Aku sayang ibu bukan karena Nabi menyebutnya hingga tiga kali. Juga bukan karena Tuhan menjanjikan surga di telapak kakinya. Aku sayang ibu karena ia adalah ibuku. Keringatnya yang mengalir kini menjadi darah yang memompa denyut jantungku. Tangisnya yang telah membuatku hidup hingga saat ini.
Karena aku sayang ibu, aku tak pernah takut mengghadapi apapun. Sekalipun itu adalah rasa sakit. Karena bagiku tak ada yang bisa menyakitiku melebihi ibu. Orang yang paling kusayang. Sungguh, karena aku sayang ibu.
Aku sayang ibu, jauh sebelum aku sendiri tahu apa itu kasih sayang. Aku mencintainya melebihi yang bisa dipikirkan oleh orang lain. Sejenak saja ibu berlalu dari pandanganku, aku pasti akan merengek menangis. Seketika aku akan tersenyum puas ketika ibu menggendong dan mengayunku. Aku akan betah meski seharian berada dalam dekapannya. Sebuah tempat yang terasa begitu sejuk dan damai.
Namun aku bukanlah gadis kecil yang terus merengek dalam dekapannya, kini aku adalah gadis remaja yang kata orang siap melangkah mengejar mentari. Aku kini adalah mahasiswi fakultas ilmu komunikasi. Sebuah dunia penuh tantangan yang menyentil jiwa adventurirku. Hal itu tentu saja sedikit tabu bagi gadis sepertiku, yang terlahir dari kalangan keluarga pesantren salaf.
Meski dengan sedikit keraguan abi dan umi, begitulah aku memanggil ayah dan ibuku. Mereka mengijinkan aku untuk kuliah. Karena mereka sangat yakin telah mendidikku dengan sempurna. Sepenuh hati aku berusaha menjaga kepercayaan yang mereka berikan. Karena aku tak ingin mengecewakan orang tuaku. Tentu saja ibu, orang yang paling kusayang.
Kehidupan yang selama ini aku tahu adalah kehidupan yang tenang tanpa gejolak. Kalupun ada itu hanyalah masalah normatif yang bahkan sudah sangat kuhafal penyelesaiannya. Abi lah pusatnya, pendiri sekaligus pengasuh pesantren Nurul Athfal, rumahku. Namun Lain halnya dengan kehidupan kampus, aku merasakan begitu banyak gejolak yang gantung mengantung berbuah menjadi konflik atau sekedar berlalu seperti angin. Dan satu hal lagi yang membuatku tertegun, tidak ada pusat yang pasti disini karena pusatnya adalah aku, diriku sendiri.
Seperti ketika sebuah pesan aneh menyapaku. Dan untuk kesekian kalinya membuatku tertegun. Sebuah pesan yang teman-temanku bilang bernama ‘cinta’. Cinta yang kutahu selama ini hanyalah cintaku pada ibu, sedikit besar untuk keluargaku yang lain. Seperti untuk Abi dan kak Fandi, saudara laki-lakiku. Cinta itu hadir dari seorang yang menyebut dirinya ‘ mozaik kecil’.
Tak kusangka begini jadinya.....
Aku mulai terpesona akan kilaumu
Mulai mengagumimu......mengkhawatirkanmu
Begitu..... dan terus saja begitu
Andai aku punya lebih banyak waktu untuk mengenalmu...... sejarah kan mencatatku sebagai penjaga hatimu
Namun sejenak pun tak apa,
Karena untuk itulah kau menjadi istimewa.....berharga
Dear GOD,
Save her soul, wherever she’s stay
‘Mozaik kecil’
Dari dialah aku belajar makna cinta yang lain. Sebuah cinta yang mungkin telah menyatukan Adam dan Hawa dalam sebuah ikatan suci. Ah..... rasanya terlalu tinggi contoh yang kupakai. Tapi sungguh seperti itulah cinta yang ditawarkannya untukku. Sungguh bukan cinta fulgar seperti kebanyakan. Bukan cinta yang membuat Rose merelakan mahkotanya pada Jack dalam drama TITANIC. Juga bukan cintamatic ala drama teenlit yang menjamur belakangan ini. cinta ini mengajakku melihat hidup sebagai sebuah perjuangan di padang perang kehidupan.
Namun hidupku yang tanpa gejolak, menolak untuk diusik. Mereka enggan berkompromi dengan cinta yang baru saja kukenal. Pertahananku pun rapuh ketika ibu, makhluk Tuhan yang paling kusayang untuk pertama kalinya mengajukan syarat untukku.
“Nisa, selama ini umi dan abi mendidikmu dengan sebaik mungkin dengan harapan kau akan tumbuh menjadi anak yang berbakti. Namun jika kini kau memilih untuk menjadi durhaka maka umi tak lagi bertanggung jawab atasmu. Begitupun juga kau tak lagi bertanggung jawab atas umi”.
Sebuah sambaran kilat tanpa suara menerjang jantungku. Sakit dan sesak rasanya. Sehingga tanpa kusadari ibu tlah beranjak meninggalkanku tanpa menoleh. Setitik air mata jatuh disusul titik berikutnya yang tak sempat kuhitung berapa banyak. Aku menangis.
Cinta itu kalah. Ibu lebih menyilaukanku. Karena surgaku ada pada restunya. Dengan langkah gontai kutemui abi dan umi di ruang keluarga. Kak Fandi pun ada disana. Aku bersimpuh di depan Abi dan Umi.
“ Abi, Umi, sebelumnya Nisa minta maaf telah mengecewakan kalian. Ada begitu banyak hal diluar sana yang sejenak menarik perhatianku. Mungkin bagi Umi dan Abi ini sebuah kedurhakaan. Tapi percayalah aku masih Nisa putri kalian, jika memang dengan cara ini aku dapat menjalani tugasku sebagai putri kalian. Maka tak ada lagi alasan untuk mempertanyakannya. Aku akan menjalaninya”.
Tak jelas seperti apa ekspresi mereka mendengar ucapanku. Aku terlalu sibuk mencerna kalimat yang muncul dari mulutku sendiri. Kalimat yang bahkan tak sempat kususun. Yang aku ingat, aku hanya tak ingin kehilangan ibu. Kehilangan restunya. Yang selama ini menjadi alasanku berlari. Saat aku tersadar, aku tengah berada dalam pelukan ibu.
“Nisa, kau telah membuktikan bahwa kau adalah putri umi. Umi bangga padamu”.
Ibu menangis. Aku menghapus air mata ibu.
“maaf, aku tidak kuat umi. Tidak kuat jika harus kehilangan cinta umi. Aku tak akan punya tempat dimanapun”.
Tangisku tumpah di hadapan umi.
“tempatmu disini. Dihati umi”.
Umi kemudian memelukku. Abi tersenyum dan mengelus kepalaku. Hanya ekspresi Kak fandi yang tak kumengerti. Ia tak tersenyum tapi juga tak menangis.
“Nisa maafkan kakak, yang tidak bisa berbuat banyak. Kakak tahu betul bagaimana kalian. Dan juga hidup kita selama ini. Tapi pilihan kita hanyalah menjalani pengabdian ini. karena hanya disinilah surga kita. Semoga kau mendapatkan surgamu”.
Ucap kakak dikamar usai pembicaraanku dengan umi dan abi. Untuk pertama kalinya aku melihat kakak menitikkan air mata dan itu untukku. Tuhan... sungguh berdosa aku yang tak pernah menyadari ada kasih sayang yang tak kalah agung dari kasih ibu. Kakakku.
Teruntuk mozaik kecil yang sejenak telah melengkapi puzzle hidupku.
Betapa rumit perjalanan ini. kalaupun kukatakan aku telah mempercayaimu sepenuhnya. Tradisi ini takkan pernah mau berkrompomi. Aku telah mencobanya tapi aku tidak kuat ketika harus dihadapkan pada cintaku yang lain, ibu.
Karena itu dengan tanpa mengurangi ketulusanku selama ini, aku beralih meminta restumu untuk meninggalkanmu. Bebaskanlah keinginan untuk saling memiliki. Biarkanlah ketulusan yang kadang keras kepala ini menjadi ketulusan yang besar hati.
Salam cinta dan maafku,
Umi Chilyatun Nisa’
Untuk Ning
Pengabdian ini kadang memang menyakitkan. Tapi Tuhan selalu punya rencana tak terduga dibalik luka yang diberikan-NYA. Tetaplah tersenyum meski itu perih. Karena Tuhan tersenyum untukmu.
Kecil amat
BalasHapus