Selasa, 23 Juli 2013

BERDAMAI DENGAN TUHAN

‘Nduk.... kapan kamu akan mulai belajar sholat lagi?’
suara parau nenek sheeva kala melihat cucu semata wayangnya itu sibuk dengan pekerjaannya. Dan melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dan seperti biasa sheeva hanya membalasnya dengan senyuman.
            ‘nanti nek. ...Kalo waktunya sudah tiba ya!
Rayunya pada sang nenek sekedar memberinya harapan bahwa mungkin kelak ia akan kembali pada hidayah. Mungkin....hanya mungkin. Jika sudah begitu, sang nenek hanya bisa pasrah sembari terus berdoa agar sudi kiranya Tuhan membagi hidayah pada cucunya tersebut. Tak jarang sheeva mendapati neneknya menangis dalam doanya. Doa untuknya.
            Sebenarnya Sheeva bukan tak bisa sholat. Ia terlahir dalam lingkungan keluarga yang agamis. Ayahnya adalah seorang dosen filsafat di sebuah universitas islam negeri, yang juga masih memiliki hubungan darah dengan kasultanan Demak. Ibunya meski bukan dari kalangan priyayi namun memiliki dasar pengetahuan agama yang cukup matang, yang didapatnya dari kuliah di Al Azhar Cairo, Mesir. Ibunya adalah lulusan terbaik di kampusnya yang mendapatkan beasiswa S2 ke luar Negeri. Sheeva pun adalah lulusan perancis di jurusan perbandingan agama. Sebuah dasar agama yang cukup kuat sebenarnya.
           
Awalnya sheeva tumbuh sebagai gadis yang taat beragama dan tekun. Namun semua berubah semenjak kepergian kedua orang tuanya yang secara tiba-tiba, tepat dihari dimana dia di wisuda. Kedua orang tuanya meninggal dalam penerbangan pesawat menuju perancis ketika hendak menghadiri acara wisudanya.
            Tragedi naas tersebut sontak mengubah jalan hidup Sheeva secara drastis. Kini ia tak lebih sekedar seorang gadis tanpa akidah. Dia memilih menyibukkan diri meniti karir sebagai sekretaris direksi sebuah perusahaan otomotif. Semua itu dijalaninya sebagai bentuk pemberontakannya pada takdir. Ia tengah berseteru dengan Tuhan. Tuhan yang telah merenggut kedua orang tua dari sisinya.
            “Jika benar kata nenek, Tuhan itu ada. Maka lihatlah Tuhan, aku campakkan semua symbol nama-Mu. Akan kusempurnakan pemberontakan ini padaMu”.
            Sheeva benar-benar kalap oleh ambisinya sendiri. Hanya neneknya lah yang masih dengan setia mendampingi Sheeva dan terus berusaha memotivasinya untuk berubah. Walaupun sang nenek sadar hal itu bukanlah sesuatu yang mudah.
            Suatu ketika kejadian aneh dialami Sheeva. Berkali-kali dia bermimpi dalam tidurnya melihat seorang perempuan tua, mati setelah terjatuh ke dalam sebuah sumur. Awalnya diabaikannya mimpi itu. Namun ia mulai dihinggapi perasaan was-was ketika mimpinya semakin jelas menunjukkan bahwa perempuan tua dalam mimpinya tersebut adalah neneknya sendiri. 
            Sheeva yang kehilangan akal sehat mulai melakukan hal-hal yang tidak masuk akal . Akibat ketakutannya kehilangan orang yang paling disayangi untuk yang kedua kalinya. Ia melarang neneknya untuk mendekati sumur, bahkan ia pun menutup sumur yang ada dirumahnya. Ia berusaha mencegah mimpinya menjadi kenyataan.
            “aku kan udah bilang nek, jangan dekati sumur itu lagi. Nenek tahu kan, aku gak mau kehilangang nenek. Apa nenek mau aku semakin marah pada Tuhan nenek itu, karena telah mencoba untuk mengambil nenek dariku?
            Nduk, semua orang pada akhirnya akan mati. Tidak ada yang harus kau sesali”.
            Cukup nek cukup! Dulu aku juga pernah mencoba untuk percaya hal itu. Tapi kenyataannya, aku gak kuat sewaktu ayah, ibu, juga adik direnggut secara tiba-tiba dariku. Dan aku tidak mau itu terjadi lagi nek, aku gak sanggup... tangisnya tumpah dalam pangkuan sang nenek.
            Sang nenek tak lagi mendebat, karena ia sadar sheeva bukannya tak tahu tentang taqdir. Ia hanya tengah mencari, surganya. Biarlah Allah yang membuka pintu hatinya.
            Namun manusia hanya bisa berkehendak tapi kuasa tetap Allah yang menentukan. Nenek Sheeva meninggal ketika tengah mengambil air wudlu di kamar mandi. Ia jatuh terpeleset dan kepalanya membentur dinding bak mandi. Karena darah yang keluar tak kunjung berhenti akhirnya merenggut nyawa neneknya. Kembali Sheeva dihadapkan pada goncangan batin yang menguji keimanannya.
            Hidayah datang pada siapa yang dikehendaki-NYA. Kematian neneknya membawa Sheeva pada babak baru tentang arti sebuah perjalanan hidup dan keharusan memasrahkan diri pada taqdir yang telah digariskan. Pilihannya hanyalah apakah kita akan menjalani semua dengan baik sebelum ajal menjemput. Atau memilih menantang taqdir dan mempertanyakannya.
            ‘Sheeva manusia memang diberi kemampuan untuk berkehendak sejauh yang bisa ia tempuh. Namun ia tetap berada dalam suatu dimensi dimana Tuhanlah yang berkuasa penuh. Segala apa yang terjadi dalam hidup kita bukannya tanpa arti. Semua itu adalah roda kehidupan yang telah dirancang oleh Tuhan agar dapat menjadi pelajaran bagi manusia. Lalu, masih pantaskah kita mempertanyakannya??‘, 
***
                        Sampai detik ini, aku tidak pernah tahu masih pantaskah aku menyebut diriku muslimah. Aku hanya berharap bahwa Islam seperti yang dikatakan nenek. Penuh ampunan, yang menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi yang beriman pada-NYA. Kini akan kukabarkan pada semesta bahwa Islam tlah mengkhitbahku dengan sebait kata syahadat sebagai bukti kepasrahanku pada-MU. Dalam hati yang penuh harap akan Ridlo-Mu kupasrahkan jiwa dan raga ini menjadi budak di langit-langit surga-MU.

KARENA AKU SAYANG IBU

Aku sayang ibu bukan karena Nabi menyebutnya hingga tiga kali. Juga bukan karena Tuhan menjanjikan surga di telapak kakinya. Aku sayang ibu karena ia adalah ibuku. Keringatnya yang mengalir  kini menjadi darah yang memompa denyut jantungku. Tangisnya yang telah membuatku hidup hingga saat ini.
Karena aku sayang ibu, aku tak pernah takut mengghadapi apapun. Sekalipun itu adalah rasa sakit. Karena bagiku tak ada yang bisa menyakitiku melebihi ibu. Orang yang paling kusayang. Sungguh, karena aku sayang ibu.
Aku sayang ibu, jauh sebelum aku sendiri tahu apa itu kasih sayang. Aku mencintainya melebihi yang bisa dipikirkan oleh orang lain. Sejenak saja ibu berlalu dari pandanganku, aku pasti akan merengek menangis. Seketika aku akan tersenyum puas ketika ibu menggendong dan mengayunku. Aku akan betah meski seharian berada dalam dekapannya. Sebuah tempat  yang terasa begitu sejuk dan damai.
Namun aku bukanlah gadis kecil yang terus merengek dalam dekapannya, kini aku adalah gadis remaja yang kata orang siap melangkah mengejar mentari. Aku kini adalah mahasiswi fakultas ilmu komunikasi. Sebuah dunia penuh tantangan yang menyentil jiwa adventurirku. Hal itu tentu saja sedikit tabu bagi gadis sepertiku, yang terlahir dari kalangan keluarga pesantren salaf.
 Meski dengan sedikit keraguan abi dan umi, begitulah aku memanggil ayah dan ibuku. Mereka mengijinkan aku untuk kuliah. Karena mereka sangat yakin telah mendidikku dengan sempurna. Sepenuh hati aku berusaha menjaga kepercayaan yang mereka berikan. Karena aku tak ingin mengecewakan orang tuaku. Tentu saja ibu, orang yang paling kusayang.
Kehidupan yang selama ini aku tahu adalah kehidupan yang tenang tanpa gejolak. Kalupun ada itu hanyalah masalah normatif yang bahkan sudah sangat kuhafal penyelesaiannya. Abi lah pusatnya, pendiri sekaligus pengasuh pesantren Nurul Athfal, rumahku. Namun  Lain halnya dengan kehidupan kampus, aku merasakan begitu banyak gejolak yang gantung mengantung berbuah menjadi konflik atau sekedar berlalu seperti angin. Dan satu hal lagi yang membuatku tertegun, tidak ada pusat yang pasti disini karena pusatnya adalah aku, diriku sendiri.
Seperti ketika sebuah pesan aneh menyapaku. Dan untuk kesekian kalinya membuatku tertegun. Sebuah pesan yang teman-temanku bilang bernama ‘cinta’. Cinta yang kutahu selama ini hanyalah cintaku pada ibu, sedikit besar untuk keluargaku yang lain. Seperti untuk Abi dan kak Fandi, saudara laki-lakiku. Cinta itu hadir dari seorang yang menyebut dirinya ‘ mozaik kecil’.

Tak kusangka begini jadinya.....
Aku mulai terpesona akan kilaumu
Mulai mengagumimu......mengkhawatirkanmu
Begitu..... dan terus saja begitu
Andai aku punya lebih banyak waktu untuk mengenalmu...... sejarah kan mencatatku sebagai penjaga hatimu
Namun sejenak pun tak apa,
Karena untuk itulah kau menjadi istimewa.....berharga
Dear GOD,
Save her soul, wherever she’s stay
‘Mozaik kecil’

Dari dialah aku belajar makna cinta yang lain. Sebuah cinta yang mungkin telah menyatukan Adam dan Hawa dalam sebuah ikatan suci. Ah..... rasanya terlalu tinggi contoh yang kupakai. Tapi sungguh seperti itulah cinta yang ditawarkannya untukku. Sungguh bukan cinta fulgar seperti kebanyakan. Bukan cinta yang membuat Rose merelakan mahkotanya pada Jack dalam drama TITANIC.  Juga bukan cintamatic ala drama teenlit yang menjamur belakangan ini. cinta ini mengajakku melihat hidup sebagai sebuah perjuangan di padang perang kehidupan.
Namun hidupku yang tanpa gejolak, menolak untuk diusik. Mereka enggan berkompromi dengan cinta yang baru saja kukenal. Pertahananku pun rapuh ketika ibu, makhluk Tuhan yang paling kusayang untuk pertama kalinya mengajukan syarat untukku.
“Nisa, selama ini umi dan abi mendidikmu dengan sebaik mungkin dengan harapan kau akan tumbuh menjadi anak yang berbakti. Namun jika kini kau memilih untuk menjadi durhaka maka umi tak lagi bertanggung jawab atasmu. Begitupun juga kau tak lagi bertanggung jawab atas umi”.
Sebuah sambaran kilat tanpa suara menerjang jantungku. Sakit dan sesak rasanya. Sehingga tanpa kusadari ibu tlah beranjak meninggalkanku tanpa menoleh. Setitik air mata jatuh disusul titik berikutnya yang tak sempat kuhitung berapa banyak. Aku menangis.
Cinta itu kalah. Ibu lebih menyilaukanku. Karena surgaku ada pada restunya.  Dengan langkah gontai kutemui abi dan umi di ruang keluarga. Kak Fandi pun ada disana. Aku bersimpuh di depan Abi dan Umi.
 “ Abi, Umi, sebelumnya Nisa minta maaf telah mengecewakan kalian. Ada begitu banyak hal diluar sana yang sejenak menarik perhatianku. Mungkin bagi Umi dan Abi ini sebuah kedurhakaan. Tapi percayalah aku masih Nisa putri kalian, jika memang dengan cara ini aku dapat menjalani tugasku sebagai putri kalian. Maka tak ada lagi alasan untuk mempertanyakannya. Aku akan menjalaninya”.
Tak jelas seperti apa ekspresi mereka mendengar ucapanku. Aku terlalu sibuk mencerna kalimat yang muncul dari mulutku sendiri. Kalimat yang bahkan tak sempat kususun. Yang aku ingat, aku hanya tak ingin kehilangan ibu. Kehilangan restunya. Yang selama ini menjadi alasanku berlari. Saat aku tersadar, aku tengah berada dalam pelukan ibu.

“Nisa, kau telah membuktikan bahwa kau adalah putri umi. Umi bangga padamu”.
Ibu menangis. Aku menghapus air mata ibu. 
 “maaf, aku tidak kuat umi. Tidak kuat jika harus kehilangan cinta umi. Aku tak akan punya tempat dimanapun”.
Tangisku tumpah di hadapan umi.
 “tempatmu disini. Dihati umi”.
Umi kemudian memelukku. Abi tersenyum dan mengelus  kepalaku. Hanya ekspresi Kak fandi yang tak kumengerti.  Ia tak tersenyum tapi juga tak menangis.
“Nisa maafkan kakak, yang tidak bisa berbuat banyak. Kakak tahu betul bagaimana kalian. Dan juga hidup kita selama ini. Tapi pilihan kita hanyalah menjalani pengabdian ini. karena hanya disinilah surga kita. Semoga kau mendapatkan surgamu”.
 Ucap kakak dikamar usai pembicaraanku  dengan umi dan abi.  Untuk pertama kalinya aku melihat kakak menitikkan air mata dan itu untukku. Tuhan... sungguh berdosa aku yang tak pernah menyadari ada kasih sayang yang tak kalah agung dari kasih ibu. Kakakku.

Teruntuk mozaik kecil yang sejenak telah melengkapi puzzle hidupku.
Betapa rumit perjalanan ini. kalaupun kukatakan aku telah mempercayaimu sepenuhnya. Tradisi ini takkan pernah mau berkrompomi. Aku telah mencobanya tapi aku tidak kuat ketika harus dihadapkan pada cintaku yang lain, ibu.
Karena itu dengan tanpa mengurangi ketulusanku selama ini, aku beralih meminta restumu untuk meninggalkanmu. Bebaskanlah keinginan untuk saling memiliki. Biarkanlah ketulusan yang kadang keras kepala ini menjadi ketulusan yang besar hati.
Salam cinta dan maafku,
Umi  Chilyatun Nisa’ 



Untuk Ning
Pengabdian ini kadang memang menyakitkan. Tapi Tuhan selalu punya rencana tak terduga dibalik luka yang diberikan-NYA. Tetaplah tersenyum meski itu perih. Karena Tuhan tersenyum untukmu.

SENYUM ITU


Hidup kadang memang terlalu sulit untuk dipahami. Teramat rumit untuk diterjemahkan. Ataukah kita yang teramat rumit untuk memahami dan menerjemahkannya??. Dan entahlah, karena pertanyaan itupun menjadi teramat berat di kepalaku. Aku hanya bisa berpikir, hidup ini akan tetap berjalan seberapapun pertanyaan yang menggudang di otakmu. Kau tahu, senyummu itulah yang kini tengah mengendap di otakku. Bodohnya aku tak bisa berpaling. Lebih bodoh lagi, karena aku tak ingin berpaling. Dan karena teramat bodohnya, aku suka kebodohan ini. Aku menikmatinya. 
Pagi itu aku melihatmu tersenyum, , , , ,
“Pagi , , ,”. Sebuah sapaan membuyarkan lamunanku. Refleks kuremas kertas yang baru saja kucoret tanpa melanjutkan lagi kalimatnya.
“ Pa . . Pagi . . .”. jawabku sedikit gugup.
“Hey . . . kenapa? Kayak lihat hantu aja” ucapnya seenaknya dan mengambil soft drink di tanganku. Kemudian pergi begitu saja.
“hey itu . . .”
“ambil lagi di dalam , , , ini buat aku”. Jawabnya dari kejauhan.
Kucoba melanjutkan kembali tulisanku, tapi , , ,
“hah . . . benar-benar merusak mood. Sinting!. Gerutuku dalam hati. Aku justru pergi mengambil soft drink pengganti ke dapur.
            Saat kembali aku mencari kertas yang tadi kuselipkan di sofa, tapi tak menemukannya. Mungkin di tong sampah pikirku. Karena saat itu kulihat petugas kebersihan villa tengah menenteng bak sampahnya. Aku mencoba mengejarnya. Si pencuri soft drink mencegahku.
“Hey, Ryas, ayo ke kebun belakang, semua peserta sudah menunggu” ucap Airlangga, si pencuri soft drink.
Kuurungkan niatku mengejar tukang kebersihan itu. Aku harus beli buku harian setelah ini. Janjiku dalam hati. Kemudian berjalan menuju teras belakang. Hari ini dan sampai tiga hari mendatang, sesuai jadwal, kami harus mengawal Pengkaderan untuk organisasi pers kampusku.
Pembukaan telah dimulai ketika aku dan Angga, (panggilan untuk Airlangga) sampai di kebun belakang. Dia selalu protes jika aku memanggilnya seperti itu. Karena memang hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Yang lain lebih suka memanggilnya Elang. Atau lebih tepatnya karena dia yang minta. Kenapa? Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku suka membuatnya jengkel.
            Aku terperanjat ketika tanpa kusadari MC memanggil namaku untuk memberikan sambutan. “ Angga?? Bukannya seharusnya Pimpinan Umum yang sambutan” bisikku pada Angga. “Ini kesekian kalinya aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Ngerti! Ini permintaan khusus PU, jadi nurut aja ya, cepet” perintahnya sok berkuasa. “Gak mau!!” ucapku ketus. Tanpa banyak bicara ditariknya tanganku dan dibawa keatas panggung. “Teman-teman , , senior kalian yang satu ini memang terkenal pemalu, tapi kalian akan sangat menyukai dia jika telah mengenalnya. Dia kru kebanggaan angkatan kami, Nareswari Aryasatya”. Tanpa perasaan disodorkannya mikrofon padaku kemudian seperti biasa nyelonong pergi.
            Aku terdiam cukup lama. Menatap kesal ke arah Angga.
“Teman-teman, , , saya tidak tahu harus berkata apa, semuanya mendadak. Tiba-tiba saya dipanggil dan diminta untuk memberikan sambutan. Satu-satunya yang akan saya katakan saat ini adalah , , , ,” aku menghentikan kalimatku. Terpejam beberapa saat, mengatur nafas dan kembali bicara.
 “. . . . jika Mampu merubah keadaan, rubahlah. Jika tak mampu, terimalah!. Di tempat ini, akan kita lihat, siapa yang mampu merubah keadaan. Dan siapa yang hanya akan menerima keadaan. Semangat!!” aku kembali ke barisan panitia. Semua peserta Nampak tercengang. Bukan karena sambutanku yang berkesan. Tapi justru karena, bisa jadi ini akan menjadi sambutan tersingkat sepanjang jaman. Haha . . . betapa menghayalnya aku.
Tahukah kau, aku merasa takut tadinya. Tapi senyummu kembali menguatkanku. Senyummu yang kini berkarang di benakku.
“Kau benar-benar tak terduga Ryas”. Ucap Angga
“Jika melihat sesuatu di luarnya saja, maka kau hanya akan mendapati sebuah kesia-siaan”. Ucapku sedikit berfilosofi.
“Bukan itu, kau memberi sambutan kurang dari lima menit. Gak beres, , ,” ucapnya menggeleng kepala heran, atau bingung. Terserahlah aku suka membuatnya susah.
“Kamu tuh yang gak beres. Mentang-mentang protokoler, ngatur jadwal seenaknya. Lain kali bikin aku shock awas!! Ancamku sambil mengacungkan tinju. Tapi yang diancam cuma nyengir bagai tak berdosa.

Tuhan, aku suka senyum itu. Jika ini adalah sebuah kebodohan. Maka biarkan ini tetap menjadi kebodohanku yang terakhir. Karena aku suka senyum itu. Dan aku tak perlu alasan untuk itu. Kumohon jangan minta alasan Tuhan. Aku tak tahu,
Siang Kemarin Kau Nampak bersemangat.
“Nah sekarang pukul 11.45, satu jam lagi saya berharap teman-teman sudah ada di forum ini lagi lengkap dengan tugas yang sudah kami berikan. Selamat mencoba. Semangat!” ucapku menutup forum dan membiarkan para peserta berdiskusi sesuka mereka. This is time to relax. Aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di ruang tamu villa.
“Capek??”
“Huh dasar pengganggu, sukanya ngagetin”. Gerutuku sembari kembali menyandarkan kembali kepalaku di bahu Sofa.
“Cewek ini gak ada simpati sama sekali, uda diperhatiin juga,”
“hem . . . gak ngaru kalo cuma perhatian dari kamu”. Lantas aku pergi ke ruang istirahat panitia.
Cinta selalu menjadi alasan yang kuat untuk melakukan hal yang konyol.
            Aku kembali ke forum tepat jam 12.45, waktu itu sebagian peserta masih sibuk mondar-mandir sebagian lagi nampak serius berdiskusi. Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka yang ribut sendiri. Sepeuluh menit kemudian forum kembali dibuka. Kali ini Angga yang menghandle pembukaannya.
“Kalo semua orang hoby ngaret kayak kamu, gimana mau maju negeri ini??” bisikku bernada jutek pada Angga tanpa melihat ke arahnya.
“udah jangan mulai deh, ini didalam forum. Kalo mau perang entar aja diluar”. Aku tak menjawab lantas kembali menghandle review tugas yang tadinya kuberikan pada segenap peserta diklat.
Hal aneh yang kerap kurasakan, kenapa kau nampak begitu indah dengan segala keterbatasanmu. Dan aku semakin tak peduli, apa dunia memandangmu
            Menjadi panitia dari sebuah acara, pengisi acara, bahkan kadang juga harus menjadi konseptor acara sekaligus adalah hal yang paling melelahkan. Tapi, entah kenapa aku merasa lega di hari terakhir. Saat upacara penutupan. Rasanya seperti telah menyelesaikan segunung pekerjaan. Capek itu pasti, tapi yang lebih pasti lagi aku tidak akan pernah bosan dengan segala kesibukan ini. benar-benar konyol.
            Di hari terakhir ini, Angga kembali memaksaku untuk memberikan sambutan penutupan atas nama penyelenggara. Disinilah bagian anehnya, karena tak seperti biasa aku terus berdebat dengan Angga. Kali ini aku maju dengan senang hati berdiri dan memegang kendali. Mungkin Angga bertanya-tanya dengan sikapku. Itu terlihat ketika dia justru bengong ketika tanpa komentar aku maju menuju podium.
            “ . . . . cinta, selalu memiliki jalannya sendiri untuk muncul dan memenuhi kehidupan kita. Dan karena cinta itu pula, kami semua ada dihadapan kalian mengalahkan segenap kesibukan dan penat dengan satu harapan kelak kalianlah yang menggantikan posisi kami, dan berjuang bersama melanjutkan tongkat estafet menuju perubahan. Kalian seperti malaikat yang dikirim Tuhan untuk meneruskan perjuangan ini. maka belajarlah untuk mencintai profesi baru kalian, jurnalisme masa depan untuk perubahan”. Kali ini sambutanku sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Tapi tetap saja penonton selalu bengong.
            Tuhan, aku tidak tahu untuk alasan apa Engkau yakinkan aku untuk bertahan. Aku berharap cintaMu, cintanya, dan cintaku, bukanlah alasan yang terlalu konyol untuk semua ini, ,
“Ryas, aku nggak nyangka kamu bakal bertahan sejauh ini. sepertinya aku tidak salah mengandalkanmu” ucap Angga ditengah kesibukan prepare pulang.
Aku tersenyum ke arahnya. “aku punya alasan”
“Alasan?? Apa??”
“cinta.”
Aku jatuh cinta pada semua hal tentangmu. Pikirmu,caramu, dan senymmu, semua nampak sangat indah di mataku. Kaulah alasanku bertahan.
“Kak Ryas , , didepan ada tamu!” panggil salah seorang peserta diklat
“Siapa dek?”
“Kurang tahu kak, katanya ada perlu sama kakak”
“oh yaudah. Kalian cepat siap-siap. Bis nya bentar lagi dateng” ucapku lantas bergegas menuju ruang tamu.
“Assalamu Alaikum, anda mencari saya?”
Si tamu berdiri membelakangiku
“Kakak???” aku lantas berhambur memeluknya.
“Kapan dateng?? Kok gak kabari aku?” rajukku
“Baru aja, dari bandara kakak langsung kesini,”
“Hah . . . kangen banget sama kakak!” lantas memeluknya lagi
“Udah ah malu sama yuniornya. Udah gede masih manja sama kakak”
“Ye, biarin! Kakak, kakakku sendiri bukan pinjem punya orang”
“Emang kakak barang sewaan” ucapnya geram dan mencubit hidungku
“Aduh, ,kenapa si semua orang gemar banget mencubit hidungku??” ucapku sembari memijit hidungku yang sebearnya tak terasa sakit.
“karena hidungmu mancung, mancung ke dalam” candanya
Aku Cuma cemberut
“oya kakak punya sesuatu buat kamu” dibukanya tas kertas dan mengeluarkan sebuah bingkisan
Aku bergegas membuka bingkisan itu yang beberapa saat kemudian kutahu isinya adalah sebuah buku agenda bermotif batik yang sangat manis.
“Cantik sekali, kakak masih ingat rupanya kalau aku suka banget pada semua hal berbau batik”
Aku membolak-balik buku itu, kemudian kutemukan tulisan didalamnya.
Hidup kadang memang terlalu sulit untuk dipahami. Teramat rumit untuk diterjemahkan. Ataukah kita yang teramat rumit untuk memahami dan menerjemahkannya??. Dan entahlah, karena pertanyaan itupun menjadi teramat berat di kepalaku. Aku hanya bisa berpikir, hidup ini akan tetap berjalan seberapapun pertanyaan yang menggudang di otakmu. Kau tahu, senyummu itulah yang kini tengah mengendap di otakku. Bodohnya aku tak bisa berpaling. Lebih bodoh lagi, karena aku tak ingin berpaling. Dan karena teramat bodohnya, aku suka kebodohan ini. Aku menikmatinya.
Pagi itu aku melihatmu tersenyum, , , , ,
Tahukah kau, aku merasa takut tadinya. Tapi senyummu kembali menguatkanku. Senyummu yang kini berkarang di benakku.
Tuhan, aku suka senyum itu. Jika ini adalah sebuah kebodohan. Maka biarkan ini tetap menjadi kebodohanku yang terakhir. Karena aku suka senyum itu. Dan aku tak perlu alasan untuk itu. Kumohon jangan minta alasan Tuhan. Aku tak tahu,
Siang Kemarin Kau nampak sangat bersemangat.
Cinta selalu menjadi alasan yang kuat untuk melakukan hal yang konyol.
Hal aneh yang kerap kurasakan, kenapa kau nampak begitu indah dengan segala keterbatasanmu. Dan aku semakin tak peduli, apa dunia memandangmu
Tuhan, aku tidak tahu untuk alasan apa Engkau yakinkan aku untuk bertahan. Aku berharap cintaMu, cintanya, dan cintaku, bukanlah alasan yang terlalu konyol untuk semua ini, ,
Aku jatuh cinta pada semua hal tentangmu. Pikirmu,caramu, dan senymmu, semua nampak sangat indah di mataku. Kaulah alasanku bertahan.
. . . . .
“Kak, tulisan ini??”
“Mirip dengan tulisanmu”
Aku mengangguk.
“Bukan cuma mirip, tapi ini seperti copyannya”
Kakak tersenyum.
“Memang itu tulisanmu. Tapi kakak yang menyalinnya ke buku itu.”
“apa?? Tapi kakak dapat darimana semua tulisanku ini? aku bahkan tidak menyimpannya. Semuanya hilang selesai aku tulis”
“Dia!” kakak menunjuk sesorang di belakang kami, yang ternyata adalah Angga.
“Angga??”
Angga berjalan ke arah kami dan berjabat tangan dengan Kakak.
“Kamu mau tahu, hilangnya semua kertas coretan kamu? Ini dia orangnya. Elang . . eh Angga yang sudah mengambilnya”
“Apa?!!” aku terkejut dan melotot ke arah Angga
“Eits . . .  Tunggu jangan marah, aku melakukan semua itu karena permintaan Mas Farhan. Ya kan Mas?” ucapnya meminta pembelaan
“Iya Ryas, kakak yang minta Angga untuk melakukan semuanya. Karena kakak ingin tahu apa sebenarnya yang sangat dibutuhkan oleh adik kakak ini. dan kakak belikan buku itu supaya kamu jangan lagi mencoret-coretkan tulisanmu di sembarang tempat. Semua tulisanmu itu akan jadi arsip hidupmu”
Aku terharu dan kembali memeluk kakak,
“Eh . . gak malu sama Angga?!”
Aku menggeleng.
“Ohya, , sepertinya tulisan itu masih belum lengkap” Ucap Angga
“Siapa ya, yang dimaksud dalam tulisan itu?” goda Angga
“Adik kakak tengah jatuh cinta?” tanya Kak Farhan
“Iya!” Jawabku Mantab.
“Ohya?? Siapa??” tanya Kak Farhan dan Angga kompak
 “Semuanya. Semua hal tentang LPM. Aku merasa bangga menjadi bagian dari tempat ini. berjuang bersama untuk sebuah tujuan yang sangat sederhana. Mungkin tidak banyak yang aku dapatkan secara material bahkan tidak ada, tapi disini aku menemukan arti sebuah pengabdian, sebuah pelajaran mengenai kehidupan. Aku jatuh cinta pada profesi ini. melihat senyum rekan-rekanku, pergulatan pemikiran mereka, cara mereka memandang kehidupan, sungguh semua itu tidak mungkin aku dapatkan jika aku hanya duduk manis sebagai mahasiswa”.
            Kali ini Kak Farhan memelukku dan mengecup kepalaku.
“Teruslah belajar untuk menjadi bijaksana. Kakak bangga padamu”

HATI

‘Hati tak pernah bisa dibohongi. Seberapa pun kau berusaha melupakan Alfan, orang yang sangat kau sayang itu. Kau tidak akan penah bisa. Kau bisa saja berkata, kau tidak membutuhkannya tapi apakah itu sejalan dengan kata hatimu? Kau boleh saja mengaku, ada banyak yang lebih baik dari Alfan. Tapi apakah ada seseorang seperti Alfan? Pencuri hatimu itu. Kau juga berhak bilang cinta tak harus memiliki. Tapi apakah kau rela melihat Alfan mencintai dan dicintai orang lain?? Jujurlah pada hatimu kawan’
Sebuah pesan panjang yang membuatku hampir tecengal membacanya. Pesan yang dikirim oleh seorang teman. Yah teman yang baru kukenal seumur jagung tapi telah bergaya seolah mengenalku sangat dalam. Bukan salahnya memang, ia kerapkali jadi pelarianku ketika kurasakan kekecewaan atas sikap ‘Dia’. ‘Dia’ yang kukenal dan mengenalku dengan sangat dalam. Dia yang tak pernah bersikap lembut namun selalu menenangkan. ‘Dia’ yang memenuhi rongga hatiku. Juga ‘Dia’ yang telah membuat bagian ini tercekat sampai tak sanggup bernafas, hatiku.
‘Jika semua perih ini adalah cinta. Maka biarlah ia mencari jalannya sendiri. Hati teramat mudah bermain dan dipermainkan’.
Kubalas pesan itu sekenanya saja. Langit sore ini terasa amat terik dari biasanya keringat deras mengucur dari tubuhku disambut oleh air mata yang juga mencari celah untuk ikut menampakkan diri. Berbaur dengan air laut yang telah membasahi setengah bagian tubuhku yang bersimpuh ditepi pantai. Urat tubuh bagai tercerabut satu persatu dari tulangku........
***
‘Ashiko , ini file proyek yang diminta Pak Joyo. Tolong kamu cek kepastian proyeknya ke setiap instansi. Nomornya udah ada didalam tinggal kamu hubungi aja. Setelah itu jangan lupa kamu buat laporan untuk rapat nanti Sore. Sekalian laporin ke Pak Joyo!’ si Cerewet Mita mulai nyerocos tanpa memberiku kesempatan berpikir.
‘Hey, ini kan tugasnya Alfan. Kok dilimpahin ke aku?? Aku juga lagi sibuk bikin maping buat Proyek yang di Bogor.
‘Alfan lagi dapat tugas dari Pak Joyo. Jadi beliau pesan semua pekerjaan Alfan kamu yang handle. Lagian kamu istrinya, wajib bantuin tugas suami, hehe . . . . celetuknya sembari ngeloyor pergi.
‘Istri?? Istri pala lu peyang . . . huh . . ‘ gerutuku sembari melempar salah satu map di depanku. Tapi dengan sigap dihindari. Si cerewet Mita menjulurkan lidah meledekku.
‘dasar sinting , , ,!’
‘Alfan, , , Alfan , , , kamu itu emang selalu nyusahin. Ada gak ada orangnya tetap aja bikin sebel’ Aku mengomel sendiri sembari menekan tuts telepon. Menghubungi setiap nomor dalam map tadi.
Setelah selesai aku segera membawa map itu beserta laporan yang diminta oleh Pak Joyo. Bosku di kantor. Sengaja kuambil jalan memutar melewati meja Mita. Tentu saja untuk menjahili dia. Dia yang gemar nyemil tak pernah luput dari jajanan di mejanya. Mulai dari snack sampai permen dengan bermacam rasa ada di mejanya. Dia yang tengah sibuk menelpon pun tak luput dari sebuah coklat yang baru saja dibuka pembungkusnya dam belum sempat dimakan. Karena keburu diganggu oleh dering telepon. Dengan diam-diam kuambil coklat itu dari bungkusnya dan kuganti dengan karet panghapus pensil miliknya, yang kebetulan bentuknya hampir mirip batangan coklat.
Selepas meletakkan telepon Mita langsung saja menyantap karet penghapus yang disangkanya coklat.
‘wek , , apa ini?? Ashiko , , , , !!! balikin coklatku , , , ,’ teriaknya menggema seisi ruangan.
Sekarang ganti aku yang menjulurkan lidah mengejeknya. Dia yang geram mencoba mengejarku. Aku bergegas masuk ke ruang Pak Joyo yang waktu itu tidak tertutup.
Selamet . . .selamet . . .’ Ucapku mengusap dada
Pak Joyo sepertinya sedang menerima tamu. Dia tidak di mejanya melainkan duduk di tempat penerimaan tamu. Melihat kedatanganku Pak Joyo lantas memanggilku.
‘Masuk aja Ashiko, , ,’ panggilnya padaku.
‘Mana file dan laporan yang aku minta’
Kujulurkan kedua map yang tadi kubawa.
‘Ini Pak!’ pandanganku beralih pada tamu Pak Joyo, yang tak lain adalah Alfan. Pak Joyo Sibuk membaca laporan yang kuberikan.
‘Duduk Ashiko’ ucapnya tanpa menoleh.
‘Bagus! Ini sudah cukup Alfan gak salah pilih’.
‘Alfan??? Maksud Bapak apa?’
‘Lho kamu belum tahu ya, Alfan saya rekomendasikan menjadi General Manager menggantikan Pak Soni yang sebentar lagi pensiun. Dan posisi Marketing Officer pastinya akan kosong. Dan Alfan merekomendasikan kamu’.
Aku melotot kaget ke arah alfan. Tapi yang dipelototin Cuma tersenyum tipis. Gak biasanya.
Surat disposisi akan segera kalian terima awal bulan depan. Jadi kalian persiapkan diri saja untuk pekerjaan yang baru’
Baik aku ataupun Alfan tak banyak bicara. Selepas mendapat kabar itu kami bergegas minta ijin keluar ruangan. Baru selangkah menuju pintu keluar tiba-tiba Pak Joyo memanggil Alfan.
‘Ohya, satu lagi Fan. Tadi Hena telpon katanya mau minta dianterin fitting baju untuk acara pertunangan kalian’.
Terdengar seperti suara petir menggema ditelingaku. Padahal itu bukan musim hujan dan memang tidak hujan. Aku menoleh penuh tanda tanya kearah Alfan. Sementara dia seperti orang bingung menoleh ke arahku dan Pak Joyo.
‘Ashiko harus hadir ya, undangan memang belum disebar. Tapi anggaplah ini sebagai undangan dari saya’. Pandangan Pak Joyo beralih ke arahku.
Aku cuma mengangguk dengan sedikit senyum yang kupaksakan, kemudian bergegas keluar dari ruangan.
Alfan membuntutiku dari belakang, tapi kemudian berhenti di depan ruangan. Hena, putri semata wayang Pak Joyo, pewaris tunggal perusahaan tempatku bekerja, dan . . . tunangan Alfan tengah menunggunya di depan pintu. Huh . . . . kenapa teramat berat kalimat terakhir ini.
Aku kembali ke kursiku. Si cerewet mita mulai nyerocos lagi. Entah apa yang dibicarakan, pikirku pasti tentang coklatnya tadi. Tapi aku terlalu capek untuk meladeninya. Dia mulai menyadari wajahku yang mulai nampak pucat pasi.
‘Ashiko, kamu pucat. Sakit???. Aku menggeleng
‘Alfan , , , , eh Jovan sini, kamu anterin Ashiko pulang ya! Wajahnya pucat banget. Aku takut dia sakit disini. Entar malah berabe jadinya’ ucap Mita panik
‘Udah jangan ribut aku gak apa-apa kok’ ucapku sembari meringis memegangi perutku yang seperti ditusuk-tusuk.
‘Ashiko kenapa??’ tanya seseorang dari belakang kami. Alfan.
‘eh, , , Ashiko , , ‘ kututup mulut Mita.
‘Aku gak apa-apa. Jo, anterin aku pulang ya! Mita, bilang pak Joyo aku ijin pulang. Terserah kamu bilang apa. Sakit, atau mati juga gak apa-apa’ ucapku tanpa menunggu jawaban dari Mita dan dengan sigap menenteng tas ranselku kemudian pergi tanpa berpamitan. Jovan pun tak banyak berkomentar dan langsung membuntutiku. Alfan seperti sebelumnya. Tak banyak komentar dan hanya terpaku melihat sikapku yang pasti disadarinya sebagai bentuk pelampiasan.
***
‘Jo, berhenti sini dulu’ pintaku pada jovan ketika sampai di tepi pantai menuju rumahku.
‘Ashiko, kamu harus istirahat. Wajah kamu pucat banget. Lain kali aja kita bisa mmpir ke pantai. Aku janji deh, entar aku temenin. Sekarang aku antar pulang ya?!’ bujuknya
‘kalo gak mau nemenin sekarang. Pulang aja, aku bisa naik taksi’ lantas aku berjalan menuju tepi pantai
Jovan tak berani mendebatku. Semua orang tahu, tak satupun orang yang bisa membujukku. Setidaknya ketika aku mulai dikuasai oleh perasaanku. Dan setidaknya selain Alfan.
Aku hanya diam. Menatap kosong ke arah laut lepas. Sesekali melepas napas panjang. Seolah ada sesuatu yang mengganjal disana. Dihatiku. Jovanpun hanya diam berdiri disampingku. Dilepasnya jaket yang ia pakai kemudian diselimutkan padaku. Aku tersenyum ke arahnya. Kemudian kembali menatap laut.
‘Kemarahan terkadang membuat seseorang menjadi tidak realistis dan sedikit ceroboh. Tapi menyimpan kemarahan juga bukan sesuatu yang baik. Lebih nyaman jika kau mau berbagi. Bisa jadi itu akan membuatmua lebih baik.’
‘aku pengen teriak , , , , , ,’
teriak aja! Sapa tahu itu akan membuatmu lebih baik.
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa . . . . . .. . . . . . huk huk huk
Teriakanku terhenti karena batuk yang tiba-tiba menyerang tenggorokanku. Dadaku semakin terasa sakit. Aku jatuh berlutut diatas pasir. Sesuatu meleleh dengan tenangnya dari hidungku. Jovan memegang pundakku.
‘Darah???’ ucap Jovan
‘Aku sering mimisan kalo lagi capek,’ ucapku menjelaskan.
Tanpa dikomando Jovan lantas membopongku menuju motornya dan membawaku pulang.
***
‘Tuhan, bagian ini kembali sakit, sakit lagi, terus dan terus saja begitu’
Kembali ditempat yang sama. Aku jatuh berlutut diatas pasir. Sesuatu meleleh dengan tenangnya dari hidungku. Aku berteriak dengan sisa tenaga yang kupunya. Sekedar ingin melepas beban yang serasa melilit. Tapi siapa sangka itulah jeritan terkeras yang bisa aku lakukan yang bahkan tak terdengar oleh angin. Senja itu memudar , , , , buram , , , kemudian semakin gelap dan gelap selanjutnya menjadi setitik noktah putih, dan hilang.
‘Selamat tinggal Cinta , , , , , ,’
***
Tanah itu masih basah. Sebasah hatiku yang kini sunyi tanpa penghuni. Kau pergi tanpa sebait pesan pun untukku, meninggalkan seonggok hati yang tanpa pemilik. Namun ijinkanlah hati ini tetap melafadzkan namamu agar dapat kukabarkan pada dunia, AKU MENCINTAIMU KARENA TUHANKU’.
Ashiko Yaumi
Seonggok hati tanpa pemilik
Pesan Cinta itu terpatri jelas di atas batu Nisan yang kini diam dalam ketenangan. Dan entah akan terbaca atau tidak. Tuhan tahu, ada dua hati yang terpaut tanpa sebuah ikatan karena semua harus diakhiri.
‘Ashiko, kita pulang ya. disini dingin. Kamu belum sehat betul. Jangan sia-siakan pengorbanan Alfan. Kau harus kuat’. Jovan kembali hadir sebagai penghibur hatiku. Ah, bukan. Ini hati Alfan. Hati Alfan yang kini bersemayam di tubuhku.
‘Jovan, berceritalah sesuatu tentang Alfan’. Pintaku tanpa sedetikpun mengalihkan pandangan dari Pusara di depanku. Sesekali tanganku mengusap Nisannya.
‘Apa yang harus aku ceritakan?? Kau mengenalnya lebih dari aku’
‘Ceritakan yang tidak sempat aku tahu tentangnya’.
‘Alfan, mencintaimu dengan tulus. Itu yang aku tahu. Tak pernah kulihat seseorang dengan cinta yang tulus, setulus Alfan mencintaimu’
‘Tapi dia pergi!.’ air mata itu kembali mencari celah untuk keluar.
‘Kita tidak pernah tahu, hakikat warna apa yang akan Tuhan Torehkan pada hidup kita. Kita hanya perlu meyakinkan diri, Tuhan telah mengatur segalanya dengan sangat sempurna’. Jovan mengusap kepalaku.
‘Sehari setelah aku mengantarmu pulang. Alfan menelponku dan mengatakan kau ada di rumah sakit. Dia menemukanmu tak sadarkan diri di tepi pantai. Saat itu Alfan berlumur darah, dia baru saja mengalami kecelakaan saat mencari donor darah untukmu yang tengah kritis. Hujan sangat deras, motor Alfan terperosok menabrak pembatas jalan. Hebatnya, dia seperti tak merasakan sakit. Dia datang membawakan darah untukmu tepat pada waktunya”
‘Lalu??’
‘Dia menulis ini di tengah nafas terakhirnya,’ Jovan mengulurkan secarik kertas lusuh dengan tulisan yang hampir pudar untuk air hujan. Bertuliskan, Berikan hatiku untuk Ashiko.
Tangisku tumpah tanpa terkendali lagi. Bahkan Jovan tak lagi berkata apapun. Dibiarkannya aku menangis. Tanpa kata, hanya air mata. Seperti kepergiannya. Sunyi. Dan bagian itu kembali sakit. Kali ini semakin sakit.

This is Love

Jika ada yang bertanya apa itu pengabdian mungkin aku tahu. Aku mengetahuinya lebih lama dari yang bisa orang lain ajarkan. Aku menjalaninya lebih dari yang bisa dilakukan banyak orang. Jika ada yang bertanya tentang pengorbanan. Aku bisa menjawabnya. Aku hidup dengan cara itu lebih dari yang bisa dihadapi oleh orang lain. Aku mencernanya lebih sering dari aku menelan makananku.
Tapi apapun itu, aku menjalaninya biasa saja. Karena hidup ini pada akhirnya akan biasa saja. Gejolak hidup hanya semacam bumbu untuk membuatnya lebih terasa. Meski kadang sedikit pahit getir, asam, manis, asin dan entah apa lagi. Yang jelas perpaduannya akan menciptakan rasa yang sempurna.
Gejolak hidupku dimulai semenjak berakhirnya perayaan pernikahanku. Dimulainya hidup baruku, mengajarkanku hal yang baru pula. Pengabdian baru, pengorbanan baru dan mungkin rasa sakit dan cinta yang baru.
Aku pikir hidupku tak seperti kebanyakan. Aku menikah tanpa mengenal calon suamiku. Tanpa tahu siapa keluarganya. Satu-satunya yang aku tahu mereka adalah karib orang tuaku yang memang telah berikrar untuk mengikat salah satu dari putra putrinya sebagai penyambung silaturrahim.
Tapi tak berarti aku tak bahagia. Aku menjalaninya seperti pada umumnya. Berusaha menjadi istri dan menantu yang terbaik. Sebaik yang aku bisa lakukan. Hidupku terasa sempurna pada awalnya. Mertuaku sangat sempurna sebagai seorang orang tua. Hampir tak ada cela.
“Syifa, kau datang kerumah ini bukan sebagai menantuku tapi sebagai putriku”. Ucap ibu mertuaku sebelum meninggalkan aku dan suamiku di rumah yang akan kami tempati setelah ini.
“iya ibu, mohon doa restunya. Agar aku bisa menjalankan kewajibanku sebagai putrimu”.
“Sebagai Istri Farhan juga tentunya”, Sambung ayah mertuaku. Aku hanya tersipu. Suamiku tak bergeming hanya menoleh sekejab ke arah kami. Kemudian kembali sibuk dengan rokoknya.
***
Selepas kepergian mertuaku aku mulai sibuk berbenah di rumah baru kami. Untung ada bi minah. Pembantu di rumah ibu mertuaku yang sengaja dipekerjakan di rumah kami. Hingga menjelang senja seluruh pekerjaan belum rampung benar. Tapi lumayanlah rumah sudah layak huni. Aku bergegas membersihkan diri untuk menjalankan sholat maghrib. Suamiku pergi semenjak siang tadi dan belum kembali. Aku menunggunya sembari menyiapkan makan malam. Bi minah sudah pulang semenjak sore tadi. Dia memang tidak tinggal, karena masih harus membantu suaminya yang seorang penjual soto.
Jam dinding telah menunjuk angka 11. Tapi Mas Farhan tak jua pulang. Kucoba menelponnya tapi berkali-kali di reject. Sibuk mungkin, pikirku. Aku membereskan meja makan dan menghangatkan sebagian masakan. Barangkali mas Farhan pulang. Kemudian aku pergi mandi karena merasa sedikit gerah. Sesaat ketika hendak keluar dari kamar mandi, ada yang berusaha membuka pintu.
“Mas Farhan???” tanyaku dari dalam sembari memakai pakaian. Kemudian bergegas keluar. Setelah pintu kubuka mas farhan langsung saja masuk dan menutup pintu dengan keras. Aku menggeleng kepala heran.
“mas udah makan?? Biar aku siapin”.
“Aku gak laper!”. Ucapnya tanpa menoleh ke arahku sembari mengganti pakaian dengan baju tidur kemudian masuk lagi ke kamar mandi.
Aku keluar untuk membuatkan minuman untuk Mas Farhan.
Ppyyaaarrrrr , , , , , , , , !!!!
Kudengar sesuatu jatuh di kamar lebih tepatnya pecah. Aku bergegas menuju kamar. Ternyata kaca rias di kamarku pecah lebih tepatnya dipecahkan. Kulihat tangan mas farhan berkucuran darah.
“ya Allah Mas, ini Kenapa??” kuambil tisu untuk menutup lukanya yang berdarah. Mas farhan menarik tangannya dengan keras hingga aku terpental dan terjerembab.
“semua ini karena kau . . . kehadiranmu yang mengacau segalanya”
“maksud mas apa?? Aku gak ngerti” tanyaku sembari berusaha bangun. Baru setengah bangun mas farhan menarik tanganku dan melemparku ke Sofa.
“awww , , , , , ,!! Mas ada apa sebenarnya??” Mas Farhan mencengkeram kedua tanganku
 “jangan banyak bertanya lagi! Karena aku takkan bisa menjawabnya. Kalaupun bisa, semuanya sudah kacau. Dan sekarang biar kutunjukkan kekacauan itu padamu”.
Disinilah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengutuk kehidupan yang kujalani. Kehidupan yang selama ini kupelajari dari Ibu sebagai Pengabdian.
Ibu, sesakit inikah pengabdian yang harus kujalani. Bukankah semua ini kulakukan sebagai baktiku padamu?? Kenapa begitu sakit??
Batinku menjerit namun tak bersuara. Aku tidak tahu harus menangis ataukah tersenyum. Hanya isak tangis mengiringi perih di sekujur tubuhku. Juga sakit di hatiku yang takkan pernah bisa kupahami.
***
Aku sudah bilang kan, bahwa aku akan mengajari kalian mengenai apa itu pengabdian. Inilah pengabdian itu. Kujalani hidupku tanpa mengeluh, meski dengan batin yang terkoyak. Aku tahu ini pilihan yang teramat konyol. Menjalani siksaan hidup sementara harusnya kita punya daya untuk melawan. Sekali lagi inilah pengabdian. Kadang cinta memang selalu bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan hal yang konyol. Sekonyol apa yang aku jalani saat ini.
“Halo . . . iya dengan saya sendiri. Astaghfirullah . . . di rumah sakit mana?? Iya saya segera kesana”. Kututup telpon dan bergegas mencari taksi. Mas Farhan mengalami kecelakaan di pertigaan jalan kemuning. Mobil yang dikendarainya terserempet truk pengangkut sampah dan menabrak traffic light. Jalan kemuning? Bukannya itu jalan ke rumah ibu mertua?. Harusnya kan mas di kantor? Aku tak sempat berpikir panjang lagi.
Sampainya di rumah sakit, kulihat ibu dan ayah mertuaku telah berada disana. Dengan setengah bingung aku mengucap salam dan memasuki ruangan tempat mas dirawat. Aku sempat terperanjat kaget ketika ibu mertuaku yang terisak berhambur memelukku.
“Ibu sabar ya, , , mas Farhan pasti sembuh kok. Kan ada aku yang akan merawatnya. Ibu jangan khwatir”. Ucapku berusaha menenangkan.
Ibu mertuaku melepas pelukannya, dan mengusap air matanya.
“Ibu menangis bukan karena itu, tapi justru karena ibu merasa bersalah sama kamu”.
Aku clingukan memandang ke arah Ayah dan Ibu mertuaku juga sesekali ke arah mas farhan yang nampak sayu menahan sakit sepertinya.
“nak, maafkan kami. Keinginan kami untuk menjodohkan kalian, tidak kami sangka bakal berbuah luka untukmu. Kami benar-benar berdosa padamu”. Ayah mertuaku angkat bicara
“tadi farhan ke rumah dan menceritakan semuaya. Kami terlibat pertengkaran. Farhan pulang dalam keadaan emosi. Mungkin karena itu dia tidak fokus berkendara dan kecelakaan”. Ibu kembali terisak, kali ini bersandar di pundak ayah.
“Ayah, Ibu, aku mungkin sempat mengutuk keadaan yag kualami. Aku hanya ingin mengabdi pada orang tua tapi kenapa aku harus menderita. Namun aku sadar, kehidupan ini bukan fairy tales yang tanpa cela, pada akhirnya smua akan biasa saja. Dan bukankah aku telah bersumpah menjadi putri kalian?? Apakah seorang anak akan berhenti mencintai orang tuanya hanya karena dia hidup menderita??” ucapku bersamaan berhamburnya ibu memelukku sementara ayah mengusap dan mengecup kepalaku dengan penuh kasih. Damainya tempat ini,
“jika waktu bisa diputar, aku akan minta supaya kau jadi anakku, bukan menantuku”
“ayah, aku putrimu”
“Ayah, ibu, aku punya kabar untuk kalian,” kukeluaran sepucuk surat dari dalam tas.
“surat dari rumah sakit?? Kamu sakit apa nak?” tanya ibu
Aku Cuma menggeleng
Ibu membuka surat itu dengan was-was. Selepas membacanya wajah ibu yang tadinya sayu menjadi cerah berbinar seperti mentari pagi. Ayah yang tak sabar meraih surat itu dan membacanya sendiri.
Kami bertiga saling berpandangan dengan kecamuk perasaan yang tak pasti. Hanya yang kutahu mereka pasti senang dengan kabar ini,
“Kamu hamil???” ibu kembali memelukku. Ayah tak henti-hentinya mengucap syukur. Kurasa inilah yang akan dilakukan Abi dan Umi jika mendengar kabar ini. tak sabar aku melihat senyum mereka.
 “Ibu, tolong jangan beritahu mas soal kehamilanku. Aku takut ini justru akan membuatnya shock. Biar nanti aku sendiri yang memberi tahu mas” pintaku kemudian. Baik ayah ataupun ibu hanya mengiyakan.
***
Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, mas farhan kemudian diijinkan untuk rawat jalan. Aku bersyukur. Bukan Cuma karena mulai pulihnya keadaan mas farhan. Tapi juga itu artinya aku tak perlu lagi bolak-balik ke rumah sakit. Kadang tubuhku seperti remuk. Terutama di daerah pinggang. Jika kukeluhkan itu pada bi minah dia selalu bilang itu bawaan orang hamil.
Hamil baru 3 bulan saja sudah terasa remuk badanku, bagaimana nanti jika perutku udah membuncit?? Aku capek sendiri kadang jika memikirkannya. Tapi ada perasaan senang ketika mengusapnya, serasa ada yang hangat disana. Hingga sekarang mas farhan belum tahu apa-apa mengenai kehamilanku. Tadinya aku juga merahasiakannya dari bi minah. Mas sangat dekat dengan bi minah, aku takut bi minah menceritakannya pada mas. Tapi aku tidak bisa mengelak lagi ketika bi minah mendapati aku yang tengah mual dan muntah-muntah di kamar mandi. Mungkin karena sudah pengalaman bi minah langsung bisa menebak kalo aku tengah hamil. Akupun mengaku dan memintanya merahasiakan, dan bi minah bisa dipercaya.
Seperti biasa setiap pagi kusiapkan sarapan untuk mas farhan dan menyuapinya. Selama sakit mas farhan menurut saja ketika kusuapi, dan lagi ia takkan mampu berbuat banyak dengan posisi tangan di-gips. Pernah suatu ketika tangannya menyentuh perutku tanpa sengaja ketika hendak membalik posisi tidurnya. Itu pertama kalinya calon bayiku tersentuh oleh ayahnya, walau tanpa sengaja. Aku keluar dari kamar dengan berbinar senyum. Entah untuk apa, aku hanya merasa senang dan kunikmati saja perasaan itu tanpa banyak bertanya.
“Harusnya kau bisa saja pergi jika kau mau, kenapa masih ada disini” ucap mas farhan suatu ketika saat aku tengah membereskan bekas sarapannya. Aku tak menjawab.
“Aku tahu, kau tidak tuli. Kenapa masih mau menjagaku? Kau bisa pergi. karena bersamaku kau takkan mendapatkan cinta seperti yang kau inginkan”
“Aku tahu. Aku bisa saja meninggalkan pria pesakitan sepertimu dan mencari pria lain yang bisa memperlakukanku dengan lebih layak. Tapi aku tidak melakukannya. Kenapa? Jangan berpikir itu karena kau. Aku melakukannya karena aku telah bersumpah menjadi putri dari seorang Ibu dan Ayah. Aku bukan menikah denganmu. Aku menikah dengan keluargamu. Kau tahu, aku telah melakukan lebih dari yang bisa kau lakukan sebagai putra mereka”. Ucapku dengan nada penuh keangkuhan dan meninggalkannya.
***
Pagi ini, kurasakan tubuhku kurang bertenaga. Kuminta bi minah menyiapkan sarapan untuk mas farhan. Aku pergi beristirahat ke kamarku. Selepas malam itu aku memang tak pernah lagi tidur di kamar mas farhan. Aku tidur di kamar tamu. Samar-samar kudengar suara orang menuruni tangga, pasti mas farhan. Tak kuhiraukan dan lantas bergegas merebahkan tubuh di tempat tidur, kepalaku benar-benar pening. Aku harus istirahat, jangan sampai bayiku ikut kepayahan.
Entah berapa lama aku tidur, aku terjaga karena mendengar suara gelas pecah. Suara itu dari arah dapur. Aku beranjak dan menuju dapur. Kulihat disana mas farhan tengah memunguti gelas yang pecah. Tanpa bicara kubantu ia membereskan pecahan gelas itu.
“Kenapa tidak panggil bi minah, jika perlu sesuatu?”.
“Bi minah pulang. Suaminya sakit. Tadinya aku mau bikin kopi. Tanpa sengaja gelas itu tersengol jatuh dan pecah”
Kuambil gelas yang lain dan membuatkan kopi untuk mas farhan. Ia tetap berdiri mematung menunggu kopi yang kubuat. Kuulurkan kopi itu untuknya lantas dibawa ke meja makan. Aku menyiapkan makan siang. Rupanya sebelum pergi bi mina telah menyiapkan masakan yang tinggal kuhangatkan saja ketika akan dimakan. Ia pasti sangat khawatir aku kecapekan.
Hubungan kami sangat kaku. Meski tak pernah lagi marah dan berlaku kasar tapi kami jarang sekali terlibat pembicaraan bahkan di meja makan. Kami membisu dan berperang dengan pikiran kami sendiri. Kadang kucoba angkat bicara dan menawarkan untuk mengambilkan makanan untuk mas farhan tapi hanya dibalas denga gelengan atau kemudian diambil sendiri.
Hari ini terasa panjang tanpa bi minah. Tak ada yang bisa kuajal ngobrol. Biasanya bi minah pulang malam hari. Jadi seharian bisa menemaniku bersantai dan ngobrol. Kadang aku bertanya banyak hal mengenai kehamilan tentu saja dengan diam-diam agar mas farhan tidak mendengar.
Aku menghabiskan waktu seharian di taman depan rumah, dengan membaca majalah atau melanjutkan kain sulamanku, sebuah baju hangat untuk bayiku. Aku bergegas masuk ke dalam ketika udara mulai terasa dingin. Kulihat jam di tanganku menunjuk pukul 09.00. lantas bergegas ke dapur untuk membuatkan minuman untuk mas farhan. Aku biasa membuatkannya susu hangat setiap malam. Ibu bilang mas punya kebiasaan minum susu sebelum tidur sejak kecil.
Kucoba ketuk pintu kamarnya tapi tak ada jawaban. Aku langsung masuk dan meletakkan susu hangat di meja kemudian bergegas keluar. Aku berpapasan dengan mas farhan yang ternyata berada diluar.
“eh, maaf. Aku Cuma meletakkan susu hangat di meja”
“Syifa. Bisa ngobrol sebentar??”
Aku mengangguk. Aku duduk di sofa. Mas farhan duduk di depanku, kami duduk berhadapan. Cukup lama kami cuma diam.
“aku, , , , , mau minta maaf” ucapnya memecah keheningan
“eh, , untuk pa??”
“untuk semua perlakuanku selama ini. aku tahu sangat naif apa yang aku lakukan. Menyalahkanmu atas apa yang terjadi padaku. Padahal kau tidak pernah ada kaitannya dengan semua kekacauan ini”.
“lupakan saja lah mas. Aku udah gak mikirin soal itu. Bagiku itu masa lalu”
“iya, tapi tetap saja aku bersalah padamu”
“pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Aku sudah melupakan hal itu dan memaafkan mas”
“terima kasih. Setelah apa yang kulakukan kau sedikitpun tak menaruh dendam”
Mungkinkah aku membenci seseorang yang telah menanam benih cinta di rahimku. Alasan terbesar aku bertahan sekarang. Batinku.
“kalo sudah tidak ada lagi, aku mau kembali ke kamarku”. Aku beranjak dari sofa. Tiba-tiba mas farhan menarik tanganku.
“tunggu, ada yang belum aku katakan”
“apa lagi?”. Mas farhan berdiri dekat sekali, teramat dekat hingga bisa kurasakan hembusan nafasnya di keningku. Dia menunduk dan mecoba menciumku. Refleks aku mengelak. Ia nampak kecewa. Dilepasnya tangan yang tadinya menggenggam tangan ku.
“maaf!” ucapku terbata-bata.
“ehm, , tidak aku yang harusnya minta maaf. Tadinya aku pikir kita akan mulai semuanya dari awal. Aku lupa, luka yang telah kubuat pasti sangat menyakitkan dan membuatmu trauma. Aku , , ,”. Kubuat ia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Karena jika tidak aku pasti akan menangis dibuatnya. Kututup bibirnya dengan bibirku. Hal yang tadi kutolak kini kulakukan sendiri. Biarlah, aku hanya ingin melakukannya dan kulakukan. Toh dia suamiku.
Selepas menciumnya, akal sehatku kembali. Bergegas berlari menuju piintu tapi mas farhan meanarikku dan lantas memelukku.
“mau kemana? Kamarmu disini. Berhenti bermain-main dan biarkan kulakukan kewajibanku”
“mas, ada yang belum kukatakan” ucapku
 “apa?”
“aku hamil”
“hah, , , hamil??”
Aku mengangguk ragu. Mas farhan tersenyum bangga lantas mengecup keningku. Lantas berlutut memegang perutku. Menciumnya.
“Sayang, ini ayah. Maaf baru sekarang ayah menyapamu, baik-baik disana dan cepatlah lahir. Ayah dan bunda akan menyambutmu dengan bangga” lantas diciumnya lagi.
“Sungguh Tuhan teramat murah hati pada pendosa sepertiku. Dikaruniakan-Nya berkah yang berlimpah . . .”. kututup mulutnya dengan jariku.
“Tuhan, memang Maha Pemurah, karena itu kita harus banyak-banyak bersyukur. Jangan Cuma mengeluh”
“iya. Sekarang ijinkan aku membayar kesalahanku padamu. Kebahagiaan yang harusnya kuberikan sebelumnya,”.
Mas farhan menciumku sekejab, “bolehkan??” pintanya
“lakukanlah,”
Dan semuanya terasa indah. Pergumulan dua insan dalam ikatan cinta suci. Inilah pengabdian yang kukatakan. Pahit tapi berbuah manis.