Senin, 23 November 2015

JEJAK SEJARAH PETILASAN ARYA DAMAR


Candi Tawangalun, Buncitan, Sidoarjo

JEJAK SEJARAH PETILASAN ARYA DAMAR

Mempelajari situs kuno selalu menarik. Entah dari segi kisah maupun aspek mistis yang hampir selalu mengiringi. Namun yang lebih utama adalah bagaimana menjaga kelestariannya sebagai warisan budaya masa lalu. Jangan sampai, kelak kejayaan bangsa hanya tinggal cerita. Karena jika bukan kita siapa lagi akan melestarikannya?



Kebosanan akan hiburan yang mindstream, membawa salah seorang kru Derap Desa (DD) menelusuri jejak sejarah yang nyaris terlupakan. Candi Tawangalun menjadi salah satu objek sejarah yang ditawarkan rekan sesama pekerja media kala itu. Alasannya sederhana, peninggalan kerajaan Majapahit ini nyaris tidak tersentuh renovasi.
Beruntung, didepan onggokan batu bata merah yang sebelumnya dikira sisa kontruksi tersebut terdapat tulisan Candi Tawangalun dengan huruf kapital. Lengkap dengan deretan kalimat undang-undang tentang pelestarian bangunan ataupun peninggalan sejarah. Kalau tidak, barangkali tidak akan ada pengunjung yang tahu kalau bangunan berundak itu adalah candi bersejarah.
Kondisi ini, tentu saja, sangat berbeda dengan candi-candi yang umumnya masih banyak ditemui di sekitar Sidoarjo. Candi Pari atau Sumur di Kec Porong, Sidoarjo misalnya. Kendati mengalami kerusakan di beberapa bagian akibat termakan usia, tapi bentuk aslinya sebagai sebuah candi masih dapat disaksikan.
"Kalau dibilang berantakan, ya, memang begini keadaannya. Tapi memang inilah Candi Tawangalun," tutur Ahmad Saiful Munir, juru kunci Candi Tawangalun, menanggapi keterkejutan DD yang kala itu berkunjung.
Candi Tawangalun berdiri di sebuah area perbukitan kecil di kawasan Kampung Baru Desa Buncitan Kec Sedati Kab Sidoarjo. Berada ditepian pesisir selat berupa rawa yang dijadikan tambak bandeng. Selain itu, di lokasi perbukitan itu pula tepatnya disebelah selatan area candi yang lebih lapang terdapat sebuah pemakaman umum.
Diyakini, Candi Tawang Alun dibangun pada masa kerajaan Majapahit. Hal ini terlihat dari material batu bata merah padat bercorak Hindu. Tawangalun dulunya juga dikenal dengan sebutan Candi Sumur Windu. Hal ini berdasarkan bentuk candi yang berlubang di tengah dengan diameter mencapai satu meter persegi. Juga bekas struktur konstruksi berundag yang dipakai sebagai tangga menuju perut candi. Kendati saat ini, tidak ada lagi sumber air yang mengalir dari dalam Candi Tawangalun.
Dilihat dari bentuk dan posisinya, Candi Tawangalun juga diyakini hanyalah salah satu dari keseluruhan bangunan kompleks candi. Berdasarkan analogi kontruksi bangunan Candi Pari, disimpulkan Candi Tawangalun merupakan bangunan pendukung untuk mensucikan diri sebelum seseorang melakukan pemujaan dan tirakat di candi utama.
“Dulu banyak sekali reruntuhan candi di sekitar sini. Tapi sekarang yang masih bisa dijumpai tinggal Candi Tawangalun ini,” tutur Saiful mendukung.
 Selain menjadi satu-satunya situs yang tersisa, Candi Tawangalun yang resmi diakui sebagai situs sejarah sejak 2008 ini, keadaannya jauh dari kata layak. Perawatan ala kadarnya dari juru kunci candi yang membuatnya bertahan di tepi pemukiman penduduk yang semakin merangsek mendekati kompleks candi.
Salah satu upaya Saiful, dengan memasang pembatas pagar kayu mengelilingi kompleks candi. Ia juga menjadikan kompleks Candi Tawangalun sebagai ‘galeri seni tanpa dinding’ dengan menempatkan beberapa karya buatannya. Patung Gajah Mada, dan beberapa fosil ikan purba, karang, kerang, batuan laut, dan fosil laut lainnya ditata membentuk gunungan menghiasi area candi yang cenderung gersang tersebut.
Hal miris lainnya, area candi yang diyakini dulunya merupakan kawasan laut dangkal yang sudah mengering terdapat beberapa lubang yang menyemburkan lumpur. Hanya saja intensitasnya tidak terlalu besar sehingga tidak membahayakan. Kendati terdapat pula salah satu lubang semburan yang berasa di sisi candi yang sempat menyebabkan beberapa batu bata bangunan candi longsor terbawa arus lumpur.
“Itu sebabnya saya bikin kubangan disini, supaya lumpurnya tertampung disini sehingga tidak mengganggu bangunan candi,” terang Saiful sembari menunjuk kolam kecil di selatan candi yang kala itu mengering.
Ada peristiwa menarik perihal lubang semburan lumpur tersebut, menjelang terjadinya tragedi semburan Lumpur Lapindo, 29 Mei 2006, genangan lumpur di tempat ini mengalami peningkatan. Namun karena ketidakpahaman Saiful, hal itu diabaikan. Tidak lama setelah peristiwa itu, terdengar kabar terjadi bencana lumpur lapindo.
“Selama ini ya sebatas ini yang bisa saya lakukan. Saya berharap pemerintah maupun masyarakat, ayolah kita lebih peduli terhadap peninggalan sejarah. Jangan sampai ini hilang,” pesan Saiful penuh harap.

Petilasan Arya Damar
Berada di areal Candi Tawangalun kita akan merasakan angin semilir bercampur hembusan angin hangat, khas udara pesisir. Sesekali bau belerang menghampiri indra penciuman, menambah kesan mendalam tentang kejayaan masa silam ketika candi ini masih berfungsi sebagaimana mestinya. Masa dimana nilai-nilai kehidupan dipelajari dan dipegang teguh sebagai panutan.
Seperti layaknya semua tempat bersejarah, Candi Tawangalun hidup diantara masayarakat yang memiliki kearifan lokalnya sendiri. Kisah mistis yang berujung pada larangan dan keharusan terbukti mampu menjadi peringatan agar masyarakat tidak berbuat cela. Pesan moral dari mitos itu jelas: jangan merusak. Sebuah cara yang elegan untuk memelihara konstruksi pemahaman bahwa situs-situs sejarah dibangun sebagai tempat suci, dan siapapun harus bertanggung jawab kepada kelestarian kesuciannya.
Sejarah Candi Tawangalun sendiri erat kaitannya dengan keberadaan Putri Alun, salah seorang selir Raja Majapahit, Brawijaya II dan anaknya Jaka Dila atau yang juga dikenal dengan nama Arya Damar. Dikisahkan, pada masa Kerajaan Majapahit ada seorang butho (raksasa, red) yang bernama Resi Tawangalun. Resi  Tawangalun mempunyai putri yang bernama Putri Alun. Suatu ketika Putri Alun yang menyukai Raja Brawijaya meminta kepada sang ayah agar merubahnya menjadi cantik sehingga Raja Brawijaya II tertarik padanya.
Singkat cerita, Sang Raja Brawijaya pun mempersunting Putri Alun menjadi selirnya. Namun Putri Alun yang seorang raksasa muncul sifat aslinya. Suatu hari pelayan istana mendapati Putri Alun dengan lahap menyantap daging mentah. Kejadian itu dilaporkan pada Raja Brawijaya II, raja pun marah dan kesal sehingga tanpa pikir panjang mengusir Putri Alun yang kala itu sedang hamil tua. Dalam keadaan sedih, Putri Alun pun kembali pada ayahnya dan melahirkan anak yang di beri nama Jaka Dila.
Saat beranjak dewasa, Jaka Dila menanyakan siapakah ayahnya. Putri Alun pun mengatakan bahwa ayahnya adalah Raja Brawijaya II. Demi mendapat pengakuan, Jaka Dila pun datang menemui Raja Barawijaya II. Sebagai syarat untuk pengekuannya, Raja Brawijaya II meminta Jaka Dila membuat damar (lampu) tanpa pegangan, asal muasal Julukan Arya Damar. Serta syarat kedua, membawakan tanah yang harus sama persis dengan tanah yang ada di kerajaan (Trowulan).
Berbekal kesaktian yang diwariskan kakeknya, kedua syarat tersebut dapat dengan mudah dilakukan. Akan tetapi bukannya mengakui Jaka Dila sebagai anak, Raja Brawijaya II justru kembali mengajukan syarat ketiga, membunuh Resi Tawangalun, kakeknya.
Ditengah keinginan mendapat pengakuan dan kebimbangan harus membunuh kakeknya, Jaka Dila memilih menyepi di Candi Tawangalun dan kemudian mukso.
“Versi ceritanya beragam. Ada yang meyakini bahwa candi ini dibangun Putri Alun untuk tempat semedi Jaka Dila. Sebagian juga mengatakan ini persembahan Raja Brawijaya II untuk Putri Alun. Tapi intinya sama, Candi Tawangalun ini merupakan tempat semedinya Jaka Dila sebelum akhirnya muksa,” jelas Saiful.
Disamping kisah tersebut, candi sederhana yang cenderung berantakan tersebut juga konon masih menyimpan nilai-nilai mistiknya sendiri. Banyak kejadian menarik yang pernah disaksikan warga Buncitan, termasuk Saiful ketika masih anak-anak.
Seperti ketika ada seorang bapak mengambil beberapa batu bata dari Candi Tawangalun untuk dipasang di rumahnya. Malam harinya, ia merasa didatangi sesosok orang yang lantas memukulinya. Keesokan harinya, batu yang telah terlanjur terpasang itu pun dibongkar, dan dikembalikan ke kompleks candi. Tak berapa lama kemudian, si bapak pun meninggal dunia.
“Ada juga kejadian di satu sekolahan yang seluruh siswanya kesurupan. Usut punya usut di sekolah tersebut banyak batu bata candi ini. Akhirnya ya dikembalikan dan berjanji tidak akan mengambil lagi,” terang Saiful yang sudah hampir 14 tahun menjadi Juru Kunci Candi Tawangalun. (hay)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar