Kamis, 03 Oktober 2019

LAIN HATI



"Berhentilah tersenyum, Candu! Aku muak,"

Rasa sakit itu nyata. Tak sesakit ketika kau pergi. Tapi aku sadar, goresan luka yang kubuat padanya meski tanpa sengaja pasti berbekas.

"Padahal sebelumnya kau bilang senyumku adalah yang terindah, selain binar mata apiku,"

Karena keduanya aku terjebak hingga tak dapat melihat ke arah lainnya.

"Tidak, jika kau gunakan untuk menghardikku,"

Aku mencoba terlihat marah, kau selalu saja mengejekku.

"Ternyata statusku bersyarat ya?"

Lagi-lagi kau dengan ekspresimu yang menyedihkan. Aku suka kau menjadi menyebalkan saja.

"Hidupku saja bersyarat kan?" Acuh.

"Syaratnya?" Bingung.

"Syaratnya, tetap mencintaimu," Senyum tanpa berdosa.

"Aku tidak pernah mengatakan itu," Kerutan di dahimu, aku suka. Tapi, memangnya apa yang tidak kusuka darimu?

"Memang bukan,"

"Lalu?"

"Kau pergi,"

"Sweetheart . . . ."

"Candu . . ."

"Oke, kau menyebalkan!"

"Yes, that's I am,"

"Sweetheart, come. Kau terlalu banyak berpikir. Shut up, dan tidurlah!"

"Candu, saat aku tidur kau akan pergi. Lalu aku akan kembali menikmati kesendirian dalam luka yang kubuat sendiri. Apa aku egois? hanya memikirkan lukaku, hingga tanpa sengaja membuat luka bagi orang lain?"

"Tidak ada yang salah dalam cinta, sweetheart. Tidak kau, tidak juga dia. Bahkan aku. Kita hanya berada di waktu yang tidak tepat. Waktu selalu mengambil kuasanya. Dia berperan untuk banyak hal,"

"Kapan waktu akan berdamai denganku?"

"Aku tidak tahu. Tapi waktu tak sejahat itu. Lihatlah, kau masih memilikiku meski kita tak bersama,"

"Hanya kenanganmu, dan itu tidak cukup,"

"Jangan merasa cukup denganku. Kau punya hidupmu sendiri, aku hanya sementara. Aku tempatmu singgah, bukan tinggal,"

"Kenapa aku tak bisa memintamu menjadi rumahmu?"

"Sekalipun begitu, aku hanya akan jadi balkon rumahmu. Pada saatnya, kau benar-benar harus masuk dan tinggal didalam, tidak sekedar di depan jendela kamarmu,"

"Kau tahu kan, dia mundur karena sebelumnya aku terlampau fokus padamu?"

"Itu ketidakberuntungannya. Siapapun yang tidak bersabar denganmu, dia hanya tidak beruntung,"

"Termasuk juga dirimu?"

"Termasuk juga aku,"

"Lantas siapa yang menyedihkan disini?"

"Tidak ada. Ini tentang waktu, Sweetheart. Bisakah kau bersabar? Biarkan hatimu berdamai dengannya,"

"Candu, aku lelah,"

"Itu sebabnya kuminta kau tidur,"

"Tapi aku takut,"

"Hanya takut tak masalah. Karena kau tidak akan kalah. Itu keyakinanku,"

"Bagaiamana aku meminta maaf padanya? Aku tahu itu rasanya sakit,”

“Apa dia marah?”

“Tidak. Tapi aku merasa bersalah, aku harus meminta maaf,”

“Itulah kenapa dia mencintaimu. Emosimu murni,”

“Apa hubungannya itu dengan dia mencintaiku?”

“Aku, juga mungkin dia, telah melihat begitu banyak kebohongan. Sedang dimatamu, kami melihat cahaya. Itulah dirimu,”

“Kau sedang menghiburku?”

“Aku sedang menenangkan singa dalam dirimu,”

“Kau selalu saja menyebalkan,”

“You look so beautiful, Sweetheart,” Lantas semua berakhir dengan senyummu yang berkalang di hatiku. Tuhan, apa seperti ini rasanya cinta? Sakit, tapi Candu.