Jumat, 19 Juli 2013

Desa Payaman, Kec. Solokuro, Kab. Lamongan

DATA DESA
Nama Desa                 : Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan
Kepala Desa                : Chalimin, SPd
Sekretaris Desa           : Drs M Baqir Yasin
Dusun                          :
-Dusun Sawo   : Kasun Habib Sholeh
-Dusun Ringin : Kasun Samin Arif Ardianto
-Dusun Gayam            : Kasun Nur ‘Aini, SPdi
-Dusun Asem   : Kasun Abd Muntaqim, SPd
-Dusun Palirangan      : Kasun Mushofan
-Dusun Bango Kasun Khozin, Spdi
-Dusun Sejajar : Kasun Monaha
Perangkat Desa           :
-Kasi Pemerintahan                            Ali Mas’ud, SPd
-Kasi Ekonomi dan Pembangunan      : Drs A Munir, SPd
-Kasi Kesmas                                       : Mu’tashom
-Kasi Trantib                                        : Drs Bondo, SPd
-Pembantu Kesmas                             : Ridluwan
-Kaur Keuangan                                  : H Moh Sholeh, BA
-Pemb. Kasun Sawo                             : H Moh Said
-Pemb. Kasun Ringin                           : Ali Ma’sum
-Pemb. Kasun Asem                            : Mulyan
-Pamb. Kasun Palirangan                    : Tadjir
-Pemb. Kasun Bango                           : Moh Fauzi, SPdi        
Alokasi Dana Desa      : Rp 51 Juta
Luas Wilayah               : 12.8187 Ha
Potensi Pertanian        : Dominan jagung, padi, kacang tanah, dll
Batas Wilayah Desa    :
-Utara              : Desa Kranji, Paciran
-Barat              : Desa Sugihan, Solokuro
-Timur             : Desa Takerharjo, Solokuro
-Selatan           : Desa Godog, Laren
                                    -------------------------------
Pertanian Oke, Reyeng Yes!
Meski bermasalah dengan pasokan air alias ‘tadah hujan’, Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, membuktikan diri menjadi desa makmur dan berhasil dalam pertanian. Desa yang lantas didapuk sebagai tuan rumah Pencanangan Gerakan Pertanian Organik dan Pengukuhan Petani Ramah Lingkungan yang dimotori oleh Kapal (Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan) Jatim, 13 April 2013 lalu, ternyata juga terkenal sebagai sentra kerajinan reyeng. Lantas seperti apakah kondisi serta bagaimana sepak terjang warganya?
Ribuan orang memadati alun-alun Desa Payaman, siang itu. pejuang pengabdi lingkungan, penjual makanan, penjual mainan, hingga masyarakat tua, muda dan anak-anak berduyun-duyun menyaksikan gawe akbar yang dihadiri orang nomor satu di Jawa Timur--Gubernur Soekarwo-- tersebut.
Kesibukan yang tak kalah riuh juga tampak di Kantor Balai Desa Payaman. Sebuah mobil pick up warna biru terparkir di depan tangga masuk balai desa. Di dalamnya berbagai jenis pala pendem (umbi-umbian) yang telah dimasak ditata rapi dan siap dikirim ke alun-alun desa.
Mangga disambi ini hasil bumi sendiri (silahkan dinikmati),” ujar M Baqir, carik (Sekdes) Desa Payaman, memersilahkan wartawan Derap Desa saat ditemui di tengah kesibukannya mengontrol pendistribusian konsumsi acara.
Harus diakui memang agak susah menemukan desa dengan tujuh dusun itu. Berjarak sekitar 7 kilometer dari Paciran, jalan menuju Payaman melewati ladang dan sawah yang luas. Jalannya tak terlalu lebar, tapi jangan khawatir, semuanya sudah beraspal. Meski sedikit berlubang dan bergelombang di beberapa titik. Di sepanjang jalan tampak sisa-sisa hujan, becek hingga genangan air.
Meski berjarak tidak jauh dari Pesisir Laut Jawa, namun hanya segelintir penduduknya yang berprofesi sebagai penangkap ikan. Terhitung hanya sekitar 14-15 orang yang biasa melaut. Itu pun dengan intensitas yang sangat minim. Bidang pertanian masih menjadi garapan primadona di desa yang masuk dalam Kecamatan Solokuro ini.
Di musim tanam pertama lalu, hama tidak begitu menjadi persoalan. Karena itu akhir bulan Maret lalu petani di Desa Payaman berhasil memanen tanamannya. Sedangkan untuk mangsa kesanga (masa tanam kedua) baru akan dipanen pada sekitar Juni atau Juli mendatang. Sawah di Desa Payaman termasuk sawah tadah hujan, maka dalam setahun bisa dipanen hingga dua kali.
Hasil pertanian unggulan Desa Payaman seperti padi, jagung, termasuk kacang tanah. Beberapa juga ada pertanian buah meski belum dikelola secara maksimal. Mengingat kebutuhan air di Desa Payaman masih menjadi perhatian serius terutama di masa-masa kemarau. Untuk memenuhi kebutuhan air, baik keperluan rumah tangga atau pertanian, masyarakat Payaman  memenuhinya dari desa-desa lain terutama Desa Solokuro.
“Di sini air kurang. Sehingga kami harus mengambil dari desa sebelah, khususnya Solokuro. Meskipun ada sumur yang sumber airnya  bisa dimanfaatkan tapi karena orang banyak ya nggak mencukupi,” jelas M Baqir.
Meskipun begitu, salah satu faktor keberhasilan pertanian di Desa Payaman adalah keberadaan kelompok tani yang aktif di setiap dusun, baik dalam persediaan benih maupun pupuk. Di Desa Payaman sedikitnya ada 9 kelompok tani yang tersebar dari Dusun Sawo, Dusun Ringin, Dusun Gayam, Dusun Asem, Dusun Palirangan, Dusun Bango, dan Dusun Sejajar. Neberapa dusun karena faktor luas daerah dan daya jangkau malah mempunyai dua kelompok tani.
Selain itu, dipilihnya Desa Payaman untuk ditempati gawe akbar Kapal Jatim ini juga tidak lepas dari keberhasilan pemakaian pupuk organik produksi Kapal pada pertanian di Desa Payaman.
Kapal Jatim sebagai perhimpunan para pengabdi lingkungan mencoba mengambil peran penguatan komitmen masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan fasilitasi Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Salah satu misi lembaga ini yakni mewujudkan tata kelola lingkungan berbasis partisipatif masyarakat yang bersendikan kearifan lokal. Pupuk yang diproduksi Kapal di sini berhasil, hasilnya bagus. Selain itu harganya yang terjangkau. Mungkin karena bahannya organik,” ujar Carik bernama lengkap M Baqir Yasin ini.

Manfaatkan Bambu Jawa
Penggemar ikan laut, atau minimal pernah berbelanja ikan di pasar tradisinal, pasti tahu reyeng. Reyeng adalah tempat ikan—baik segar atau kering—yang terbuat dari anyaman bambu. Di beberapa daerah memiliki nama yang berbeda seperti tumbu ataupun keranjang ikan. Kendati pertanian masih menjadi mata pecaharian utama penduduk Desa Payaman, namun kebanyakan dari masyarakat juga pelaku home industry dalam pembuatan reyeng atau tumbu.
Tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai 70 persen dari keseluruhan penduduk desa yang pernah terpilih sebagai satu dari 12 desa pelaksana ADD (Alokasi Dana Desa) terbaik tahun 2011. Sementara prosentase yang lebih kecil sebanyak 30 persen, merupakan pedagang dan kebanyakan adalah buruh migran.
Mengenai penjualan reyeng, selama ini masyarakat menjualnya melalui pengepul yang kemudian dipasarkan di Paciran, Blimbing, Banyuwangi hingga Pati, Jawa Tengah. Industri dengan bahan baku pring jawa (bambu jawa) ini terbilang sangat efektif memanfaatkan aset lokal yang mungkin selama ini terbengkalai. Maklum, bambu jawa yang terkenal banyak duri tersebut cukup sulit untuk dimanfaatkan.
Kini, meski hanya pekerjaan sampingan beberapa masyarakat mulai mencoba menanam bambu jawa untuk memenuhi pesanan yang kadang membludak. Juga mengantisipasi semakin berkurang jumlah bambu jawa liar, lantaran banyaknya masyarakat yang mulai tergiur menggeluti pembuatan reyeng.
Sekarang sudah ada yang nanem piyambak (menanam sendiri). Dua tahun sudah bisa ditebang. Kadang juga beli, soalnya nggak mencukupi bahannya kalau dari sini sendiri,” tutur carik bertubuh jangkung ini.
Meski digeluti oleh sebagian besar masyarakat Desa Payaman, industri reyeng masih menggunakan alat manual yang tradisional. Sehingga dalam sehari hanya sekitar 100-200 biji reyeng yang dapat dibuat, bergantung pada kemampuan dan tenaga di industri rumahan tersebut.
Karena industri pembuatan reyeng ini dilakukan di masa-masa kosong bertani sebagai pengisi waktu luang dan tidak memiliki tempat khusus. Rata-rata reyeng yang dijual warga Payaman dihargai Rp 120,- perbiji sedikitnya satu bundel, yang berisi seribu biji reyeng.
Sekitar tahun 1997, desa dengan ADD sebesar Rp 51 juta itu, sempat mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kabupaten Lamongan untuk mesin penipis bambu bagi perajin reyeng. Hal itu agar industri pembuatan reyeng semakin berdaya kendati hanya sebagai sambilan. Namun waktu itu pemerintah belum bisa mengabulkan permohonan itu karena tidak adanya mesin yang dimaksud.
Alat pemotongnya sudah bagus, ada gunting dari Malaysia, Singapura. Tapi kalau untuk menipiskan masih dengan alat seadanya, karena itu kami mengajukan permohonan, biar produksi warga bisa bertambah,” tutur M Baqir yang telah menjabat sebagai carik sejak tahun 1993.
Di samping membuat reyeng, tak sedikit juga warga Payaman yang membuat roti dan kemplang—krupuk yang terbuat dari tepung terigu—untuk kemudian dijual di pasar. Ada juga warga yang membuka galeri atau butik pakaian baik dewasa maupun anak-anak.Warga di sini terkenal ulet dan pekerja keras, nggak suka nganggur,” imbuh carik yang juga seorang guru tersebut. 

Kisah ‘Pak, Nyaman’ dan Sumur Pitu
Pertama kali mendengar nama Desa ‘Payaman’ sempat ragu jika desa ini merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan. Pasalnya, penamaan desa yang sekilas tak memiliki unsur bahasa Jawa. Berbeda dengan sembilan desa lainnya di Kecamatan Solokuro yakni Desa. Solokuro, Tebluru, Sugihan, Dadapan, Tenggulun, Banyubang, Dagan, Bluri, Takerharjo, terdengar masih njawani.
Dikisahkan, Payaman yang dulunya pedesaan terpencil dan termasuk dalam wilayah pesisir pantai utara (Pantura), ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang berkaitan dengan Bumi Sakera (Madura) dalam proses asal-usulnya.
Dahulu, pada masa Kerajaan Majapahit, seorang Adipati Madura yaitu Arya Wiraraja diutus Raden Wijaya menyeru rakyat Madura agar menyebar ke seluruh wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Raden Wijaya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada orang Madura karena mereka juga ikut andil dalam mendirikan Kerajaan Majapahit. 
Berangkatlah sebagian besar rakyat Madura berbondong bondong ke tanah Jawa. Ketika sampai di Jawa rombongan tersebut akhirnya menyebar.  Sebagian ada yang ke timur dan ada juga yang ke barat. Ke timur, rombongan itu menempati wilayah mulai Surabaya hingga Banyuwangi, sedang yang ke barat menempati wilayah dari Surabaya, Gresik, Lamongan hingga Tuban.
Salah satu rombongan yang dipimpin seorang pemuda bernama Aryo Bumi memisahkan diri dari rombongannya yang ke Tuban. Dengan ditemani istri dengan dua orang pembantu Aryo Bumi pergi ke selatan Pantura.
Sampai di kawasan yang penuh hutan bambu dan pohon-pohon besar Aryo Bumi merasa tempat itu sangat cocok untuk ditempati. Aryo Bumi pun mulai membersihkan tempat itu dan mendirikan rumah kecil untuk berteduh.
Beberapa bulan berlalu Aryo Bumi mulai memikirkan nama tempat itu. Dalam kebingungannya Aryo Bumi melihat istrinya di luar rumah sambil menikmati sejuknya angin pagi dan berkata “Pak Nyaman”. “Pak” merujuk kepada suaminya Aryo Bumi, panggilan bagi suami. Sedangkan “Nyaman” sama halnya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa Jawa, bisa juga diartikan beragam sesuai pemakaiannya. Dari kejadian itulah Aryo Bumi mendapat ide untuk memberi nama tempat itu dengan “Pakyaman” atau “Payaman”.
Asal muasal tersebut memang tak tertulis secara resmi dalam buku sejarah mana pun. Namun sejarah akan tetap menjadi sejarah. Desa Payaman, umumnya Lamongan, akan tetap dikenal sebagai salah satu ‘Bumi Wali Sanga’ dengan adanya makam para wali, Sunan Drajat, Sunan Sendang Duwur dan lain-lain.
Ditambah lagi keberadaan sumber mata air yang sangat penting bagi penduduk Lamongan. Sumur yang konon tak pernah kering tersebut menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan air masyarakat, yang juga dinilai memiliki nilai magis.
Sumur pitu, begitu Baqir dan seluruh masyarakat menyebutnya. Setidaknya tiga dari tujuh sumur tersebut berada di wilayah Desa Payaman. Tiga sumur itu bernama Blimbing, Planangan, dan Pawadonan. Selebihnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lamongan.
Sampai sekarang ketujuh sumur tersebut masih digunakan warga, di samping sumur-sumur buatan warga. Namun, sejak banyak warga yang menggunakan pompa air, debit air sumur menjadi berkurang. Hal ini mengharuskan warga untuk membeli air dari desa sebelah,yakni Desa Solokuro.
“Ya, setiap daerah itu pasti punya sejarah dan keunikannya sendiri, termasuk Payaman ini. Mengenai kebenarannya saya juga tidak bisa memastikan,” pungkasnya mencari jalan tengah. (hay, uul)
            ------------------------------------------
Biodata
Nama              : Drs M Baqir Yasin
Usia                 : 54 tahun
Jabatan            : Sekretaris Desa Payaman
Sejak    `           : Awal 1993
Pekerjaan lain : Mengajar di pesantren
Tak Ada Hari Libur, Total Mengabdi
Nama M. Baqir Yasin, bisa jadi merupakan satu dari sedikit ‘golongan tua’ yang masih eksis dalam pemerintahan Desa Payaman. Dirinya yang telah 20 tahun mengabdikan diri sebagai perangkat desa, tak ayal menjadi salah satu figur yang disegani di kalangan masyarakat Desa Payaman.
Pria 54 tahun ini masih tampak trengginas dan cekatan. Berkali-kali obrolan wartawan Derap Desa dengannya harus terpotong lantaran banyaknya warga yang meminta tanda tangannya untuk pengesahan surat-surat penting.
Telepon genggamnya pun seolah tak mau ketinggalan, membuat pria ini harus keluar masuk pendapa desa, memastikan semua petugas menjalankan kewajibannya. Ngapunten lho (Maaf ya), sejak tadi ditinggal-tinggal. Lah semua sama-sama kewajiban,” ujarnya dengan  peluh di wajahnya.
Sejak menjabat di awal 1993, dirinya langsung dipercaya menjadi Sekretaris Desa. Waktu 20 tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal pahit manis dari jabatan yang diamanahkan kepadanya. Kendati acapkali merasakan kejenuhan namun semua tetap dijalaninya dengan penuh dedikasi.
Setali tiga uang dengan sepupunya, Maymunah yang telah menjabat sebagai Ketua PKK selama 25 tahun lamanya.Sebenarnya hal ini tidak bagus ya, karena bagaimana pun regenerasi itu penting. Setiap kali masa jabatan berakhir kami selalu mengajukan penggantian pengurus. Tapi masyarakat tidak menghendaki,” keluh Maymunah.
“Ya, kita bisa jadi tidak peduli dan tetap bersikukuh tidak mau. Tapi bagaimana jadinya ke depan jika kami seperti itu. Justru organisasi akan semakin kacau. Jadi kita pasrah dan mencoba ikhlas menjalaninya,” imbuh M Baqir.
Tak lepas dari dedikasi orang-orang seperti M Baqir dan Maymunah, Desa Payaman banyak disegani oleh daerah lain. Seperti yang diungkap keduanya bahwa telah banyak daerah khususnya di Kecamatan Solokuro yang mengadakan studi banding ke Desa Payaman.
Seperti studi banding PKK desa, Posyandu, hingga tata administrasi desa. Dalam dua tahun terakhir Desa Payaman tercatat sebagai satu dari beberapa desa terbaik kategori pelaksana ADD. Sedianya tahun ini untuk Desa Payaman mendapatkan peringkat kedua untuk kategori yang sama pada pelaksanaan pengelolaan ADD tahun 2012.
Ditanya mengenai langkah yang dijalankan sehingga mampu menorehkan prestasi tersebut, M Baqir menyebutkan bahwa desa hanya melakukan seperti apa yang sudah ditentukan. Alokasi dana desa sebesar Rp 51 juta setelah dikurangi anggaran kegiatan menjadi Rp 36 juta. Dari jumlah itulah kemudian dibagikan untuk anggaran per dusun sebesar Rp 5,5 juta.
Tidak mudah. Itulah kata yang muncul kemudian setelah dijelaskan bagaimana menjalankan tugas sebagai perangkat desa. Bahkan M. Baqir mengaku dirinya tak pernah memiliki hari libur. Pasalnya, dirinya yang juga seorang guru di sebuah pesantren harus membagi waktu bagi dua tugas yang dipandangnya sebagai bentuk pengabdian masyarakat.
“Senin hingga Jumat saya di balai desa sebagai carik. Nanti Sabtu dan Ahad saya mengajar, karena saya juga seorang guru,” ujar sekretaris desa yang berpendidikan terakhir S2 ini.




Desa Tambaagung Ares, Kec Ambunten, Kab Sumenep


DATA DESA
Kepala Desa                : Morsalam
Sekretaris Desa           : Subaidi, SSos
Dusun                          :
-Dusun Campalok       (Kadus As’ad)
-Dusun Candi              (Kadus Hasanuddin)
-Dusun Tambaagung   (Kadus Abdus Sa’id)
Perangkat Desa           :
-Kaur Umum                           : Abdul Ghofur
-Kaur Keuangan                      : Samsul Arifin
-Kaur Perencanaan Program   : Mulyadi
-Kasi Pemerintahan                 : Abdul Karim
-Kasi Pembangunan                : Ahmad Rasid
-Kasi Kesra                             : Bafadal
Alokasi Dana Desa     : Rp 40 Juta
Jumlah Penduduk       : 2.525 Jiwa
-Laki-laki         :1.225
-Perempuan     : 1300
Jumlah KK                  : 800 KK
Potensi Pertanian        : Dominan jagung, tembakau, cabai, padi, kelapa, mangga, dan lain-lain

Batas Wilayah Desa    :
Utara   : Desa Campor Barat
Barat   : Desa Tambaagung Tengah
Timur   : Desa Tambaagung Timur dan Desa Bukabu
Selatan            : Desa Sogian
            ================================



=Desa Tambaagung Ares, Kec Ambunten, Kab Sumenep
‘Klebun’ Tak Fasih Bahasa Indonesia, Yang Penting Aman
Lazimnya, memilih sosok pemimpin harus yang benar-benar berkualitas dan feasible, termasuk dari sisi kepribadian maupun pendidikan. Lantas bagaimana bila hanya terpenuhi salah satu syarat atau kriteria itu? Bagi sebagian masyarakat tak masalah, termasuk di Desa Tambaagung Ares, Kecamatan Ambunten, Kabupaten Sumenep. Seperti apakah?

Sang Surya baru saja terjaga dan bangkit dari tidurnya. Perlahan memancarkan kehangatan di pelataran pertiwi. Usai mengaji, tiga bocah tampak menyapu sebuah halaman rumah dan musala. Kegiatan seperti itu rutin dilakukan umumnya anak-anak sebelum berangkat sekolah di Desa Tambaagung Ares.
Ya, ketiga bocah itu adalah anak-anak warga Desa Tambaagung Ares, yang berada di sisi barat wilayah Kecamatan Ambunten. Jepretan kamera mengabadikan aktivitas anak-anak yang tampak agak malu-malu melepaskan senyumnya itu.

Maju ey . . dulien le sapoin pas entar ka songai (Ayocepat disapu terus kita ke sungai),” ujar salah satu di antaranya dengan nada instruksi. Kami sengaja melihat dari dekat kondisi sosial masyarakat Desa Tambaagung Ares, yang disebut-sebut memiliki kepala desa (Kades) yang sangat disegani, meski bukan seseorang yang berpendidikan memadai.
Demi kenyamanan komunikasi, Kami mengajak seorang teman (warga Sumenep) sebagai ‘guide’ sekaligus penerjemah. Karena Kades, klebun atau kalebun yang hendak didatangi itu tak fasih berbahasa Indonesia.
Desa Tambaagung Ares merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Ambunten. Ada tiga dusun yakni Dusun Campalok, Dusun Candi, Dusun Tambaagung. Secara keseluruhan Desa Tambaagung Ares merupakan kawasan pertanian yang cukup subur. Panen, terutama padi, bisa tiga kali atau hampir sepanjang tahun.
Ini artinya, irigasi untuk pertanian lancar. Beberapa pintu air irigasi telah dibangun secara permanen melalui bantuan pemerintah lewat program PNPM Mandiri. Kondisi ini kian mendukung tingkat perekonomian masyarakat yang sebagian besar petani dan/buruh tani.
Sesuai data, ada 819 warga sebagai petani sekaligus pemilik tanah, 976 orang buruh tani dari 2.525 warga Desa Tambaagung Ares. Sisanya, 184 adalah buruh nelayan, 25 orang pegawai negeri dan 374 merupakan pemilik usaha mandiri seperti pertokoan atau pedagang pasar.
Wilayah Desa Tambaagung Ares tak hanya potensial di bidang pertanian. Desa yang berada di pusat Kecamatan Ambunten tersebut memiliki potensi lain seperti pusat perbelanjaan atau pertokoan. Jika potensi itu dimanfaatkan secara optimal akan menghasilkan sesuatu yang bernilai lebih. Secara tidak langsung menambah pemasukan dan perekonomian.
Sebagai desa dengan kondisi masyarakat yang beragam, permasalahan desa menjadi ‘PR’ tersendiri bagi aparatur desa. Masalah-masalah kecil seperti sengketa, beda pendapat bahkan urusan rumah tangga warga, tak jarang mengganggu stabilitas desa. Hal tersebut menuntut peran aktif aparat desa sebagai ‘orang tua masyarakat’.
Kemampuan memberi jalan tengah dan penyelesaian atas masalah yang dihadapi masyarakat menjadi nilai plus bagi seorang Kades. Dan Morsalam menjadi salah satu di antaranya.
Ya, Morsalam, Kades Tambaagung Ares yang menjabat sejak 2008 dan—katanya--berakhir tahun 2013 ini, benar-benar diuji mentalnya sejak masa pemilihan. Laki-laki yang mengaku maju dalam pemilihan kepala desa bukan atas inisiatif pribadi ini, sempat bimbang pada awalnya. Pasalnya, dia yang tak memiliki latar belakang pendidikan tinggi atau memadai, apakah mungkin memimpin sebuah desa.
Namun berangkat dari dukungan keluarga, masyarakat dan beberapa tokoh agama, Morsalam maju sebagai salah satu kandidat. Ternyata dukungan masyarakat menjadi kenyataan. Itu terbukti dengan terpilihnya Morsalam sebagai Kepala Desa Tambaagung Ares periode 2008-2013.
Kendati berangkat dengan dukungan penuh masyarakat bukan berarti kepemimpinan Morsalam bebas dari masalah. Dalam perjalanannya, ia mengakui kadangkala masih muncul provokasi dari oknum masyarakat dalam merongrong kepemimpinannya. Morsalam memilih apatis dan diam, dalam arti itu dijadikan pembelajaran sebagai pemimpin.
Bagi Morsalam, pemimpin itu adalah bagaimana bisa mengayomi masyarakat dan membuat masyarakat puas pada kinerjanya. Kendati itu tidak mudah, namun dia terus berupaya menjalin komunikasi dengan masyarakat. Seperti mengadakan pertemuan dengan Gabungan Kelompok Usaha Tani (Gapoktan), mengikuti kegiatan mayarakat desa seperti tahlil atau pernikahan. Juga dalam momentum pertemuan lain, seperti ketika turunnya dana bantuan dari pemerintah.
Apa yang dilakukannya itu sebagai bentuk keterbukaan pada masyarakat, dan sebagai sarana komunikasi. Karena bisa jadi ada banyak hal yang tidak diketahuinya sebagai kepala desa.
Masyarakat itu sebenarnya nggak banyak mintanya, asal bagaimana wilayahnya ini aman. Cukup!” ujar penerjemah, menirukan ucapan Kades Morsalam.
Masih melalui penerjemah, Morsalam menyatakan bahwa semua itu tidak lepas dari kerjasama dengan masyarakat. Sebagai kepala desa, ia berperan untuk memediasi setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Kades yang juga pedagang sapi ini, mengungkapkan, sebelum era kepemimpinannya, Dusun Campalok, tempat tinggalnya ini sempat terisolasi dari pembangunan jalan karena adanya sengketa dengan pemilik lahan. Namun, melalui mediasi internal yang baik kini Dusun Campalok telah memiliki akses jalan yang memadai.

Pembangunan Fisik

Mencermati kondisi pembangunan fisik, setidaknya terdapat 2 unit gedung TK, 4 unit SD/MI, 2 unit SLTP, 1 unit SLTA. Beberapa infrastruktur sebagai pendukung perekonomian yakni dua jembatan dan satu irigasi. Untuk fasilitas pelayanan kesehatan ada 4 unit Posyandu, 1 polindes, 2 orang bidan desa, dan 4 dukun beranak.
Kondisi fisik itu belum termasuk masjid dan musala yang tersebar di seluruh RT dan RW. Umumnya masjid dan musala menjadi tempat kajian keagamaan, seperti kegiatan tahlil, pengajian rutin, mengajar mengaji dan lain-lain. Juga ada yang difungsikan sebagai pesantren.
Dari sisi pembangunan fisik Desa Tambaagung Ares mungkin layak berbangga hati. Namun satu hal yang masih menjadi masalah bagi Morsalam terkait pola pikir dan kebiasaan warga yang dipimpinnya. Ketika adanya bantuan dari pemerintah entah itu berupa LPG, atau kompor gas, masyarakat lebih cenderung menguangkannya daripara memakainya sendiri. Dalam kesehariannya mereka lebih memilih tetap memakai kayu bakar.
Masyarakat di sini sudah terlanjur takut dengar berita di TV banyak yang kebakaran tabung gas. Padahal saya sering bilang, dapat bantuan itu dipakai jangan keburu dijual, yang terbakar-terbakar itu karena tidak hati-hati saja,” ujarnya.
Berangkat dari kebiasaan dan pola hidup pedesaan, masyarakat Desa Tambaagung Ares lebih memilih cara tradisional. Tentu dengan alasan yang beragam. Massenah (41 tahun), misalnya, memilih tetap memakai kayu karena memasak dengan tungku diakui lebih meningkatkan citarasa.
Nyamanan amassak ka tomang, nyamanan rassanah. Mon ka kompor beu gas (lebih enak masak di tungku, rasanya lebih enak. Kalau menggunakan kompor masakan jadi bau gas),” ujar Massenah.
Kendati alam pikirnya masih sederhana, masyarakat Desa Tambaagung Ares terbilang sebagai warga yang kompak. Morsalam menilai, itu sebagai salah satu senjata utama terciptanya kesejahteraan desa yang dipimpinnya.
Pembangunan di desa ini sukses ya berkat kekompakan masyarakat. Kalau tidak begitu saya mana mungkin bisa mengerjakan semuanya sendiri,” tuturnya dengan raut bangga. (hay)
            ===================


Potensi Pertanian Beragam
Potensi-potensi kewilayahan yang mendukung warga Desa Tambaagung Ares tak menyia-nyiakan sedikit pun bagi tanah kosong tanpa ditanami. Musim penghujan yang turun sejak akhir November 2012 dimanfaatkan warga dengan mulai tanaman jagung. Jagung menjadi komoditas unggulan Desa Tambaagung Ares, khususnya di Dusun Campalok dan Dusun Candi.
Sementara di Dusun Tambaagung selain jagung juga kerap ditanami padi, karena struktur tanah yang datar.Kalau di Dusun Campalok dan sebagian Candi, tidak bisa ditanami padi karena lahannya miring. Air cepat habis,” ungkap Morsalam.
Masyarakat Desa Tambaagung Ares umumnya tidak mengandalkan satu jenis tanaman. Pada musim kering (musim pergantian dari hujan ke kemarau) masyarakat banyak yang menanam tembakau dan cabai, sekitar Juni-Juli. Panen di sekitar bulan November. Sedangkan untuk padi dan jagung, Bulan Desember menjadi masa yang cocok menabur benih.
Tahun kemarin tembakau dan cabai harganya ugal-ugalan, murah banget. Sekilonya cuma seribu rupiah. Yang paling parah tembakau, modal Rp 2 juta lebih tapi nggak balik, sekalipun cuma Rp 500 ribu. Para pengepul banyak yang tak ambil tembakau. Jadi masyarakat memilih menanam jagung dan padi,” kata Nyi War, perempuan paruh baya, salah satu warga Dusun Tambaagung.
Kendati masalah pertanian seperti menurunnya harga selepas panen, hama tanaman bahkan permodalan, masyarakat Tambaagung Ares termasuk desa yang cukup sejahtera secara perekonomian. Dari Alokasi Dana Desa (ADD) yang hanya Rp 40 juta pertahun dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 800, pembangunan desa terkontrol dan optimal.
Sebagian besar jalan utama desa telah beraspal atau paving. Sebagian lain sedang dalam proses pemasangan batu jalan (makadam). September 2012 lalu, Desa Tambaagung Ares mendapatkan kucuran dana dari Pemkab Sumenep sebesar Rp 60 juta. Dana itu dipakai untuk pembuatan makadam dan rumah hijau seluas 2,5 x 298 meter yang difokuskan akses jalan di Dusun Campalok. Dana itu Bantuan Keuangan Desa (BKD) yang diambil dari APBD Provinsi Jawa Timur.
Kalau untuk urusan bantuan baik dari pemerintah kabupaten maupun provinsi, di Tambaagung Ares lancar. Dalam arti nggak ada masalah. Semuanya saya alokasikan untuk pembangunan sarana dan prasarana desa. Seperti perbaikan jalan, irigasi pertanian dan lain-lain,” ujar Morsalam. (hay)

===============================

Urutan 15 Kades BerLatar Pendidikan Minim
‘Pendidikan Memang Tertinggal, Tapi…’
Apa yang dicapai Morsalam merupakan sesuatu hal yang patut diteladani. Dengan latar belakang pendidikan yang minim, dia membuktikan bahwa ketulusan dan iktikad yang baik mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat besar. Padahal, seperti pengakuannya, ia menempati urutan ke-15 dari seluruh Kades di Sumenep dengan latar pendidikan minim.
Pendidikan saya memang tertinggal, tapi untuk urusan apa pun saya siap berada di depan. Bahkan saya pernah ditantang Pak Camat, jika ada carok di desa, anda yang akan kami proses. Saya bilang siap!”  ujarnya bersemangat meski saat ditemui, Kades yang akan segera habis masa jabatannya ini, dalam keadaan kurang enak badan.
Anas, salah satu warga yang juga tokoh pemuda Desa Tambaagung Ares, menuturkan, “Morsalam itu pokoknya kades yang benar-benar pro rakyat kecil,” ungkapnya.
Morsalam juga menyatakan, di Desa Tambaagung Ares, tidak ada peraturan desa. “Ya, di sini nggak ada Peraturan Desa,” tuturnya singkat, ketika ditanya terkait bagaimana menjalankan kepemimpinannya.
Ia menjelaskan bahwa di desa seperti Tambaagung Ares terlalu banyak peraturan itu akan percuma. Pasalnya sebagian besar kegiatan maupun peraturan di masyarakat dijalankan berdasarkan kesepakatan bersama. Masalah penjagaan keamanan desa telah menjadi kesadaran diri masing-masing masyarakat.
Pokoknya saling menjaga keamanan masing-masing saja. Kades itu bagaimana menjaga masyarakat dari gangguan yang datang dari luar,” ujarnya.
Selain tidak ada Perdes khusus dalam memimpin desa, dikatakan pula bahwa desa yang dipimpinnya itu juga tidak pernah mengadakan pungutan terhadap masyarakat. Untuk kegiatan, hajat masyarakat, pemotongan hewan dan lain-lain, tidak ada penarikan administrasi.
Satu-satunya prosedur yang harus dijalani masyarakat adalah izin pada kepala desa. Itu pun sekadar formalitas pemberitahuan, agar jika terjadi sesuatu desa bisa melakukan tindakan yang dianggap pantas.

Bebas Pungutan
Tak sekadar pemberian izin gratis terhadap setiap kegiatan warga, Desa Tambaagung Ares juga membebaskan warganya dari setiap pungutan terhadap pelayanan administrasi desa. Dengan catatan selama itu tidak terkait instansi di luar desa.
Tak ada pungutan apa-apa. Saya tidak mengizinkan. Minta surat keterangan segala macam selama itu di lingkup desa, gratis. Kecuali kalau berurusan dengan pihak luar, misalnya mengurus KTP, yang pastinya ada pungutan dari kecamatan. Tapi sebatas itu. Desa tidak meminta,” ujar Morsalam.
Kegiatan bantuan dari pemerintah, desa juga tidak melakukan pungutan khusus semacam pajak desa. Morsalam  beserta aparatur desa yang lain sepakat untuk mengambil dari jatahnya sendiri. Kendati demikian Desa Tambaagung Ares terbilang makmur secara pembangunan dan ekonomi. Meskipun diakui juga, desa hampir tidak pernah melakukan pengajuan proposal bantuan.
Ya kan pemerintah itu yang diurus nggak cuma satu desa, tapi ribuan, atau jutaan mungkin. Pemerintah pasti pahamlah mana yang butuh bantuan atau tidak. Bantuan itu tore bile’eh beih masak pas nglotor deri atas. Tak kerah geger deri kapal (Masalah bantuan mau datang kapan itu terserah saja. Lha memang bukan rontok dari langit. Bukan juga jatuh dari kapal),lanjut Morsalam.
Terkait tidak adanya keharusan untuk ‘ngantor’--bahkan di sebagian desa tidak memiliki kantor desa--Morsalam dengan gaya santainya menjawab, “Jangan salah. Desa Tambaagung Ares punya balai desa. Tapi memang pertemuan desa lebih sering diadakan di rumah saya, agar lebih mudah dalam penghormatan terhadap tamu,” kata dia.

Morsalam melanjutkan, “Mon e kantor sampeyan tak kerah nemu tor-ator. Jek kantor jeuh deri napa, toreh eyatorih (Kalau di kantor anda tidak akan mungkin mendapati hidangan. Di kantor tidak ada apa-apa, silahkan!),” ujarnya berkelakar, sambil mempersilahkan menyantap menu yang disediakan, lontong rujak plus teh manis. (hay)