Sekali lagi, kau membuatku terbelalak kagum. Dan tanpa sadar,
membenci para ksatria cengeng yang menistakan hadirmu.
Hastinapura tengah menggelar adu kehebatan antar pangeran
untuk menunjukan hasil pendidikan bertahun-tahun oleh Guru Drona. Setelah
melaui berbagai tahap pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna
adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah, setelah mengalahkan
pangeran terkuat Kurawa, Duryodana.
Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna. Resi Krepa selaku
pendeta istana meminta Karna memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk
bisa menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat.
Karna memberontak, Ia menilai semua orang berhak untuk
menunjukan kekuatanya tanpa melihat asal-usulnya.
“Sungai tak pernah bertanya air siapa yang memasukinya? Yang
dia tau hanyalah kekuatannya. Dewa Siwa tak pernah mempertanyakan bunga teratai
darimana yang menjadi persembahannya. Karena yang terpenting adalah keindahannya.
Mengapa manusia harus mempertanyakan darimana asal-usulnya?!”
Di hadapan khalayak ramai yang sedang menyaksikan perang
tanding itu, Ia menyatakan pemberontakanya atas sistem kasta yang diskriminatif
itu. Ia sangat menentang kasta yang memenjarakanya sejak kecil. Kasta yang
sudah menghalanginya untuk menunjukan kekuatanya. Menurutnya, manusia semua
sama. Ksatria, brahmana, suta boleh diakui bukan karena statusnya tetapi karena
kekuatan, kerja kerasnya. Karna adalah pengagum kekuatan sejak kecil. Ia
bersumpah untuk menjadi ’sesuatu’ dan diakui dengan kekuatan yang ada dalam
dirinya.
Oleh karena itu, Karna bersikeras menantang Arjuna untuk
membuktikan siapa pemanah terbaik di muka bumi. Arjuna pun menyanggupinya. Ia
tak gentar dengan tantangan Karna dan yakin dengan didikan Resi Drona. Namun,
sebelum busur tertarik, Adirata turun ke gelanggang. Ia meminta maaf dan
memaksa Karna, yang dinilainya tak tahu sopan santun dan mempermalukan keluarga,
untuk pulang. Ibunya juga bercucuran air mata melihat anaknya mempermalukan
diri dan keluarganya. Karna akhirnya luluh.
Ia pun dengan berat hati meninggalkan gelanggang. Sampai,
Duryodana yang baru saja di kalahkan Arjuna berteriak. “Tunggu dulu pemanah,”
katanya.
Duryodana lantas meminta ayahnya Destrarata, mengangkat
Karna menjadi raja dan agar diizinkan bertanding melawan Arjuna. Maka, perang
tanding antara Arjuna dan Karna pun dimulai. Perang tanding yang bukan sekedar
adu ilmu keprajuritan tetapi juga sebuah perjuangan Karna untuk mendapatkan
pengakuan. Perjuangan emansipasi seorang Karna menentang sistem kasta yang
diskriminatif.
Dan, adu kekuatan dua pemanah terhebat di dunia pun dimulai.
Perang tanding antara Arjuna dan Karna yang sesungguhnya adalah kakaknya.
Suatu saat, panah Arjuna berhasil mengenai tubuh Karna.
Ajaib, tubuhnya langsung bersinar dan ada sebuah perisai berkilauan yang
melindunginya. Itulah perisai anugerah dari Sang Dewa Surya, ayahnya.
Di tribun kehormatan, Kunti terbelalak dan kaget bukan
kepalang. Ia melihat perisai ditubuh karna dan langsung mengenali pemuda gagah
itu sebagai putra sulung yang pernah dibuangnya. Kunti pun jatuh pingsan dan di
papah oleh Priyamwada, sahabatnya sejak kecil.
Sementara, perang tanding antara Karna dan Arjuna pun usai
karena matahari sudah terbenam. Tak ada pemenang antar kedua pemanah hebat yang
sebenarnya memiliki ibu yang sama itu. Sementara, keduanya sama kuat.
Di dalam bilik kamarnya, Kunti yang baru siuman lalu
menangis sesenggukan ditemani Priyambada. Ia sedih melihat kemunculan anaknya,
Karna. Sebagai ibu hatinya teriris melihat anak yang telah diterlantarkanya.
“Aku harus menyentuh rambutnya, aku harus mengganti kasih
sayang yang selama ini tidak pernah didapatkanya sebagai anak. Aku harus menemui
Karna,” begitu ratapan Kunti dengan bercucuran air mata.
Priyamwada mengingatkan. Kunti harus memahami perasaan
anak-anaknya dan juga kehormatannya. “Tuan putri dan anak-anak tidak akan
dihormati lagi jika semua tahu bahwa tuan putri melahirkan sebelum menikah.
Semua orang tahu bahwa tuan putri hanya memiliki lima anak, yaitu pandawa,”
kata Priyamwada mengingatkan Kunti dan ia pun bungkam.
Karna adalah simbol sebuah perjuangan. Ia adalah pemberontak
yang menentang diskriminasi. Karna menantang arus dan penindasan dengan bingkai
kasta. Hidupnya dibaktikan untuk membuktikan bahwa semua orang berhak untuk
diakui karena kemampuan dan kerja kerasnya, bukan karena kasta dan garis
keturunannya.
Karna, si anak yang terbuang juga memiliki sifat-sifat
kompleks. Ia sangat yakin akan kemampuanya sehingga cenderung over pede,
angkuh. Namun, Karna terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria.
Karna juga selalu menepati janjinya, meski bertentangan dengan hati kecilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar