Kamis, 26 Desember 2019

BERLAPIS CAHAYA


(Bersambung)
Pukul 08.15 pesawat berlogo singa bersayap itu lepas landas dari Bandara berinisial SUB meski berada di Kabupaten Sidoarjo. Seat 31C bukan sudut istimewa untuk duduk selama 11 jam perjalanan tanpa transit menuju tujuan akhir Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Tapi juga bukan sesuatu yang benar-benar kupikirkan, karena aku sibuk dengan hal lainnya.
Hanya sekali aku berdiri dari ‘penjara’ kursi itu untuk memenuhi tugas kemanusiawianku. Beruntung aku memiliki gabungan ruas punggung dan tulang ekor yang bukan buatan manusia. Sehingga bentuknya tetap utuh meski bergemeretak seperti kerupuk renyah.
Sepanjang perjalanan tak banyak hal yang kulakukan. Bahkan sekedar mengagumi pengalaman pertama berkendara langit dengan durasi terpanjang. Bicarapun kukira hanya satu atau dua kali yang tak kuingat detailnya.
Hatiku mencair bagai telaga. Sedang mataku adalah sumber tumpahnya yang tak terbendung. Menangis dan merapal apapun yang kubisa dan kuingat. Memanggil satu persatu nama yang menjadi kekuatanku.
Apa aku phobia naik pesawat? Of course no! Tapi jika ada yang bertanya apa aku takut? Iya. Aku takut. Takut apa? Entahlah. Mungkin aku takut semua yang kualami hanya mimpi. Bunga tidur yang akan menyisakan sesak di hati saat terjaga. Bisa jadi aku takut tak cukup baik sebagai pribadi untuk menjejakkan kaki di Tanah Suci. Atau takut tak bisa kembali ke tanah air.
Oke, opsi terakhir itu sedikit konyol. Disaat pesawat beberapa kali mengalami turbulensi karena berbenturan dengan mendung, aku justru sibuk dengan pena dan note. Sepenuhnya mengabaikan pekikan beberapa penumpang yang panik. Atau satu dua orang yang akhirnya mabuk perjalanan. 'Dua kekasih setiaku' itu selalu sanggup mengalihkan duniaku. Pun juga menjaga kewarasanku di waktu lainnya. Meski tak cukup untuk mengendalikan emosiku.
Pukul 15.15 WSA, pesawat mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Sepasang Pramugara dan Pramugari melepas kami dari sisi pintu keluar dengan senyum. "Terima kasih, sampai jumpa kembali," seru mereka melepas kepergian kami satu persatu.
"Maskernya bisa dipakai kak, disini banyak virus," ujar sang pramugari padaku. Aku hanya mengangguk dan melempar senyum terbaikku. “Ya Rabb, ijinkan aku menghirup aroma kotaMu, dan jagalah aku,” bisikku dalam hati. Kuresapi udara yang seketika melingkupiku. Hangat, itu yang kurasa, mungkin efek dingin tak tertahan di pesawat dan panas diluar.
Apa suasananya luar biasa? Tidak. Meski segala hal terasa istimewa, tapi aku takkan melebih-lebihkan narasiku. Bandara dengan nama Raja Arab Saudi yang pertama ini terkesan sepi. Barangkali hanya rombongan dari pesawat kami yang memenuhi bandara ini. Mengingat kami adalah gelombang pertama umroh setelah sempat dihentikan beberapa waktu karena Dua Kota Suci menjalani perawatan dan perbaikan insfrastruktur.
Bersama dengan bus bandara, kami diantar memasuki pintu kedatangan. Nampak pria bergamis panjang dan sorban dengan perawakan tinggi serta suara menggelegar menyambut kami. Menggiring kami mengantri di masing-masing pintu check in untuk pemeriksaan berkas.
Team Leader yang biasa kami panggil Ustadz Aziz mulai sibuk dengan ponselnya. Menghubungi perwakilan yang akan menjadi pemandu kami selama di Tanah Suci. Pukul 17.15 WSA pemandu kami sampai dan aku akhirnya teringat menelpon orang tuaku. Mengabarkan keberadaanku. Mendengar suara mereka membuatku kembali merasakan nyeri di ulu hati. “Ya Allah jagalah selalu kedua pelita hidupku, Gusti . . .”
Bus yang kami tumpangi melaju di jalanan Jeddah yang lagi-lagi cenderung sepi. Dua orang Muthowwif (Pemandu, red) yang memperkenalkan diri bernama Ustadz Rofiqi dan Ustadz Affan Syaiful Bahri mengisi keheningan kami dalam bus dengan talbiyah serta Sholawat Nabi. Nada yang syahdu dan mengalun lembut lagi-lagi meneteskan telaga di mataku.
Hari mulai gelap dan selain sorot lampu kendaraan, tak ada lagi yang bisa kupandangi di sisi kanan kiri jalan. Tak ada penerangan, karena yang kami lewati hanyalah hamparan gurun pasir nan gersang. Ustadz Rofiqi dengan aksen khas Pulau Garamnya pun bercerita tentang Kota Madinah. Kota yang diriwayatkan memiliki dua kali keberkahan dari Kota Makkah Al Mukarromah berdasarkan Doa Rasulullah dalam sebuah hadist riwayat Anas Bin Malik RA dalam Shohih Muslim.
Enam jam perjalanan dari Jeddah menuju Madinah, jamaah berhenti di perbatasan dua kota untuk menjalankan ibadah Sholat Maghrib Jama’ Ta’khir dengan Isya.’ Masjid Sasco Mahattah, begitulah Muthowwif menyebutnya yang tentu saja bergaya Timur Tengah. Makan malam dengan menu nasi kotak pun kami nikmati di sekitar area masjid, yang juga baru kusadari berada di area jalan tol. Menu nasi dengan ayam goreng dan sambal yang tidak membuatku rindu tanah air. Hanya merasa, ‘Kenapa chefnya memaksakan resep nusantara dalam bahan yang jelas citarasa Arab?” Enak, tapi tidak istimewa. Astaghfirullah.
Gerimis menitik ketika bus yang kami tumpangi memasuki Kota Madinah. “Assamualaika ya Rasulallah,” Ya Rabb, nyeri itu lagi, tangis yang sama. Seolah mataku tak punya lagi cara mengapresiasikan kekaguman dan kebahagiaan selain memeras telaga airmata yang tak jua mengering.
Sesuai dengan namanya, Madinatul Munawwaroh, ‘Kota Yang Bercahaya.’ Madinah memang merupakan gambaran dari struktur tata kota modern dengan banyaknya gemerlap lampu dan gedung pencakar langit di pusat kotanya. Di malam hari-dari sudut pandang yang tepat-, Kota Nabi ini akan nampak seperti taburan bintang di hamparan langit yang gelap.
Bagi yang telah berkali-kali melakukan perjalanan suci seperti halnya Umroh atau bahkan Haji, pemandangan Kota Madinah mungkin bukan hal yang asing lagi. Namun bagi the first comer bahkan proses terbuka dan menutupnya Payung Masjid Nabawi pun menjadi momen spesial yang tak ingin dilewatkan.
Masjid Nabawi-Masjidnya Nabi, tak hanya menjadi Ikon Kota Madinah, tapi sekaligus tempat suci selain Masjidil Haram di Kota Makkah yang menjadi mimpi setiap Muslim untuk bisa mengunjunginya. Karena di tempat inilah Junjungan Umat Muslim sedunia bersama dua karib tercinta Nabi, Abu Bakar Ash-Shiddig dan Umar Bin Khattab dimakamkan.
Bahkan sebuah tempat yang dijuluki sebagai Min Riyadhil Jannah (sebagian dari taman surga), Roudhoh, merupakan tempat paling Mustajabah-tempat terkabulnya segala doa- yang hampir selalu ramai dikunjungi setiap waktu. Roudhoh merupakan tempat mustajab yang berada diantara mimbar dan Rumah Baginda Rosul, yang saat ini sekaligus Makam Nabi  beserta dua sahabat.
Hotel Jawharat Al Rasheed, menjadi rumah kedua kami selama berada di Kota Nabi. Hampir tengah malam ketika kedua Muthowwif dengan telaten mengantar setiap jamaah menuju pintu kamar masing-masing. “Setiap akses menuju dan keluar dari Masjid Nabawi melewati pintu 6 atau 7 yang lurus dari arah hotel,” terang Ustadz Rofiqi.
Rasa hati tak ingin menunggu lagi untuk berlari ke Masjid Nabawi. Namun, nyeri di badan dan kebas pada mataku menyadarkan diri agar tak bertindak gegabah. Gegabah dengan akibat fatal tersesat atau lupa jalan pulang. Suara hati yang lantas kusesali hanya selang beberapa jam berikutnya. (2)

Sidoarjo, 15 Desember 2019 Pukul 17.52 WIB