Satu tanya
sekaligus kutukku, kenapa dunia menghinakan hadirmu Basukarna, Suryaputra?
Beberapa jam sebelum sebelum pagi, sebelum gelombang
pertempuran meledak lagi di Kurusetra, Karna tepekur sendirian di dalam
kemahnya. Istrinya tidur pulas di peraduan. Karna tahu, hidupnya tak lama lagi.
Karena itu, ia menulis sepucuk surat kepada Vrushali istrinya.
“Peramal menujum aku akan tewas dalam perang ini. Tapi jangan
dengarkan mereka, Vrushali. Dengarkanlah aku. Nasib mungkin memihak musuh.
Tapi aku akan menghadapi mereka - juga bila harus melalui mati.
“Mati, saat ini, rasanya bukan lagi soalku, Istriku. Mungkin
karena alasan perangku lebih besar ketimbang hidup. Atau setidaknya alasan itu
adalah alasan kehidupan sendiri: aku berperang untuk mengukuhkan siapa aku. Di
pagi nanti, Karna tewas atau Karna menang, keduanya akan menentukan siapa dia.
Sebab, siapa sebenarnya aku, Vrushali, selama ini, selain seorang yang tak
jelas kastanya, tak jelas asal-usul, tak jelas kaumnya?
“Jangan kau sedih. Aku memang mengulang kegetiranku. Di dunia
kita yang telah dinubuat ini, Istriku, seseorang hanya mendapatkan dirinya tak
jauh dari pintunya berangkat. Betapa menyesakkan! Sebab itu, Istriku, aku harus
membuktikan bahwa seseorang ada, seseorang menjadi, karena tindakannya, karena
pilihannya - bukan karena ia telah selesai dirumuskan.
Seorang resi pernah berkata: pada mulanya adalah Sabda, dan
Sabda menjadi Kodrat. Bagiku, pada mulanya adalah perbuatan. Dari perbuatan
lahir pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu aku bisa merumuskan diriku.
Bagiku, Vrushali, Kodrat adalah sesuatu yang tidak ada; dewa-dewa tak pernah
menyabdakannya. Telah kuduga itu ketika namaku masih Si Radheya. Dulu.
“Kini bisa kuceritakan kepadamu apa yang terjadi pada Si
Radheya, ketika ia berumur 16 tahun: hari itu ia tahu bahwa ibunya bukanlah
ibunya yang sebenarnya, dan bapaknya — seorang sais — bukanlah bapaknya yang
sebenarnya. Ia anak pungut, Vrushali.
Ada yang menduga, seorang putri bangsawan tinggi melahirkan
bayi yang tak dikehendaki dan membuangnya ke air. Dan itulah aku. Aku menangis
ketika semua itu dituturkan padaku oleh wanita yang selama ini kusebut ibuku.
Ternyata, aku bukan lagi bagian seasal dari dirinya, betapapun ikhlasnya kasih
sayang.
Dan mulai saat itu, aku kembali terbuang, seorang bocah yang
hanyut, di sepanjang tepian.
“Lalu kucari ilmu, istriku. Kau tahu, mengapa? Ilmu akan
mengukuhkan aku bukan cuma anak suta yang hina. Meskipun kukatakan kepada
Radha, ibuku, bahwa ilmu tak mengenal kasta, tak memandang harta — dan karena
itu di sanalah aku akan bebas — sesungguhnya aku berdusta, juga pada diriku
sendiri: diam-diam aku ingin ingkar kepada kelas orang-orang yang mengasihiku.
Sebab, ternyata di dunia kita yang menyesakkan ini, Vrushali, ilmu pun telah
jadi lambang tentang mana yang rendah, mana yang tinggi.
“Aku datang berguru kepada Drona, tapi Drona menolakku karena
aku bukan ningrat, bukan kesatria. Aku datang kepada Bhargawa, mengaku anak
brahmana dan jadi muridnya - tapi kemudian ia mengutukku ketika ia menuduhku
anak kesatria, kelas yang dibencinya itu, yang berbohong.
“Memang, setelah kukuasai semua astra dan semua senjata, aku
tahu ilmu bisa melepaskan kita dari perbedaan susunan rendah dan tinggi. Tapi
akhirnya hanya tindakan besar yang membebaskanku tindakan Pangeran Duryudana.
Dialah yang mengangkatku jadi penguasa di Angga, istriku, dan dari sanalah aku
seakan lahir kembali: kini benar aku bukan anak kasta yang dihinakan. Dan aku
meminangmu.
“Ya, aku tahu mengapa Duryudana mengangkatku, ketika para
Pandawa menghinaku, di pertandingan memanah di arena Hastina belasan tahun yang
lalu itu; mereka menolak melawanku karena bagi mereka, anak sais tak berhak
bertanding dengan anak raja.
Duryudana ingin memperlihatkan, di depan rakyat yang
menonton, betapa tak adilnya para Pandawa. Dan Putra Mahkota Kurawa itu mungkin
juga memperhitungkan aku bisa digunakannya buat menghadap musuhnya yang lima
itu.
“Tapi apa pun niat hatinya, tindakannya adil dan kata-katanya
benar: ‘Keberanian bisa datang dari siapa saja, karena seorang kesatria ada
bukan hanya karena ayah bundanya, tapi toh bisa keluar dari batu gunung yang tak
dikenal.
“Rasanya, akulah salah satu batu gunung itu,Vrushali, yang
menerbitkan perciknya sendiri. Inilah kemerdekaanku. Arjuna memilih pihaknya
karena darah yang mengalir di tubuhnya, aku memilih pihakku karena kehendakku
sendiri. Arjuna berperang untuk sebidang kerajaan yang dulu haknya, aku
berperang bukan untuk memperoleh. Maka, jika aku esok mati, istriku, kenanglah
kebahagiaan itu. Satu-satunya kesedihanku ialah bahwa aku tak akan lagi bisa
memandangmu, ketika kau memandangku.”
Sampai di situ Karna berhenti; tangannya tergetar. Tapi
segera ia mengusap busur panah di sisi duduknya. Kurusetra senyap. Malam
mengerang kesakitan. Keesokan harinya, Karna memang gugur di tangan Arjuna,
saudara seibunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar