Kamis, 25 Juni 2015

Karna : Ketika Kutahu Siapa Aku

  
Suatu Hari, saat hidup tak lagi sama. Tapi penderitaan tetap menjadi harga yang harus kuterima.

Hari itu, aku pulang dengan perasaan hancur ke rumah orang tuaku, atau harus kusebut orang yang telah mengasuhku? Hari dimana Khrisna menyatakan bahwa aku bukanlah putra ibuku, Radha. Melainkan putra dari Ratu Hastinapura, Ratu Kunti. Anugerah dari Suryadev.
Sejujurnya aku lebih memilih untuk menyangkal hal itu. Bahkan jika sekali lagi aku harus hidup dalam kebohongan, aku lebih memilih Ibu Radha dan Adhirata mengatakan bahwa apa yang dikatakan Khisna adalah kebohongan.
Sejak masih kecil aku memang selalu dekat kepada Suryadev, aku bisa melihat langsung matahari yang terik, dimana orang lain berusaha untuk menghindari matahari tersebut. Tidak peduli seberat apapun perasaanku, tapi setiap kali aku melihat matahari aku bisa merasa langsung tenang, hatiku pun penuh dengan kebahagiaan dan akupun merasa nyaman. Tapi itu semua bukan berarti bahwa aku adalah anugrah dari Suryadev.
            Dan terlebih bagaimana aku akan menghadapi kenyataan, mengangkat senjata untuk membunuh kalian, adik-adikku.
….
"Dunia mengenalku dengan nama Radheya, Ibu Radha. Sekarang, nama mana yang harus aku pakai? nama mana yang harus aku pakai?”
Aku berperang dengan kenyataan yang seolah menghirup habis pasokan oksigen di sekitarku. Terngiang bagaimana dari Radheya, aku menjadi sosok tanpa nama yang berhak kusandang. Teringat bagaimana seumur hidupku tanpa sengaja, aku selalu berakhir di kaki ibu kita. Merasakan sakit atas kebenaran ibu kita yang memilih bungkam bahkan ketika aku berada di depannya. Juga bagaimana aku melihat wajah terlukamu saat Pangeran Duryudana memaksamu untuk mencuci kakiku. Orang yang kau anggap musuh. Dan bagaimana aku dengan tanpa ragu mengatakan kelak jika bertemu di medan perang maka kematianmu akan terjadi di tanganku.
Sementara sekarang aku merasa tidak lagi memiliki nyawa yang tersisa di tubuhku. Masih adakah rasa sakit yang lebih lengkap dari ini adikku?
….
Vrushali          : Tuanku, aku telah mendengar bahwa Khrisna memiliki dua ibu dan krisna menghormati dan mengasihi kedua ibunya dengan sama. Mengapa kamu menganggap ini sebagai aib pada keberadaanmu?
Karna              : Ketika seseorang sepanjang hidupnya begitu ingin melihat orang lain menderita, kemudian dibertahu bahwa orang lain itu adalah pantulan dirinya sendiri. Dan bahwa ketika dia menderita maka pantulan dirinya itu pun akan menderita juga. Sekarang katakan bagaimana orang itu bisa tenang, Vrusali. Aku berjuang selama hidupku agar mendapatkan rasa hormat yang layak semampuku. Aku bahkan bersaing dengan seluruh dunia, aku menghadapi penghinaan lebih buruk daripada kematian disetiap langkahku. Seharusnya tidak perlu seperti ini, Vrusali. Hal seperti ini seharusnya tidak pernah terjadi.
Ini tentang kau adikku, Arjuna. Sebesar aku selama ini membencimu, dengan semua kenyataan ini dapatkah aku melewati batasku sebagai kakak yang seharusnya memberikan restuku. Bukannya berdoa untuk kematianmu.
Karna              : Aku telah melihat Arjuna sebagai lambang penghinaanku. Aku berkata pada diriku sendiri berulang kali, bahwa di hari aku membunuh Arjuna, seluruh dunia akan tahu pada hari itu bahwa anak kusir sekalipun bisa menjadi ksatria terbaik di dunia. Tapi Arjuna adalah saudaraku, Vrusali. Dia adalah adikku. Bahkan aku pun putra dari Kunti. Aku bukan anak dari Radha. Bagaimana caraku menghadapi keadaan ini, Vrusali.
Aku sangat berhutang budi pada temanku, Duryudana. Bagaimana aku bisa mengganggapnya sebagai musuhku sendiri, Vrusali. Aku tidak memiliki apa-apa kecuali kemarahan untuk melawan Arjuna. Bagaimana mungkin aku bisa menawarkan bantuan kepadanya. Apakah ini tipuan dari Basudeva, ketika itu adalah waktu untuk menyesatkan semua penderitaan dalam hidupku. Sekarang Dia seperti telah membuatku tidak bersenjata. Mereka adalah saudara- sarudaraku, Vrusali. Bagaimana aku bisa menggunakan senjataku pada mereka, Vrusali. Bagaimana aku bisa melakukannya? Bagaimana aku bisa menggunakan senjata terhadap saudara-saudaraku vrushali? Bagaimana aku bisa menggunakan senjata terhadap adikku sendiri?
Vrushali          : Tuanku, hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaanmu. Yang merupakan akar penyebab dari situasi ini. Tuanku, temuilah Ratu Kunti dan bertanya kepadanya. Jika kebenaran berarti segalanya.
Aku terjaga semalaman, berjalan melintasi Sungai Gangga tempat dimana Ibu membuangku. Sungai yang membawaku ke pelukan Ibu Radha. Aku bahkan mengingat dengan jelas bagaimana aku merasa gila untuk mempersembahkan bunga teratai, saat kedatangannya di Hastinapura setelah kompetisi memanah di gelangga istana. Aku tahu sekarang, kenapa setiap kali melihat kelopak bunga teratai, aku selalu mengingat kakinya. Itu karena aku dibuang bersama kelopak teratai yang seolah telah dipetik dari nurani keibuannya.
…..
Karna   : Setiap peminta, setiap pemohon, setiap pengemis atau yang terhilang apakah ada orang disana yang bisa menerima sedekah dariku dan bisa pula membantuku.
Kunti      : Karna Putraku, aku adalah seorang pengemis. Inilah aku ibumu. Aku datang kesini untuk meminta, maukah kau mengabulkannya. Putraku karna, ibumu ada disini, berharap mendapatkan pengakuan darimu apa kau bisa mengabulkan permohonanku.
Karna     : Ibu ratu
Kunti      : Tidak putraku. Panggil saja aku ibu. Ibumu. Butuh keberanian besar untuk mendatangimu, butuh keberanian yang sangat besar.
Karna     : Apa butuh waktu yang begitu lama bagi seorang ibu ksatria mengumpulkan keberanian?.
Kunti      : Pada saat kau dilahirkan, aku tidak punya keberanian. Aku harus menghadapi pertanyaan masyarakat, aku bisa menerima kharakterku dipertanyakan. Aku bisa menerima itu. Tapi bagaimana dengan kehormatan ayahku. Bagaimana mungkin aku bisa menodai itu, Nak .
Karna     : Sudah jelas martabat ayahmu lebih berharga dari kehidupan putramu.
Kunti      : Tidak nak. Aku melakukan kesalahan yang sangat besar. Aku kurang bisa memahami akibat dari kesalahan yang telah aku buat.
Karna     : Dan aku adalah hasil dari kesalahanmu. Seluruh hidupku ini adalah hasil dari kesalahanmu.
Kunti      : Aku kesini untuk memperbaiki kesalahan itu, Nak. Aku kesini untuk menjadi ibumu.
Karna     : Sekarang baru datang untuk menjadi ibuku? sekarang kau baru datang? Apa yang harus aku lakukan pada ibuku, yang sudah terjaga selama beberapa hari. Yang menangis setiap kali aku tidur dengan lapar, setiap kali seseorang mengejekku, setiap kali ia melihat busur di tanganku. Dia yang memegang tanganku dan mengajariku tentang toleransi. Apa yang harus kulakukan pada ibu itu, yang sedang menangis saat ini karena semua orang tidak mengganggapku anaknya lagi. Tapi anak orang lain. Apa yang harus aku lakukan pada ibu itu, yang selama ini memelukku ketika kau sendiri malah meninggalkanku. Apa yang harus kulakukan pada ibu itu?
Kunti      : Meninggalkanmu adalah kesalahanku, maafkan aku, Nak. Maafkan aku. Tapi aku disini sekarang. Untuk bertemu denganmu. Kita bisa mengubah keadaan, Nak. Kita bisa mengubah semuanya.
Karna     : Bagaimana seseorang bisa mengubah masa lalunya, Ibu Ratu. Kau sudah meninggalkanku, bisakah kau mengubah itu? Aku selalu ada di depanmu selama ini. Tapi kau tidak pernah bisa menerimaku. Bisakah kau merubah keadaan itu? Adikku adalah musuhku saat ini, bisakah kau merubah keadaan ini? Buah yang sudah terjatuh dari pohonnya tidak akan pernah bisa dikembalikan ke pohonnya lagi. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, baik kau maupun aku. Putramu sudah tenggelam di dalam gelombang kemalangan, dimana kau sudah meninggalkannya waktu itu, Ibu Ratu.
Kunti      : Kumohon, bantu aku mencari anakku itu, Karna.
Karna     : Kemana kau akan mencarinya? Bahkan setelah kobaran api mereda, kau masih bisa merasakan panas pada abunya dalam artian yang sama. Bahkan putramu yang sudah terbakar dalam api, masih merasakan sakit dan terhina. Jangan mencoba untuk mencarinya sekarang, ibu Ratu.
Kunti      : Kita bisa mengakhiri kerumitan dan kepahitan ini nak. Sekarang, kau tidak akan merasakan sakit, penghinaan dan juga air mata. Kau juga akan disebut Pandava, Nak. Kau adalah anak tertuaku. Jangan berpihak pada Duryudhana lagi, datanglah ke sisi adik–adikmu dan bimbinglah mereka.
Karna     : Kau mau aku meninggalkan teman–temanku? Tangan yang telah mendapatkan kaki selama masa sulit. Kau mau aku meninggalkan tangan itu? Jika ini caraku membayar semua bantuan yang dianugrahkan padaku, apa itu akan membuatmu bangga padaku?
Kunti      : Duryodana selalu berbuat jahat, mengapa kau berpihak padanya nak?
Karna     : Karena dia pernah melakukan perbuatan benar sebelumnya. Di dalam arena dia mengesampingkan kasta, keyakinan kelas sosial, posisi dan semuanya lalu menawarkan persahabatannya padaku. Bhisma Yang Agung pun tidak pernah melakukan itu. Guru yang berpengalaman luas seperti Drona juga tidak melakukan hal itu. Bahkan orang yang telah melahirkanku ke dunia ini pun tidak pernah memberikan dukungannya. Selama masa kegelapan itu hanya satu yang menawarkan dukungannya dan karena satu perbuatan benar itu aku bisa mengorbankan seratus nyawa demi orang itu. Senjataku akan selamanya berhutang budi pada Pangeran Duryudhana, Ibu Ratu.
Kunti      : Apa kau akan memegang senjata melawan saudaramu sendiri, Nak?
Karna     : Dan itu hasil yang paling mengerikan dari kesalahan yang kau lakukan. Bahkan setelah aku menyerah pada Duryudhana, kenapa kau tidak juga mau menerimaku? Jika kau mau melakukan itu, maka hari ini, aku akan dikenal sebagai putramu. Aku akan berdiri dan mendukungmu. Tapi sekarang, sekarang waktu sudah berubah. Aku sudah terikat saat ini. Aku menyaksikan kekejaman di setiap langkahku, jiwaku mati di setiap langkah, tapi aku sudah terikat oleh sebuah janji. Terkubur di bawah bantuan yang diberikan olehnya, aku tidak bisa mengorbankan Sang Pangeran, aku tidak bisa melanggar janji itu. Kalau tidak, aku akan kehilangan harga diriku. Setiap kali anak panahku melukai saudara-saudaraku, maka hatiku pun akan berdarah juga. Aku harus hidup lewat penderitaan ini sekarang. Tapi aku tidak bisa melanggar sumpahku dan menentang kewajibanku.
Kunti      : Kalau begitu jangan ikut berperang, Nak. Itu tidak akan melanggar keyakinan.
Karna     : Vrusali punya sebuah pertanyaan untukmu, Ibu Ratu. Apakah masuk akal bila kebanggan seseorang menjadi keyakinan mereka, apa itu layak ?
Kunti      : Keyakinan yang berubah menjadi kebanggaan adalah hal yang sah.
Karna   : Aku sadar benar akan keyakinanku, aku tidak bisa meninggalkannya. Baik keyakinanku atau pun Pangeran Duryudhana. Sampai nanti Ibu Ratu.
            Kau memilih untuk tetap diam selama hidupmu, tapi rasa sakitnya ditanggung oleh diriku sendiri. Aku sudah terbiasa hidup dalam penderitaan, tapi dengan memecah keheninganmu itu, tolong jangan sakiti semua orang. Jangan katakan kebenaran ini pada kelima adikku itu.
Aku juga tahu mereka memegang teguh keyakinan mereka, mereka nanti pasti akan menyerah. Dan aku, aku harus membunuh mereka dan mempersembahkannya pada Pangeran Duryudhana. Biarkan perang ini terjadi, Ibu Ratu. Jangan beritahu mereka tentang penderitaanku ini. Suka cita mereka terletak pada ketidaktahuannya. Aku selalu hidup sebagai putra Ibu Rada, dan itu akan menjadi identitasku sampai mati.
Kunti      : Bagaimana aku bisa menanggungnya. Anak-anakku sendiri nantinya akan saling membunuh. Bagaimana aku bisa melihatnya, bagaimana bisa akibat dari satu kesalahanku, terjadi hal yang begitu mengerikan. Apakah ini kau sebut adil, Nak. Tolong jawab aku, bagaimana bisa begitu?
Karna   : Bukankah kau kesini meminta pengakuan dariku, Ibu Ratu. Biarlah aku memberikannya padamu. Kau hanya perlu berkabung untuk kematian satu putramu saja. Aku tidak akan membunuh empat putramu yang lain. Hanya aku atau Arjuna yang akan bertarung sampai kematian menjemput kami. Jika aku mati di tangan Arjuna nantinya, kelima putramu pasti akan tetap hidup. Tapi jika Arjuna mati di tanganku, kelima putramu juga akan tetap hidup. Karena pada saat itu, aku akan memanggilmu sebagai ibu. Ini adalah janjiku, Ibu Ratu. Dan ini adalah pengakuanku untukmu.