang Maghrib pukul 16.30 WSA.
Tak jauh dari lokasi Pemakaman Baqi’ keluar melalui gerbang 5 terdapat Museum AlQuran. Akan ada tour singkat saat memasuki museum yang bisa diakses gratis tapi dibatasi dan bergantian. Pemandu tour yang kebetulan atau memang disengaja adalah orang Indonesia membawa kami mengitari area museum. Mengenal berbagai jenis khat AlQuran, sejarah pembukuannya, hingga berakhir di toko yang menjual AlQuran yang disahkan dan dipakai di Tanah Suci. Mengingat, tidak semua cetakan diterima. Hanya yang asli cetakan Madinah dan disahkan negara yang dipakai.
“Jamaah bisa membeli AlQuran cetakan asli disini, lalu menjadikannya souvenir atau diwakafkan di Masjid agar menjadi jariyah,” ujar sang muthowwif yang lantas secara personal menjelaskan ‘prosedur’ Wakaf AlQuran tersebut.
Beralih ke sisi luar masjid sebelah barat keluar dari gerbang 6 di sisi selatan, terdapat masjid dengan kubah putih bernama Masjid Ghamamah, yang berarti Awan. Konon, masjid tersebut merupakan lokasi dimana Rasulullah dan para sahabat melakukan Shalat Istisqo’, shalat meminta hujan. Dikisahkan, bahwa tak lama setelah shalat selesai dilakukan segumpalan awan pun menyelimuti diatas tempat tersebut dan turunlah hujan. Sehingga untuk mengenang peristiwa tersebut dibangunlah masjid.
Masih di sisi Barat Masjid Nabawi, tepat arah Gerbang 6, bangunan masjid lainnya di lokasi berdekatan adalah Masjid Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali Bin Abi Thalib. Dikisahkan, bahwa tempat dibangunnya masjid tersebut merupakan kediaman kedua sahabat. Riwayat lainnya mengatakan, tempat tersebut merupakan lokasi dimana kedua sahabat mengikuti shalat Istisqo' bersama Nabi. Ada pula riwayat menjelaskan, bahwa disanalah shaf kedua sahabat kala mengikuti Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Kendati berjuluk masjid, ketiga tempat tersebut tidak dipergunakan sebagai tempat shalat. Tidak ada keistimewaan khusus untuk melakukan shalat atau amalan lainnya di tempat-tempat tersebut. Selain dari sisi sejarahnya, untuk mengenang peristiwa atau keberadaannya.
Makkah dan Madinah layaknya dua sisi mata uang yang sejatinya satu meski memiliki karakteristik yang berbeda. Menilik pada sejarah, Makkah merupakan tempat dimana Syiar Agama Islam di masa Rasulullah pertama kali digaungkan. Sedangkan Madinah merupakan tempat dimana gaung itu akhirnya terdengar sampai ke seluruh penjuru dunia. Madinah, bahkan digambarkan sebagai Replika Kota Madani yang dibangun Rasullullah.
Perbedaan sederhana yang akan didapati pada kedua kota suci, misalnya dari segi penataan tempat shalat. Di Madinah, kita akan mendapati bahwa wilayah bagi Akhwat dan Ikhwan terpisah, dengan jalur dan pintu berbeda untuk masuk kedalam masjid. Sedangkan di Makkah, pemandangan Shaf (Barisan Shalat, red) perempuan di depan laki-laki merupakan hal yang lumrah. Meski tidak benar-benar berbaur di satu tempat.
Namun, dari segi ketepatan waktu dan konsistensi, patutlah kita contoh yang dilakukan di dua masjid. Ketika Adzan berkumandang, maka seketika itu juga para Askar (Polisi Penjaga) akan menutup pintu masuk ke Masjid. Sehingga para jamaah yang datang setelah adzan atau bahkan terlambat harus shalat di pelataran masjid.
Masih mengenai ketepatan waktu dan konsistensi, baik di Makkah, Madinah, bahkan Jeddah, adalah toko-toko yang akan tutup begitu adzan berkumandang. Tidak peduli apakah masih ada pembeli atau tidak. "Kalau ada yang tidak bayar pun mereka tidak peduli," tutur Muthowwif di suatu ketika. (3)
Surabaya, 30 Desember 2019 Pukul 12.26 WIB