Selasa, 23 Juli 2013

HATI

‘Hati tak pernah bisa dibohongi. Seberapa pun kau berusaha melupakan Alfan, orang yang sangat kau sayang itu. Kau tidak akan penah bisa. Kau bisa saja berkata, kau tidak membutuhkannya tapi apakah itu sejalan dengan kata hatimu? Kau boleh saja mengaku, ada banyak yang lebih baik dari Alfan. Tapi apakah ada seseorang seperti Alfan? Pencuri hatimu itu. Kau juga berhak bilang cinta tak harus memiliki. Tapi apakah kau rela melihat Alfan mencintai dan dicintai orang lain?? Jujurlah pada hatimu kawan’
Sebuah pesan panjang yang membuatku hampir tecengal membacanya. Pesan yang dikirim oleh seorang teman. Yah teman yang baru kukenal seumur jagung tapi telah bergaya seolah mengenalku sangat dalam. Bukan salahnya memang, ia kerapkali jadi pelarianku ketika kurasakan kekecewaan atas sikap ‘Dia’. ‘Dia’ yang kukenal dan mengenalku dengan sangat dalam. Dia yang tak pernah bersikap lembut namun selalu menenangkan. ‘Dia’ yang memenuhi rongga hatiku. Juga ‘Dia’ yang telah membuat bagian ini tercekat sampai tak sanggup bernafas, hatiku.
‘Jika semua perih ini adalah cinta. Maka biarlah ia mencari jalannya sendiri. Hati teramat mudah bermain dan dipermainkan’.
Kubalas pesan itu sekenanya saja. Langit sore ini terasa amat terik dari biasanya keringat deras mengucur dari tubuhku disambut oleh air mata yang juga mencari celah untuk ikut menampakkan diri. Berbaur dengan air laut yang telah membasahi setengah bagian tubuhku yang bersimpuh ditepi pantai. Urat tubuh bagai tercerabut satu persatu dari tulangku........
***
‘Ashiko , ini file proyek yang diminta Pak Joyo. Tolong kamu cek kepastian proyeknya ke setiap instansi. Nomornya udah ada didalam tinggal kamu hubungi aja. Setelah itu jangan lupa kamu buat laporan untuk rapat nanti Sore. Sekalian laporin ke Pak Joyo!’ si Cerewet Mita mulai nyerocos tanpa memberiku kesempatan berpikir.
‘Hey, ini kan tugasnya Alfan. Kok dilimpahin ke aku?? Aku juga lagi sibuk bikin maping buat Proyek yang di Bogor.
‘Alfan lagi dapat tugas dari Pak Joyo. Jadi beliau pesan semua pekerjaan Alfan kamu yang handle. Lagian kamu istrinya, wajib bantuin tugas suami, hehe . . . . celetuknya sembari ngeloyor pergi.
‘Istri?? Istri pala lu peyang . . . huh . . ‘ gerutuku sembari melempar salah satu map di depanku. Tapi dengan sigap dihindari. Si cerewet Mita menjulurkan lidah meledekku.
‘dasar sinting , , ,!’
‘Alfan, , , Alfan , , , kamu itu emang selalu nyusahin. Ada gak ada orangnya tetap aja bikin sebel’ Aku mengomel sendiri sembari menekan tuts telepon. Menghubungi setiap nomor dalam map tadi.
Setelah selesai aku segera membawa map itu beserta laporan yang diminta oleh Pak Joyo. Bosku di kantor. Sengaja kuambil jalan memutar melewati meja Mita. Tentu saja untuk menjahili dia. Dia yang gemar nyemil tak pernah luput dari jajanan di mejanya. Mulai dari snack sampai permen dengan bermacam rasa ada di mejanya. Dia yang tengah sibuk menelpon pun tak luput dari sebuah coklat yang baru saja dibuka pembungkusnya dam belum sempat dimakan. Karena keburu diganggu oleh dering telepon. Dengan diam-diam kuambil coklat itu dari bungkusnya dan kuganti dengan karet panghapus pensil miliknya, yang kebetulan bentuknya hampir mirip batangan coklat.
Selepas meletakkan telepon Mita langsung saja menyantap karet penghapus yang disangkanya coklat.
‘wek , , apa ini?? Ashiko , , , , !!! balikin coklatku , , , ,’ teriaknya menggema seisi ruangan.
Sekarang ganti aku yang menjulurkan lidah mengejeknya. Dia yang geram mencoba mengejarku. Aku bergegas masuk ke ruang Pak Joyo yang waktu itu tidak tertutup.
Selamet . . .selamet . . .’ Ucapku mengusap dada
Pak Joyo sepertinya sedang menerima tamu. Dia tidak di mejanya melainkan duduk di tempat penerimaan tamu. Melihat kedatanganku Pak Joyo lantas memanggilku.
‘Masuk aja Ashiko, , ,’ panggilnya padaku.
‘Mana file dan laporan yang aku minta’
Kujulurkan kedua map yang tadi kubawa.
‘Ini Pak!’ pandanganku beralih pada tamu Pak Joyo, yang tak lain adalah Alfan. Pak Joyo Sibuk membaca laporan yang kuberikan.
‘Duduk Ashiko’ ucapnya tanpa menoleh.
‘Bagus! Ini sudah cukup Alfan gak salah pilih’.
‘Alfan??? Maksud Bapak apa?’
‘Lho kamu belum tahu ya, Alfan saya rekomendasikan menjadi General Manager menggantikan Pak Soni yang sebentar lagi pensiun. Dan posisi Marketing Officer pastinya akan kosong. Dan Alfan merekomendasikan kamu’.
Aku melotot kaget ke arah alfan. Tapi yang dipelototin Cuma tersenyum tipis. Gak biasanya.
Surat disposisi akan segera kalian terima awal bulan depan. Jadi kalian persiapkan diri saja untuk pekerjaan yang baru’
Baik aku ataupun Alfan tak banyak bicara. Selepas mendapat kabar itu kami bergegas minta ijin keluar ruangan. Baru selangkah menuju pintu keluar tiba-tiba Pak Joyo memanggil Alfan.
‘Ohya, satu lagi Fan. Tadi Hena telpon katanya mau minta dianterin fitting baju untuk acara pertunangan kalian’.
Terdengar seperti suara petir menggema ditelingaku. Padahal itu bukan musim hujan dan memang tidak hujan. Aku menoleh penuh tanda tanya kearah Alfan. Sementara dia seperti orang bingung menoleh ke arahku dan Pak Joyo.
‘Ashiko harus hadir ya, undangan memang belum disebar. Tapi anggaplah ini sebagai undangan dari saya’. Pandangan Pak Joyo beralih ke arahku.
Aku cuma mengangguk dengan sedikit senyum yang kupaksakan, kemudian bergegas keluar dari ruangan.
Alfan membuntutiku dari belakang, tapi kemudian berhenti di depan ruangan. Hena, putri semata wayang Pak Joyo, pewaris tunggal perusahaan tempatku bekerja, dan . . . tunangan Alfan tengah menunggunya di depan pintu. Huh . . . . kenapa teramat berat kalimat terakhir ini.
Aku kembali ke kursiku. Si cerewet mita mulai nyerocos lagi. Entah apa yang dibicarakan, pikirku pasti tentang coklatnya tadi. Tapi aku terlalu capek untuk meladeninya. Dia mulai menyadari wajahku yang mulai nampak pucat pasi.
‘Ashiko, kamu pucat. Sakit???. Aku menggeleng
‘Alfan , , , , eh Jovan sini, kamu anterin Ashiko pulang ya! Wajahnya pucat banget. Aku takut dia sakit disini. Entar malah berabe jadinya’ ucap Mita panik
‘Udah jangan ribut aku gak apa-apa kok’ ucapku sembari meringis memegangi perutku yang seperti ditusuk-tusuk.
‘Ashiko kenapa??’ tanya seseorang dari belakang kami. Alfan.
‘eh, , , Ashiko , , ‘ kututup mulut Mita.
‘Aku gak apa-apa. Jo, anterin aku pulang ya! Mita, bilang pak Joyo aku ijin pulang. Terserah kamu bilang apa. Sakit, atau mati juga gak apa-apa’ ucapku tanpa menunggu jawaban dari Mita dan dengan sigap menenteng tas ranselku kemudian pergi tanpa berpamitan. Jovan pun tak banyak berkomentar dan langsung membuntutiku. Alfan seperti sebelumnya. Tak banyak komentar dan hanya terpaku melihat sikapku yang pasti disadarinya sebagai bentuk pelampiasan.
***
‘Jo, berhenti sini dulu’ pintaku pada jovan ketika sampai di tepi pantai menuju rumahku.
‘Ashiko, kamu harus istirahat. Wajah kamu pucat banget. Lain kali aja kita bisa mmpir ke pantai. Aku janji deh, entar aku temenin. Sekarang aku antar pulang ya?!’ bujuknya
‘kalo gak mau nemenin sekarang. Pulang aja, aku bisa naik taksi’ lantas aku berjalan menuju tepi pantai
Jovan tak berani mendebatku. Semua orang tahu, tak satupun orang yang bisa membujukku. Setidaknya ketika aku mulai dikuasai oleh perasaanku. Dan setidaknya selain Alfan.
Aku hanya diam. Menatap kosong ke arah laut lepas. Sesekali melepas napas panjang. Seolah ada sesuatu yang mengganjal disana. Dihatiku. Jovanpun hanya diam berdiri disampingku. Dilepasnya jaket yang ia pakai kemudian diselimutkan padaku. Aku tersenyum ke arahnya. Kemudian kembali menatap laut.
‘Kemarahan terkadang membuat seseorang menjadi tidak realistis dan sedikit ceroboh. Tapi menyimpan kemarahan juga bukan sesuatu yang baik. Lebih nyaman jika kau mau berbagi. Bisa jadi itu akan membuatmua lebih baik.’
‘aku pengen teriak , , , , , ,’
teriak aja! Sapa tahu itu akan membuatmu lebih baik.
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa . . . . . .. . . . . . huk huk huk
Teriakanku terhenti karena batuk yang tiba-tiba menyerang tenggorokanku. Dadaku semakin terasa sakit. Aku jatuh berlutut diatas pasir. Sesuatu meleleh dengan tenangnya dari hidungku. Jovan memegang pundakku.
‘Darah???’ ucap Jovan
‘Aku sering mimisan kalo lagi capek,’ ucapku menjelaskan.
Tanpa dikomando Jovan lantas membopongku menuju motornya dan membawaku pulang.
***
‘Tuhan, bagian ini kembali sakit, sakit lagi, terus dan terus saja begitu’
Kembali ditempat yang sama. Aku jatuh berlutut diatas pasir. Sesuatu meleleh dengan tenangnya dari hidungku. Aku berteriak dengan sisa tenaga yang kupunya. Sekedar ingin melepas beban yang serasa melilit. Tapi siapa sangka itulah jeritan terkeras yang bisa aku lakukan yang bahkan tak terdengar oleh angin. Senja itu memudar , , , , buram , , , kemudian semakin gelap dan gelap selanjutnya menjadi setitik noktah putih, dan hilang.
‘Selamat tinggal Cinta , , , , , ,’
***
Tanah itu masih basah. Sebasah hatiku yang kini sunyi tanpa penghuni. Kau pergi tanpa sebait pesan pun untukku, meninggalkan seonggok hati yang tanpa pemilik. Namun ijinkanlah hati ini tetap melafadzkan namamu agar dapat kukabarkan pada dunia, AKU MENCINTAIMU KARENA TUHANKU’.
Ashiko Yaumi
Seonggok hati tanpa pemilik
Pesan Cinta itu terpatri jelas di atas batu Nisan yang kini diam dalam ketenangan. Dan entah akan terbaca atau tidak. Tuhan tahu, ada dua hati yang terpaut tanpa sebuah ikatan karena semua harus diakhiri.
‘Ashiko, kita pulang ya. disini dingin. Kamu belum sehat betul. Jangan sia-siakan pengorbanan Alfan. Kau harus kuat’. Jovan kembali hadir sebagai penghibur hatiku. Ah, bukan. Ini hati Alfan. Hati Alfan yang kini bersemayam di tubuhku.
‘Jovan, berceritalah sesuatu tentang Alfan’. Pintaku tanpa sedetikpun mengalihkan pandangan dari Pusara di depanku. Sesekali tanganku mengusap Nisannya.
‘Apa yang harus aku ceritakan?? Kau mengenalnya lebih dari aku’
‘Ceritakan yang tidak sempat aku tahu tentangnya’.
‘Alfan, mencintaimu dengan tulus. Itu yang aku tahu. Tak pernah kulihat seseorang dengan cinta yang tulus, setulus Alfan mencintaimu’
‘Tapi dia pergi!.’ air mata itu kembali mencari celah untuk keluar.
‘Kita tidak pernah tahu, hakikat warna apa yang akan Tuhan Torehkan pada hidup kita. Kita hanya perlu meyakinkan diri, Tuhan telah mengatur segalanya dengan sangat sempurna’. Jovan mengusap kepalaku.
‘Sehari setelah aku mengantarmu pulang. Alfan menelponku dan mengatakan kau ada di rumah sakit. Dia menemukanmu tak sadarkan diri di tepi pantai. Saat itu Alfan berlumur darah, dia baru saja mengalami kecelakaan saat mencari donor darah untukmu yang tengah kritis. Hujan sangat deras, motor Alfan terperosok menabrak pembatas jalan. Hebatnya, dia seperti tak merasakan sakit. Dia datang membawakan darah untukmu tepat pada waktunya”
‘Lalu??’
‘Dia menulis ini di tengah nafas terakhirnya,’ Jovan mengulurkan secarik kertas lusuh dengan tulisan yang hampir pudar untuk air hujan. Bertuliskan, Berikan hatiku untuk Ashiko.
Tangisku tumpah tanpa terkendali lagi. Bahkan Jovan tak lagi berkata apapun. Dibiarkannya aku menangis. Tanpa kata, hanya air mata. Seperti kepergiannya. Sunyi. Dan bagian itu kembali sakit. Kali ini semakin sakit.

2 komentar:

  1. Semua sketsa di atas Mba gambar sendiri?

    BalasHapus
  2. Bukan Mbak, Saya hanya sekedar mengcopy-nya dari Google search karena menganggapnya sedikit mewakili tulisan saya. Kenapa, apa itu milik mbak?

    BalasHapus