Senin, 07 Juli 2014

Sutaputra, Ksatria yang tak dianggap


Sekali lagi, kau membuatku terbelalak kagum. Dan tanpa sadar, membenci para ksatria cengeng yang menistakan hadirmu.



Hastinapura tengah menggelar adu kehebatan antar pangeran untuk menunjukan hasil pendidikan bertahun-tahun oleh Guru Drona. Setelah melaui berbagai tahap pertandingan, Drona akhirnya mengumumkan bahwa Arjuna adalah murid terbaiknya, terutama dalam hal ilmu memanah, setelah mengalahkan pangeran terkuat Kurawa, Duryodana.
Tiba-tiba Karna muncul menantang Arjuna. Resi Krepa selaku pendeta istana meminta Karna memperkenalkan diri terlebih dahulu karena untuk bisa menghadapi Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat.
Karna memberontak, Ia menilai semua orang berhak untuk menunjukan kekuatanya tanpa melihat asal-usulnya.
“Sungai tak pernah bertanya air siapa yang memasukinya? Yang dia tau hanyalah kekuatannya. Dewa Siwa tak pernah mempertanyakan bunga teratai darimana yang menjadi persembahannya. Karena yang terpenting adalah keindahannya. Mengapa manusia harus mempertanyakan darimana asal-usulnya?!”
Di hadapan khalayak ramai yang sedang menyaksikan perang tanding itu, Ia menyatakan pemberontakanya atas sistem kasta yang diskriminatif itu. Ia sangat menentang kasta yang memenjarakanya sejak kecil. Kasta yang sudah menghalanginya untuk menunjukan kekuatanya. Menurutnya, manusia semua sama. Ksatria, brahmana, suta boleh diakui bukan karena statusnya tetapi karena kekuatan, kerja kerasnya. Karna adalah pengagum kekuatan sejak kecil. Ia bersumpah untuk menjadi ’sesuatu’ dan diakui dengan kekuatan yang ada dalam dirinya.
Oleh karena itu, Karna bersikeras menantang Arjuna untuk membuktikan siapa pemanah terbaik di muka bumi. Arjuna pun menyanggupinya. Ia tak gentar dengan tantangan Karna dan yakin dengan didikan Resi Drona. Namun, sebelum busur tertarik, Adirata turun ke gelanggang. Ia meminta maaf dan memaksa Karna, yang dinilainya tak tahu sopan santun dan mempermalukan keluarga, untuk pulang. Ibunya juga bercucuran air mata melihat anaknya mempermalukan diri dan keluarganya. Karna akhirnya luluh.
Ia pun dengan berat hati meninggalkan gelanggang. Sampai, Duryodana yang baru saja di kalahkan Arjuna berteriak. “Tunggu dulu pemanah,” katanya.
Duryodana lantas meminta ayahnya Destrarata, mengangkat Karna menjadi raja dan agar diizinkan bertanding melawan Arjuna. Maka, perang tanding antara Arjuna dan Karna pun dimulai. Perang tanding yang bukan sekedar adu ilmu keprajuritan tetapi juga sebuah perjuangan Karna untuk mendapatkan pengakuan. Perjuangan emansipasi seorang Karna menentang sistem kasta yang diskriminatif.
Dan, adu kekuatan dua pemanah terhebat di dunia pun dimulai. Perang tanding antara Arjuna dan Karna yang sesungguhnya adalah kakaknya.
Suatu saat, panah Arjuna berhasil mengenai tubuh Karna. Ajaib, tubuhnya langsung bersinar dan ada sebuah perisai berkilauan yang melindunginya. Itulah perisai anugerah dari Sang Dewa Surya, ayahnya.
Di tribun kehormatan, Kunti terbelalak dan kaget bukan kepalang. Ia melihat perisai ditubuh karna dan langsung mengenali pemuda gagah itu sebagai putra sulung yang pernah dibuangnya. Kunti pun jatuh pingsan dan di papah oleh Priyamwada, sahabatnya sejak kecil.
Sementara, perang tanding antara Karna dan Arjuna pun usai karena matahari sudah terbenam. Tak ada pemenang antar kedua pemanah hebat yang sebenarnya memiliki ibu yang sama itu.  Sementara, keduanya sama kuat.
Di dalam bilik kamarnya, Kunti yang baru siuman lalu menangis sesenggukan ditemani Priyambada. Ia sedih melihat kemunculan anaknya, Karna. Sebagai ibu hatinya teriris melihat anak yang telah diterlantarkanya.
“Aku harus menyentuh rambutnya, aku harus mengganti kasih sayang yang selama ini tidak pernah didapatkanya sebagai anak. Aku harus menemui Karna,” begitu ratapan Kunti dengan bercucuran air mata.
Priyamwada mengingatkan. Kunti harus memahami perasaan anak-anaknya dan juga kehormatannya. “Tuan putri dan anak-anak tidak akan dihormati lagi jika semua tahu bahwa tuan putri melahirkan sebelum menikah. Semua orang tahu bahwa tuan putri hanya memiliki lima anak, yaitu pandawa,” kata Priyamwada mengingatkan Kunti dan ia pun bungkam.
Karna adalah simbol sebuah perjuangan. Ia adalah pemberontak yang menentang diskriminasi. Karna menantang arus dan penindasan dengan bingkai kasta. Hidupnya dibaktikan untuk membuktikan bahwa semua orang berhak untuk diakui karena kemampuan dan kerja kerasnya, bukan karena kasta dan garis keturunannya.
Karna, si anak yang terbuang juga memiliki sifat-sifat kompleks. Ia sangat yakin akan kemampuanya sehingga cenderung over pede, angkuh. Namun, Karna terkenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesatria. Karna juga selalu menepati janjinya, meski bertentangan dengan hati kecilnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar