Jumat, 22 November 2013

Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan


DATA DESA
Nama Desa                 : Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan
Nama Kades               : Muhammad Hajar
Ketua BPD                 : Darwis
Sekdes                         : Liman Carik
Pamong Desa              : Liman Pettong
Jumlah Penduduk       : 6000 Jiwa
Jumlah KK                  : 2000 KK
Batas Desa                 
·                     Barat               : Desa Debung, Kec Geger
·                     Timur               : Desa Durin Timur Kec Konang
·                     Utara               : Desa Durin Barat, Desa Kanegarah Kec Konang
·                     Selatan             : Desa Lembung, Desa Ampara’an Kec Kokop
Jumlah Dusun 4
·                     Dusun Paser                : Kasun Muhammad Ramli
·                     Dusun Manggala         : Kasun Syaru’din
·                     Dusun Sok-Sok           : Kasun Muhammad Fahri
·                     Dusun Prenduan         : Kasun Farid
Potensi Lahan
Pertanian         : Padi, jagung, ubi-ubian dan beberapa buah tropis seperti kelapa, mangga, jambu biji, dan pisang. Setahun terakhir tengah diuji cobakan perkebunan tebu.
Perkebunan     : Mayoritas jati, mahoni, trembesi, dan bambu. Tapi masih sebatas tanaman liar yang ditanam untuk mengisi lahan kosong.

Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan
TERTINGGAL, DESA NOL PEMBANGUNAN
“Jika di kota setiap Bulan Agustus mengibarkan bendera merah putih dan melakukan upacara. Disini tidak perlu mengibarkan merah putih, karena kami belum merdeka,” Itulah satu dari keluhan yang terdengar ketika mengunjungi salah satu desa di Kabupaten ujung paling barat pulau Madura yang berbatasan langsung dengan ibukota Jatim, Kota Surabaya. Tepatnya Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan. Seperti apakah kondisinya?
Desa Batokaban bisa ditempuh dengan satu jam perjalanan motor dari arah timur (belok kanan) perempatan Jembatan Suramadu.  Melintasi tiga kecamatan yakni Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Geger, dan Kecamatan Blega.
Di siang hari, terik matahari yang serasa membakar ubun-ubun bukan lagi hal baru. Ditambah kemudian jalanan aspal yang sudah mulai mencuat disana-sini seolah memberi peringatan bagi para pengguna jalan agar jangan sekalipun bermain kebut-kebutan di jalan ini. Beruntung jika hanya terperosok ke sawah atau ladang milik warga. Jalan berkelok yang terjal bisa jadi ancaman tersendiri jika harus beradu badan dengan kendaraan lain.
.
Memasuki Desa Batokaban atmosfer yang berbeda mulai tercium sepanjang perjalanan. Meskipun Batokaban seperti pada umumnya desa-desa di Kecamatan Konang. Dominasi lahan pertanian dan perkebunan, pemukiman dengan jarak yang masih jarang, wilayah lembah, perbukitan, dan beberapa jalan berbatu yang akan sangat licin jika musim hujan (kontur tanah liat).
Desa Batokaban di sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Durin Timur yang masih merupakan daerah Kec Konang. Di sebelah barat   terdapat Desa Debung, Kec Geger. Sebelah utara merupakan Desa Durin Barat, Desa Kanegarah yang juga wilayah Kec Konang. Sedangkan di sebelah Selatan terdapat Desa Lembung dan Desa Ampara’an, Kec Kokop
Hal yang paling dominan yang akan terasa bagi pendatang adalah sulitnya akses keluar masuk bagi kendaraan. Satu-satunya alat transportasi yang kerap dipakai warga adalah sepeda motor. Mengingat jalan utama desa yang kecil, sangat sulit untuk dilalui oleh kendaraan besar. Jika pun terpaksa menggunakan kendaraan besar, harus memutar dulu dari arah barat Kec Tanah Merah yang sebagian telah beraspal dan beberapa titik telah di makadam secara manual.
“Kalau untuk jalan sebenarnya kita dapat bantuan dari PNPM Mandiri, tapi itu tidak maksimal. Sebatas satu sampai satu setengah kilometer. Sementara Batokaban ini luas,” ungkap Liman, Sekretaris Desa Batokaban.
Sejauh ini, titik pengaspalan jalan di Desa Batokaban memang masih jauh dari cukup. Dari empat dusun yang dimiliki, baru sebagian kecil dari Dusun Sok-Sok yang memiliki jalan beraspal. Ini tidak lain karena di dusun ini terdapat beberapa pusat pendidikan seperti SDN Batokaban 2, RA Al Aziziyah, MI dan MTS Al Ikhlas, dan beberapa tempat pendidikan lain. Beberapa ruas jalan di Dusun Manggala yang berjajar dengan Dusun Sok-Sok baru nampak sisa makadam yang juga mulai rusak.
Terkendala SDM
Desa Batokaban, yang berdasarkan penuturan Sekdes memiliki penduduk sebanyak kurang lebih 6000 jiwa dengan sekitar 2000 Kepala Keluarga. Jumlah yang besar, tapi suasana di desa ini nampak lengang. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk memilih menjadi perantauan ke luar kota bahkan keluar negeri. Jumlahnya mencengangkan, yakni sekitar 70 persen.
Penghasilan dari hasil pertanian yang tidak bisa diharapkan, menjadi salah satu alasan kuat bagi para muda-mudi untuk menghadapi realitas tersebut secara pragmatis. Para pemudanya akan lebih memilih merantau. Begitupun dengan para gadis yang telah beranjak dewasa akan memilih bekerja atau menikah muda.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan juga masih sangat minim. Bisa menemukan lulusan sekolah menengah merupakah hal yang luar biasa disini. Keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas paling tinggi akan mengirim putra-putrinya ke pesantren selepas lulus dari Sekolah dasar atau Sekolah Menengah Pertama. Beruntung jika saat berada di Pesantren mereka dapat mengenyam pendidikan Menengah Atas. Selepas itu, secara tidak langsung para muda-mudi ini dituntut oleh keadaan untuk segera memiliki penghasilan (bekerja).
Salah seorang Ustadz (Panggilan khusus bagi pemuda yang mengajar ngaji) mengiyakan keadaan tersebut. Menurutnya, semakin tahun dirasakannya Batokaban semakin sepi. Kader-kader muda yang diharapkannya bisa menemaninya melakukan perubahan justru pergi dan tidak bisa lagi diharapkan kedatangannya. Terlebih ketika para tetua yang semakin hari juga dirasakannya semakin berkurang.
“Kalau bicara mengenai perubahan, ya sulit. Lha wong yang mau diajak berubah aklarkaran kaloar kabbih, (Bertebaran pergi, red)” ujar Ustadz bernama Ma’ruf ini.
Pemuda berumur 27 tahun ini bisa dikatakan satu dari kalangan yang beruntung. Pasalnya, terlahir dari keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan (Keturunan Kyai Sepuh Desa Batokaban), Ma’ruf juga berkesempatan mengenyam pendidikan S1 melalui beasiswa guru madin yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi beberapa waktu lalu. (hay)


TERTINGGAL DI SEMUA LINI
Dalam berbagai kesempatan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini menyatakan bahwa Pulau Madura akan bebas dari status daerah tertinggal pada tahun 2014. Di Indonesia, ada 183 kabupaten yang masuk kategori daerah tertinggal dengan tiga diantaranya berada di Madura  yakni Pamekasan, Sampang dan Kabupaten Bangkalan.
Beberapa ketentuan sebuah daerah masuk dalam kategori tertinggal, seperti tingginya angka buta huruf dan anak putus sekolah, pendapatan perkapita masih rendah, ketersediaan air bersih kurang, serta aliran listrik yang belum merata.
Merujuk pada berbagai kategori tersebut maka bukan hal yang berlebihan jika dikatakan Desa Batokaban, satu diantara desa-desa tertinggal tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Liman, bahwa berbicara mengenai pembangunan Desa Batokaban ibarat membenahi gubuk reyot. Bukan dengan menambal di sana-sini, melainkan merombak total.

Namun jika harus memilih skala prioritas, Liman mengutamakan untuk perbaikan akses jalan dan jembatan penghubung per dusun. Akses jalan menjadi prioritas karena menurutnya hal itu sedikit banyak mempengaruhi sebagian besar kegiatan sehari-hari warga. Jika akses jalan memadai, bukan tidak mungkin pembangunan desa akan semakin mudah pula begitu harapnya.
Jembatan penghubung antar dusun menurutnya menjadi sangat penting ketika menghadapi musim penghujan dimana sebagian besar sungai mulai terisi air. Sedangkan hampir setiap dusun di Batokaban terpisah oleh aliran sungai, yang akan dengan otomatis menjadi jalan lapang saat musim hujan karena airnya mengering.
“Selama ini kan bukan tidak ada pembangunan tapi ya itu, sulitnya akses jalan menjadikan pembangunan itu terhenti. Misal mau bangun rumah atau jalan. Untuk mengangkut material saja kita harus menunggu musim kemarau karena kalau musim hujan jalan tidak akan bisa dilewati oleh kendaraan karena becek dan rawan longsor,” ungkap Sekdes yang telah menjabat selama 13 tahun ini.
Namun di musim kemarau masalah lain yang juga mengganjal adalah keterbatasan sumber air. Hal ini juga kemudian menjadikan aktifitas pertanian yang menjadi sumber penghidupan masyarakat terhenti. Di musin kemarau hampir dipastikan seluruh sungai yang ada di Desa Batokaban pun ikut mengering. Kalau pun ada yang masih bisa digunakan, itupun dengan kodisi yang memprihatinkan. Debit air yang sedikit, jauh, kurang bersih, dan masih harus berantrian dengan banyak orang.
Pada musim ini hanya nampak beberapa tanaman tropis yang tidak membutuhkan perawatan khusus yang masih nampak tertanam di ladang-ladang warga. Beberapa jenis umbi-umbian seperti ketela pohon, kacang, talas.
Tanaman utama seperti Padi dan jagung hanya bisa ditanam pada musim hujan. Kendatipun begitu, Liman menuturkan bahwa masyarakat menyiasatinya dengan menanam secara bersusun. Artinya setelah selesai dipanen langsung ditanami lagi jika dilihat cuaca masih memungkinkan. Jika terpaksa tidak ada hujan, jalan satu-satunya adalah mendesel atau memikul air dari sisa air di sungai. Sehingga pada musim hujan yang maksimal hanya enam bulan itu petani tetap bisa memanen padi atau jagung sebanyak dua kali.
Kalau bisa lagi urusan air sebenarnya pengeboran. Kami juga tengah mengusahakan pembangunan waduk, tapi belum bisa dipakai karena waduknya terlanjur kering,” jelas Carik yang memiliki nama yang sama dengan pamong desa yang juga masih kerabatnya tersebut.
Minim Pemberdayaan
 Kalau semisal ingin mengajukan dana bantuan ke Provinsi bagaimana caranya?” pertanyaan yang cukup menggelitik dari Sekdes paruh baya tersebut. Bersama dengan rokok kreteknya yang tak berhenti mengepul. Pria berkulit gelap itu menuturkan keluh kesahnya.
Sebagai putra daerah yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Desa Batokaban, dirinya sangat ingin melihat tempat kelahirannya ini menjadi lebih maju. Sebagai Sekdes yang telah diberikan kepercayaan penuh oleh masyarakat dan juga kepala desa untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak perihal upaya pembangunan desa, dirinya mengaku nyaris putus asa.
Karena kalau di Bangkalan (Pemerintah Kabupaten, red) sendiri selama ini sangat sulit, entah karena terlalu banyak antrian atau bagaimana, sehingga lama sekali untuk proses acc. Bahkan kadang pengajuan kita tak pernah mendapatkan respon. Seandainya ada jalan, mungkin akan lebih cepat jika bisa langsung mengajukan ke Provinsi,” ujarnya dengan raut muka penuh harap.
Bantuan alat pertanian semacam traktor, menjadi salah satu mimpinya agar pertanian di Batokaban dengan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi menjadi lebih optimal. Baik dari segi efisiensi waktu dan tenaga, yang selanjutnya akan memaksimalkan hasil.
Pertanian disini masih menggunakan sistem tradisional. Membajak menggunakan sapi, sapinya masih harus menyewa sekaligus tenaga pembajaknya dan harus bergantian. Jadi dana yang dikeluarkan juga lebih banyak. Hasilnya juga belum tentu menutup semua biaya itu,” jelas Sekdes yang menggenapkan umurnya pada 28 November tersebut.
Kondisi ini dipertegas dengan banyaknya warga yang menjadi perantauan sehingga dalam kondisi sibuk seperti masa panen, atau hajatan sulit mengajak orang untuk gotong royong. Pilihan terakhir adalah membayar kuli, yang otomatis merogoh kocek lebih dalam.
Terkait fasilitas untuk sarana kesehatan, Desa yang dikatakan paling luas dibanding desa-desa lain disekitarnya itu hanya memiliki satu bidan desa dan mantri yang berada di sebelahnya, yakni Desa Debung, Kec Geger. Beberapa kali dirinya mengajukan penambahan tenaga kesehatan tapi terkendala kondisi yang menyebabkan para bidan tersebut tidak betah dan akhirnya meminta untuk dipindahkan.
Kendatipun dengan segala kekurangan tersebut, ada beberapa hal yang tak luput disyukurinya adalah sudah masuknya aliran listrik ke Desa Batokaban. Meskipun masih menggunakan tiang pancang manual seperti bambu atau kayu, Kedepan telah ada rencana untuk membangun tiang yang lebih permanen.
Kalau untuk listrik sudah mulai masuk tiang pancangnya dari Desa Durin Timur (batas timur desa). Ke Batokaban tinggal tunggu gilirannya aja, Insyaallah akan segera dipasang,” harapnya.
Pokok’en mon bede program bantuan dari pemerintah mesti nemmu lebbun ke tokaban. Jek lakar pas tadek sekabbinnah, (Yang jelas, jika ada program bantuan apapun dari pemerintah pasti akan bisa dijalankan di Batokaban. Karena memang disini segalanya masih minim, red)” imbuhnya setengah berkelakar. (hay)

BIODATA SEKDES
Nama                     : Liman
TTL                       : 28 November 1973
Alamat                    : Dusun Manggala, Desa Batokaban Konang Bangkalan
Istri                         : Nima
Anak                       : Muharrom
Jabatan                    : Sekretaris Desa Batokaban
Menjabat Sejak       : Tahun 2000 Pengangkatan PNS tahun 2007, aktif mulai tahun 2009.
Lebih Pamor dari Kades
Menjadi Sekdes di Desa terpencil seperti Batokaban bukanlah sesuatu yang membanggakan. Setidaknya itu yang tersirat dari raut wajah Liman, kala menceritakan kondisi desa tumpah darahnya ini. namun berbekal kepercayaan masyarakat dirinya tetap memilih bertahan menjadi carik.
Liman menyadari minimnya sumber daya yang dimiliki oleh Batokaban menjadi salah satu alasan kenapa hingga saat ini Batokaban masih saja menjadi desa tertinggal. Keterbatasan itu berimbas pada tidak berjalannya birokrasi pemerintahan desa. Struktur pemerintahan desa tidak dijalankan sebagaimana tupoksinya.
 Dirinya juga mengibaratkan bahwa pemerintahan desa masih seperti kerajaan kecil. Kuasa penuh ada di tangan kepala desa. Sehingga kerapkali aparatur desa hanya sekedar perlengkapan yang tidak memiliki fungsinya.
Sebagai putra daerah dirinya paham betul dengan segala seluk beluk mengenai Desa Batokaban. Bahkan bisa dibilang dirinya yang lebih dikenal luas oleh masyarakat dibanding Kepala Desa (Kades) sendiri. Sehingga kendatipun secara struktural dirinya berada dibawah Kades, dalam keadaan genting dan penting justru dirinya yang menjadi tameng, dan pusat penyelesaian.
Selama ini kalau untuk ke masyarakat sebenarnya tidak mengalami kesulitan karena mereka kan noro’ buntek, (Menurut saja, red). Masyarakat permintaannya itu sederhana, asalkan desa aman, tidak ada maling. Kesulitan justru jika harus menyatukan kemauan dengan kepala desa,” ujar Sekdes yang juga menyayangkan belum adanya kantor desa yang bisa dipakai utuk menjalankan administrasi desa, sebagaimana wewenangnya.

Sampai saat ini Batokaban tidak memiliki balai desa. Balai desa ya mengikuti rumah kades. Kades ke barat ya ikut ke barat. Ke timur ya ke timur,” imbuhnya menganalogikan. (hay)

Kamis, 21 November 2013

Desa Tritunggal Kec Babat Kab Lamongan

DATA DESA
Nama Desa                              :  Desa Tritunggal Kec Babat Kab Lamongan.
Kades                                      : Yacub Sibi
Sekdes                                     : Hilmi Arif Mahyudi
Kaur Umum                            : Sami’un
Kaur Keuangan                       : A. Choliq
Kaur Pemerintahan                 : Anbiya’
Kasi  Pemb. Perempuan          : Ma’arif
Kasi  Transtib                          : Muntari
Kasi Kesra                               : Syuhada’
Desa Tritunggal dibagi  menjadi tiga dusun
·                     Dusun Tesan Kasun Kuswadi.
·                     Dusun  Beton Kasun Sutiono
·                     Dusun Grogol Kasun Hilmi
Batas admimnistrasi  Desa meliputi:
·                     Sebelah Utara              : Desa Rawabulu Kec Sekaran
·                     Sebelah Selatan           : Desa Kebonagung Kec Babat
·                     Sebelah Barat              : Desa Pucuk Kec Pucuk
·                     Sebelah Timur             : Desa Moropelang  Kec Babat
Luas wilayah                           : 3.683 Ha
Jumlah KK                              : 1800 KK
Jumlah Penduduk                   : 5000 Jiwa

 Desa Tritunggal Kec Babat Kabupaten Lamongan
LEBIH BERDAYA, ANDALKAN INDUSTRI KONVEKSI
Kendati Kecamatan Babat dijuluki sebagai ‘Kota Wingko’ tak berarti semua penduduknya bekerja sebagai pengusaha makanan olahan beras ketan dan kelapa ini. Desa Tritunggal misalnya yang merupakan sentra industri konveksi. Bahkan industri rumah tangga ini telah mengusai pangsa pasar nasional. Seperti apakah keberadaan desa yang terletak di jalan raya Surabaya - Babat tersebut?
 ‘Selamat datang di desa wisata konveksi Babat Lamongan’. Sebuah spanduk ucapan selamat datang terpampang di depan gapura masuk Desa Tritunggal Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Nampak gambar Bupati Lamongan Fadeli beserta istri menjadi background utamanya.
Saat memasuki wilayah desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Babat ini akan nampak lampu dropbox berbentuk baju ada di hampir setiap rumah. Jika di awal tahun 2013 Menakertrans Muhaimin Iskandar mencanangkan Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember sebagai desa Produktif dengan julukan desa tanpa pengangguran, maka bisa jadi Desa Tritunggal layak dijuluki desa tak pernah mati.
Bagaimana tidak, disepanjang jalan yang dilewati nyaris tak pernah sepi dari suara berbagai macam mesin pembuat kaos yang bekerja. Mesin jahit, mesin obras, mesin pengering, hingga mesin sablon saling sahut-menyahut meramaikan suasana. Kejadian serupa adamdi hampir setiap rumah.
Tak hanya itu, puluhan pekerja pun lalu lalang membuat suasana selalu nampak sangat sibuk. Ada yang sibuk mengobras baju, menyablon kaos dengan berbagai warna dan gambar, menjemur kaos hingga para tenaga borongan yang tengah sibuk melipat kaos dan baju yang telah selesai diproses.
Usaha kecil menengah (UKM) dan Industri Rumah Tangga (IRT) memang menjadi sentra andalan mata pencaharian masyarakat Desa Tritunggal. Tiga dusun yang ada di Desa Tritunggal yaitu Dusun Tesan, Dusun Grogol, dan Dusun Beton, memiliki khas UKM yang berbeda. Prioritas UKM dan IRT tersebut dalam rangka pengembangan usaha perekonomian pedesaan dan optimalisasi tenaga kerja.
Dusun Tesan yang dipimpin oleh Kepala Dusun Kuswadi mayoritas merupakan pengusaha potong ayam. Desa Grogol pimpinan Sutiono sendiri merupakan sentra usaha besi tua. Terakhir sentra industri konveksi di Dusun Beton yang dipimpin oleh Hilmi. Desa yang juga tempat tinggal Kades Tritunggal Yacub Sibi ini terbilang yang paling menonjol. Ribuan hasil konveksi pesanan dari berbagai daerah di Indonesia dihasilkan oleh tangan-tangan terampil Desa Tritunggal.
 “Akses pemasaran kita rata-rata sudah mencapai se-antero Indonesia. Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Sumatera sampai Irian Jaya. Seragam, topi, Job kaos untuk pilgub, semuanya rata-rata hampir se-Indonesia ini dikuasai oleh industri kaos di Tritunggal ini,” ungkap Yacub Sibi.
Industri kaos dan sablon Desa Tritunggal ini merangkul sedikitnya 143 home industri dan terbagi dalam tiga kluster. Kluster tersebut dibagi berdasarkan banyaknya pekerja dalam industri tersebut. Kluster besar berkapasitaskan pekerja sebanyak 20 – 30 orang, kluster menengah 10-15 orang, sedangkan kluster kecil hanya sekitar 5–10 orang.
Sebagaimana diungkapkan oleh Yacub saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu, pria yang juga Ketua Lembaga Takmir Masjid Indonesia  (LTMI) Desa Tritunggal ini menjelaskan bahwa usaha yang memiliki omzet ratusan juta tersebut sedikitnya bisa menghasilkan laba lima juta perbulannya. Nilai itu relatif kecil dan akan berlipat di masa-masa pemilu. Baik pemilukada, pileg hingga pilpres.
Besarnya peluang usaha yang telah digeluti oleh Desa Trirunggal ini pun memunculkan inisiatif untuk menciptakan trademark atas konveksi hasil produksi masyarakat Desa Tritunggal. Keinginan tersebut pun ditindaklanjuti oleh Yacub Sibi dengan intens mengadakan pelatihan untuk semakin meningkatkan kualitas kaos buatan masyarakat Desa Tritunggal.
Seperti Dagadu atau Jogger Bali. Kedepan kita ingin seperti itu,” terang Suami dari Nurhayati ini.
Hindari Persaingan tak sehat
Dikisahkan Yacub Sibi, perjalanan industri konveksi di Desa Tritunggal berawal pada kisaran tahun 1985. Diawali oleh satu dua home industri, lambat laun industri tersebut banyak ditiru dan akhirnya berkembang menjadi usaha berskala besar, yakni sebagai sentra industri.
Karena industri kaos di Tritunggal itu sifatnya otodidak, sehingga bisa ditiru oleh tetangga-tetangganya. Sehingga saat ini menjadi sebuah home  industri yang seperti ini dan akhirnya sentra industri,” ujarnya
Perkembangan demi perkembangan berbuah manis dengan semakin meningkatkan taraf perekonomian masyarakat. Namun banyaknya pelaku usaha yang merintis industri dibidang konveksi tak pelak melahirkan sistem persaingan diantara pengrajin. Mulai dari persaingan pelanggan, pekerja, pemasaran hingga sistem harga.
Mengantisipasi hal tersebut pemerintah desa dalam hal ini merasa perlu membentuk suatu lembaga yang bisa menaungi para pelaku dalam sebuah wadah yang sama dan menghindari persaingan tidak sehat yang berujung pada upaya saling menjatuhkan. Karena pada akhirnya hal tersebut akan memberikan kerugian di pihak pengrajin sendiri.
APIK (Asosiasi Pengrajin Industri Konveksi Desa Tritunggal) namanya, sebuah lembaga yang mempersatukan para pengrajin konveksi di Desa Tritunggal. Keberadaan APIK dalam rangka untuk meningkatkan kebersamaan dan menekan agar jangan sampai terjadi persaingan-persaingan yang tidak sehat. Sekaligus melalui APIK akan diatur sistem harga yang menjadi kesepakatan bersama.
Karena itu nama Desa Tritunggal sebagai desa sentra industri konveksi sudah sangat tidak asing bagi peminat seragam, baik itu seragam sekolah (formal) maupun seragam non formal. Bahkan Bupati Lamongan Fadeli pun dengan bangga menjuluki Desa Tritunggal sebagai ‘Desa Wisata Konveksi’.
Dalam upaya untuk lebih meningkatkan kapasitas dan pelayanan produksi, maka di Desa Tritunggal juga didirikan ruang pamer (show room) desa wisata konveksi Tritunggal Babat yang juga telah diresmikan Bupati Lamongan Fadeli, pada tanggal 10 Desember 2012. Gedung ini sengaja dibangun di Desa Tritunggal karena selama ini Tritunggal dikenal sebagai pusat konveksi di Lamongan, tepatnya di jalan raya Surabaya - Babat.
“Selama ini dukungan dari Pemkab Lamongan sangat besar. Tak hanya fasilitas seperti gedung pamer, dalam hal permodalan kami juga dibantu dengan adanya sertifikasi untuk pinjaman lunak. Semoga kedepan dari Provinsi ini mungkin kita diberikan bantuan tambahan mesin,” ujar Yacub setengah berharap lantas tertawa lepas. (hay,uul,eru,yus)
Ogah Jadi Pegawai Negeri

            Jika banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi pegawai negeri (PNS), fenomena ini tidak akan ditemukan di Desa Tritunggal, atau lebih tepatnya di Dusun Beton. Bukan tanpa sebab, keberhasilan masyarakat Dusun Beton dalam usaha konveksi dan sablon, membuat mereka tidak tertarik untuk menjadi PNS.
            “Kalau kata Pak Kades, sudah bukan maqom-nya, dan memang tidak ada yang mau,” ujar Aris, salah satu pengusaha konveksi di Dusun Beton berkelakar. “Jadi kades saja gak ada yang mau,” sahut Yacub.
            Di Dusun Beton, tercatat sekitar 143 home industry yang bergerak dalam bidang usaha konveksi kaos dan sablon. Dari jumlah tersebut digolongkan menjadi tiga klaster, klaster kecil, menengah, dan besar.
Salah satunya Aris, pemilik usaha konveksi Star Nine ini baru memulai usahanya sekitar 10 tahun. Mengaku belajar konveksi secara otodidak, kini pria bernama lengkap Aris Fianto ini telah mendulang sukses besar.
            Di tempat usahanya, dia telah memiliki 40 karyawan yang bekerja di gudang, dan 10 karyawan freelance. Dalam sehari, tempat usaha milik Aris bisa memproduksi 2000-4000 buah kaos. Untuk pemasaran, dirinya sudah tidak menemukan kesulitan. Jika di awal usahanya dia ‘menjemput bola’, kini hanya by phone, orderan sudah mengalir deras kepadanya. Berbagai wilayah di Indonesia pun sudah dirambahnya. Sebut saja Makassar, Jayapura, Atambua, dan banyak daerah lagi di dalam atau di luar Pulau Jawa. Omset puluhan juta pun berhasil dia raih.
Tidak jauh berbeda dengan Star Nine, CV. Yudeva, salah satu usaha konveksi kluster besar di Tritunggal ini mengaku bisa meraih keuntungan kotor hingga Rp300 juta. Bahkan, pendapatan ini bisa melonjak jika musim pemilihan legislatif atau kepala daerah.
            Nur Faizal, pemilik CV. Yudeva mengungkapkan, dengan 30 karyawannya, kini kaos produksinya telah merambah ke berbagai daerah di dalam dan di luar Jawa, di antaranya Makassar, Manado, Kalimantan, Ambon, dan Flores. Harga yang dipatok pun bervariatif, mulai Rp 6.000 hingga Rp 50.000, tergantung model dan kainnya. Jika pesanan sedang banyak, maka Nur Faizal menggunakan tenaga dari desa tetangga.
            Ternyata, kesuksesan tidak hanya milik usaha konveksi kluster besar saja. Salah satu pemilik usaha konveksi kluster sedang, Nazar mengungkapkan bahwa hingga kini pihaknya telah banyak melayani pesanan dari luar Jawa, khususnya Sulawesi dan Kalimantan. Dengan empat orang karyawannya, dalam sehari Nazar bisa memproduksi 200-300 buah kaos.

Diprioritaskan Bank
            Kesulitan modal yang banyak membelit pengusaha kecil seringkali menjadi batu sandungan pengusaha untuk berkembang. Namun, hal ini tidak dialami oleh pengusaha di Desa Tritunggal. Potensi Desa Tritunggal yang dikembangkan menjadi kawasan sentra industri konveksi yang prospektif membuat bank memprioritaskan pengusaha di desa ini, hal ini diungkapkan Nazar.
            “Kalau modal, tidak ada masalah. Karena Tritunggal itu selalu diprioritaskan oleh bank,” ujar Nazar.
            Hal ini lah yang mungkin menjadi sebab menjamurnya usaha konveksi di desa yang terletak di tepi jalan raya Surabaya-Babat ini. Meski begitu, iklim persaingan usaha di desa ini terbilang sehat. Kemunculan APIK lah yang mengendalikan laju persaingan antar usaha di desa ini.  
Keberadaan APIK di Tritunggal juga banyak disyukuri oleh Nur Faizal, pemilik CV. Yudeva. Dengan adanya APIK, persaingan di antara banyaknya pemilik usaha konveksi menjadi sehat dan lebih terkoordinasi.
            “Harga pun juga lebih terjaga, tidak ada yang banting harga untuk menggaet pelanggan. Di sini memang banyak UKM, tapi sudah punya pangsa pasar sendiri-sendiri,” ujar istri dari Teguh Wahyudi ini. (uul,hay,eru,yus)


Biodata Kades:

Nama                           : Yacub Sibi
TTL                             : Lamongan, 21 April 1969
Jabatan                                    : Kades Tritunggal, Babat, Lamongan
Nama istri                    : Nur Hayati
Nama anak                  : 1. Alisa Tri Musyafa’ah
                                      2. Inayah
                                      3. Utari
Pendidikan Terakhir    : S1 Hukum Unisda Lamongan

Harapkan Tritunggal Punya Brand
           
            Berbincang tentang Desa Tritunggal, takkan bisa lepas dari sosok satu ini. Dialah Yacub Sibi, Sang Kepala Desa yang telah memimpin Desa Tritunggal selama empat tahun belakangan ini. Mengabdi di desa yang menjadi sentra industri bukanlah tugas yang mudah. Namun Yacub mau mengemban tugas tersebut demi kemajuan warga desanya. Ditemui usai shalat Jum’at di kediamannya, bapak tiga anak ini menceritakan perihal industri konveksi yang menjadi potensi unggulan di desanya.
            Bahkan, untuk melihat lebih dekat usaha yang digeluti mayoritas warganya, dengan sigap dia juga mengantar wartawan Derap Desa (DD) berkeliling ke rumah-rumah warganya. Di tengah perbincangan dia sempat mengatakan harapannya ke depan untuk membuat brand desanya.
            “Kalau selama ini produksi masih di lembaga pendidikan dan pemerintahan, ke depan rencananya Tritunggal punya merk sendiri yang dipatenkan ke pasar bebas. Ya contohnya seperti Joger di Bali, Dagadu di Yogyakarta,” terang ayah Alisa Tri Musyafa’ah ini.
            Terkait hal itu, kini pihaknya masih melakukan persiapan, yaitu dengan mengadakan pelatihan-pelatihan yang bekerja sama dengan BLK (Balai Latihan Kerja) kabupaten. 
            Sebelum jadi kepala desa, mantan Ketua GP Ansor Kecamatan Babat ini juga menekuni usaha konveksi di rumahnya sejak tahun 1989, namun karena kesibukan sebagai kepala desa yang menggunung dia menghentikan sementara usaha tersebut.
Menjadi orang nomor satu di Tritunggal, diakui pria yang juga menjadi Badan Advokasi GP Ansor Kab. Lamongan ini ada suka dan dukanya. Di antaranya adalah kebanggaan dan kebahagiannya karena desa yang dipimpinnya telah dicanangkan Pemerintah Kabupaten Lamongan menjadi desa wisata belanja desa.
Namun, di sisi lain Yacub merasa malu ketika ada pejabat baik legislatif dan eksekutif yang berkunjung ke desanya, mengingat kondisi balai desa yang masih semrawut serta infrastruktur jalan dan selokan yang rusak.
           
37 tahun Buyut Jadi Kades
            Di Tritunggal, bisa dikatakan jarang ada yang mau menjabat sebagai kepala desa. Hal ini dikarenakan mereka lebih memilih fokus kepada bisnis dan usaha konveksi, ataupun bisnis lainnya.
            Akan tetapi, pimpinan tetaplah dibutuhkan dalam suatu masyarakat. Dengan berbekal keinginan mengabdi kepada tanah kelahiran dan warga desanya, Yacub memberanikan diri macung menjadi kepala desa. Usut punya usut, ternyata dirinya mempunyai buyut yang pernah menjadi kepala desa.
            “Buyut saya dulu pernah jadi kades selama 37 tahun. Tapi juga bukan karena itu saya menjadi kades, hanya kebetulan saja, ” ungkap pria yang berulang tahun tiap 21 April ini. (uul,hay,eru,yus)

Desa Rengel, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban

DATA DESA
v  Nama Desa      : Desa Rengel, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban
v  Perangkat Desa:
o   Kades                          : Mohamad Mokhtar
o   Sekdes                         : Drs H. Ali Hamka
o   Kaur Um-Pem             : Widarsono
o   Kaur Ek-Keu               : Dwi Sepsono Priyanto
o   Kaur PPM                   : Kasmani
o   Kasi  Pert-Peng           : Suwanto
o   Kasi  Transtib              : Amrozi
o   Kasi Kesra                   : Moh. Aufal Marom Djauhari
o   Kasun                          : Ahmad Ainut Taufiq Attahtim
  Mitoyo
  Afianto
v  Desa Rengel dibagi  menjadi tiga wilayah dusun (61 RT, dan 10 RW)
o   Dusun Purboyo Mayangsekar
o   Dusun  Rayahu Lerengkuning
o   Dusun Gembong
v  Batas admimnistrasi  Desa Rengel meliputi:
o   Sebelah Utara              : Desa Ngandong Kecamatan Grabagan
o   Sebelah Selatan           : Desa Sawahan / Desa Ngadirejo, Kecamatan Rengel
o   Sebelah Barat              : Desa Sawahan /  Desa Maibit Kecamatan Rengel
o   Sebelah Timur             : Desa Sumberejo Kecamatan Rengel
v  Luas wilayah               : 750.600 Ha
v  Luas lahan sawah tadah hujan                        : 292,492 Ha
v  Luas lahan sawah irigasi teknis           : 0,493 Ha
v  Ketinggian                  : 20 meter dari permukaan air laut.
v  Potensi pertanian         : padi, jagung, ubi kayu dan beberapa jenis komoditas buah-buahan, seperti salak, pisang, mangga, kelapa
v  Jumlah KK                  : 2.402 KK
v  Jumlah Penduduk       : 9.087 jiwa ( 4.752 wanita dan 4.335 laki-laki)




 Desa Rengel, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban
PRIORITASKAN INFRASTRUKTUR, BERHARAP JADI DESA MANDIRI
Berada tepat di jantung Kota Kecamatan Rengel, Desa Rengel menjadi perlintasan jalan utama menuju dan dari pusat Kabupaten Tuban. Tak hanya kondisi alamnya yang eksotis, balutan mistis situs Goa Ngerong dan pembangunan infrastruktur yang optimal menjadikannya sebagai ’jujugan’ mereka yang ingin belajar bagaimana mengelola desa yang baik. Lantas bagaimanakah keberadaannya?


Sejurus mata memandang akan nampak wilayah perbukitan hijau yang asri dengan beberapa lembah yang elok. Tak seperti umumnya wilayah desa, jalan utama desa ini sudah beraspal seperti laiknya kota-kota besar. Desa Rengel, namanya. Satu dari 16 desa di Kecamatan Rengel yang berada di 0 Km selatan Ibu Kota Kecamatan Rengel. Tepatnya 600 meter dari ibu kota Kecamatan Rengel.
Infrastruktur desa yang baik menjadikan jalanan Desa Rengel cukup ramai dilalui kendaraan. Bus dalam dan luar kota, truk-truk besar, berbagai angkutan umum nampak memadati jalan, bahkan hingga hari mulai gelap.
Berdasarkan data administrasinya, Desa dengan luas 750.600 Ha tersebut terbagi dalam tiga dusun yaitu Dusun Purboyo Mayangsekar, Dusun  Rayahu Lerengkuning, dan Dusun Gembong. Dari ketiga dusun tersebut dibagi menjadi 61 RT, dan 10 RW. Dengan jumlah penduduk mencapai 9.087 jiwa ( 4.752 wanita dan 4.335 laki-laki) dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 2.402.
Meskipun masyarakat Desa Rengel mayoritas masih bermata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Desa Rengel yang notabene-nya berada di kawasan perbukitan kapur juga terbantu di segi perekonomian melalui usaha batu kumbung (bata putih). Selain itu secara umum Kecamatan Rengel juga terkenal akan sentra penghasil sarang burung walet yang berkualitas. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bangunan tinggi (mirip gedung perkotaan) yang dipakai sebagai sarang burung walet.
Saat ditemui di kediamannya, Mohamad Mokhtar Kades Desa Rengel nampak sangat antusias menjelaskan bagaimana perubahan besar yang telah berhasil dijalankan jajarannya. Hal pokok yang menjadi prioritas dalam kepemimpinannya adalah pembangunan SDM aparatur, fasilitasi administrasi, optimalisasi aset, hingga finalisasi program desa.
Pasar itu sebelum saya menjabat peghasilan tiap bulan 13 juta, sekarang setelah saya menjabat bisa dibilang justru terbalik jadi 31 juta tiap bulan,” ujar Mohamad Mokhtar menjelaskan bahwa pendapatan terbesar desa berasal dari Pasar Desa Rengel.
Sebagaimana dijelaskan pula bahwa sebab pasar Desa Rengel adalah salah satu pasar terbesar dan teramai di Kabupaten Tuban. Didukung pula oleh dua aset desa lain seperti situs Goa Ngerong dan kas desa.
Kesungguhan Mohamad Mokhtar dalam membangun Desa Rengel seolah berbayar dengan berbagai prestasi yang direngkuh oleh Desa Rengel baik di tingkat Kabupaten maupun Provinsi. Beberapa prestasi yang sempat disebutkan seperti juara PAUD tingkat provinsi tahun 2010, juara 1 PKK tingkat Kabupaten Tuban tahyun 2008. Prestasi paling gemilang yang diraih dalam 6 tahun kepemimpinannya yang sedianya akan berakhir pada 8 Agustus 2013 ini adalah Juara I Lomba Desa Kategori Tertib Administrasi Desa tingkat Kabupaten Tuban di tahun 2008.
Prestasi di bidang Administrasi ini menjadikan Desa Rengel kerapkali dijadikan tempat studi banding berbagai daerah. Bukan cuma terkait masalah pengelolaan desa, beberapa desa seperti Situbondo dan Bondowoso juga sempat melakukan studi banding terkait kegiatan PAUD.
”Pernah juga dari Pakajene, Sulawesi selatan, kep. Pakageni. Dari desa-desa wilayah kab banyak, karena sering dikasih informasi Kabupaten, kalau mau lomba desa lihat ke sini,” ujar Kades yang sedianya akan macung untuk kali keduanya ini.

Babat Balai Desa
Sukses yang didulang oleh Desa Rengel dalam bidang Administrasi tidak lepas dari upaya keras para aparatur desa dibawah komando kades yang akrab dipaggil Mokhtar ini. Hal pertama yang digarapnya terkait Sumber Daya Manusia (SDM). Diawal masa kepemimpinan, suami dari Nanik Windaryati ini mendapati banyak dari aparatur desa yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya.
Risih dengan kenyataan tersebut, Mokhtar yang terkenal ‘kenceng’ dalam memimpin ini menerapkan peraturan ketat kepada seluruh aparatur desa. Sebagai contoh perihal keaktifan, perangkatnya harus berangkat jam 8.00 dan pulang jam 13.00 setiap harinya. Kegiatan seperti apel pagi, meeting, evaluasi kegiatan minggu sebelumnya menjadi agenda rutin setiap Hari Senin.
Sebagai bentuk dukungan dalam pengembangan SDM tersebut Mokhtar juga menupayakan pelengkapan fasilitas administrasi desa. Mulai dari papan pengumuman, komputer, buku-buku data administrasi desa, laporan keuangan, hingga perombakan total bangunan balai desa yang menghabiskan dana sekitar 1,5 milyar rupiah.
Anggran pembangunan tersebut berasal dari aset desa, Pendapatan Asli Desa (PAD), pipanisasi lewat desa, juga swadaya masyarakat. Pembangunan yang memakan waktu 3 tahun tersebut (2009-2012) di desainnya sendiri yang sebelumnya berpengalaman sebagai pemborong. Hasilnya dapat dilihat, bangunan balai desa yang terletak tidak lebih 500 meter dari rumahnya itu berdiri megah bak kantor dinas provinsi.
Langkah selanjutnya adalah pengelolaan aset desa. Total penghasilan yang diperoleh oleh Desa Rengel sedikitnya 500 juta pertahun. Jumlah itulah yang kemudian menjadi dasar untuk membuat RAPBDes.
“RAPBDes ini nanti akan kita buat jadi APBDes. Kalau disini kita buatkan Komisi a, b, c yang terdiri dari BPD dan perangkat desa. jadi membuat RAPBDes itu seperti itu, bukan saya, saya hanya membuat reng-rengan (garis besar, red) saja. Jadi nanti dana segitu itu untuk apa?!” jelas Mokhtar. (hay,uul,eru,yus)

BIODATA
Nama               : Mohamad Mokhtar (52)
TTL                 : Tuban, 14 Juli 1961
Jabatan                        : Kepala Desa (2007-2013)
Alumnus          : STM Negeri Tuban (1980-1981)
No. Kontak     : 08123477377
Istri                  : Nanik Windaryati (46)
Anak               : 1. Rany
             2. Maria Ulfa
                         3. M. Khanza

TIDAK SEPERTI YANG LAIN

Kemampuan Mohamad Mokhtar dalam bidang infrastruktur mungkin tidak perlu diragukan lagi. Pengalamannya sebagai pemborong yang juga memiliki sebuah CV bisa jadi merupakan modal kuat yang dimilikinya. Selain itu dirinya yang juga lulusan Sekolah Teknik Menengah (sekarang SMK, red) dengan peminatan infrastruktur gedung pun menjadi nilai plus yang disandangnya.
 Namun jangan dibayangkan jika Kades kelahiran Tuban, 14 Juli 1961 ini tinggal dirumah mewah dengan desain antik yang bisa jadi dirancangnya sendiri. Alih-alih tinggal di rumah mewah, lelaki paruh baya ini justru nampak bersahaja di rumah sederhananya yang terletak di tepi jalan raya.
Boleh dibilang keadaan tersebut sedikit kontras dengan bangunan balai desa yang dibangunnya dengan megah dan penuh fasilitas. Bahkan sebagaimana diakuinya sembari bercanda, biaya untuk macung dalam pemilihan kades pun ia harus memberanikan diri berhutang.
Semua itu dilakukannya dengan tujuan yang sama yaitu membawa perubahan yang lebih baik bagi desanya. Jika di enam tahun kepemimpinan pertamanya ia telah berhasil membangun total insfrastruktur desa. Pada kepemimpinan yang kedua nanti dirinya bertekad untuk menggarap perekonomian masyarakat.
Kita akan  mencontoh programnya Pakde Karwo, kita langsung pada masyarakat, yang tidak mampu kalau petani kita beri alatnya, yang mau beternak ya kita beri kambing, yang jualan bisa kita fasilitasi tempat atau modal, dan sebagainya,” terang Mokhtar.
Ke depan, dirinya juga berharap dapat memangkas total pergerakan bank thithil dari pasar. Hal ini tentu saja untuk lebih meningkatkan kesejahteraan pedagang, yang pada gilirannya akan berpengaruh besar terhadap perekonomian desa.
“Kita tidak sama dengan yang lainnya, biasanya kalau rumahnya bagus, balai desanya lumuten, nek di sini kebalik. Pokoknya apapun programnya semua tetap akan dikembalikan pada masyarakat,” ujarnya penuh arti. (hay,uul,eru,yus)

 GOA NGERONG
Hikayat Ikan Palung dan Kura-kura Putih
Senja mulai temaram ketika serpihan siluet merah menyapu rata kanvas langit. langit yang gelap menjadi hiruk pikuk oleh ribuan atau bisa jadi jutaan kelelawar bergerilya keluar dari sarangnya. Goa Ngerong, begitulah nama sarang dari hewan yang ber’hibernasi’ sepanjang siang ini.
Eksotika Goa denga tiket masuk sebesar 3000 rupiah tersebut tak hanya pada jutaan kelelawar yang saling bergantungan di dinding goa pada siang hari. Jutaan ikan yang hilir mudik di sumber mata air yang mengalir dari dalam goa juga tak kalah mengagumkan.
“Selain kelelawar, dan ikan yang jumlahnya jutaan, yang terkenal dari Goa Ngerong juga kura-kura putih yang biasa kita sebut Bulus,” terang Mokhtar sembari menuntun rombongan Derap Desa memasuki Situs Goa Ngerong yang hanya berjarak beberapa  langkah sebelah barat rumahnya.
Sebagaimana dikisahkan oleh Mokhtar, Goa Ngerong memiliki banyak sekali keunikan. Disamping banyaknya satwa yang menghuni goa tersebut. Bentuknya yang memanjang dan mengeluarkan air konon juga tidak memiliki tembusan (Jawa : ‘Ngerong’)

Diantara mitos yang berkembang mengenai asal muasal Goa Ngerong berikut namanya tidak lepas dari kondisi alam Tuban dahulu yang konon mengalami kesulitan air. Seorang sakti yang menurut Mokhtar berjuluk Kyai Jalak Tapa yang disebagian kisah dikatakan sebagai Sunan Bonang menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari bekas tancapan tongkat Sunan Bonang itulah akhirnya muncul air yang terus mengalir hingga membentuk sendang.
Cerita lain yang berkembang seputar Goa Ngerong di mulai dari cikal bakal terbentuknya Kadipaten Tuban di masa kerajaan. Dari kepahlawanan tokoh Kembangjoyo yang sakti mandraguna hingga cerita tentang kecantikan Putri Ngerong yang elok rupawan.
Dikisahkan sang putri konon bertapa di dalam Goa Ngerong hingga lampus (raganya menghilang). Beberapa mitos menyebutkan bahwa sang putri masih kerap terdengar suaranya dan muncul di tengah kesibukan orang nyekar. Sang putri tersebut digambarkan mengenakan kebaya dengan selendang di bahunya sambil membawa tas belanjaan khas orang dusun. Ikan dan kura-kura yang berjumlah ribuan pun dipercayai merupakan jelmaan bidadari dan Senopati Kerajaan Gumenggeng yang dikutuk Dewa karena membuat kesalahan.

Salah satu cerita mistis lagi yang dipercaya warga yaitu apabila ada pengunjung yang datang kemudian pulang membawa ikan tawes atau kura-kura yang berasal dari sumber air di dalam goa maka akan mendapatkan sial atau bahasa Jawanya "ciloko".
Berbagai mitos yang berkembang terlepas adanya nilai kebenaran, justru menjadi semacam kearifan local yang membantu gua dan hewan-hewannya tetap lestari sampai saat ini. Kelelawar, Ikan, Bulus (kura-kura putih) dengan diameter kurang lebih 1 meter, juga ikan tanpa mata (buta) khas hewan gua, yang mulai didapati di kedalaman 1000 meter.
“Sebenarnya ada dua primadona-nya di situ. Bulus kayak kura-kura yang cangkangnya halus, yang satu ikan palung, tapi sekarang palung habis. Ikan palung, kepalanya kayak kutuk (sejenis ikan rawa), tapi buntute (ekor, red) kayak bader, besar ikannya, makannya ikan. tapi gak tau sekarang kok habis,” kisah Mokhtar.
Seperti yang dikisahkan oleh Mokhtar jenis ikan Palung telah lama punah dan tinggal jenis ikan bader dan lele yang banyak ditemui. Namun keberadaan kedua jenis hewan primadona tersebut menjadi salah satu ikon yang akan menyambut para pengunjung ketika hendak memasuki situs Goa Ngerong. Di dinding pintu masuk terdapat replika Bulus, Ikan Palung dan di sudut kiri terdapat pula penggambaran ikan tanpa daging, yang lagi-lagi konon masih kerap menampakkan diri. (hay,uul,eru,yus)