Selasa, 25 Juli 2017

Buju’ Tolombung, Desa Batokaban Kec Konang Kab Bangkalan




BATU PETAPAN, ‘CIKAL BAKAL’ BATOKABAN

Masyarakat Madura umumnya menyebut makam kyai dengan sebutan Buju’. Namun ada satu Buju’ yang bukan makam, melainkan bongkahan batu dengan sumber air asin (laut). Buju’ Tolombung, salah satu tetenger Desa Batokaban Bangkalan yang ditengarai merupakan cikal bakal desa itu sendiri. Seperti apakah?


Dilihat dari kondisi wilayah, Desa Batokaban jelas bukan kawasan pesisir. Tak ada jejak kehidupan maritim di wilayah sisi Timur Laut Jembatan Nasional Surabaya-Madura (Suramadu) ini. Sawah, ladang, hingga wilayah perbukitan menjadi pemandangan utama salah satu dari 13 desa di Kecamatan Konang tersebut.


Desa Batokaban bisa ditempuh selama sekitar satu jam tiga puluh menit dari Jembatan Suramadu. Tidak banyak hal menarik di wilayah ini. Jalan beraspal/makadam hanya ada di jalur utama dengan tambal sulam di hampir semua titik, rumah warga yang masih didominasi kayu, hingga keseharian masyarakat meladang, beternak, pertukangan kayu, dan warung makanan kecil.

Di Madura, tentu bukan rahasia lagi jika sosok kyai merupakan figur panutan yang tetap dihormati bahkan meski telah lama meninggal. Makam kyai seringkali dianggap sebagai tempat keramat, terutama bagi mereka yang memiliki hajat tertentu. Beberapa makam juga diberi sebutan Buju’, yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga dan patut dituruti segala nasehat dan arahannya.

Akan tetapi, berbeda dengan sebagian besar tempat yang disebut buju’. Ada satu lokasi berjuluk Buju’ Tolombung yang bukan merupakan makam. Tempat yang dikenal sebagai petapan (tempat bertapa, red) ini, hanyalah bongkahan batu besar di tengah area persawahan dengan sumber air di bagian tengahnya. Yang menjadikannya istimewa adalah, air yang muncul dari dalam batu ini berasa asin seperti halnya air laut. “Masyarakat disini percaya, Buju’ Tolombung ini sebagai Bujellah Tasek (Pusarnya Samudera, red),” ujar Abdul Hamid (34 th), salah seorang tokoh pemuda Ketua Karang Taruna Desa Batokaban Kab Bangkalan.

Kepercayaan ini dipertegas dengan adanya cerita tentang seseorang yang dikabarkan tenggelam di Buju’ Tolombung, saat berusaha mengambil celuritnya yang jatuh ke dalam sumber. Setelah beberapa hari, mayat pemuda yang tenggelam tersebut konon di temukan di pantai utara, yang oleh masyarakat disebut Tobiruh.

Sebagai tempat yang dianggap keramat, banyak lamat (pesan mistis, red) yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Buju’ Tolombung. Seperti bahwa airnya diyakini dapat menyembuhkan segala penyakit, setiap orang yang ketika datang dapat melihat gelembung air yang muncul dari dalam lubang berarti keinginannya akan terkabul, hingga pantangan yang sedikit diskriminatif bagi perempuan. “Di Buju’ Tolombung ini hanya laki-laki yang boleh naik ke atas dan mengambil air. Sebab, menurut cerita orang tua, pernah ada seorang perempuan yang naik keatas. Akhirnya air yang dulu sumbernya besar menjadi semakin menyusut. Sejak saat itu, perempuan dilarang naik ke atas,” ujar Bujati, salah seorang warga yang tinggal tepat di sisi barat Buju’ Tolombung.

Ada kisah menarik Buju’ Tolombung, sebagai Petapan yang berada di kawasan Dusun Paser ini. Konon, setiap kali seseorang bertapa disana pada suatu malam pertapaannya bongkahan batu tersebut akan berubah menjadi ular besar yang melilit tubuh sang pertapa. Itu sebagai bagian dari ujian kesungguhan niat si pertapa. “Buju’ Tolombung ini banyak kisah mistisnya. Mungkin karena itu tempat ini dikeramatkan,” ujar Abdul Hamid.

Tak hanya Buju’ Tolombung, di area yang sama sekitar 100 m arah barat daya terdapat hamparan batuan padas seperti yang biasa ditemui di pesisir pantai. Lengkap dengan butiran pasir dan batu-batu kecil menyerupai karang. Di lokasi ini, terdapat semburan air yang muncul dari dalam batu dan tanah yang airnya juga terasa asin. Semakin ke hilir, luberan air yang membentuk anak sungai kecil ini, airnya tidak lagi terasa asin. Justru semakin tawar dan sedikit ada rasa manis. Beberapa titik semburan juga nampak berwarna keruh yang diperkirakan mengandung belerang. “Pernah ada dari pertamina yang ingin mengebor di tempat ini tapi belum terealisasi sampai sekarang,” kisah Hamid.



Tetenger Desa

Sejarah selalu hadir dengan begitu banyak versi, yang entah berkaitan atau semakin jauh dari kisah aslinya. Budaya tutur tinular salah satu alasannya. Sebagaimana penamaan Buju’ Tolombung dan sejarah yang menyertainya.

Cerita pertama menyebutkan, disebut Buju’ sebab dahulu merupakan tempat bertapa seorang yang sakti mandraguna. Seorang sakti yang kini diyakini bermakam di Desa Kokop Kec Konang Kab Bangkalan. “Makanya setiap bulan baik, seperti menjelang Bulan Ramadhan, juru kunci Makam Kokop datang kesini mengambil air untuk dicampurkan ke sumur yang ada di makam sana,” cerita Bujati yang mengaku tidak tahu persis nama pemilik makam yang diberi sebutan Buju’ Kokop tersebut.

Sedangkan untuk penamaannya, beberapa orang meyakini nama Tolombung merupakan gabungan dari dua suku kata dalam Bahasa Madura. Yakni Betoh, pendeknya Toh (Batu, red) dan Lombung (Lumbung Padi, red), disingkat menjadi Tohlombung atau Tolombung. Sebab bongkahan batu Buju’ Tolombung yang menyerupai lumbung padi. Bahkan dari kejauhan, dua pohon besar yang mengapit batu nampak seperti penyangga lumbung padi.


Cerita lainnya, Batokaban berasal dari kata Betoh dan Kambeng (mengambang, red), artinya batu yang mengambang. Konon, dahulu air yang mengalir dari Buju’ Tolombung melimpah hingga membuat batunya seolah mengambang karena hanya terlihat bagian atasnya. Versi lain, bahwa nama Batokaban berasal dari kata Betoh dan Kaben/Keben (tempat air, red), artinya batu yang menjadi tempat air. Selain keberadaan Buju’ Tolombung, hal itu juga dikaitkan dengan kebiasaan orang di Batokaban menyimpan air di dalam gentong dari tanah liat atau batu. “Sekarang memang sudah jarang orang pakai Keben. Kalau dulu semua orang punya, terutama sebagai tempat untuk cuci muka atau wudlu,” jelas Abdul Hamid. (nurhayati)