Kamis, 27 November 2014

Aku Putra Arjuna


 Aku adalah Putra Arjuna yang telah memberikan Kakek Bhisma ranjang dari panah untuk pembaringan terakhirnya. Aku tidak akan mati dengan mudah.
Aku tidak akan menjerit, karena bagiku ini bukan rasa sakit. Aku juga tidak akan mengaduh, karena itu akan menyakiti hati ayah, ibu, juga pamanku. Aku sama sekali tidak berpikir untuk meminta keringanan untuk kematianku. Apalagi meminta pengampunan untuk hidupku. Karena kematian ini telah menjadi dharmaku. Dharma untuk kejayaan ayahku. 

Menjadi keponakan dari Shree Khreesna bukan lantas membuatku kebal akan kematian. Tapi aku pasti akan mendapatkan keabadianku. Aku Putra Arjuna, juga bukan berarti aku tak terkalahkan. Tapi aku akan selalu menjadi pemenang. Baik dalam hidup maupun kematianku.

Paman Karna, kenapa mempermudah jalanku?Kesulitan akan mematri jiwa kesatria seseorang dan aku ingin menjadi contoh untuk kekuatan itu. Aku tahu, kau pun merasakan sakit yang teramat dalam dihatimu. Seolah luka ditubuhku ini menyayatmu sendiri. Bagaimana bisa aku takkan dibilang beruntung menjadi keponakan kalian. Lihatlah, kusambut kematianku dengan senyuman.
Paman Karna, hapus airmatamu. Ketahuilah, kau akan menjadi keluarga pertama yang menyusulku. Iya, Paman. Kejayaan seperti ini juga akan jadi milikmu.  Dan jalan menuju kejayaanmu akan ditunjukkan ayahku, adikmu yang tercinta. Dan sama sepertiku, kau akan menyambut kejayaanmu dengan senyuman. Serta mendapatkan semua yang selama ini telah hilang darimu, keluargamu.

Paman Khreesna, terima kasih telah menggantikan rasa sakit ini untukku. Terima kasih telah menggantikan fungsi ayah selama aku terpisah dari ayahku. Terima kasih telah memberiku kekuatan. Dan terima kasih untuk kejayaan yang kau anugrahkan padaku.Tak ada keberuntungan terbesar selain terlahir dikeluargamu dengan darah kesatria hebat seperti ayahku, Arjuna.

Dia Karna



Telah dilepas kandala dan kavaca pelindung dari yang sangat ayah. Darah mengalir dari tubuh yang kekar akan derita. Serupa kafan yang membalutnya menuju kematian. Hidupnya adalah alasan dari sebuah kesalahan. tapi apa salahnya mencari pengakuan dan penghormatan, setelah sepanjang umur dia harus hidup tanpa nama dan hak atas kelahirannya?
Dia hanya seorang kakak yang tidak pernah diajarkan cara untuk menyayangi adik-adiknya. Tapi dia tahu, bahwa hidupnya adalah untuk menyempurnakan kebahagiaan, kehormatan, dan kebanggaan adik-adiknya. Maka dilepaslah satu-satunya alasan ketakutan mereka. meski untuk itu berarti membawanya selangkah lebih dekat pada kematian. Takkan lagi lahir kakak sepertinya, yang tak pernah meminta ataupun belajar cara mengasihi tapi memberikan kasih berlebih untuk yang dikasihi. Mengasihi tanpa memanjakan, menjaga tanpa mengikat, mendukung tanpa mendorong, memberi tanpa menerima.
Dia juga hanya seorang anak yang tak pernah mendapatkan haknya untuk disayangi. Tapi dharma dan kasihnya sebagai anak tak pernah meminta alasan untuk dilupakan. Kemalangannya bahwa dia tak pernah benar-benar berhak menyandang nama sebagai putra ibunya. Tapi keberuntungan bahwa dikasihinya keduanya tanpa berbeda kadar. Ibu yang memberinya nama, juga ibu yang menjadi alasan keberadaannya. Dia mewarisi seluruh budi baik sang ayah meski tak pernah menjadikannya alasan mencapai penghormatan dan nama besarnya.
Dia pun hanya seorang teman, yang tak meminta banyak kebaikan untuk hidupnya. Tapi mendharmakan hidup untuk satu kebaikan yang mengangkat dirinya dari nista. Seluruh dunia akan meminta teman sepertinya sekalipun takkan lagi ada yang sanggup untuk mencintai seperti caranya.
Dengan hidup dia menjalani dan menuntaskan takdirnya. Satu-satunya hal yang pernah benar-benar berhak dimiliki dan didharmakan untuk menuntaskan karya besar sejarah.