Selasa, 23 Juli 2013

YANG TUHAN MAU . . .

Senja mulai temaram ketika serpihan siluet menyapu rata kanvas langit. Masih ku tercengang menatap merahnya sang mega. Nyaris seperti api yang membarakan langit. Namun tak membakarnya. Hanya hangat menelusup ke setiap sendi mematikan sejenak  rasa gundah yang membuncah.
“Rey . . . balik yuk! Udah mau gelap tuh! Entar kamu kemaleman sebelum sampai rumah,” seru Andrian, teman sepermainanku dulu. Aku hanya menoleh sejenak tak bergeming.
Yah, dulu. Dulu ketika aku masih kerap mengahabiskan liburan sekolah di tempat yang kini kuinjak lagi. Kuinjak lagi setelah belasan tahun. Belasan tahun kutinggalkan untuk sebuah obsesi. Mungkin yang lebih tepat dianggap sebagai balas dendam.
Masih sangat lekat di memoriku, hari terakhirku di tempat ini. Di stasiun ini, ketika dengan langkah berat bercampur perih kunaikkan kaki memasuki gerbong kereta ekonomi yang kan membawaku ke kehidupan yang baru, katanya.
Ah, luka apa ini! Rasa perih tapi hangat kemudian. Serasa ingin menangis tapi justru tawa tipis yang mencuat dari bibirku.
“Allah . . . . kamu akan punya banyak waktu untuk melihat senja seperti itu lagi, dari rumah mu senja yang lebih indah akan bisa kau nikmati bahkan sampai gelap tiba. Tapi sekarang aku harus pastikan kamu sampai di rumah sebelum gelap tiba atau kita harus menginap di rumah tetangga,” Andrian mulai geram dan menarik tanganku yang tak bergeming menatap senja menuju motor yamaha RX yang nyaris tak bisa lagi dikenali produksi tahun berapa.
Memoriku kembali memutar kaset lawasnya yang bagiku masih teramat utuh. Hari-hari dimana aku yang berlumur lumpur setelah seharian berjingkat-jingkat mengganggu para petani harus dibujuk sedemikian rupa untuk pulang. Motor butut inilah yang paling bisa membujukku.
Aku akan merajuk mengajukan syarat untuk pulang. “Aku mau pulang asal diantar Andrian pulang pake motornya pak lek” begitulah aku merajuk hampir setiap harinya. Dan entah kenapa orang-orang tak pernah menolak permintaanku itu. Hanya Andrian yang kerap manyun sembari mengepalkan tangan geram padaku. Jika sudah begitu, aku hanya berusaha tersenyum semanis mungkin tanpa berdosa.
Hemm . . . jahilnya aku.
“Sepeda ini masih ada rupanya,” ucapku kemudian ketika motor telah melaju meninggalkan stasiun.
“Kalau sepeda ini dijual, tidak akan ada lagi alasan yang bisa membawamu pulang,” ucap Andrian ringan tanpa beban. Seperti kehangatan yang mulai diusik dingin menjelang petang.
***
Menikah, bagi gadis desa sepertiku menjadi sebuah sumpah tradisi yang mungkin tak bia kami elakkan seberapapun kami ingin. Kendatipun di usia yang masih belia. Alasannya sederhana, memiliki anak perempuan seperti meletakkan telur di ujung tanduk, alih-alih menanti umur yang cukup, perempuan justru akan menerima kutukan masyarakat yang pedasnya melebihi nyala api.
Begitupun denganku, pernikahanku segera digelar sebulan setelah sebuah lamaran datang dari salah seorang yang masih memiliki hubungan famili dengan keluargaku. Pria yang akhirnya kutahu adalah paman dari silsilah ibuku. Saat itu aku baru saja meneguk kemeriahan pesta kelulusan dari Madrasah Aliyah.
Nyaris tanpa perlawanan jika ini layak disebut sebuah peperangan kupenuhi saja sumpah setia itu. juga tanpa alasan kubiarkan keluarga baruku yang asing itu memboyongku ke Jakarta, kota yang hanya kukenal dari berita TV yang kulihat. Sama sekali tak menarik bagiku. Sekalipun banyak yang bilang Jakarta kota uang.
“Pernikahan kalian telah direncanakan semenjak kalian masih kecil, sebelum ayah Deny merantau ke Jakarta. Kami sengaja tidak memberi tahumu supaya tidak membebanimu. Sekarang saatnya kau menjalani takdirmu. Deny dari keluarga yang baik, karena itu jadilah istri yang baik untuknya,” pesan ibu, seolah meminta sumpahku.
Aku tak tahu harus menjawab apa, kendati dibesarkan dengan kebebasan untuk memilih tapi kali ini pilianku hanyalah menerima dan menjalaninya semampu hatiku bertahan. Kucoba tumbuhkan keyakinan, cinta itu akan muncul dengan sendirinya.
Bukankah Tuhan yang menjadikanku menjalani posisi ini, pastilah Tuhan pula yanga akan memberikanku kemudahan jika dalam perjalanannya aku terpelanting dan jatuh. Begitulah aku terus berharap, hingga detik-detik luka memar di hatiku.
Aku mungkin tak banyak mengenal siapa lelaki yang menjadi suamiku. Aku hanya tahu dia lelaki yang dipilihkan keluargaku, yang katanya akan bisa menjadi imam bagiku. Bersama dengan mimpi akan kebahagiaan hidup kujalani status yang disandangkan padaku.
“Rey . . . kau perempuan yang baik. aku harusnya sangat beruntung memiliki istri sepertimu. Tapi, kau tahu bagaimana keluargaku dan keluargamu. Kita memiliki latar belakang yang sangat jauh berbeda. Aku merasa sangat tidak bisa mengikuti jalan keluargamu begitupun kurasa denganmu. Bukankah sangat menyakitkan jika terus kita paksakan menjalani status yang tak men
Senja mulai temaram ketika serpihan siluet menyapu rata kanvas langit. Masih ku tercengang menatap merahnya sang mega. Nyaris seperti api yang membarakan langit. Namun tak membakarnya. Hanya hangat menelusup ke setiap sendi mematikan sejenak  rasa gundah yang membuncah.
“Rey . . . balik yuk! Udah mau gelap tuh! Entar kamu kemaleman sebelum sampai rumah,” seru Andrian, teman sepermainanku dulu. Aku hanya menoleh sejenak tak bergeming.
Yah, dulu. Dulu ketika aku masih kerap mengahabiskan liburan sekolah di tempat yang kini kuinjak lagi. Kuinjak lagi setelah belasan tahun. Belasan tahun kutinggalkan untuk sebuah obsesi. Mungkin yang lebih tepat dianggap sebagai balas dendam.
Masih sangat lekat di memoriku, hari terakhirku di tempat ini. Di stasiun ini, ketika dengan langkah berat bercampur perih kunaikkan kaki memasuki gerbong kereta ekonomi yang kan membawaku ke kehidupan yang baru, katanya.
Ah, luka apa ini! Rasa perih tapi hangat kemudian. Serasa ingin menangis tapi justru tawa tipis yang mencuat dari bibirku.
“Allah . . . . kamu akan punya banyak waktu untuk melihat senja seperti itu lagi, dari rumah mu senja yang lebih indah akan bisa kau nikmati bahkan sampai gelap tiba. Tapi sekarang aku harus pastikan kamu sampai di rumah sebelum gelap tiba atau kita harus menginap di rumah tetangga,” Andrian mulai geram dan menarik tanganku yang tak bergeming menatap senja menuju motor yamaha RX yang nyaris tak bisa lagi dikenali produksi tahun berapa.
Memoriku kembali memutar kaset lawasnya yang bagiku masih teramat utuh. Hari-hari dimana aku yang berlumur lumpur setelah seharian berjingkat-jingkat mengganggu para petani harus dibujuk sedemikian rupa untuk pulang. Motor butut inilah yang paling bisa membujukku.
Aku akan merajuk mengajukan syarat untuk pulang. “Aku mau pulang asal diantar Andrian pulang pake motornya pak lek” begitulah aku merajuk hampir setiap harinya. Dan entah kenapa orang-orang tak pernah menolak permintaanku itu. Hanya Andrian yang kerap manyun sembari mengepalkan tangan geram padaku. Jika sudah begitu, aku hanya berusaha tersenyum semanis mungkin tanpa berdosa.
Hemm . . . jahilnya aku.
“Sepeda ini masih ada rupanya,” ucapku kemudian ketika motor telah melaju meninggalkan stasiun.
“Kalau sepeda ini dijual, tidak akan ada lagi alasan yang bisa membawamu pulang,” ucap Andrian ringan tanpa beban. Seperti kehangatan yang mulai diusik dingin menjelang petang.
***
Menikah, bagi gadis desa sepertiku menjadi sebuah sumpah tradisi yang mungkin tak bia kami elakkan seberapapun kami ingin. Kendatipun di usia yang masih belia. Alasannya sederhana, memiliki anak perempuan seperti meletakkan telur di ujung tanduk, alih-alih menanti umur yang cukup, perempuan justru akan menerima kutukan masyarakat yang pedasnya melebihi nyala api.
Begitupun denganku, pernikahanku segera digelar sebulan setelah sebuah lamaran datang dari salah seorang yang masih memiliki hubungan famili dengan keluargaku. Pria yang akhirnya kutahu adalah paman dari silsilah ibuku. Saat itu aku baru saja meneguk kemeriahan pesta kelulusan dari Madrasah Aliyah.
Nyaris tanpa perlawanan jika ini layak disebut sebuah peperangan kupenuhi saja sumpah setia itu. juga tanpa alasan kubiarkan keluarga baruku yang asing itu memboyongku ke Jakarta, kota yang hanya kukenal dari berita TV yang kulihat. Sama sekali tak menarik bagiku. Sekalipun banyak yang bilang Jakarta kota uang.
“Pernikahan kalian telah direncanakan semenjak kalian masih kecil, sebelum ayah Deny merantau ke Jakarta. Kami sengaja tidak memberi tahumu supaya tidak membebanimu. Sekarang saatnya kau menjalani takdirmu. Deny dari keluarga yang baik, karena itu jadilah istri yang baik untuknya,” pesan ibu, seolah meminta sumpahku.
Aku tak tahu harus menjawab apa, kendati dibesarkan dengan kebebasan untuk memilih tapi kali ini pilianku hanyalah menerima dan menjalaninya semampu hatiku bertahan. Kucoba tumbuhkan keyakinan, cinta itu akan muncul dengan sendirinya.
Bukankah Tuhan yang menjadikanku menjalani posisi ini, pastilah Tuhan pula yanga akan memberikanku kemudahan jika dalam perjalanannya aku terpelanting dan jatuh. Begitulah aku terus berharap, hingga detik-detik luka memar di hatiku.
Aku mungkin tak banyak mengenal siapa lelaki yang menjadi suamiku. Aku hanya tahu dia lelaki yang dipilihkan keluargaku, yang katanya akan bisa menjadi imam bagiku. Bersama dengan mimpi akan kebahagiaan hidup kujalani status yang disandangkan padaku.
“Rey . . . kau perempuan yang baik. aku harusnya sangat beruntung memiliki istri sepertimu. Tapi, kau tahu bagaimana keluargaku dan keluargamu. Kita memiliki latar belakang yang sangat jauh berbeda. Aku merasa sangat tidak bisa mengikuti jalan keluargamu begitupun kurasa denganmu. Bukankah sangat menyakitkan jika terus kita paksakan menjalani status yang tak menyenangkan ini,” ucap Mas Deny di suatu malam.
“Kita bisa saja memulai semuanya dari awal jika kau bisa memastikan untuk tak hidup lagi dengan cara kedua orang tuamu,”
Aku hanya bergeming. Memastikan aku tetap bersikap sewajarnya walau hatiku dipenuhi gemuruh yang tak kupahami. Tapi, sakit di hatiku tak bisa berkompromi. Perih disana menuntun buliran air mata membasahi mataku, mengalir deras menuju pipi dan akhirnya jatuh ke pangkuanku.
“Yang aku tahu, selama 20 tahun aku hidup dengan segala nilai yang dipercaya keluargaku. Aku tak bisa melihat ada nilai lain yang lebih agung dari itu. jika kini, seseorang yang baru beberapa bulan saja memiliki hak atas hidupku, memintaku melepas ikatan dengan mereka, maaf jika aku lebih memilih untuk menyerah,”
Bukan pilihan yang tepat kurasa, tapi inilah pilihan paling logis yang bisa kuambil. Dan semua berjalan seperti yang Tuhan mau, kurasa.
Sakit ini takkan pernah lagi kuceritakan, tidak juga kan kukenang. Biarlah ia menjadi memori usang yang tak dikenal.
***
Kulepas helm yang baru kuingat dipakaikan Andrian tadi. Dan membiarkan angin melambaikan kerudung yang kupakai. Memori masa kecil selalu indah untuk dikenang, tapi takkan pernah ingin kuulangi jikapun aku bisa kembali ke masa itu. Entah mengapa. Bagiku beginipun sudah cukup. Aku tak mau apa-apa lagi.
 “Renata Maulida, are you here????” seru Andrian nyaris berteriak di telingaku. Aku tergagap kaget. Aku baru sadar, kami telah berada di depan pagar rumah.
“Apa?” tanyaku dengan wajah penuh tanya.
“Apa? Apa? Kamu itu hoby banget ngelamun ya, kamu kayak bukan Renata yang kukenal. Renata yang jahil, nyebelin, ...”
“Cerewet, bandel, sok tahu, ya kan?!” Sambungku sebelum Andrian menyelesaikan kalimatnya. Lantas tanpa menunggu responnya, aku beranjak membuka pagar rumah.
Rumah tempatku menghabiskan masa kecil. Rumah ini nampak lengang. Setahun setelah nenek meninggal, ayah dan ibu memutuskan untuk tinggal di Jepang. Tak berapa lama, aku pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Bogor, tepatnya setelah aku bercerai dari Mas Deny.
Andrian mungkin mengerti bahwa kepergianku ke Bogor bukan semata karena mimpiku menjadi seorang sarjana pertanian, bukan karena aku sangat mendambakan hidup di kota bunga, bukan juga karena ambisiku untuk menjadikan tanah kelahiranku yang gersang ini menjadi tanah yang makmur, bukan.
Kini, aku kembali ke rumah ini. Tak banyak yang berubah selain kenyataan bahwa aku akan tinggal di rumah ini sendiri. Aku bisa saja menjual rumah ini dan tinggal di Bogor. Tapi, tempat ini satu-satunya yang masih menyimpan kenangan kehidupanku. Ada nenek, kakek, ayah, ibu, Andrian, dan , , , Mas Deny.
“Rey . . tunggu!” Andrian menarik tanganku, yang memaksaku menoleh.
“Aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat atau bukan. Aku hanya tahu, aku telah memendamnya sejak lama. Nyaris tak ada lagi kata yang pantas kurasa untuk menggambarkan seperti apa aku mengkhawatirkanmu, seperti apa aku sangat ingin bisa menjagamu  dan . . . ah . .” kalimatnya terputus begitu saja. Andrian mulai mengeram kesal.
Aku hanya bisa terpaku dan menerka-nerka apa sebenarnya hal yang membuat Andrian begitu gelisah. Pengalaman yang kupunya tak cukup untuk mengartikan apa yang tengah terjadi. Selain juga karena aku tak lagi berhasrat memikirkan sesuatu secara berlebihan.  Biarlah semua berjalan seperti yang Tuhan mau.
“Ian . .” aku mencoba meraih bahunya. Dia berbalik dengan muka yang dipenuhi keringat dingin.
“Kamu kenapa seh? Ekspresimu bikin ngeri tahu nggak. Kita akan punya banyak waktu untuk membicarakan banyak hal nanti. Sekarang pulanglah, tenangkan dirimu, terima kasih udah menjemputku,” aku kembali mencoba untuk masuk ke rumah, dan untuk kedua kalinya Andrian mencegahku.
“Rey . . ijinkan aku menjadi lebih untukmu. Jadilah halal bagiku!” ucap Andrian dengan suara tercekat.
Aku kembali terpaku, kali ini bukan karena menerka apa yang akan terjadi tapi apa yang harus aku lakukan?
Sejauh yang bisa kucerna, Andrian adalah sahabatku kendati kami telah begitu lama tak bertemu. Keluarganya pun seperti keluargaku. Pak Lek Deri, begitu kupanggil ayahnya. Keluarganya yang selama ini menjaga seluruh sawah dan ladang milik nenek. Mereka adalah pekerja kepercayaan keluargaku.
Dulu saat masih kecil, ketika merajuk aku akan memilih untuk tidur di rumah Andrian. Keluarganya tak pernah memperlakukanku seperti ratu di rumahnya, justru seperti putri mereka sendiri.
Semua alasan itu memang cukup bagiku untuk mengiyakan permintaan Andrian. Tapi, dengan statusku sekarang apa mungkin?? Tidak! Aku tidak bisa melihat kenyataan bahwa masyarakat akan mencibir Andrian yang masih lajang menikahi seorang janda sepertiku. Beban yang akan kutanggung mungkin akan jauh lebih berat, dibanding statusku sebagai janda.
Tuhan . . . aku pasrah dengan apa yang Engkau mau, tapi kali ini, apa yang Engkau kehendaki??
***
“Sayang . . . bangun! Sudah hampir subuh,” sebuah suara samar-samar mengusik kesadaranku. Memaksaku membuka mata menyatukan sukmaku yang berkeliaran entah kemana.
Seseorang menarik selimut yang membalutku. Aku beranjak duduk dengan setengah sadar. Di depanku sebaris senyum dari keteduhan wajah yang sangat kukenal menyambutku membuka mata. Tangannya membelai rambut yang berserakan menutupi wajahku.
“Cepat mandi! Aku tunggu di bawah, Kita sholat bareng,” ucapnya sembari menepuk pipiku pelan. Aku mengangguk pelan. Ia beranjak dari sisi ranjang setelah membangunkanku.
“Mas . .” aku menarik tangannya yang memaksanya untuk duduk lagi di sisi ranjang.
Kudekatkan wajahku dan memberikan kecupan di pipi kirinya. Pria lugu didepanku itu nampak terkejut meski tak terparanjat.
“I love you” bisikku di telinganya.
Dia tersenyum manis sambil mengusap lembut pipiku.
“Ada apa ini? Pagi-pagi aku sudah dapat bonus kecupan? Apa gerangan yang dimau istriku ini?” ucap Andrian, Suamiku. Ya, Andrian, Andrian yang kini kupanggil dengan sebutan ‘mas’ seperti biasanya para istri memanggil suaminya.
Aku menggeleng cepat. Dan berdiri dari tempat tidur. Merapikan sekenanya rambutku yang terurai dan menjepitnya.
“Sayang . . . ada apa? Apa kamu mimpi buruk?” tanya suamiku penasaran.
Kuraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat, berharap ia membaca isi hatiku bahwa aku sangat baik. lebih dari baik jika ada kata yang bisa membahasakannya.
“I am fine honey . . really! I am just say love you, its wrong??”
“Ok, aku percaya. Karena tadi aku dapat kecupan sekarang gantinya satu pelukan. Sini!” pintanya mengulurkan tangan, yang segera kubalas dengan berhambur ke dada bidangnya.
“Bahagiakanlah selalu hatimu istriku. Aku janji akan berusaha untuk membuatmu tak pernah memiliki alasan untuk bersedih,” meresapi setiap bahasa yang disampaikan oleh getaran dalam jiwa kami.
Tuhan . . bukankah semua berjalan seperti yang Engkau mau?? Kuyakin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar