Senin, 08 Februari 2016

Dra Putri Hayuningtyas, MPd, Guru Inovatif tingkat Nasional 2015

BERINOVASI UNTUK LESTARIKAN BAHASA DAERAH


Tidak banyak orang yang memiliki passion di suatu bidang, berdedikasi sekaligus berprestasi di bidang yang sama. Putri Hayuningtyas, satu dari yang sedikit tersebut. Berawal dari kesulitan mengajarkan kepenulisan huruf Jawa, ia berhasil meraih penghargaan sebagai Guru Inovatif tingkat nasional 2015. Bahkan, inovasi yang dibuatnya pun sanggup mengubah anggapan sulitnya belajar bahasa Jawa. Seperti apakah?

Sebagaimana seorang guru, kesehariannya diisi dengan kesibukan memberikan pembelajaran pada anak didiknya. Saat ditemui medio Desember lalu, Putri-sapaannya nampak sibuk di meja kerjanya. Sesekali terlihat sekelompok siswa-siswi mengerubunginya. Salah satu diantaranya nampak terbata-bata mengucapkan beberapa patah kalimat Bahasa Jawa Krama. Lalu dengan sekilas gelengan, si anak kembali ribut dengan teman-temannya, menyadari bahwa bahasa yang digunakan dianggap tidak tepat oleh Putri, Guru Bahasa Jawanya.
Pemandangan tersebut menjadi semakin menarik ketika mereka justru sibuk berdebat seolah tidak memperdulikan Putri yang tersenyum geli melihat tingkah pola mereka. Setelah meralat beberapa kata yang digunakan, mereka akhirnya memutuskan mencari lebih banyak bantuan karena Putri kembali menggeleng tidak setuju.
“Saya memang membiasakan mereka untuk memakai bahasa Jawa ketika berbicara dengan saya. Itu tadi mereka sebenarnya minta ijin lihat nilai UAS, tapi mereka menggunakan kata-kata yang tidak tepat,” ujar Putri sembari mempersilahkan Puspa duduk di salah satu kursi di ujung ruangan.
Bahasa Jawa, ataupun bahasa daerah pada umumnya memang menjadi sangat tidak popular saat ini. Di kalangan anak muda, campuran Bahasa Indonesia dan bahasa asing menjadi lebih familiar dipakai dalam keseharian. Padahal, Bahasa Jawa selayaknya  menjadi bahasa ibu yang menunjukkan identitas seseorang. Karenanya tidak salah, jika Putri akhirnya memutuskan mengambil Bahasa Jawa sebagai konsentrasi pendidikan strata satunya.
Pertimbangannya, bahwa menjadi Guru Bahasa Jawa terbilang langka. Di Jatim, Guru Bahasa Jawa jumlahnya masih relatif sedikit. Sehingga peluangnya pun akan lebih besar. Alasan lainnya, bahwa jika kemudian dia mengajar, tidak mungkin ia akan ditugaskan diluar Jawa. Bahkan di Jatim, sekalipun ada pulau Madura ia juga tidak akan ditugaskan kesana untuk mengajar Bahasa Jawa.
Mengawali karir kependidikan di SMP 1 Sukodadi Lamongan, selama dua tahun Putri menjalani keseharian PP Surabaya-Lamongan yang berjarak hampir 52 km. Hingga kemudian ia memutuskan mutasi ke Surabaya dan ditempatkan di SMPN 4 Surabaya. Di sekolah ini, istri Gatot Eko Widyanto tersebut mengajar hingga 23 tahun. Selanjutnya tepat pada Juli tahun 2013, ia secara resmi dimutasikan ke SMPN 10 Surabaya yang merupakan almamaternya.
“Lika-liku menjalani profesi guru saya jalani. Mulai dari sulitnya mencari sekolah untuk mutasi saya dari Lamongan karena ingin lebih dekat dengan keluarga. Kesulitan ketika mengajar, dan lain sebagainya. Sampai kemudian lomba inovasi pembelajaran yang membawa saya meraih juara I tingkat nasional. Subhanallah, ini benar-benar karunia Allah,” tutur Putri berlinang air mata haru bercampur bahagia.

Inovasi Pembelajaran
Inspirasi awalnya justru datang ketika ia mengalami kesulitan dalam mengajarkan kepenuliasan huruf pallawa ketika masih mengajar di SMPN 4 Surabaya. Padahal pembelajaran Bahasa Jawa seharusnya telah diberikan sejak anak di bangku sekolah dasar. Kenyataan itu, memaksa Putri memikirkan metode yang tepat agar anak didiknya bisa menghafal bentuk aksara Jawa yang jumlahnya mencapai 40 karakter.
 “Huruf Jawa itu punya 20 karakter aksara inti dan 20 karakter pasangannya. Saat mengajar, saya tidak memulainya berdasarkan urutan ha-na-ca-ra-ka, melainkan dengan mengelompokkan pasangan huruf Jawa menjadi enam kelompok,” tutur alumnus SPG I Surabaya tahun 1987 tersebut.
Pengelompokan tersebut terdiri dari kelompok pertama adalah kelompok huruf dan pasangan yang memiliki bentuk yang sama. Kedua, kelompok huruf dan pasangan dengan bentuk mirip. Ketiga, kelompok huruf dan pasangan yang hilang bagian depannya. Keempat, Kelompok yang hilang bagian belakangnya. Kelima, kelompok dengan penulisan mudah, dan keenam, kelompok dengan penulisan sulit.
“Target saya, dengan pengelompokkan ini anak harus sudah hafal dalam hitungan 5-10 menit. Jadi, dalam satu kali pertemuan, ke-40 huruf Jawa ini sudah dapat mereka hafalkan,” imbuh Putri.
Metode tersebut memerlukan kerja sama antara guru dan siswa. Saat guru mengenalkan kelompok-kelompok tersebut, siswa diajak membayangkan bentuk, mendeskripsikan, sambil menggerakkan jari ke udara untuk menuliskan aksara yang dimaksud. Cara ini diulang-ulang agar proses menghafal menjadi lebih cepat. Jika di kelompok satu siswa belum hafal, tidak boleh pindah ke kelompok dua. Demikian seterusnya.  
Putri mencontohkan, penulisan aksara ke dua (Na) yang masuk dalam kelompok mudah. Untuk pasangan Na, Putri meminta muridnya menghafal sambil membayangkan dan mengucap kalimat ‘turun belok ke kanan”. Begitu juga ketika harus menghafal pasangan aksara Bo, siswa diminta menghafal dengan menghafal kalimat “C plunker N”.
“Itu teknik pengajaran kepenulisan. Kalau untuk penggunaan bahasanya, ya seperti tadi. Saya latih mereka untuk menggunakan bahasa jawa dalam percakapan. Lengkap dengan struktur bahasa yang harus dipakai. Kalau untuk orang yang lebih tua pakai krama inggil, dengan teman bisa ngoko alus, dan lain sebagainya,” imbuh ibu tiga anak yang berkat inovasinya tersebut, berhasil memenangi Lomba Karya Inovasi Pembelajaran Guru SMP Kelompok Sosial Budaya tahun 2015, sebagai Juara I tingkat Nasional. (nurhayati)


JADIKAN BAHASA JAWA SEBAGAI BAHASA IBU
Bahasa Jawa adalah bahasa yang agung. Bahasa yang lahir dan diciptakan leluhur bukan sekedar untuk percakapan. Didalamnya terdapat nilai luhur yang diajarkan. Hal ini nampak pada adanya strata penggunaan bahasa, tergantung pada lawan bicara. Hal itu menjadi ciri khas Bahasa Jawa, atau pada sebagian besar bahasa daerah yang tidak dimiliki bahasa lain di dunia.
“Kalau sampai ini gak ada yang ngopeni pasti akan punah. Karena tidak ada yang menggunakan. Dan saya tidak mau itu terjadi,” ujar perempuan kelahiran Jember, 01 Oktober 1963 tersebut.
Putri menyadari, bahwa kewajiban melestarikan budaya daerah termasuk bahasa bukan menjadi tugasnya seorang. Tapi ia mencoba untuk mengambil bagian dalam peran besar tersebut. Mengingat bahwa dirinya terlahir, hidup, dan dibesarkan dengan adat budaya Jawa. Jika bukan orang Jawa sendiri yang melestarikan, lalu siapa lagi, begitu Putri menganalogikan. Putri juga menceritakan, bagaimana Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa sehari-hari bahkan dalam pemerintahan di Republik Suriname, salah satu negara bagian Amerika Selatan.
“Mereka tidak malu menggunakan itu. Kenapa kita yang Jawa asli justru enggan menggunakannya. Itu yang saya tidak habis pikir,” imbuh Putri heran.
Karenanya, Guru Bahasa Jawa kelas VIII dan IX  SMPN 10 Surabaya tersebut berharap besar agar semua keluarga Jawa menggunakan Bahasa Jawa. Dimulai dari ibu yang merupakan guru pertama dan utama seorang anak. Bahkan sejak masih dalam kandungan.
“Bahasa Indonesia pasti akan diajarkan di sekolah. Tapi Bahasa Jawa, belum tentu guru yang mengajar memiliki latar belakang Jawa. Jika ibu menggunakan Bahasa Jawa pada anak, paling tidak membantu guru. Ada kerjasama untuk melestarikan bahasa dan  Budaya Jawa,” pungkas Putri penuh harap. (ati)

BIODATA
Nama              : Dra Putri Hayuningtyas, MPd
Alamat                        : Pakis Gunung II/43 Surabaya
Profesi             : Guru Bahasa Jawa SMPN 10 Surabaya
TTL                  : Jember, 01 Oktober 1963
Suami              : Gatot Eko Widyanto
Putra/i             :
1.      Fitri Prima Yunita, S.Kom
2.      Dimas Fauzi Dhyaksa, SE
3.      Nafi’ Laksmana Dirgayusa S.Kom
Prestasi           :
1.      Juara I Guru Inovatif tingkat Prov Jatim 2014
2.      Juara II Guru Berprestasi tingkat Kota Surabaya 2015

3.      Juara I Guru Inovatif tingkat Nasional 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar