Jika ada yang bertanya apa itu pengabdian mungkin aku tahu. Aku mengetahuinya lebih lama dari yang bisa orang lain ajarkan. Aku menjalaninya lebih dari yang bisa dilakukan banyak orang. Jika ada yang bertanya tentang pengorbanan. Aku bisa menjawabnya. Aku hidup dengan cara itu lebih dari yang bisa dihadapi oleh orang lain. Aku mencernanya lebih sering dari aku menelan makananku.
Tapi apapun itu, aku menjalaninya biasa saja. Karena hidup ini pada akhirnya akan biasa saja. Gejolak hidup hanya semacam bumbu untuk membuatnya lebih terasa. Meski kadang sedikit pahit getir, asam, manis, asin dan entah apa lagi. Yang jelas perpaduannya akan menciptakan rasa yang sempurna.
Gejolak hidupku dimulai semenjak berakhirnya perayaan pernikahanku. Dimulainya hidup baruku, mengajarkanku hal yang baru pula. Pengabdian baru, pengorbanan baru dan mungkin rasa sakit dan cinta yang baru.
Aku pikir hidupku tak seperti kebanyakan. Aku menikah tanpa mengenal calon suamiku. Tanpa tahu siapa keluarganya. Satu-satunya yang aku tahu mereka adalah karib orang tuaku yang memang telah berikrar untuk mengikat salah satu dari putra putrinya sebagai penyambung silaturrahim.
Tapi tak berarti aku tak bahagia. Aku menjalaninya seperti pada umumnya. Berusaha menjadi istri dan menantu yang terbaik. Sebaik yang aku bisa lakukan. Hidupku terasa sempurna pada awalnya. Mertuaku sangat sempurna sebagai seorang orang tua. Hampir tak ada cela.
“Syifa, kau datang kerumah ini bukan sebagai menantuku tapi sebagai putriku”. Ucap ibu mertuaku sebelum meninggalkan aku dan suamiku di rumah yang akan kami tempati setelah ini.
“iya ibu, mohon doa restunya. Agar aku bisa menjalankan kewajibanku sebagai putrimu”.
“Sebagai Istri Farhan juga tentunya”, Sambung ayah mertuaku. Aku hanya tersipu. Suamiku tak bergeming hanya menoleh sekejab ke arah kami. Kemudian kembali sibuk dengan rokoknya.
***
Selepas kepergian mertuaku aku mulai sibuk berbenah di rumah baru kami. Untung ada bi minah. Pembantu di rumah ibu mertuaku yang sengaja dipekerjakan di rumah kami. Hingga menjelang senja seluruh pekerjaan belum rampung benar. Tapi lumayanlah rumah sudah layak huni. Aku bergegas membersihkan diri untuk menjalankan sholat maghrib. Suamiku pergi semenjak siang tadi dan belum kembali. Aku menunggunya sembari menyiapkan makan malam. Bi minah sudah pulang semenjak sore tadi. Dia memang tidak tinggal, karena masih harus membantu suaminya yang seorang penjual soto.
Jam dinding telah menunjuk angka 11. Tapi Mas Farhan tak jua pulang. Kucoba menelponnya tapi berkali-kali di reject. Sibuk mungkin, pikirku. Aku membereskan meja makan dan menghangatkan sebagian masakan. Barangkali mas Farhan pulang. Kemudian aku pergi mandi karena merasa sedikit gerah. Sesaat ketika hendak keluar dari kamar mandi, ada yang berusaha membuka pintu.
“Mas Farhan???” tanyaku dari dalam sembari memakai pakaian. Kemudian bergegas keluar. Setelah pintu kubuka mas farhan langsung saja masuk dan menutup pintu dengan keras. Aku menggeleng kepala heran.
“mas udah makan?? Biar aku siapin”.
“Aku gak laper!”. Ucapnya tanpa menoleh ke arahku sembari mengganti pakaian dengan baju tidur kemudian masuk lagi ke kamar mandi.
Aku keluar untuk membuatkan minuman untuk Mas Farhan.
Ppyyaaarrrrr , , , , , , , , !!!!
Kudengar sesuatu jatuh di kamar lebih tepatnya pecah. Aku bergegas menuju kamar. Ternyata kaca rias di kamarku pecah lebih tepatnya dipecahkan. Kulihat tangan mas farhan berkucuran darah.
“ya Allah Mas, ini Kenapa??” kuambil tisu untuk menutup lukanya yang berdarah. Mas farhan menarik tangannya dengan keras hingga aku terpental dan terjerembab.
“semua ini karena kau . . . kehadiranmu yang mengacau segalanya”
“maksud mas apa?? Aku gak ngerti” tanyaku sembari berusaha bangun. Baru setengah bangun mas farhan menarik tanganku dan melemparku ke Sofa.
“awww , , , , , ,!! Mas ada apa sebenarnya??” Mas Farhan mencengkeram kedua tanganku
“jangan banyak bertanya lagi! Karena aku takkan bisa menjawabnya. Kalaupun bisa, semuanya sudah kacau. Dan sekarang biar kutunjukkan kekacauan itu padamu”.
Disinilah untuk pertama kalinya dalam hidupku aku mengutuk kehidupan yang kujalani. Kehidupan yang selama ini kupelajari dari Ibu sebagai Pengabdian.
Ibu, sesakit inikah pengabdian yang harus kujalani. Bukankah semua ini kulakukan sebagai baktiku padamu?? Kenapa begitu sakit??
Batinku menjerit namun tak bersuara. Aku tidak tahu harus menangis ataukah tersenyum. Hanya isak tangis mengiringi perih di sekujur tubuhku. Juga sakit di hatiku yang takkan pernah bisa kupahami.
***
Aku sudah bilang kan, bahwa aku akan mengajari kalian mengenai apa itu pengabdian. Inilah pengabdian itu. Kujalani hidupku tanpa mengeluh, meski dengan batin yang terkoyak. Aku tahu ini pilihan yang teramat konyol. Menjalani siksaan hidup sementara harusnya kita punya daya untuk melawan. Sekali lagi inilah pengabdian. Kadang cinta memang selalu bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan hal yang konyol. Sekonyol apa yang aku jalani saat ini.
“Halo . . . iya dengan saya sendiri. Astaghfirullah . . . di rumah sakit mana?? Iya saya segera kesana”. Kututup telpon dan bergegas mencari taksi. Mas Farhan mengalami kecelakaan di pertigaan jalan kemuning. Mobil yang dikendarainya terserempet truk pengangkut sampah dan menabrak traffic light. Jalan kemuning? Bukannya itu jalan ke rumah ibu mertua?. Harusnya kan mas di kantor? Aku tak sempat berpikir panjang lagi.
Sampainya di rumah sakit, kulihat ibu dan ayah mertuaku telah berada disana. Dengan setengah bingung aku mengucap salam dan memasuki ruangan tempat mas dirawat. Aku sempat terperanjat kaget ketika ibu mertuaku yang terisak berhambur memelukku.
“Ibu sabar ya, , , mas Farhan pasti sembuh kok. Kan ada aku yang akan merawatnya. Ibu jangan khwatir”. Ucapku berusaha menenangkan.
Ibu mertuaku melepas pelukannya, dan mengusap air matanya.
“Ibu menangis bukan karena itu, tapi justru karena ibu merasa bersalah sama kamu”.
Aku clingukan memandang ke arah Ayah dan Ibu mertuaku juga sesekali ke arah mas farhan yang nampak sayu menahan sakit sepertinya.
“nak, maafkan kami. Keinginan kami untuk menjodohkan kalian, tidak kami sangka bakal berbuah luka untukmu. Kami benar-benar berdosa padamu”. Ayah mertuaku angkat bicara
“tadi farhan ke rumah dan menceritakan semuaya. Kami terlibat pertengkaran. Farhan pulang dalam keadaan emosi. Mungkin karena itu dia tidak fokus berkendara dan kecelakaan”. Ibu kembali terisak, kali ini bersandar di pundak ayah.
“Ayah, Ibu, aku mungkin sempat mengutuk keadaan yag kualami. Aku hanya ingin mengabdi pada orang tua tapi kenapa aku harus menderita. Namun aku sadar, kehidupan ini bukan fairy tales yang tanpa cela, pada akhirnya smua akan biasa saja. Dan bukankah aku telah bersumpah menjadi putri kalian?? Apakah seorang anak akan berhenti mencintai orang tuanya hanya karena dia hidup menderita??” ucapku bersamaan berhamburnya ibu memelukku sementara ayah mengusap dan mengecup kepalaku dengan penuh kasih. Damainya tempat ini,
“jika waktu bisa diputar, aku akan minta supaya kau jadi anakku, bukan menantuku”
“ayah, aku putrimu”
“Ayah, ibu, aku punya kabar untuk kalian,” kukeluaran sepucuk surat dari dalam tas.
“surat dari rumah sakit?? Kamu sakit apa nak?” tanya ibu
Aku Cuma menggeleng
Ibu membuka surat itu dengan was-was. Selepas membacanya wajah ibu yang tadinya sayu menjadi cerah berbinar seperti mentari pagi. Ayah yang tak sabar meraih surat itu dan membacanya sendiri.
Kami bertiga saling berpandangan dengan kecamuk perasaan yang tak pasti. Hanya yang kutahu mereka pasti senang dengan kabar ini,
“Kamu hamil???” ibu kembali memelukku. Ayah tak henti-hentinya mengucap syukur. Kurasa inilah yang akan dilakukan Abi dan Umi jika mendengar kabar ini. tak sabar aku melihat senyum mereka.
“Ibu, tolong jangan beritahu mas soal kehamilanku. Aku takut ini justru akan membuatnya shock. Biar nanti aku sendiri yang memberi tahu mas” pintaku kemudian. Baik ayah ataupun ibu hanya mengiyakan.
***
Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, mas farhan kemudian diijinkan untuk rawat jalan. Aku bersyukur. Bukan Cuma karena mulai pulihnya keadaan mas farhan. Tapi juga itu artinya aku tak perlu lagi bolak-balik ke rumah sakit. Kadang tubuhku seperti remuk. Terutama di daerah pinggang. Jika kukeluhkan itu pada bi minah dia selalu bilang itu bawaan orang hamil.
Hamil baru 3 bulan saja sudah terasa remuk badanku, bagaimana nanti jika perutku udah membuncit?? Aku capek sendiri kadang jika memikirkannya. Tapi ada perasaan senang ketika mengusapnya, serasa ada yang hangat disana. Hingga sekarang mas farhan belum tahu apa-apa mengenai kehamilanku. Tadinya aku juga merahasiakannya dari bi minah. Mas sangat dekat dengan bi minah, aku takut bi minah menceritakannya pada mas. Tapi aku tidak bisa mengelak lagi ketika bi minah mendapati aku yang tengah mual dan muntah-muntah di kamar mandi. Mungkin karena sudah pengalaman bi minah langsung bisa menebak kalo aku tengah hamil. Akupun mengaku dan memintanya merahasiakan, dan bi minah bisa dipercaya.
Seperti biasa setiap pagi kusiapkan sarapan untuk mas farhan dan menyuapinya. Selama sakit mas farhan menurut saja ketika kusuapi, dan lagi ia takkan mampu berbuat banyak dengan posisi tangan di-gips. Pernah suatu ketika tangannya menyentuh perutku tanpa sengaja ketika hendak membalik posisi tidurnya. Itu pertama kalinya calon bayiku tersentuh oleh ayahnya, walau tanpa sengaja. Aku keluar dari kamar dengan berbinar senyum. Entah untuk apa, aku hanya merasa senang dan kunikmati saja perasaan itu tanpa banyak bertanya.
“Harusnya kau bisa saja pergi jika kau mau, kenapa masih ada disini” ucap mas farhan suatu ketika saat aku tengah membereskan bekas sarapannya. Aku tak menjawab.
“Aku tahu, kau tidak tuli. Kenapa masih mau menjagaku? Kau bisa pergi. karena bersamaku kau takkan mendapatkan cinta seperti yang kau inginkan”
“Aku tahu. Aku bisa saja meninggalkan pria pesakitan sepertimu dan mencari pria lain yang bisa memperlakukanku dengan lebih layak. Tapi aku tidak melakukannya. Kenapa? Jangan berpikir itu karena kau. Aku melakukannya karena aku telah bersumpah menjadi putri dari seorang Ibu dan Ayah. Aku bukan menikah denganmu. Aku menikah dengan keluargamu. Kau tahu, aku telah melakukan lebih dari yang bisa kau lakukan sebagai putra mereka”. Ucapku dengan nada penuh keangkuhan dan meninggalkannya.
***
Pagi ini, kurasakan tubuhku kurang bertenaga. Kuminta bi minah menyiapkan sarapan untuk mas farhan. Aku pergi beristirahat ke kamarku. Selepas malam itu aku memang tak pernah lagi tidur di kamar mas farhan. Aku tidur di kamar tamu. Samar-samar kudengar suara orang menuruni tangga, pasti mas farhan. Tak kuhiraukan dan lantas bergegas merebahkan tubuh di tempat tidur, kepalaku benar-benar pening. Aku harus istirahat, jangan sampai bayiku ikut kepayahan.
Entah berapa lama aku tidur, aku terjaga karena mendengar suara gelas pecah. Suara itu dari arah dapur. Aku beranjak dan menuju dapur. Kulihat disana mas farhan tengah memunguti gelas yang pecah. Tanpa bicara kubantu ia membereskan pecahan gelas itu.
“Kenapa tidak panggil bi minah, jika perlu sesuatu?”.
“Bi minah pulang. Suaminya sakit. Tadinya aku mau bikin kopi. Tanpa sengaja gelas itu tersengol jatuh dan pecah”
Kuambil gelas yang lain dan membuatkan kopi untuk mas farhan. Ia tetap berdiri mematung menunggu kopi yang kubuat. Kuulurkan kopi itu untuknya lantas dibawa ke meja makan. Aku menyiapkan makan siang. Rupanya sebelum pergi bi mina telah menyiapkan masakan yang tinggal kuhangatkan saja ketika akan dimakan. Ia pasti sangat khawatir aku kecapekan.
Hubungan kami sangat kaku. Meski tak pernah lagi marah dan berlaku kasar tapi kami jarang sekali terlibat pembicaraan bahkan di meja makan. Kami membisu dan berperang dengan pikiran kami sendiri. Kadang kucoba angkat bicara dan menawarkan untuk mengambilkan makanan untuk mas farhan tapi hanya dibalas denga gelengan atau kemudian diambil sendiri.
Hari ini terasa panjang tanpa bi minah. Tak ada yang bisa kuajal ngobrol. Biasanya bi minah pulang malam hari. Jadi seharian bisa menemaniku bersantai dan ngobrol. Kadang aku bertanya banyak hal mengenai kehamilan tentu saja dengan diam-diam agar mas farhan tidak mendengar.
Aku menghabiskan waktu seharian di taman depan rumah, dengan membaca majalah atau melanjutkan kain sulamanku, sebuah baju hangat untuk bayiku. Aku bergegas masuk ke dalam ketika udara mulai terasa dingin. Kulihat jam di tanganku menunjuk pukul 09.00. lantas bergegas ke dapur untuk membuatkan minuman untuk mas farhan. Aku biasa membuatkannya susu hangat setiap malam. Ibu bilang mas punya kebiasaan minum susu sebelum tidur sejak kecil.
Kucoba ketuk pintu kamarnya tapi tak ada jawaban. Aku langsung masuk dan meletakkan susu hangat di meja kemudian bergegas keluar. Aku berpapasan dengan mas farhan yang ternyata berada diluar.
“eh, maaf. Aku Cuma meletakkan susu hangat di meja”
“Syifa. Bisa ngobrol sebentar??”
Aku mengangguk. Aku duduk di sofa. Mas farhan duduk di depanku, kami duduk berhadapan. Cukup lama kami cuma diam.
“aku, , , , , mau minta maaf” ucapnya memecah keheningan
“eh, , untuk pa??”
“untuk semua perlakuanku selama ini. aku tahu sangat naif apa yang aku lakukan. Menyalahkanmu atas apa yang terjadi padaku. Padahal kau tidak pernah ada kaitannya dengan semua kekacauan ini”.
“lupakan saja lah mas. Aku udah gak mikirin soal itu. Bagiku itu masa lalu”
“iya, tapi tetap saja aku bersalah padamu”
“pada akhirnya semua akan baik-baik saja. Aku sudah melupakan hal itu dan memaafkan mas”
“terima kasih. Setelah apa yang kulakukan kau sedikitpun tak menaruh dendam”
Mungkinkah aku membenci seseorang yang telah menanam benih cinta di rahimku. Alasan terbesar aku bertahan sekarang. Batinku.
“kalo sudah tidak ada lagi, aku mau kembali ke kamarku”. Aku beranjak dari sofa. Tiba-tiba mas farhan menarik tanganku.
“tunggu, ada yang belum aku katakan”
“apa lagi?”. Mas farhan berdiri dekat sekali, teramat dekat hingga bisa kurasakan hembusan nafasnya di keningku. Dia menunduk dan mecoba menciumku. Refleks aku mengelak. Ia nampak kecewa. Dilepasnya tangan yang tadinya menggenggam tangan ku.
“maaf!” ucapku terbata-bata.
“ehm, , tidak aku yang harusnya minta maaf. Tadinya aku pikir kita akan mulai semuanya dari awal. Aku lupa, luka yang telah kubuat pasti sangat menyakitkan dan membuatmu trauma. Aku , , ,”. Kubuat ia tak bisa melanjutkan kalimatnya. Karena jika tidak aku pasti akan menangis dibuatnya. Kututup bibirnya dengan bibirku. Hal yang tadi kutolak kini kulakukan sendiri. Biarlah, aku hanya ingin melakukannya dan kulakukan. Toh dia suamiku.
Selepas menciumnya, akal sehatku kembali. Bergegas berlari menuju piintu tapi mas farhan meanarikku dan lantas memelukku.
“mau kemana? Kamarmu disini. Berhenti bermain-main dan biarkan kulakukan kewajibanku”
“mas, ada yang belum kukatakan” ucapku
“apa?”
“aku hamil”
“hah, , , hamil??”
Aku mengangguk ragu. Mas farhan tersenyum bangga lantas mengecup keningku. Lantas berlutut memegang perutku. Menciumnya.
“Sayang, ini ayah. Maaf baru sekarang ayah menyapamu, baik-baik disana dan cepatlah lahir. Ayah dan bunda akan menyambutmu dengan bangga” lantas diciumnya lagi.
“Sungguh Tuhan teramat murah hati pada pendosa sepertiku. Dikaruniakan-Nya berkah yang berlimpah . . .”. kututup mulutnya dengan jariku.
“Tuhan, memang Maha Pemurah, karena itu kita harus banyak-banyak bersyukur. Jangan Cuma mengeluh”
“iya. Sekarang ijinkan aku membayar kesalahanku padamu. Kebahagiaan yang harusnya kuberikan sebelumnya,”.
Mas farhan menciumku sekejab, “bolehkan??” pintanya
“lakukanlah,”
Dan semuanya terasa indah. Pergumulan dua insan dalam ikatan cinta suci. Inilah pengabdian yang kukatakan. Pahit tapi berbuah manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar