Rabu, 24 Juli 2013

Bahagia itu ternyata milikku . . .

Pagi itu . . .
My Beloved Nazriel,
Maaf . . . maaf untuk semua kekacauan yang telah terjadi.Jauh di lubuk hatiku aku hanya ingin melakukan yang menurutku terbaik, denganstandart yang kupunya. Tapi aku lupa bahwa kau pun punya standart yang juga kaupunya dan aku hampir-hampir tak mau tahu itu. saat aku mencoba untukmemperbaiki semuanya, aku telah kalah. Kalah untuk peperangan yang tak pernah kupahami.
Yang kita alami adalah kisah yang aneh. Dimanakah dimulaidan dimanakah akan berakhir?
Apa yang ditakdirkan untuk kita? Baik aku ataupun kaujuga tidak tahu.
Tapi aku ucapkan Selamat. Kau telah memiliki seseorangyang kau cintai dan kuharap juga mencintaimu, dengan lebih baik daripadaku.Meskipun untuk itu, aku harus merelakan kau menjauh dariku.
Semoga ada masa dimana kita akan dipertemukan dalamkeadaan yang jauh lebih baik lagi, tanpa luka di hati
Fahmi
 “Hey . .!!”
“Kenapadisembunyikan? Kau pikir aku tidak tahu kalau surat itu hampir tak terbaca lagitintanya karena tak terhitung lagi berapa kali air mata membasahinya, kendatikau selalu membuka dan seolah membacanya. Padahal kau pasti telah menghafalnyadiluar kepala,”
Aku mencoba untuktak memperdulikannya dan beralih memainkan beberapa file di laptop yangsejatinya tak bermasalah. Mas Candra memutar kursiku menghadapnya menatapkulekat, pandangannya terlihat lebih tajam dari yang pernah kutahu.
“Mas kenapa sih?”tanyaku dengan sedikit salah tingkah dan merapikan posisi dudukku.
“Cobalah untuklebih lunak pada hatimu. Kau pikir siapa yang sedang kau bohongi?”
Aku menutup telingaberharap omelannya ini tak membuat kepalaku semakin berdenyut. Seperti biasa,saat merasa cemas tubuhku akan gemetar dengan keringat dingin yang berkejaran.Tapi aku senang, karena selalu dengan cara ini, Mas Candra akan menghentikanceramahnya.
“Cukup Mas, kauakan membuat seisi otakku mencuat jika terus menceramahiku,”
“Aku baru akanberhenti menjadi sangat menjengkelkan bagimu jika kau pun berhenti menjadisangat menyebalkan. Mengakui cinta tidak akan membuatmu turun derajat putri ..”
“Kan udah ada MasCandra, yang jadi pacarku . . .” ucapku sedikit meledek sembari meninggalkanruangan. Aku tahu dia tengah mengeram jengkel. Huh! Lagi-lagi kepalaku pening.
Mas, maaf membuatmu terlibat dalam pilihan bodohku ini.Tapi, hanya ini pilihan logis yang bisa kujalani. Kelak kau akan tahu, cintaini tak seindah yang kita bayangkan kendati tidak seburuk yang aku takutkan!
***
Bak peri kahyangan,awan lembut itu terasa membalutku. Gumaman sang bayu laksana melodi darinirwana yang memberi keteduhan. Urat di tubuhku tercekat tatkala pasirbercampur air laut itu menyentuh kaki telanjangku.
“Yuhuu . . .pasirnya lembut banget, ih ada kerang,” aku heboh sendiri berlari di tengahpasir.
“Oyy . . sini mainpasir!” ajakku pada yang lain, sayang semua menggeleng enggan. Kecewa.
Aku lihat mata itu, mata yangdalam diam selalu mengawasiku. Ingin rasanya tersesat dan hilang dalampandangan itu, tanpa pernah ada jalan pulang. Karena pulang berarti pergi jauhtanpa ada jalan kembali.
“Kenapa?” tanya MasCandra menepuk punggungku. Aku menggeleng dan tersenyum sekenanya.
“Mau main pasir??Ayo aku temenin. Ehm . . bikin apa ya? Nah aku tahu, aku bikinin istana pasirya!” Mas Candra berbicara sendiri seolah aku mengiyakan semua yangditanyakannya.
 “Ya sudah . . kapan-kapan kita buat lagi. Masihada banyak waktu untuk bermain. Sekarang kita gabung dengan yang lain yuk!”ajaknya sembari membawaku pada rombongan yang tengah sibuk membakar ikan ketika istana pasir yang susah payah kubangundihempas ombak. Rata dan tanpa bekas.
“Hey . . udah mainnya??Kalian ini heboh sendiri, mainan pasir lagi kayak adek aku yang masih umur 7 tahun demen tuh main pasir, hehe” ledek salah seorang teman.
Lagi-lagi aku hanyatersenyum manyun. Buat apa mengelak tidak ada buruknya menjadi anak kecilketimbang menjadi dewasa dengan segala kebohongan yang kami buat sendiri.Mungkin dengan cara ini, aku bisa lupa bahwa aku tak pernah sepenuhnya jadidewasa.
“Ssshhtt . . . kokdiem aja, jelek ah manyun gitu!” bisik Mas Candra di telingaku. Kugamit lengannya dan bersandar di bahunya. Semua hanyut dalam keriangan yang coba kucicipi meski hambar.
***
Pagi ini harusnya menjadi pagi yang indah. Matahari berwarna emas dengan taburan kapas awan putih membuat teriknya terasa hangat. Di tepi pantai, pasir basah pun terasa hangat. Aku menjadi manusia pertama di pantai ini yang datang menyambut mentari pagi.
Tiiit . . tiit . .
Sebuah sms mengetuk ponselku.
Candra
Putri tidur . . tumben pagi-pagi udah gak ada di rumah, ngumpet dimana ya???
Aku tersenyum gelimeski kurasakan sendiri teramat kupaksakan.
Sampai hari ini, cuma kau yang tahu dimana aku selalu menghilang dari keramaian
Balasku kemudian. Kurebahkan tubuhku di atas pasir hangat itu. hangatnya terasa hingga tulangmeski tak sampai ke hatiku. Tetap beku. Terpejam, metatap jauh pada kekosonganyang sangat kusadari.
Tak berapa lama, sipengganggu itu pun datang. Aku tak beranjak ataupun bereaksi kendati menyadarikehadirannya. Hingga aku sadar dia mencoba mengambil amplop yang tadinyakugenggam.
“Jangan!” cegahku.
“Dari siapa?”kujawab dengan tarikan nafas panjang untuk membuang lelah yang tak kupahami dibagian mana.
Mas Candra merebutsurat itu dan membawanya menjauhiku. Aku mencoba mengejarnya tapi pening dikepalaku mencegahnya.
“Kau lihat! Inibuah dari kebohongan yang kau buat!” ucapnya dengan suara yang berat nyaris seperti hendak membentakku.
“Aku tidak merasa pernah membohongi siapapun. Aku hanya tidak mengatakan apa yang dia mauketahui,” balasku membela diri sembari memijat-mijat kepalakuu yang masih diderapening.
“Kau pikir ituberbeda . . .”
“Sama atau tidak,semuanya memang tidak pernah diawali. Jadi biarlah dia pergi dan menjalani hidupnya sendiri,”
Mas Candra menengok jam tangan jill co yang kuhadiahkan di hari ulang tahunnya sebulan yang lalu.Lantas menarik lenganku. Kucoba mengelak karena kutahu maksudnya. Tapi dengankondisiku sekarang, tubuhku terasa ringkih untuk sekedar melepas genggamannya.
“Mas . . kumohonberhenti mencoba menjadi pahlawan untukku . . aku gak butuh ini,” paksaku didalam mobil.
“Aku memang bukanpahlawan dan tidak akan pernah mencoba menjadi pahlawan. Tapi aku sudah bersumpah menjadi kakakmu di depan orang tuamu, seorang kakak tidak akan pernah rela melihat adiknya terjerumus dalam kebodohan yang dibuatnya sendiri.”
Aku hanya bisa menangis tersedu. Aku sadar dia hanya menginginkan aku mendapat apa yang bisamenjadi alasan kebahagiaanku. Dia, anak lelaki dari pekerja di kebun almarhumpapa, yang kemudian diberi tempat sebagai anak laki-laki di rumahku. Dan sejaksaat itu dia menjadi malaikat pelindung bagiku.
***
Puluhan nyawamemadati bandara terbesar di pulau jawa itu. kepalaku semakin tak tertahan namun terpaksa saja kuikuti Mas Candra yang menarik tanganku. Seperti ibu yang mendapati putrinya yang bandel. Hingga kakiku bagai tak lagi berurat, pun tak bertulang sekedar menopang tubuhku yang ringkih. Aku tersungkur dan menimpa Mas Candra, membuat kami berdua terjerembab ke lantai.
“Mas, cukup! Aku lelah,” selepas itu aku tak lagi melihat apapun.
***
“Candra, maafkan Om! Harusnya kau tahu lebih awal. Kau benar, rasa sakit yang dialaminya setiap kali merasa cemas memang bukan pusing biasa. Semua itu karena, Kanker! Sebagai dokter, Om hanya bisa menyarankan agar dia menjalani pengobatan sekecil apapun kemungkinannya untuk sembuh. Tapi Om kenal betul Nazriela, dia tidak akan mau menghabiskan sisa waktunya di ranjang rumah sakit. Buat dia bahagia di sisa hidupnya,”
Huuh . . . ucapan Om Hendro bagaikan badai yang tak henti-hentinya mendentum di telingaku tapi sakitnya menggema tepat di ulu hatiku. Dengan langkah gontai kumasuki kamar rumah sakit tempat Nazriel dirawat. Aku baru sadar tubuhnya sangat ringkih dibanding yang kusadari selama ini. Ceruk matanya terlihat jelas saat terpejam. Nafasnya, aku nyaris tak mendengarnya, kendati aku tahu peri kecilku ini masih bernyawa.
Kugenggam tangannya erat mendekap jantungku, berharap sakit di tempat itu berkurang meski justru semakin sakit. Ia terbangun. Apa aku mengganggunya?
“Riel . . .apa-apaan ini? Apa kau ingin membuat semua orang yang menyayangimu merasakan penyesalan seumur hidupnya? Membuat orang yang mencintaimu kehilangan haknya untuk . . .” suaraku terpotong oleh bekapan tangannya di mulutku.
“Aku bahkan belum sadar aku dimana, kau sudah mencercaku dengan berbagai tuduhan. Benar-benar tidak berperasaan,” ucapnya tanpa berdosa. Seolah kebohongan yang dilakukannya ini adalah hal yang paling berperasaan. Tapi aku sadar, bukan saatnya mendebat Nazriel. Jika tidak boleh dianggap terlambat, mungkin aku hanya sedang berbaik hati membiarkannya menang.
***
Menyadari akhir dari sebuah perjalanan ternyata tak terlalu buruk. Pagi itu masih keemasan,siang yang memutih, sore dengan merah saganya, malam dengan hitamnya yang menawan, bahkan senja yang keabuan nan damai. Aku suka semua kecantikan ini Tuhan!.Secantik dia. Dia yang kini hanya bisa kusimpan di beranda hatiku. Save her Soul, God!
“Save His Soul, too God!” doaku dalam hati. Status Fahmi di akun pribadinya. Aku tidak menangis,sungguh. Kenapa pula aku harus menangis jika kutahu dia dalam keadaan yang baik. Sakit di hatinya akan sembuh. Kuyakin. Meski tidak tahu kapan.
***
Entah sudah berapa pagi kulewati dengan melihatnya meringkuk di kursidan bersandar di ranjang tempatku terbaring. Seolah memiliki alarm otomatis, ia akan bangun tak lama setelah aku membuka mata atau barangkali ia tak pernah benar-benar tertidur. Lalu dengan tanpa kuminta dan mengomel sepanjang pagi memintaku meminum berbagai macam pil yang akan membuatku muntah untuk beberapa waktu.
“Mas, bisa tidak jangan menjejaliku obat-obatan ini terus? Saat muntah rasanya seluruh isi perutku mau keluar. Bisa-bisa aku justru akan mati lebih awal karena kecapekan muntah,” rajukku. Kupasang senyum sebisaku berharap ia menuruti kemauanku.
Dia terdiam cukup lama, lalu pergi tanpa menoleh.
“Terserah kau saja!” ucapnya sebelum akhirnya menarik gagang pintu kamarku dan menghilang dibaliknya.
Apa aku melakukan kesalahan? Apa dia marah?
“Mas . . .” aku menghampiri Mas Candra yang berdiri mematung di jendela ruang tamu menghadap taman kecil didepan rumah.
Aku mungkin bukan yang paling tahu siapa dia, tapi aku tahu kali ini hatinya tengah terluka. Luka yang sangat dalam. Karena apa? Jangan Tanya aku, karena aku pun mempertanyakan itu.
Dia berpaling ke arahku dengan ekspresi wajah datar. Aku tak banyak bicara, kutarik tangan kanannya dan mengulurkan pil yang tadinya kugenggam kemudian menunjuk ke mulutku yang menganga.
Dia tertawa kecil, sepertinya sangat dipaksakan. Kusimpulkan itu karena aku lihat matanya berkaca. Sekilas nampak ia mengusap matanya saat membelakangiku untuk mengambil segelas air.Kubiarkan saja. Biarlah itu menjadi rahasianya.
***
Jika bisa merencanakan hidup, mungkin aku akan memilih untuk tak pernah mengenal kalian. Dengan begitu aku tak perlu merasa memiliki segenap bahagia yang justru membuatku tercekat menyadari itu tak selamanya milikku. Jika aku harus pergi untuk sebuah takdir yang lain.
Aku benci menjadi sangat bahagia, melihatnya mencurahkan seluruh kasihnya yang kini justru kubaca sebagai sebuah salam perpisahan. Aku benci melihatnya berusaha tersenyum diatas luka yang ia buat sendiri. Aku benci karena aku hanya bisa diam melihatnya membohongiku dan bisa jadi mendustai dirinya sendiri.
“Ariel berjanjilah padaku, ini terakhir kalinya kau melakukan hal yang payah. Sekali saja, ijinkan hatimu untuk bahagia,” di sebuah taman tanpa sebuah maksud yang bisa kucerna. Tapi makhluk kecil di kepalaku tak membuat kecerdasanku menurun drastis.
Segera aku mengerti, ketika sesosok pria yang tidak bisa dibilang tambun meski juga tak terlalu jangkung. Mungkin kekar kata yang tepat meski tak atletis. Kacamata minusnya semakin tebal jika aku tak salah tebak muncul dari dalam Toyota Yaris bercat hitam yang belum semenit yang lalu terparkir di jalan depan taman tempatku duduk.
Fahmi. Apa masih perlu aku bertanya kenapa dia disini? Semua pasti ulah malaikat bodoh di sampingku ini. malaikat yang tak melepas genggaman tangannya sejak setengah jam yang lalu. Seolah aku ini layang-layang yang hampir putus.
“Apa aku harus bilang lagi bahwa jangan pernah berusaha jadi malaikat untukku, aku tidak butuh ini,” ucapku setengah berbisik berharap pria didepan kami tak mendengarnya.
“Ariel, cukup! Cukup kau mengambil hak kami. Berikan Fahmi haknya, haknya untuk mencintaimu,. Seperti telah kau berikan hakku sebagai kakak yang ingin sekali saja menjadi berguna untuk adik kecilnya” kali ini ia melepaskan genggamannya lalu memberikan tempatnya pada pria berkacamata minus yang mematung di depanku.
Tuhan, aku harus bagaimana? Aku ingin dia ada disampingku tapi tidak dengan cara ini. kenapa menambah satu lagi orang untuk menangisiku?
***
Aku kembali ketempat ini. Tepi pantai dengan pasirnya yang selembut sutra. Ombaknya yang berbusa seperti soda. Batuan karang yang tak pernah menjadi terlalu dingin ataupun panas. Seperti aku. Aku yang mungkin takkan pernah lagi seperti dulu kendati aku tak sepenuhnya berubah menjadi orang lain. Aku masih tetaplah Fahmi, pria lugu yang hampir-hampir kehilangan cinta karena kebodohannya.
Kini ketika aku mungkin telah kehilangan raganya, bisa saja aku berdalih hidupku telah berakhir tapi toh aku masih disini. Menjalani kehidupan dengan segenap cinta yang ia tinggalkan. Tak seperti raganya, ia tak pernah benar-benar menghilang. Aku tahudia masih disini.
“Ayah . . .” lengkingan kecil dari tepi pantai menjagakanku dari lamunan. Ya, dia tak pernah benar-benar meninggalkan kami. Dia masih disini dalam jiwa kecil buah hati kami.
“Ayah, tahu tidak tadi paman ceritain tentang bunda,” cerocosnya tanpa menghentikan kesibukannya bermain pasir. Kemudian tanpa menungguku menjawab ucapannya ditariknya aku membelakangi laut dan memaksaku bersimpuh. tadinya aku pikir dia tidak ingin aku mengernyit karena silau oleh sinar matahari. Ternyata tidak, dia menjadikanku tameng untuk melindungi istana pasirnya dari terjangan ombak.
“horee . . . istanaku selamat, punya paman hancur . .” teriaknya kegirangan. Tertawa lepas.
“Iya . . tapi kamu bikin Ayah basah semua,” ucapku memasang muka marah yang kubuat-buat.
“Kan aku cuma gak mau istanaku hancur kayak punya bunda,” keluguannya sungguh menyentakku. Aku dan Candra saling berpandangan, tersenyum kecut seolah menertawakan kebodohan kami sendiri.
“Ya sudah. Ini sudah sore, sebentar lagi gelap, waktunya kita pulang,”ajak Candra mengalihkan suasana. Membersihkan putriku yang belepotan pasir.
“Ayah, sekarang aku tahu, kenapa ayah sering salah panggil aku Ariel,juga kenapa ayah kasih aku nama Nazria Putri,” lagi-lagi bibir mungilnya tak berhenti berceramah, sembari bergelayut di punggungku.
“Kenapa?”
“Karena Bunda, Nazriel Arya Safitri, Nazrya Putri. Namaku singkatan dari nama Bunda kan? Ayah kangen sama Bunda. Ya kan?”
Bukankah semuanya sudah seperti yang kalian mau? Sekarang giliranku, jadilah seperti yang aku mau. Menangislah jika kalian ingin menangis tapi setelah itu tersenyumlah untukku. Ingatlah, bahwa aku bahagia cinta kalian akan terus menyanderaku disini.
Dan hatiku tercekat oleh perih dan juga bahagia yang akan selalu menjadi alasanku untuk menangis, tersenyum bergantian. Tapi takkan pernah menyerah.
“Ayah . . . , ayo jawab tebakan Rya benar kan?” rajuknya
“Iya, anak Ayah ini memang cerdas. Ayah memang kangen sama Bunda, Rya juga kan? Paman juga pasti kangen, kita semua kangen Bunda. Tapi Rya harus ingat, Bunda tak pernah meninggalkan kita. Bunda ada disini, di hati kita.” Aku harap dia mengerti.

Selasa, 23 Juli 2013

BERDAMAI DENGAN TUHAN

‘Nduk.... kapan kamu akan mulai belajar sholat lagi?’
suara parau nenek sheeva kala melihat cucu semata wayangnya itu sibuk dengan pekerjaannya. Dan melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Dan seperti biasa sheeva hanya membalasnya dengan senyuman.
            ‘nanti nek. ...Kalo waktunya sudah tiba ya!
Rayunya pada sang nenek sekedar memberinya harapan bahwa mungkin kelak ia akan kembali pada hidayah. Mungkin....hanya mungkin. Jika sudah begitu, sang nenek hanya bisa pasrah sembari terus berdoa agar sudi kiranya Tuhan membagi hidayah pada cucunya tersebut. Tak jarang sheeva mendapati neneknya menangis dalam doanya. Doa untuknya.
            Sebenarnya Sheeva bukan tak bisa sholat. Ia terlahir dalam lingkungan keluarga yang agamis. Ayahnya adalah seorang dosen filsafat di sebuah universitas islam negeri, yang juga masih memiliki hubungan darah dengan kasultanan Demak. Ibunya meski bukan dari kalangan priyayi namun memiliki dasar pengetahuan agama yang cukup matang, yang didapatnya dari kuliah di Al Azhar Cairo, Mesir. Ibunya adalah lulusan terbaik di kampusnya yang mendapatkan beasiswa S2 ke luar Negeri. Sheeva pun adalah lulusan perancis di jurusan perbandingan agama. Sebuah dasar agama yang cukup kuat sebenarnya.
           
Awalnya sheeva tumbuh sebagai gadis yang taat beragama dan tekun. Namun semua berubah semenjak kepergian kedua orang tuanya yang secara tiba-tiba, tepat dihari dimana dia di wisuda. Kedua orang tuanya meninggal dalam penerbangan pesawat menuju perancis ketika hendak menghadiri acara wisudanya.
            Tragedi naas tersebut sontak mengubah jalan hidup Sheeva secara drastis. Kini ia tak lebih sekedar seorang gadis tanpa akidah. Dia memilih menyibukkan diri meniti karir sebagai sekretaris direksi sebuah perusahaan otomotif. Semua itu dijalaninya sebagai bentuk pemberontakannya pada takdir. Ia tengah berseteru dengan Tuhan. Tuhan yang telah merenggut kedua orang tua dari sisinya.
            “Jika benar kata nenek, Tuhan itu ada. Maka lihatlah Tuhan, aku campakkan semua symbol nama-Mu. Akan kusempurnakan pemberontakan ini padaMu”.
            Sheeva benar-benar kalap oleh ambisinya sendiri. Hanya neneknya lah yang masih dengan setia mendampingi Sheeva dan terus berusaha memotivasinya untuk berubah. Walaupun sang nenek sadar hal itu bukanlah sesuatu yang mudah.
            Suatu ketika kejadian aneh dialami Sheeva. Berkali-kali dia bermimpi dalam tidurnya melihat seorang perempuan tua, mati setelah terjatuh ke dalam sebuah sumur. Awalnya diabaikannya mimpi itu. Namun ia mulai dihinggapi perasaan was-was ketika mimpinya semakin jelas menunjukkan bahwa perempuan tua dalam mimpinya tersebut adalah neneknya sendiri. 
            Sheeva yang kehilangan akal sehat mulai melakukan hal-hal yang tidak masuk akal . Akibat ketakutannya kehilangan orang yang paling disayangi untuk yang kedua kalinya. Ia melarang neneknya untuk mendekati sumur, bahkan ia pun menutup sumur yang ada dirumahnya. Ia berusaha mencegah mimpinya menjadi kenyataan.
            “aku kan udah bilang nek, jangan dekati sumur itu lagi. Nenek tahu kan, aku gak mau kehilangang nenek. Apa nenek mau aku semakin marah pada Tuhan nenek itu, karena telah mencoba untuk mengambil nenek dariku?
            Nduk, semua orang pada akhirnya akan mati. Tidak ada yang harus kau sesali”.
            Cukup nek cukup! Dulu aku juga pernah mencoba untuk percaya hal itu. Tapi kenyataannya, aku gak kuat sewaktu ayah, ibu, juga adik direnggut secara tiba-tiba dariku. Dan aku tidak mau itu terjadi lagi nek, aku gak sanggup... tangisnya tumpah dalam pangkuan sang nenek.
            Sang nenek tak lagi mendebat, karena ia sadar sheeva bukannya tak tahu tentang taqdir. Ia hanya tengah mencari, surganya. Biarlah Allah yang membuka pintu hatinya.
            Namun manusia hanya bisa berkehendak tapi kuasa tetap Allah yang menentukan. Nenek Sheeva meninggal ketika tengah mengambil air wudlu di kamar mandi. Ia jatuh terpeleset dan kepalanya membentur dinding bak mandi. Karena darah yang keluar tak kunjung berhenti akhirnya merenggut nyawa neneknya. Kembali Sheeva dihadapkan pada goncangan batin yang menguji keimanannya.
            Hidayah datang pada siapa yang dikehendaki-NYA. Kematian neneknya membawa Sheeva pada babak baru tentang arti sebuah perjalanan hidup dan keharusan memasrahkan diri pada taqdir yang telah digariskan. Pilihannya hanyalah apakah kita akan menjalani semua dengan baik sebelum ajal menjemput. Atau memilih menantang taqdir dan mempertanyakannya.
            ‘Sheeva manusia memang diberi kemampuan untuk berkehendak sejauh yang bisa ia tempuh. Namun ia tetap berada dalam suatu dimensi dimana Tuhanlah yang berkuasa penuh. Segala apa yang terjadi dalam hidup kita bukannya tanpa arti. Semua itu adalah roda kehidupan yang telah dirancang oleh Tuhan agar dapat menjadi pelajaran bagi manusia. Lalu, masih pantaskah kita mempertanyakannya??‘, 
***
                        Sampai detik ini, aku tidak pernah tahu masih pantaskah aku menyebut diriku muslimah. Aku hanya berharap bahwa Islam seperti yang dikatakan nenek. Penuh ampunan, yang menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi yang beriman pada-NYA. Kini akan kukabarkan pada semesta bahwa Islam tlah mengkhitbahku dengan sebait kata syahadat sebagai bukti kepasrahanku pada-MU. Dalam hati yang penuh harap akan Ridlo-Mu kupasrahkan jiwa dan raga ini menjadi budak di langit-langit surga-MU.

KARENA AKU SAYANG IBU

Aku sayang ibu bukan karena Nabi menyebutnya hingga tiga kali. Juga bukan karena Tuhan menjanjikan surga di telapak kakinya. Aku sayang ibu karena ia adalah ibuku. Keringatnya yang mengalir  kini menjadi darah yang memompa denyut jantungku. Tangisnya yang telah membuatku hidup hingga saat ini.
Karena aku sayang ibu, aku tak pernah takut mengghadapi apapun. Sekalipun itu adalah rasa sakit. Karena bagiku tak ada yang bisa menyakitiku melebihi ibu. Orang yang paling kusayang. Sungguh, karena aku sayang ibu.
Aku sayang ibu, jauh sebelum aku sendiri tahu apa itu kasih sayang. Aku mencintainya melebihi yang bisa dipikirkan oleh orang lain. Sejenak saja ibu berlalu dari pandanganku, aku pasti akan merengek menangis. Seketika aku akan tersenyum puas ketika ibu menggendong dan mengayunku. Aku akan betah meski seharian berada dalam dekapannya. Sebuah tempat  yang terasa begitu sejuk dan damai.
Namun aku bukanlah gadis kecil yang terus merengek dalam dekapannya, kini aku adalah gadis remaja yang kata orang siap melangkah mengejar mentari. Aku kini adalah mahasiswi fakultas ilmu komunikasi. Sebuah dunia penuh tantangan yang menyentil jiwa adventurirku. Hal itu tentu saja sedikit tabu bagi gadis sepertiku, yang terlahir dari kalangan keluarga pesantren salaf.
 Meski dengan sedikit keraguan abi dan umi, begitulah aku memanggil ayah dan ibuku. Mereka mengijinkan aku untuk kuliah. Karena mereka sangat yakin telah mendidikku dengan sempurna. Sepenuh hati aku berusaha menjaga kepercayaan yang mereka berikan. Karena aku tak ingin mengecewakan orang tuaku. Tentu saja ibu, orang yang paling kusayang.
Kehidupan yang selama ini aku tahu adalah kehidupan yang tenang tanpa gejolak. Kalupun ada itu hanyalah masalah normatif yang bahkan sudah sangat kuhafal penyelesaiannya. Abi lah pusatnya, pendiri sekaligus pengasuh pesantren Nurul Athfal, rumahku. Namun  Lain halnya dengan kehidupan kampus, aku merasakan begitu banyak gejolak yang gantung mengantung berbuah menjadi konflik atau sekedar berlalu seperti angin. Dan satu hal lagi yang membuatku tertegun, tidak ada pusat yang pasti disini karena pusatnya adalah aku, diriku sendiri.
Seperti ketika sebuah pesan aneh menyapaku. Dan untuk kesekian kalinya membuatku tertegun. Sebuah pesan yang teman-temanku bilang bernama ‘cinta’. Cinta yang kutahu selama ini hanyalah cintaku pada ibu, sedikit besar untuk keluargaku yang lain. Seperti untuk Abi dan kak Fandi, saudara laki-lakiku. Cinta itu hadir dari seorang yang menyebut dirinya ‘ mozaik kecil’.

Tak kusangka begini jadinya.....
Aku mulai terpesona akan kilaumu
Mulai mengagumimu......mengkhawatirkanmu
Begitu..... dan terus saja begitu
Andai aku punya lebih banyak waktu untuk mengenalmu...... sejarah kan mencatatku sebagai penjaga hatimu
Namun sejenak pun tak apa,
Karena untuk itulah kau menjadi istimewa.....berharga
Dear GOD,
Save her soul, wherever she’s stay
‘Mozaik kecil’

Dari dialah aku belajar makna cinta yang lain. Sebuah cinta yang mungkin telah menyatukan Adam dan Hawa dalam sebuah ikatan suci. Ah..... rasanya terlalu tinggi contoh yang kupakai. Tapi sungguh seperti itulah cinta yang ditawarkannya untukku. Sungguh bukan cinta fulgar seperti kebanyakan. Bukan cinta yang membuat Rose merelakan mahkotanya pada Jack dalam drama TITANIC.  Juga bukan cintamatic ala drama teenlit yang menjamur belakangan ini. cinta ini mengajakku melihat hidup sebagai sebuah perjuangan di padang perang kehidupan.
Namun hidupku yang tanpa gejolak, menolak untuk diusik. Mereka enggan berkompromi dengan cinta yang baru saja kukenal. Pertahananku pun rapuh ketika ibu, makhluk Tuhan yang paling kusayang untuk pertama kalinya mengajukan syarat untukku.
“Nisa, selama ini umi dan abi mendidikmu dengan sebaik mungkin dengan harapan kau akan tumbuh menjadi anak yang berbakti. Namun jika kini kau memilih untuk menjadi durhaka maka umi tak lagi bertanggung jawab atasmu. Begitupun juga kau tak lagi bertanggung jawab atas umi”.
Sebuah sambaran kilat tanpa suara menerjang jantungku. Sakit dan sesak rasanya. Sehingga tanpa kusadari ibu tlah beranjak meninggalkanku tanpa menoleh. Setitik air mata jatuh disusul titik berikutnya yang tak sempat kuhitung berapa banyak. Aku menangis.
Cinta itu kalah. Ibu lebih menyilaukanku. Karena surgaku ada pada restunya.  Dengan langkah gontai kutemui abi dan umi di ruang keluarga. Kak Fandi pun ada disana. Aku bersimpuh di depan Abi dan Umi.
 “ Abi, Umi, sebelumnya Nisa minta maaf telah mengecewakan kalian. Ada begitu banyak hal diluar sana yang sejenak menarik perhatianku. Mungkin bagi Umi dan Abi ini sebuah kedurhakaan. Tapi percayalah aku masih Nisa putri kalian, jika memang dengan cara ini aku dapat menjalani tugasku sebagai putri kalian. Maka tak ada lagi alasan untuk mempertanyakannya. Aku akan menjalaninya”.
Tak jelas seperti apa ekspresi mereka mendengar ucapanku. Aku terlalu sibuk mencerna kalimat yang muncul dari mulutku sendiri. Kalimat yang bahkan tak sempat kususun. Yang aku ingat, aku hanya tak ingin kehilangan ibu. Kehilangan restunya. Yang selama ini menjadi alasanku berlari. Saat aku tersadar, aku tengah berada dalam pelukan ibu.

“Nisa, kau telah membuktikan bahwa kau adalah putri umi. Umi bangga padamu”.
Ibu menangis. Aku menghapus air mata ibu. 
 “maaf, aku tidak kuat umi. Tidak kuat jika harus kehilangan cinta umi. Aku tak akan punya tempat dimanapun”.
Tangisku tumpah di hadapan umi.
 “tempatmu disini. Dihati umi”.
Umi kemudian memelukku. Abi tersenyum dan mengelus  kepalaku. Hanya ekspresi Kak fandi yang tak kumengerti.  Ia tak tersenyum tapi juga tak menangis.
“Nisa maafkan kakak, yang tidak bisa berbuat banyak. Kakak tahu betul bagaimana kalian. Dan juga hidup kita selama ini. Tapi pilihan kita hanyalah menjalani pengabdian ini. karena hanya disinilah surga kita. Semoga kau mendapatkan surgamu”.
 Ucap kakak dikamar usai pembicaraanku  dengan umi dan abi.  Untuk pertama kalinya aku melihat kakak menitikkan air mata dan itu untukku. Tuhan... sungguh berdosa aku yang tak pernah menyadari ada kasih sayang yang tak kalah agung dari kasih ibu. Kakakku.

Teruntuk mozaik kecil yang sejenak telah melengkapi puzzle hidupku.
Betapa rumit perjalanan ini. kalaupun kukatakan aku telah mempercayaimu sepenuhnya. Tradisi ini takkan pernah mau berkrompomi. Aku telah mencobanya tapi aku tidak kuat ketika harus dihadapkan pada cintaku yang lain, ibu.
Karena itu dengan tanpa mengurangi ketulusanku selama ini, aku beralih meminta restumu untuk meninggalkanmu. Bebaskanlah keinginan untuk saling memiliki. Biarkanlah ketulusan yang kadang keras kepala ini menjadi ketulusan yang besar hati.
Salam cinta dan maafku,
Umi  Chilyatun Nisa’ 



Untuk Ning
Pengabdian ini kadang memang menyakitkan. Tapi Tuhan selalu punya rencana tak terduga dibalik luka yang diberikan-NYA. Tetaplah tersenyum meski itu perih. Karena Tuhan tersenyum untukmu.

SENYUM ITU


Hidup kadang memang terlalu sulit untuk dipahami. Teramat rumit untuk diterjemahkan. Ataukah kita yang teramat rumit untuk memahami dan menerjemahkannya??. Dan entahlah, karena pertanyaan itupun menjadi teramat berat di kepalaku. Aku hanya bisa berpikir, hidup ini akan tetap berjalan seberapapun pertanyaan yang menggudang di otakmu. Kau tahu, senyummu itulah yang kini tengah mengendap di otakku. Bodohnya aku tak bisa berpaling. Lebih bodoh lagi, karena aku tak ingin berpaling. Dan karena teramat bodohnya, aku suka kebodohan ini. Aku menikmatinya. 
Pagi itu aku melihatmu tersenyum, , , , ,
“Pagi , , ,”. Sebuah sapaan membuyarkan lamunanku. Refleks kuremas kertas yang baru saja kucoret tanpa melanjutkan lagi kalimatnya.
“ Pa . . Pagi . . .”. jawabku sedikit gugup.
“Hey . . . kenapa? Kayak lihat hantu aja” ucapnya seenaknya dan mengambil soft drink di tanganku. Kemudian pergi begitu saja.
“hey itu . . .”
“ambil lagi di dalam , , , ini buat aku”. Jawabnya dari kejauhan.
Kucoba melanjutkan kembali tulisanku, tapi , , ,
“hah . . . benar-benar merusak mood. Sinting!. Gerutuku dalam hati. Aku justru pergi mengambil soft drink pengganti ke dapur.
            Saat kembali aku mencari kertas yang tadi kuselipkan di sofa, tapi tak menemukannya. Mungkin di tong sampah pikirku. Karena saat itu kulihat petugas kebersihan villa tengah menenteng bak sampahnya. Aku mencoba mengejarnya. Si pencuri soft drink mencegahku.
“Hey, Ryas, ayo ke kebun belakang, semua peserta sudah menunggu” ucap Airlangga, si pencuri soft drink.
Kuurungkan niatku mengejar tukang kebersihan itu. Aku harus beli buku harian setelah ini. Janjiku dalam hati. Kemudian berjalan menuju teras belakang. Hari ini dan sampai tiga hari mendatang, sesuai jadwal, kami harus mengawal Pengkaderan untuk organisasi pers kampusku.
Pembukaan telah dimulai ketika aku dan Angga, (panggilan untuk Airlangga) sampai di kebun belakang. Dia selalu protes jika aku memanggilnya seperti itu. Karena memang hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Yang lain lebih suka memanggilnya Elang. Atau lebih tepatnya karena dia yang minta. Kenapa? Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku suka membuatnya jengkel.
            Aku terperanjat ketika tanpa kusadari MC memanggil namaku untuk memberikan sambutan. “ Angga?? Bukannya seharusnya Pimpinan Umum yang sambutan” bisikku pada Angga. “Ini kesekian kalinya aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Ngerti! Ini permintaan khusus PU, jadi nurut aja ya, cepet” perintahnya sok berkuasa. “Gak mau!!” ucapku ketus. Tanpa banyak bicara ditariknya tanganku dan dibawa keatas panggung. “Teman-teman , , senior kalian yang satu ini memang terkenal pemalu, tapi kalian akan sangat menyukai dia jika telah mengenalnya. Dia kru kebanggaan angkatan kami, Nareswari Aryasatya”. Tanpa perasaan disodorkannya mikrofon padaku kemudian seperti biasa nyelonong pergi.
            Aku terdiam cukup lama. Menatap kesal ke arah Angga.
“Teman-teman, , , saya tidak tahu harus berkata apa, semuanya mendadak. Tiba-tiba saya dipanggil dan diminta untuk memberikan sambutan. Satu-satunya yang akan saya katakan saat ini adalah , , , ,” aku menghentikan kalimatku. Terpejam beberapa saat, mengatur nafas dan kembali bicara.
 “. . . . jika Mampu merubah keadaan, rubahlah. Jika tak mampu, terimalah!. Di tempat ini, akan kita lihat, siapa yang mampu merubah keadaan. Dan siapa yang hanya akan menerima keadaan. Semangat!!” aku kembali ke barisan panitia. Semua peserta Nampak tercengang. Bukan karena sambutanku yang berkesan. Tapi justru karena, bisa jadi ini akan menjadi sambutan tersingkat sepanjang jaman. Haha . . . betapa menghayalnya aku.
Tahukah kau, aku merasa takut tadinya. Tapi senyummu kembali menguatkanku. Senyummu yang kini berkarang di benakku.
“Kau benar-benar tak terduga Ryas”. Ucap Angga
“Jika melihat sesuatu di luarnya saja, maka kau hanya akan mendapati sebuah kesia-siaan”. Ucapku sedikit berfilosofi.
“Bukan itu, kau memberi sambutan kurang dari lima menit. Gak beres, , ,” ucapnya menggeleng kepala heran, atau bingung. Terserahlah aku suka membuatnya susah.
“Kamu tuh yang gak beres. Mentang-mentang protokoler, ngatur jadwal seenaknya. Lain kali bikin aku shock awas!! Ancamku sambil mengacungkan tinju. Tapi yang diancam cuma nyengir bagai tak berdosa.

Tuhan, aku suka senyum itu. Jika ini adalah sebuah kebodohan. Maka biarkan ini tetap menjadi kebodohanku yang terakhir. Karena aku suka senyum itu. Dan aku tak perlu alasan untuk itu. Kumohon jangan minta alasan Tuhan. Aku tak tahu,
Siang Kemarin Kau Nampak bersemangat.
“Nah sekarang pukul 11.45, satu jam lagi saya berharap teman-teman sudah ada di forum ini lagi lengkap dengan tugas yang sudah kami berikan. Selamat mencoba. Semangat!” ucapku menutup forum dan membiarkan para peserta berdiskusi sesuka mereka. This is time to relax. Aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di ruang tamu villa.
“Capek??”
“Huh dasar pengganggu, sukanya ngagetin”. Gerutuku sembari kembali menyandarkan kembali kepalaku di bahu Sofa.
“Cewek ini gak ada simpati sama sekali, uda diperhatiin juga,”
“hem . . . gak ngaru kalo cuma perhatian dari kamu”. Lantas aku pergi ke ruang istirahat panitia.
Cinta selalu menjadi alasan yang kuat untuk melakukan hal yang konyol.
            Aku kembali ke forum tepat jam 12.45, waktu itu sebagian peserta masih sibuk mondar-mandir sebagian lagi nampak serius berdiskusi. Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka yang ribut sendiri. Sepeuluh menit kemudian forum kembali dibuka. Kali ini Angga yang menghandle pembukaannya.
“Kalo semua orang hoby ngaret kayak kamu, gimana mau maju negeri ini??” bisikku bernada jutek pada Angga tanpa melihat ke arahnya.
“udah jangan mulai deh, ini didalam forum. Kalo mau perang entar aja diluar”. Aku tak menjawab lantas kembali menghandle review tugas yang tadinya kuberikan pada segenap peserta diklat.
Hal aneh yang kerap kurasakan, kenapa kau nampak begitu indah dengan segala keterbatasanmu. Dan aku semakin tak peduli, apa dunia memandangmu
            Menjadi panitia dari sebuah acara, pengisi acara, bahkan kadang juga harus menjadi konseptor acara sekaligus adalah hal yang paling melelahkan. Tapi, entah kenapa aku merasa lega di hari terakhir. Saat upacara penutupan. Rasanya seperti telah menyelesaikan segunung pekerjaan. Capek itu pasti, tapi yang lebih pasti lagi aku tidak akan pernah bosan dengan segala kesibukan ini. benar-benar konyol.
            Di hari terakhir ini, Angga kembali memaksaku untuk memberikan sambutan penutupan atas nama penyelenggara. Disinilah bagian anehnya, karena tak seperti biasa aku terus berdebat dengan Angga. Kali ini aku maju dengan senang hati berdiri dan memegang kendali. Mungkin Angga bertanya-tanya dengan sikapku. Itu terlihat ketika dia justru bengong ketika tanpa komentar aku maju menuju podium.
            “ . . . . cinta, selalu memiliki jalannya sendiri untuk muncul dan memenuhi kehidupan kita. Dan karena cinta itu pula, kami semua ada dihadapan kalian mengalahkan segenap kesibukan dan penat dengan satu harapan kelak kalianlah yang menggantikan posisi kami, dan berjuang bersama melanjutkan tongkat estafet menuju perubahan. Kalian seperti malaikat yang dikirim Tuhan untuk meneruskan perjuangan ini. maka belajarlah untuk mencintai profesi baru kalian, jurnalisme masa depan untuk perubahan”. Kali ini sambutanku sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Tapi tetap saja penonton selalu bengong.
            Tuhan, aku tidak tahu untuk alasan apa Engkau yakinkan aku untuk bertahan. Aku berharap cintaMu, cintanya, dan cintaku, bukanlah alasan yang terlalu konyol untuk semua ini, ,
“Ryas, aku nggak nyangka kamu bakal bertahan sejauh ini. sepertinya aku tidak salah mengandalkanmu” ucap Angga ditengah kesibukan prepare pulang.
Aku tersenyum ke arahnya. “aku punya alasan”
“Alasan?? Apa??”
“cinta.”
Aku jatuh cinta pada semua hal tentangmu. Pikirmu,caramu, dan senymmu, semua nampak sangat indah di mataku. Kaulah alasanku bertahan.
“Kak Ryas , , didepan ada tamu!” panggil salah seorang peserta diklat
“Siapa dek?”
“Kurang tahu kak, katanya ada perlu sama kakak”
“oh yaudah. Kalian cepat siap-siap. Bis nya bentar lagi dateng” ucapku lantas bergegas menuju ruang tamu.
“Assalamu Alaikum, anda mencari saya?”
Si tamu berdiri membelakangiku
“Kakak???” aku lantas berhambur memeluknya.
“Kapan dateng?? Kok gak kabari aku?” rajukku
“Baru aja, dari bandara kakak langsung kesini,”
“Hah . . . kangen banget sama kakak!” lantas memeluknya lagi
“Udah ah malu sama yuniornya. Udah gede masih manja sama kakak”
“Ye, biarin! Kakak, kakakku sendiri bukan pinjem punya orang”
“Emang kakak barang sewaan” ucapnya geram dan mencubit hidungku
“Aduh, ,kenapa si semua orang gemar banget mencubit hidungku??” ucapku sembari memijit hidungku yang sebearnya tak terasa sakit.
“karena hidungmu mancung, mancung ke dalam” candanya
Aku Cuma cemberut
“oya kakak punya sesuatu buat kamu” dibukanya tas kertas dan mengeluarkan sebuah bingkisan
Aku bergegas membuka bingkisan itu yang beberapa saat kemudian kutahu isinya adalah sebuah buku agenda bermotif batik yang sangat manis.
“Cantik sekali, kakak masih ingat rupanya kalau aku suka banget pada semua hal berbau batik”
Aku membolak-balik buku itu, kemudian kutemukan tulisan didalamnya.
Hidup kadang memang terlalu sulit untuk dipahami. Teramat rumit untuk diterjemahkan. Ataukah kita yang teramat rumit untuk memahami dan menerjemahkannya??. Dan entahlah, karena pertanyaan itupun menjadi teramat berat di kepalaku. Aku hanya bisa berpikir, hidup ini akan tetap berjalan seberapapun pertanyaan yang menggudang di otakmu. Kau tahu, senyummu itulah yang kini tengah mengendap di otakku. Bodohnya aku tak bisa berpaling. Lebih bodoh lagi, karena aku tak ingin berpaling. Dan karena teramat bodohnya, aku suka kebodohan ini. Aku menikmatinya.
Pagi itu aku melihatmu tersenyum, , , , ,
Tahukah kau, aku merasa takut tadinya. Tapi senyummu kembali menguatkanku. Senyummu yang kini berkarang di benakku.
Tuhan, aku suka senyum itu. Jika ini adalah sebuah kebodohan. Maka biarkan ini tetap menjadi kebodohanku yang terakhir. Karena aku suka senyum itu. Dan aku tak perlu alasan untuk itu. Kumohon jangan minta alasan Tuhan. Aku tak tahu,
Siang Kemarin Kau nampak sangat bersemangat.
Cinta selalu menjadi alasan yang kuat untuk melakukan hal yang konyol.
Hal aneh yang kerap kurasakan, kenapa kau nampak begitu indah dengan segala keterbatasanmu. Dan aku semakin tak peduli, apa dunia memandangmu
Tuhan, aku tidak tahu untuk alasan apa Engkau yakinkan aku untuk bertahan. Aku berharap cintaMu, cintanya, dan cintaku, bukanlah alasan yang terlalu konyol untuk semua ini, ,
Aku jatuh cinta pada semua hal tentangmu. Pikirmu,caramu, dan senymmu, semua nampak sangat indah di mataku. Kaulah alasanku bertahan.
. . . . .
“Kak, tulisan ini??”
“Mirip dengan tulisanmu”
Aku mengangguk.
“Bukan cuma mirip, tapi ini seperti copyannya”
Kakak tersenyum.
“Memang itu tulisanmu. Tapi kakak yang menyalinnya ke buku itu.”
“apa?? Tapi kakak dapat darimana semua tulisanku ini? aku bahkan tidak menyimpannya. Semuanya hilang selesai aku tulis”
“Dia!” kakak menunjuk sesorang di belakang kami, yang ternyata adalah Angga.
“Angga??”
Angga berjalan ke arah kami dan berjabat tangan dengan Kakak.
“Kamu mau tahu, hilangnya semua kertas coretan kamu? Ini dia orangnya. Elang . . eh Angga yang sudah mengambilnya”
“Apa?!!” aku terkejut dan melotot ke arah Angga
“Eits . . .  Tunggu jangan marah, aku melakukan semua itu karena permintaan Mas Farhan. Ya kan Mas?” ucapnya meminta pembelaan
“Iya Ryas, kakak yang minta Angga untuk melakukan semuanya. Karena kakak ingin tahu apa sebenarnya yang sangat dibutuhkan oleh adik kakak ini. dan kakak belikan buku itu supaya kamu jangan lagi mencoret-coretkan tulisanmu di sembarang tempat. Semua tulisanmu itu akan jadi arsip hidupmu”
Aku terharu dan kembali memeluk kakak,
“Eh . . gak malu sama Angga?!”
Aku menggeleng.
“Ohya, , sepertinya tulisan itu masih belum lengkap” Ucap Angga
“Siapa ya, yang dimaksud dalam tulisan itu?” goda Angga
“Adik kakak tengah jatuh cinta?” tanya Kak Farhan
“Iya!” Jawabku Mantab.
“Ohya?? Siapa??” tanya Kak Farhan dan Angga kompak
 “Semuanya. Semua hal tentang LPM. Aku merasa bangga menjadi bagian dari tempat ini. berjuang bersama untuk sebuah tujuan yang sangat sederhana. Mungkin tidak banyak yang aku dapatkan secara material bahkan tidak ada, tapi disini aku menemukan arti sebuah pengabdian, sebuah pelajaran mengenai kehidupan. Aku jatuh cinta pada profesi ini. melihat senyum rekan-rekanku, pergulatan pemikiran mereka, cara mereka memandang kehidupan, sungguh semua itu tidak mungkin aku dapatkan jika aku hanya duduk manis sebagai mahasiswa”.
            Kali ini Kak Farhan memelukku dan mengecup kepalaku.
“Teruslah belajar untuk menjadi bijaksana. Kakak bangga padamu”

HATI

‘Hati tak pernah bisa dibohongi. Seberapa pun kau berusaha melupakan Alfan, orang yang sangat kau sayang itu. Kau tidak akan penah bisa. Kau bisa saja berkata, kau tidak membutuhkannya tapi apakah itu sejalan dengan kata hatimu? Kau boleh saja mengaku, ada banyak yang lebih baik dari Alfan. Tapi apakah ada seseorang seperti Alfan? Pencuri hatimu itu. Kau juga berhak bilang cinta tak harus memiliki. Tapi apakah kau rela melihat Alfan mencintai dan dicintai orang lain?? Jujurlah pada hatimu kawan’
Sebuah pesan panjang yang membuatku hampir tecengal membacanya. Pesan yang dikirim oleh seorang teman. Yah teman yang baru kukenal seumur jagung tapi telah bergaya seolah mengenalku sangat dalam. Bukan salahnya memang, ia kerapkali jadi pelarianku ketika kurasakan kekecewaan atas sikap ‘Dia’. ‘Dia’ yang kukenal dan mengenalku dengan sangat dalam. Dia yang tak pernah bersikap lembut namun selalu menenangkan. ‘Dia’ yang memenuhi rongga hatiku. Juga ‘Dia’ yang telah membuat bagian ini tercekat sampai tak sanggup bernafas, hatiku.
‘Jika semua perih ini adalah cinta. Maka biarlah ia mencari jalannya sendiri. Hati teramat mudah bermain dan dipermainkan’.
Kubalas pesan itu sekenanya saja. Langit sore ini terasa amat terik dari biasanya keringat deras mengucur dari tubuhku disambut oleh air mata yang juga mencari celah untuk ikut menampakkan diri. Berbaur dengan air laut yang telah membasahi setengah bagian tubuhku yang bersimpuh ditepi pantai. Urat tubuh bagai tercerabut satu persatu dari tulangku........
***
‘Ashiko , ini file proyek yang diminta Pak Joyo. Tolong kamu cek kepastian proyeknya ke setiap instansi. Nomornya udah ada didalam tinggal kamu hubungi aja. Setelah itu jangan lupa kamu buat laporan untuk rapat nanti Sore. Sekalian laporin ke Pak Joyo!’ si Cerewet Mita mulai nyerocos tanpa memberiku kesempatan berpikir.
‘Hey, ini kan tugasnya Alfan. Kok dilimpahin ke aku?? Aku juga lagi sibuk bikin maping buat Proyek yang di Bogor.
‘Alfan lagi dapat tugas dari Pak Joyo. Jadi beliau pesan semua pekerjaan Alfan kamu yang handle. Lagian kamu istrinya, wajib bantuin tugas suami, hehe . . . . celetuknya sembari ngeloyor pergi.
‘Istri?? Istri pala lu peyang . . . huh . . ‘ gerutuku sembari melempar salah satu map di depanku. Tapi dengan sigap dihindari. Si cerewet Mita menjulurkan lidah meledekku.
‘dasar sinting , , ,!’
‘Alfan, , , Alfan , , , kamu itu emang selalu nyusahin. Ada gak ada orangnya tetap aja bikin sebel’ Aku mengomel sendiri sembari menekan tuts telepon. Menghubungi setiap nomor dalam map tadi.
Setelah selesai aku segera membawa map itu beserta laporan yang diminta oleh Pak Joyo. Bosku di kantor. Sengaja kuambil jalan memutar melewati meja Mita. Tentu saja untuk menjahili dia. Dia yang gemar nyemil tak pernah luput dari jajanan di mejanya. Mulai dari snack sampai permen dengan bermacam rasa ada di mejanya. Dia yang tengah sibuk menelpon pun tak luput dari sebuah coklat yang baru saja dibuka pembungkusnya dam belum sempat dimakan. Karena keburu diganggu oleh dering telepon. Dengan diam-diam kuambil coklat itu dari bungkusnya dan kuganti dengan karet panghapus pensil miliknya, yang kebetulan bentuknya hampir mirip batangan coklat.
Selepas meletakkan telepon Mita langsung saja menyantap karet penghapus yang disangkanya coklat.
‘wek , , apa ini?? Ashiko , , , , !!! balikin coklatku , , , ,’ teriaknya menggema seisi ruangan.
Sekarang ganti aku yang menjulurkan lidah mengejeknya. Dia yang geram mencoba mengejarku. Aku bergegas masuk ke ruang Pak Joyo yang waktu itu tidak tertutup.
Selamet . . .selamet . . .’ Ucapku mengusap dada
Pak Joyo sepertinya sedang menerima tamu. Dia tidak di mejanya melainkan duduk di tempat penerimaan tamu. Melihat kedatanganku Pak Joyo lantas memanggilku.
‘Masuk aja Ashiko, , ,’ panggilnya padaku.
‘Mana file dan laporan yang aku minta’
Kujulurkan kedua map yang tadi kubawa.
‘Ini Pak!’ pandanganku beralih pada tamu Pak Joyo, yang tak lain adalah Alfan. Pak Joyo Sibuk membaca laporan yang kuberikan.
‘Duduk Ashiko’ ucapnya tanpa menoleh.
‘Bagus! Ini sudah cukup Alfan gak salah pilih’.
‘Alfan??? Maksud Bapak apa?’
‘Lho kamu belum tahu ya, Alfan saya rekomendasikan menjadi General Manager menggantikan Pak Soni yang sebentar lagi pensiun. Dan posisi Marketing Officer pastinya akan kosong. Dan Alfan merekomendasikan kamu’.
Aku melotot kaget ke arah alfan. Tapi yang dipelototin Cuma tersenyum tipis. Gak biasanya.
Surat disposisi akan segera kalian terima awal bulan depan. Jadi kalian persiapkan diri saja untuk pekerjaan yang baru’
Baik aku ataupun Alfan tak banyak bicara. Selepas mendapat kabar itu kami bergegas minta ijin keluar ruangan. Baru selangkah menuju pintu keluar tiba-tiba Pak Joyo memanggil Alfan.
‘Ohya, satu lagi Fan. Tadi Hena telpon katanya mau minta dianterin fitting baju untuk acara pertunangan kalian’.
Terdengar seperti suara petir menggema ditelingaku. Padahal itu bukan musim hujan dan memang tidak hujan. Aku menoleh penuh tanda tanya kearah Alfan. Sementara dia seperti orang bingung menoleh ke arahku dan Pak Joyo.
‘Ashiko harus hadir ya, undangan memang belum disebar. Tapi anggaplah ini sebagai undangan dari saya’. Pandangan Pak Joyo beralih ke arahku.
Aku cuma mengangguk dengan sedikit senyum yang kupaksakan, kemudian bergegas keluar dari ruangan.
Alfan membuntutiku dari belakang, tapi kemudian berhenti di depan ruangan. Hena, putri semata wayang Pak Joyo, pewaris tunggal perusahaan tempatku bekerja, dan . . . tunangan Alfan tengah menunggunya di depan pintu. Huh . . . . kenapa teramat berat kalimat terakhir ini.
Aku kembali ke kursiku. Si cerewet mita mulai nyerocos lagi. Entah apa yang dibicarakan, pikirku pasti tentang coklatnya tadi. Tapi aku terlalu capek untuk meladeninya. Dia mulai menyadari wajahku yang mulai nampak pucat pasi.
‘Ashiko, kamu pucat. Sakit???. Aku menggeleng
‘Alfan , , , , eh Jovan sini, kamu anterin Ashiko pulang ya! Wajahnya pucat banget. Aku takut dia sakit disini. Entar malah berabe jadinya’ ucap Mita panik
‘Udah jangan ribut aku gak apa-apa kok’ ucapku sembari meringis memegangi perutku yang seperti ditusuk-tusuk.
‘Ashiko kenapa??’ tanya seseorang dari belakang kami. Alfan.
‘eh, , , Ashiko , , ‘ kututup mulut Mita.
‘Aku gak apa-apa. Jo, anterin aku pulang ya! Mita, bilang pak Joyo aku ijin pulang. Terserah kamu bilang apa. Sakit, atau mati juga gak apa-apa’ ucapku tanpa menunggu jawaban dari Mita dan dengan sigap menenteng tas ranselku kemudian pergi tanpa berpamitan. Jovan pun tak banyak berkomentar dan langsung membuntutiku. Alfan seperti sebelumnya. Tak banyak komentar dan hanya terpaku melihat sikapku yang pasti disadarinya sebagai bentuk pelampiasan.
***
‘Jo, berhenti sini dulu’ pintaku pada jovan ketika sampai di tepi pantai menuju rumahku.
‘Ashiko, kamu harus istirahat. Wajah kamu pucat banget. Lain kali aja kita bisa mmpir ke pantai. Aku janji deh, entar aku temenin. Sekarang aku antar pulang ya?!’ bujuknya
‘kalo gak mau nemenin sekarang. Pulang aja, aku bisa naik taksi’ lantas aku berjalan menuju tepi pantai
Jovan tak berani mendebatku. Semua orang tahu, tak satupun orang yang bisa membujukku. Setidaknya ketika aku mulai dikuasai oleh perasaanku. Dan setidaknya selain Alfan.
Aku hanya diam. Menatap kosong ke arah laut lepas. Sesekali melepas napas panjang. Seolah ada sesuatu yang mengganjal disana. Dihatiku. Jovanpun hanya diam berdiri disampingku. Dilepasnya jaket yang ia pakai kemudian diselimutkan padaku. Aku tersenyum ke arahnya. Kemudian kembali menatap laut.
‘Kemarahan terkadang membuat seseorang menjadi tidak realistis dan sedikit ceroboh. Tapi menyimpan kemarahan juga bukan sesuatu yang baik. Lebih nyaman jika kau mau berbagi. Bisa jadi itu akan membuatmua lebih baik.’
‘aku pengen teriak , , , , , ,’
teriak aja! Sapa tahu itu akan membuatmu lebih baik.
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa . . . . . .. . . . . . huk huk huk
Teriakanku terhenti karena batuk yang tiba-tiba menyerang tenggorokanku. Dadaku semakin terasa sakit. Aku jatuh berlutut diatas pasir. Sesuatu meleleh dengan tenangnya dari hidungku. Jovan memegang pundakku.
‘Darah???’ ucap Jovan
‘Aku sering mimisan kalo lagi capek,’ ucapku menjelaskan.
Tanpa dikomando Jovan lantas membopongku menuju motornya dan membawaku pulang.
***
‘Tuhan, bagian ini kembali sakit, sakit lagi, terus dan terus saja begitu’
Kembali ditempat yang sama. Aku jatuh berlutut diatas pasir. Sesuatu meleleh dengan tenangnya dari hidungku. Aku berteriak dengan sisa tenaga yang kupunya. Sekedar ingin melepas beban yang serasa melilit. Tapi siapa sangka itulah jeritan terkeras yang bisa aku lakukan yang bahkan tak terdengar oleh angin. Senja itu memudar , , , , buram , , , kemudian semakin gelap dan gelap selanjutnya menjadi setitik noktah putih, dan hilang.
‘Selamat tinggal Cinta , , , , , ,’
***
Tanah itu masih basah. Sebasah hatiku yang kini sunyi tanpa penghuni. Kau pergi tanpa sebait pesan pun untukku, meninggalkan seonggok hati yang tanpa pemilik. Namun ijinkanlah hati ini tetap melafadzkan namamu agar dapat kukabarkan pada dunia, AKU MENCINTAIMU KARENA TUHANKU’.
Ashiko Yaumi
Seonggok hati tanpa pemilik
Pesan Cinta itu terpatri jelas di atas batu Nisan yang kini diam dalam ketenangan. Dan entah akan terbaca atau tidak. Tuhan tahu, ada dua hati yang terpaut tanpa sebuah ikatan karena semua harus diakhiri.
‘Ashiko, kita pulang ya. disini dingin. Kamu belum sehat betul. Jangan sia-siakan pengorbanan Alfan. Kau harus kuat’. Jovan kembali hadir sebagai penghibur hatiku. Ah, bukan. Ini hati Alfan. Hati Alfan yang kini bersemayam di tubuhku.
‘Jovan, berceritalah sesuatu tentang Alfan’. Pintaku tanpa sedetikpun mengalihkan pandangan dari Pusara di depanku. Sesekali tanganku mengusap Nisannya.
‘Apa yang harus aku ceritakan?? Kau mengenalnya lebih dari aku’
‘Ceritakan yang tidak sempat aku tahu tentangnya’.
‘Alfan, mencintaimu dengan tulus. Itu yang aku tahu. Tak pernah kulihat seseorang dengan cinta yang tulus, setulus Alfan mencintaimu’
‘Tapi dia pergi!.’ air mata itu kembali mencari celah untuk keluar.
‘Kita tidak pernah tahu, hakikat warna apa yang akan Tuhan Torehkan pada hidup kita. Kita hanya perlu meyakinkan diri, Tuhan telah mengatur segalanya dengan sangat sempurna’. Jovan mengusap kepalaku.
‘Sehari setelah aku mengantarmu pulang. Alfan menelponku dan mengatakan kau ada di rumah sakit. Dia menemukanmu tak sadarkan diri di tepi pantai. Saat itu Alfan berlumur darah, dia baru saja mengalami kecelakaan saat mencari donor darah untukmu yang tengah kritis. Hujan sangat deras, motor Alfan terperosok menabrak pembatas jalan. Hebatnya, dia seperti tak merasakan sakit. Dia datang membawakan darah untukmu tepat pada waktunya”
‘Lalu??’
‘Dia menulis ini di tengah nafas terakhirnya,’ Jovan mengulurkan secarik kertas lusuh dengan tulisan yang hampir pudar untuk air hujan. Bertuliskan, Berikan hatiku untuk Ashiko.
Tangisku tumpah tanpa terkendali lagi. Bahkan Jovan tak lagi berkata apapun. Dibiarkannya aku menangis. Tanpa kata, hanya air mata. Seperti kepergiannya. Sunyi. Dan bagian itu kembali sakit. Kali ini semakin sakit.