Jumat, 22 November 2013

Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan


DATA DESA
Nama Desa                 : Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan
Nama Kades               : Muhammad Hajar
Ketua BPD                 : Darwis
Sekdes                         : Liman Carik
Pamong Desa              : Liman Pettong
Jumlah Penduduk       : 6000 Jiwa
Jumlah KK                  : 2000 KK
Batas Desa                 
·                     Barat               : Desa Debung, Kec Geger
·                     Timur               : Desa Durin Timur Kec Konang
·                     Utara               : Desa Durin Barat, Desa Kanegarah Kec Konang
·                     Selatan             : Desa Lembung, Desa Ampara’an Kec Kokop
Jumlah Dusun 4
·                     Dusun Paser                : Kasun Muhammad Ramli
·                     Dusun Manggala         : Kasun Syaru’din
·                     Dusun Sok-Sok           : Kasun Muhammad Fahri
·                     Dusun Prenduan         : Kasun Farid
Potensi Lahan
Pertanian         : Padi, jagung, ubi-ubian dan beberapa buah tropis seperti kelapa, mangga, jambu biji, dan pisang. Setahun terakhir tengah diuji cobakan perkebunan tebu.
Perkebunan     : Mayoritas jati, mahoni, trembesi, dan bambu. Tapi masih sebatas tanaman liar yang ditanam untuk mengisi lahan kosong.

Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan
TERTINGGAL, DESA NOL PEMBANGUNAN
“Jika di kota setiap Bulan Agustus mengibarkan bendera merah putih dan melakukan upacara. Disini tidak perlu mengibarkan merah putih, karena kami belum merdeka,” Itulah satu dari keluhan yang terdengar ketika mengunjungi salah satu desa di Kabupaten ujung paling barat pulau Madura yang berbatasan langsung dengan ibukota Jatim, Kota Surabaya. Tepatnya Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan. Seperti apakah kondisinya?
Desa Batokaban bisa ditempuh dengan satu jam perjalanan motor dari arah timur (belok kanan) perempatan Jembatan Suramadu.  Melintasi tiga kecamatan yakni Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Geger, dan Kecamatan Blega.
Di siang hari, terik matahari yang serasa membakar ubun-ubun bukan lagi hal baru. Ditambah kemudian jalanan aspal yang sudah mulai mencuat disana-sini seolah memberi peringatan bagi para pengguna jalan agar jangan sekalipun bermain kebut-kebutan di jalan ini. Beruntung jika hanya terperosok ke sawah atau ladang milik warga. Jalan berkelok yang terjal bisa jadi ancaman tersendiri jika harus beradu badan dengan kendaraan lain.
.
Memasuki Desa Batokaban atmosfer yang berbeda mulai tercium sepanjang perjalanan. Meskipun Batokaban seperti pada umumnya desa-desa di Kecamatan Konang. Dominasi lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman dengan jarak yang masih jarang, wilayah lembah, perbukitan, dan beberapa jalan berbatu yang akan sangat licin jika musim hujan (kontur tanah liat).
Desa Batokaban di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Durin Timur yang masih merupakan daerah Kec Konang. Di sebelah barat   terdapat Desa Debung, Kec Geger. Sebelah utara merupakan Desa Durin Barat, Desa Kanegarah yang juga wilayah Kec Konang. Sedangkan di sebelah Selatan terdapat Desa Lembung dan Desa Ampara’an, Kec Kokop
Hal yang paling dominan yang akan terasa bagi pendatang adalah sulitnya akses keluar masuk bagi kendaraan. Satu-satunya alat transportasi yang kerap dipakai warga adalah sepeda motor. Mengingat jalan utama desa yang kecil, sangat sulit untuk dilalui oleh kendaraan besar. Jika pun terpaksa menggunakan kendaraan besar, harus memutar dulu dari arah barat Kec Tanah Merah yang sebagian telah beraspal dan beberapa titik telah di makadam secara manual.
“Kalau untuk jalan sebenarnya kita dapat bantuan dari PNPM Mandiri, tapi itu tidak maksimal. Sebatas satu sampai satu setengah kilometer. Sementara Batokaban ini luas,” ungkap Liman, Sekretaris Desa Batokaban.
Sejauh ini, titik pengaspalan jalan di Desa Batokaban memang masih jauh dari cukup. Dari empat dusun yang dimiliki, baru sebagian kecil dari Dusun Sok-Sok yang memiliki jalan beraspal. Ini tidak lain karena di dusun ini terdapat beberapa pusat pendidikan seperti SDN Batokaban 2, RA Al Aziziyah, MI dan MTS Al Ikhlas, dan beberapa tempat pendidikan lain. Beberapa ruas jalan di Dusun Manggala yang berjajar dengan Dusun Sok-Sok baru nampak sisa makadam yang juga mulai rusak.
Terkendala SDM
Desa Batokaban, yang berdasarkan penuturan Sekdes memiliki penduduk sebanyak kurang lebih 6000 jiwa dengan sekitar 2000 Kepala Keluarga. Jumlah yang besar, tapi suasana di desa ini nampak lengang. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk memilih menjadi perantauan ke luar kota bahkan keluar negeri. Jumlahnya mencengangkan, yakni sekitar 70 persen.
Penghasilan dari hasil pertanian yang tidak bisa diharapkan, menjadi salah satu alasan kuat bagi para muda-mudi untuk menghadapi realitas tersebut secara pragmatis. Para pemudanya akan lebih memilih merantau. Begitupun dengan para gadis yang telah beranjak dewasa akan memilih bekerja atau menikah muda.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga masih sangat minim. Bisa menemukan lulusan sekolah menengah merupakah hal yang luar biasa disini. Keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas paling tinggi akan mengirim putra-putrinya ke pesantren selepas lulus dari Sekolah dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Beruntung jika saat berada di Pesantren mereka dapat mengenyam pendidikan Menengah Atas. Selepas itu, secara tidak langsung para muda-mudi ini dituntut oleh keadaan untuk segera memiliki penghasilan (bekerja).
Salah seorang Ustadz (Panggilan khusus bagi pemuda yang mengajar ngaji) mengiyakan keadaan tersebut. Menurutnya, semakin tahun dirasakannya Batokaban semakin sepi. Kader-kader muda yang diharapkannya bisa menemaninya melakukan perubahan justru pergi dan tidak bisa lagi diharapkan kedatangannya. Terlebih ketika para tetua yang semakin hari juga dirasakannya semakin berkurang.
“Kalau bicara mengenai perubahan, ya sulit. Lha wong yang mau diajak berubah aklarkaran kaloar kabbih, (Bertebaran pergi, red)” ujar Ustadz bernama Ma’ruf ini.
Pemuda berumur 27 tahun ini bisa dikatakan satu dari kalangan yang beruntung. Pasalnya, terlahir dari keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan (Keturunan Kyai Sepuh Desa Batokaban), Ma’ruf juga berkesempatan mengenyam pendidikan S1 melalui beasiswa guru madin yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi beberapa waktu lalu. (hay)


TERTINGGAL DI SEMUA LINI
Dalam berbagai kesempatan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini menyatakan bahwa Pulau Madura akan bebas dari status daerah tertinggal pada tahun 2014. Di Indonesia, ada 183 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal dengan tiga diantaranya berada di Madura  yakni Pamekasan, Sampang dan Kabupaten Bangkalan.
Beberapa ketentuan sebuah daerah masuk dalam kategori tertinggal, seperti tingginya angka buta huruf dan anak putus sekolah, pendapatan perkapita masih rendah, ketersediaan air bersih kurang, serta aliran listrik yang belum merata.
Merujuk pada berbagai kategori tersebut maka bukan hal yang berlebihan jika dikatakan Desa Batokaban, satu diantara desa-desa tertinggal tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Liman, bahwa berbicara mengenai pembangunan Desa Batokaban ibarat membenahi gubuk reyot. Bukan dengan menambal di sana-sini, melainkan merombak total.

Namun jika harus memilih skala prioritas, Liman mengutamakan untuk perbaikan akses jalan dan jembatan penghubung per dusun. Akses jalan menjadi prioritas karena menurutnya hal itu sedikit banyak mempengaruhi sebagian besar kegiatan sehari-hari warga. Jika akses jalan memadai, bukan tidak mungkin pembangunan desa akan semakin mudah pula begitu harapnya.
Jembatan penghubung antar dusun menurutnya menjadi sangat penting ketika menghadapi musim penghujan dimana sebagian besar sungai mulai terisi air. Sedangkan hampir setiap dusun di Batokaban terpisah oleh aliran sungai, yang akan dengan otomatis menjadi jalan lapang saat musim hujan karena airnya mengering.
“Selama ini kan bukan tidak ada pembangunan tapi ya itu, sulitnya akses jalan menjadikan pembangunan itu terhenti. Misal mau bangun rumah atau jalan. Untuk mengangkut material saja kita harus menunggu musim kemarau karena kalau musim hujan jalan tidak akan bisa dilewati oleh kendaraan karena becek dan rawan longsor,” ungkap Sekdes yang telah menjabat selama 13 tahun ini.
Namun di musim kemarau masalah lain yang juga mengganjal adalah keterbatasan sumber air. Hal ini juga kemudian menjadikan aktifitas pertanian yang menjadi sumber penghidupan masyarakat terhenti. Di musin kemarau hampir dipastikan seluruh sungai yang ada di Desa Batokaban pun ikut mengering. Kalau pun ada yang masih bisa digunakan, itupun dengan kodisi yang memprihatinkan. Debit air yang sedikit, jauh, kurang bersih, dan masih harus berantrian dengan banyak orang.
Pada musim ini hanya nampak beberapa tanaman tropis yang tidak membutuhkan perawatan khusus yang masih nampak tertanam di ladang-ladang warga. Beberapa jenis umbi-umbian seperti ketela pohon, kacang, talas.
Tanaman utama seperti Padi dan jagung hanya bisa ditanam pada musim hujan. Kendatipun begitu, Liman menuturkan bahwa masyarakat menyiasatinya dengan menanam secara bersusun. Artinya setelah selesai dipanen langsung ditanami lagi jika dilihat cuaca masih memungkinkan. Jika terpaksa tidak ada hujan, jalan satu-satunya adalah mendesel atau memikul air dari sisa air di sungai. Sehingga pada musim hujan yang maksimal hanya enam bulan itu petani tetap bisa memanen padi atau jagung sebanyak dua kali.
Kalau bisa lagi urusan air sebenarnya pengeboran. Kami juga tengah mengusahakan pembangunan waduk, tapi belum bisa dipakai karena waduknya terlanjur kering,” jelas Carik yang memiliki nama yang sama dengan pamong desa yang juga masih kerabatnya tersebut.
Minim Pemberdayaan
 Kalau semisal ingin mengajukan dana bantuan ke Provinsi bagaimana caranya?” pertanyaan yang cukup menggelitik dari Sekdes paruh baya tersebut. Bersama dengan rokok kreteknya yang tak berhenti mengepul. Pria berkulit gelap itu menuturkan keluh kesahnya.
Sebagai putra daerah yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Desa Batokaban, dirinya sangat ingin melihat tempat kelahirannya ini menjadi lebih maju. Sebagai Sekdes yang telah diberikan kepercayaan penuh oleh masyarakat dan juga kepala desa untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak perihal upaya pembangunan desa, dirinya mengaku nyaris putus asa.
Karena kalau di Bangkalan (Pemerintah Kabupaten, red) sendiri selama ini sangat sulit, entah karena terlalu banyak antrian atau bagaimana, sehingga lama sekali untuk proses acc. Bahkan kadang pengajuan kita tak pernah mendapatkan respon. Seandainya ada jalan, mungkin akan lebih cepat jika bisa langsung mengajukan ke Provinsi,” ujarnya dengan raut muka penuh harap.
Bantuan alat pertanian semacam traktor, menjadi salah satu mimpinya agar pertanian di Batokaban dengan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi menjadi lebih optimal. Baik dari segi efisiensi waktu dan tenaga, yang selanjutnya akan memaksimalkan hasil.
Pertanian disini masih menggunakan sistem tradisional. Membajak menggunakan sapi, sapinya masih harus menyewa sekaligus tenaga pembajaknya dan harus bergantian. Jadi dana yang dikeluarkan juga lebih banyak. Hasilnya juga belum tentu menutup semua biaya itu,” jelas Sekdes yang menggenapkan umurnya pada 28 November tersebut.
Kondisi ini dipertegas dengan banyaknya warga yang menjadi perantauan sehingga dalam kondisi sibuk seperti masa panen, atau hajatan sulit mengajak orang untuk gotong royong. Pilihan terakhir adalah membayar kuli, yang otomatis merogoh kocek lebih dalam.
Terkait fasilitas untuk sarana kesehatan, Desa yang dikatakan paling luas dibanding desa-desa lain disekitarnya itu hanya memiliki satu bidan desa dan mantri yang berada di sebelahnya, yakni Desa Debung, Kec Geger. Beberapa kali dirinya mengajukan penambahan tenaga kesehatan tapi terkendala kondisi yang menyebabkan para bidan tersebut tidak betah dan akhirnya meminta untuk dipindahkan.
Kendatipun dengan segala kekurangan tersebut, ada beberapa hal yang tak luput disyukurinya adalah sudah masuknya aliran listrik ke Desa Batokaban. Meskipun masih menggunakan tiang pancang manual seperti bambu atau kayu, Kedepan telah ada rencana untuk membangun tiang yang lebih permanen.
Kalau untuk listrik sudah mulai masuk tiang pancangnya dari Desa Durin Timur (batas timur desa). Ke Batokaban tinggal tunggu gilirannya aja, Insyaallah akan segera dipasang,” harapnya.
Pokok’en mon bede program bantuan dari pemerintah mesti nemmu lebbun ke tokaban. Jek lakar pas tadek sekabbinnah, (Yang jelas, jika ada program bantuan apapun dari pemerintah pasti akan bisa dijalankan di Batokaban. Karena memang disini segalanya masih minim, red)” imbuhnya setengah berkelakar. (hay)

BIODATA SEKDES
Nama                     : Liman
TTL                       : 28 November 1973
Alamat                    : Dusun Manggala, Desa Batokaban Konang Bangkalan
Istri                         : Nima
Anak                       : Muharrom
Jabatan                    : Sekretaris Desa Batokaban
Menjabat Sejak       : Tahun 2000 Pengangkatan PNS tahun 2007, aktif mulai tahun 2009.
Lebih Pamor dari Kades
Menjadi Sekdes di Desa terpencil seperti Batokaban bukanlah sesuatu yang membanggakan. Setidaknya itu yang tersirat dari raut wajah Liman, kala menceritakan kondisi desa tumpah darahnya ini. namun berbekal kepercayaan masyarakat dirinya tetap memilih bertahan menjadi carik.
Liman menyadari minimnya sumber daya yang dimiliki oleh Batokaban menjadi salah satu alasan kenapa hingga saat ini Batokaban masih saja menjadi desa tertinggal. Keterbatasan itu berimbas pada tidak berjalannya birokrasi pemerintahan desa. Struktur pemerintahan desa tidak dijalankan sebagaimana tupoksinya.
 Dirinya juga mengibaratkan bahwa pemerintahan desa masih seperti kerajaan kecil. Kuasa penuh ada di tangan kepala desa. Sehingga kerapkali aparatur desa hanya sekedar perlengkapan yang tidak memiliki fungsinya.
Sebagai putra daerah dirinya paham betul dengan segala seluk beluk mengenai Desa Batokaban. Bahkan bisa dibilang dirinya yang lebih dikenal luas oleh masyarakat dibanding Kepala Desa (Kades) sendiri. Sehingga kendatipun secara struktural dirinya berada dibawah Kades, dalam keadaan genting dan penting justru dirinya yang menjadi tameng, dan pusat penyelesaian.
Selama ini kalau untuk ke masyarakat sebenarnya tidak mengalami kesulitan karena mereka kan noro’ buntek, (Menurut saja, red). Masyarakat permintaannya itu sederhana, asalkan desa aman, tidak ada maling. Kesulitan justru jika harus menyatukan kemauan dengan kepala desa,” ujar Sekdes yang juga menyayangkan belum adanya kantor desa yang bisa dipakai utuk menjalankan administrasi desa, sebagaimana wewenangnya.

Sampai saat ini Batokaban tidak memiliki balai desa. Balai desa ya mengikuti rumah kades. Kades ke barat ya ikut ke barat. Ke timur ya ke timur,” imbuhnya menganalogikan. (hay)