Sabtu, 19 Juli 2014

RAHWANA


Ketika kita mendengar Judul RAMAYANA yang terlintas di benak kita adalah kisah tentang Perjuangan seorang pangeran dari Negara Ayodia, Rama menyelamatkan istrinya Shinta yang diculik dan hendak di peristri oleh Raja Raksasa Rahwana.
Dalam banyak pengisahan kerapkali hanya diceritakan hingga epos ke-5 dari keseluruhan 7 epos Ramayana. Yakni ketika Rama di bantu pasukan kera yang dipimpin Hanoman mengalahkan pasukan Raksasa yang dipimpin Rahwana. Shinta kembali ke pelukan Rama, sedangkan Rahwana gugur dalam perang.
Dua epos selanjutnya sejujurnya tak kalah menarik. Pada epos 6 dan 7 justru menampilkan cerita yang berbeda dari sebelumnya.
Saat kemudian Shinta diketahui hamil, Rama murka. Dia menuduh bahwa anak dalam kandungan Shinta adalah anak Rahwana. Shinta sedih atas tuduhan Rama. Karena kenyataanya Rahwana takut menyentuh Shinta. Ego Rahwana memaksa untuk memiliki Shinta, tapi pada akhirnya hatinya menang karena tidak tega menyakiti orang yang dia cintai.
Tak lama Rama menuntut Shinta untuk membuktikan kesucianya dengan ritual pati obong. Sebuah ritual melompat kedalam api. Shinta bersedia. Di saksikan Rama, Lesmana dan puluhan warga Shinta melompat kedalam kobaran api. Setelah api padam, ternyata Shinta selamat.
Lesmana dan warga bersorak gembira, tapi tidak dengan Rama. Malam harinya Rama mengajak Lesmana untuk bicara empat mata. Dia meminta Lesmana membawa Shinta ke tengah hutan Baratha dan membunuhnya. Lesmana yang tak kuasa menolak pun akhirnya menyanggupi dengan berat hati.
Alih-alih membunuh Shinta, Lesmana justru membuatkan sebuah rumah pohon di tengah hutan untuk Shinta tinggali. Dia menceritakan permintaan Rama kepadanya. Shinta menangis sejadinya namun berterima kasih pada kebaikan hati Lesmana.
Untuk mengelabui Rama, Lesmana sengaja berburu rusa dan membawa panah yag telah berlumuran darah pada Rama. Rama senang, dan beberapa waktu kemudian justru menikah dengan adik sulung Rahwana, Surpanakha.
Sementara Shinta, saat tiba waktunya melahirkan ia berjuang melahirkan anaknya tanpa pertolongan siapapun. Dalam rasa sakit yang hebat dia berusaha meraih-raih tirai untuk digenggam sambil dia mendorong anaknya keluar. Malang dia meraih ekor se-ekor ular raksasa. Kaget dan panic, dua anak kembar Shinta lahir, namun Shinta sendiri tidak selamat.
Dalam keadaan kritis itu jiwa Rahwana menerobos keluar dari Dhurma (alam setelah mati) menjemput anak kembar Shinta dan menyerahkan dalam asuhan Valmiki (seorang sakti, resi, dewa). Dua anak kembar yang akhirnya diberi nama Lava dan Khusa. Dalam perjalannanya, Rahwana bertutur “Hai Dunia? Sesungguhnya siapa yang bajingan? Aku atau Rama?”
Ramayana memang merupakan sebuah karya sastra yang mengagumkan. Betapa dalam tiap epos-nya mengundang kita untuk berdecak kagum dengan aksi, emosi, dan penokohan karakternya.
Satu hal, dalam cerita tersebut tidak ada karakter yang benar-benar baik, dan tidak ada yang sepenuhnya hitam. Lihatlah Rama, yang heroik tapi tega menyuruh adiknya untuk membunuh istrinya. Bahkan menikah dengan adik sulung musuh bebuyutanya. Lalu Lesmana, yang loyal dan setia tapi dalam kebingungannya dia memilih menghianati raja sekaligus kakaknya. kemudian Shinta, yang setia namun dihatinya diam-diam mengagumi Rahwana.
Sedang Rahwana, dia yang sangat Jahat dengan merebut Shinta dari Rama. Namun tetap mencintai Shinta meskipun dengan cara yang salah. Betapa dia sangat takut untuk menyakiti orang yang dicintainya.
Sebuah dialog yang agaknya layak menjadi renungan seperti yang disampaikan Shinta ketika Rama menggugat kesuciannya “Rahwana cuma sekali menyentuhku, saat ia meculikku. Setelah itu ia tak pernah menyentuhku lagi. Ia sangat menghargaiku sebagai wanita. Jika kamu cinta padaku, kamu tidak akan meminta apa-apa padaku. Sekalipun aku sudah tak suci lagi. Kau inginkan tubuhku yang suci, sedang tubuh itu sendiri tak memiliki apa-apa, tak tahu apa-apa, dan tak seorang pun di dunia ini yang tubuhnya suci. Kau menuntut kesempurnaan dariku, sedangkan dirimu sendiri tak sempurna. Justru Rahwana dengan cintanya telah menunjukkan kebesaran hati sesungguhnya. Meski nyawanya terbunuh di tanganmu, ketulusan cintanya tak akan terbunuh”.

Kisah Radheya : KUTUKAN YUDHISTIRA



Ya, barangkali benar kekacauan itu akibat keegoisan Kunti dan kebungkaman Khrisna….

Perang Bharatayudha telah berakhir, banyak yang berguguran di pihak Kurawa, pun Pandawa. Yudhistira baru saja menyelesaikan persembahan kepada putra-putra Drupadi dan yang lainnya.
Keadaan Kunti sangat menyedihkan. Tiga hari yang lalu,  Radheya gugur di tangan Arjuna, terjadi perayaan yang meriah di kubu Pandawa, ia mendengarnya dari Sanjaya.
Hari ini, Kunti  melihat jenazah putra pertamanya, ia berjanji tak akan membuat dirinya pingsan.
Kresna hanya memandang sesaat. Ia memandang Radheya dan ia melihat istrinya menangisi suaminya. Ia melihat itu semua dan masih saja tidak berkata apa-apa.
Sekarang pada akhir kejadian ini, Kunti berjalan bersama mereka, semua melihat persembahan air suci di tepi sungai suci Gangga. Gangga yang sama, Gangga yang telah mengambil anaknya beberapa puluh tahun silam. Gangga masih mengalir dengan tenang seperti pada hari yang tidak bisa ia lupakan, saat menghanyutkan kotak kayu di sungai itu.
Radheya tidak memiliki putra yang bisa melakukan upacara untuknya. Mereka semua sudah tewas. Radheya masih saja anak yatim, sama seperti di saat ia membuangnya. Hati Kunti seakan-akan meledak karena kesedihan yang mendalam, ia terbakar karena penyesalan diri, karena ketidakadilan yang telah dilakukannya kepada anak sulungnya. Ia setidaknya harus melakukan hal ini bagi Radheya.
Sekarang, Kunti akan melakukan sesuatu yang akan membuat pucat wajah semua wajah anak-anaknya. Ia mendekati Yudhistira dan meletakkan tangannya pada punggung Yudhistira.
“Ya, Ibu, ada apa? Mengapa kau memanggilku?”
Kunti harus menelan segala kesedihan agar tidak keluar dari bibirnya,“Masih ada orang yang tersisa. Kau harus membuat persembahan ini untuknya juga.”
Kresna satu-satunya orang yang tahu, melihat Kunti dengan welas asih di matanya.
”Satu orang lagi? Aku tidak mengerti. Aku ingat orang-orang yang tewas dengan baik, pastilah aku tidak akan lupa pada orang yang telah mati untukku. Siapakah orang yang harus mendapat persembahan ini?”
“Radheya-lah orangnya. Kau juga harus membuat persembahan untuknya…”
“Tetapi Ibu, mengapa aku harus melakukannya untuk Radheya? Ia seorang sutapura. Aku seorang ksatriya. Mengapa kau memintaku untuk melakukannya, Ibu?“
Sesaat berlalu, Kunti diam dengan segala kesedihan di hatinya, ia mengambil nafas dalam dan berkata, “Yudhisthira, kau harus melakukannya. Radheya bukan seorang sutaputra, dia seorang ksatriya.”
“Aku sangat bingung dengan kata-katamu, bagaimana kau tahu ia seorang ksatriya. Mengapa aku harus mempersembahkan air suci untuk Radheya. Katakan padaku, siapa ayah Radheya sebenarnya?”
“Radheya adalah putra Surya. Ibu kandung Radheya adalah seorang gadis kecil. Surya memberi putra ini kepadanya. Ia terlahir dengan kavaca dan kundala. Ibunya takut dengan hinaan dunia. Kau tahu, bahwa ia seorang gadis yang berada di rumah ayahnya. Ia harus menyimpan rahasia ini. Ia meletakkan anak pada kotak kayu dan menghanyutkannya pada sungai ini, Gangga. Anak ini dipungut Adirata dan menyerahkannya kepada isterinya Radha, karena itulah disebut Radheya, dan itulah nama yang  sangat dicintainya. Ibunya adalah seorang ksatriya. Ia telah melakukan ketidakadilan kepada putra pertamanya. Ia memiliki beberapa orang anak tetapi hatinya kosong karena ini.”
Yudhistira dan yang lainnya takjub mendengarkan cerita ini, segalanya terlupakan, ”Ibu, siapakah ibu Radheya? Ibu yang keji yang membuang anaknya di sungai Gangga ketika ia lahir? Kau pasti mengenalnya karena kau menceritakan kejahatan dengan lengkap. Siapakah, Ibu?”
Semua mata memandang Kunti, Kunti memandang mereka semua. Ia melihat Kresna. Ia memandangnya dengan mata yang penuh dengan belas kasihan. Kunti memandang dengan tepat pada mata Yudhistira dan berkata, “Wanita itu masih hidup. Akulah wanita itu. Radheya adalah putraku, putraku yang pertama!” Kunti jatuh dan tak sadarkan diri.
Yudhistira tidak bisa memikirkan itu semua. Ia berdiri memandang mereka semua, ia terus menggumam, “Radheya adalah kakakku dan kami telah membunuhnya…”
Arjuna segera berlari ke arahnya dan menangis, ”Apa yang telah aku lakukan, Tuhan? Apa yang telah aku lakukan? Bagaimana aku bisa hidup setelah semua yang telah terjadi? Aku telah membunuh kakakku. Kakakku, aku telah membunuhnya!”
Arjuna tidak mampu berdiri. Lalu ia duduk di tanah dan berteriak, ”Aku telah membunuh kakakku, dan aku telah berbangga karena aku telah membunuhnya!”
Kresna dan Yudhistira mendekatinya. Arjuna bergetar seperti orang demam, matanya merah. Bhima duduk di samping Arjuna, ia juga sangat terkejut. Ia seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba menjadi tua.
Pandawa memberi hormat penuh kesedihan. Kunti disadarkan dengan percikan air. Untuk pertama kali, Yudhistira tidak memperhatikan ibunya. Ia tidak bisa melihat ketidakadilan ini pada Radheya dan pada Pandawa. Ia pergi dan duduk bersama Arjuna dan Kresna. 
Yudhistira memalingkan wajahnya pada ibunya, seraya bertanya, “Apakah Radheya tahu hal ini? Apakah ia tahu siapa dirinya?”
“Ya,” kata Kresna
Yudhistira mengalihkan matanya kepada Kresna, semua Pandawa melihat Kresna.
“Apakah kau tahu mengenai hal ini, Kresna?” tanya Yudhistira
“Ya,” jawab Kresna.
Tidak memungkinkan bagi mereka untuk berkata sepatah kata pun setelah itu. Radheya tahu, bahwa dirinya putra Surya dan Kunti, dan ia membiarkan saudaranya menghinanya dengan 'sutaputra'. Yudhistira memukul kepalanya sendiri sambil berkata, ”Ketika aku mendengar Radheya tewas, aku berlari ke medan perang untuk melihat apakah benar-benar ia tewas, aku sangat bahagia melihat dirinya tewas. Ibu, bagaimana kau tega melakukan hal ini kepada kami, mencintai kami seperti yang engkau lakukan?”
Yudhistira pergi dan berdiri di tepi sungai Gangga, seakan-akan persembahan air suci untuk Radheya telah terbayar karena airmata Yudhistira.
Narada berbicara pada Yudhistira, “Mengapa engkau sangat sedih? Dengan berkat Kresna dan bantuan saudara-saudaramu yang pemberani kau menjadi penguasa dunia! Tahun-tahun penderitaan berakhir. Aku bahagia dan memberi selamat atas keberhasilanmu.”
Kesedihan Yudhistira muncul, ia berkata, “Tuanku, aku tidak ditakdirkan untuk bahagia. Semua kebahagiaan yang seharusnya milik kami, hilang. Karena kami diberitahu bahwa Radheya adalah saudara kami. Mengapa engkau membiarkan hal ini terjadi?”
“Aku pernah sangat marah pada Radheya. Aku memalingkan mataku padanya. Aku melihat kakinya, semua kemarahanku hilang. Aku tidak bisa marah padanya. Kakinya seperti kaki ibu kami. Aku sangat penasaran dengan kesamaan ini. Selama bertahun-tahun aku mencoba menyelesaikan permasalahan ini. Guru, ketika aku mengetahui sekarang, mengapa kaki Radheya mirip kaki ibuku, hatiku hancur berkeping-keping. Bagaimana aku bisa bahagia setelah pembunuhan terhadap yang agung seperti dirinya. Radheya seharusnya menjadi penguasa Kerajaan Kuru? Aku tidak bisa menghibur diriku lagi.”
“Ibuku memberitahuku, bahwa Radheya memberinya anugerah yang ia inginkan. Radheya mengatakan bahwa ia tidak akan membunuh Pandawa yang lain kecuali Arjuna. Ia harus bertarung dengan Arjuna. Aku sekarang menyadari mengapa ia tidak membunuh Bhima pada saat Jayadrata kalah. Ia mengampuni Bhima, ia pergi tanpa membunuhnya. Malam itu, ia bertarung dengan Sadewa. Hari berikutnya, Nakula. Pada hari terakhir dalam hidupnya, ia bertarung denganku. Kami dibiarkan hidup. Ia tidak membunuh kami , karena ia tidak mau melakukannya. Betapa baik dan mulia saudara yang kami miliki. Dan, Arjuna telah membunuhnya ketika ia tidak siap untuk bertarung. Aku tidak  bisa mengampuni diriku karena kebiadaban ini. Kami telah menjadi orang yang paling jahat dalam pertempuran ini.”
Narada menenangkan hatinya. Hal ini membuat Pandawa semakin sedih, cerita ini membuat mereka makin rendah hati. Ini  membuat mereka menyadari bahwa jalan Tuhan sangat misterius. Tetapi kesedihan tidak pernah meninggalkan hati Yudhistira. Ini adalah luka baru yang tidak akan pernah dapat disembuhkan.
Yudhistira tidak pernah bisa memaafkan ibunya, karena ketidakadilan yang ia perbuat terhadap Radheya dan juga pada mereka semua.
“Ibu telah membohongi kami  semua, dengan menyimpan rahasia itu dari kami. Engkaulah yang menyebabkan dosa besar ini. Semoga mulai saat ini, kaum wanita takkan bisa lagi memegang rahasia...”