BERINOVASI UNTUK LESTARIKAN
BAHASA DAERAH
Tidak banyak
orang yang memiliki passion di suatu bidang, berdedikasi sekaligus berprestasi
di bidang yang sama. Putri Hayuningtyas, satu dari yang sedikit tersebut.
Berawal dari kesulitan mengajarkan kepenulisan huruf Jawa, ia berhasil meraih
penghargaan sebagai Guru Inovatif tingkat nasional 2015. Bahkan, inovasi yang
dibuatnya pun sanggup mengubah anggapan sulitnya belajar bahasa Jawa. Seperti
apakah?
Sebagaimana seorang guru, kesehariannya diisi dengan
kesibukan memberikan pembelajaran pada anak didiknya. Saat ditemui medio
Desember lalu, Putri-sapaannya nampak sibuk di meja kerjanya. Sesekali terlihat
sekelompok siswa-siswi mengerubunginya. Salah satu diantaranya nampak
terbata-bata mengucapkan beberapa patah kalimat Bahasa Jawa Krama. Lalu dengan
sekilas gelengan, si anak kembali ribut dengan teman-temannya, menyadari bahwa
bahasa yang digunakan dianggap tidak tepat oleh Putri, Guru Bahasa Jawanya.
Pemandangan tersebut menjadi semakin menarik ketika
mereka justru sibuk berdebat seolah tidak memperdulikan Putri yang tersenyum
geli melihat tingkah pola mereka. Setelah meralat beberapa kata yang digunakan,
mereka akhirnya memutuskan mencari lebih banyak bantuan karena Putri kembali
menggeleng tidak setuju.
“Saya memang membiasakan mereka untuk memakai bahasa
Jawa ketika berbicara dengan saya. Itu tadi mereka sebenarnya minta ijin lihat
nilai UAS, tapi mereka menggunakan kata-kata yang tidak tepat,” ujar Putri
sembari mempersilahkan Puspa duduk di
salah satu kursi di ujung ruangan.
Bahasa Jawa, ataupun bahasa daerah pada umumnya
memang menjadi sangat tidak popular saat ini. Di kalangan anak muda, campuran Bahasa
Indonesia dan bahasa asing menjadi lebih familiar dipakai dalam keseharian.
Padahal, Bahasa Jawa selayaknya menjadi
bahasa ibu yang menunjukkan identitas seseorang. Karenanya tidak salah, jika Putri
akhirnya memutuskan mengambil Bahasa Jawa sebagai konsentrasi pendidikan strata
satunya.
Pertimbangannya, bahwa menjadi Guru Bahasa Jawa
terbilang langka. Di Jatim, Guru Bahasa Jawa jumlahnya masih relatif sedikit.
Sehingga peluangnya pun akan lebih besar. Alasan lainnya, bahwa jika kemudian
dia mengajar, tidak mungkin ia akan ditugaskan diluar Jawa. Bahkan di Jatim,
sekalipun ada pulau Madura ia juga tidak akan ditugaskan kesana untuk mengajar
Bahasa Jawa.
Mengawali karir kependidikan di SMP 1 Sukodadi
Lamongan, selama dua tahun Putri menjalani keseharian PP Surabaya-Lamongan yang
berjarak hampir 52 km. Hingga kemudian ia memutuskan mutasi ke Surabaya dan
ditempatkan di SMPN 4 Surabaya. Di sekolah ini, istri Gatot Eko Widyanto
tersebut mengajar hingga 23 tahun. Selanjutnya tepat pada Juli tahun 2013, ia
secara resmi dimutasikan ke SMPN 10 Surabaya yang merupakan almamaternya.
“Lika-liku menjalani profesi guru saya jalani. Mulai
dari sulitnya mencari sekolah untuk mutasi saya dari Lamongan karena ingin
lebih dekat dengan keluarga. Kesulitan ketika mengajar, dan lain sebagainya.
Sampai kemudian lomba inovasi pembelajaran yang membawa saya meraih juara I
tingkat nasional. Subhanallah, ini
benar-benar karunia Allah,” tutur Putri berlinang air mata haru bercampur
bahagia.
Inovasi Pembelajaran
Inspirasi awalnya justru datang ketika ia mengalami
kesulitan dalam mengajarkan kepenuliasan huruf pallawa ketika masih mengajar di
SMPN 4 Surabaya. Padahal pembelajaran Bahasa Jawa seharusnya telah diberikan
sejak anak di bangku sekolah dasar. Kenyataan itu, memaksa Putri memikirkan
metode yang tepat agar anak didiknya bisa menghafal bentuk aksara Jawa yang
jumlahnya mencapai 40 karakter.
“Huruf Jawa
itu punya 20 karakter aksara inti dan 20 karakter pasangannya. Saat mengajar,
saya tidak memulainya berdasarkan urutan ha-na-ca-ra-ka, melainkan dengan mengelompokkan
pasangan huruf Jawa menjadi enam kelompok,” tutur alumnus SPG I Surabaya tahun
1987 tersebut.
Pengelompokan tersebut terdiri dari kelompok pertama
adalah kelompok huruf dan pasangan yang memiliki bentuk yang sama. Kedua, kelompok
huruf dan pasangan dengan bentuk mirip. Ketiga, kelompok huruf dan pasangan
yang hilang bagian depannya. Keempat, Kelompok yang hilang bagian belakangnya. Kelima,
kelompok dengan penulisan mudah, dan keenam, kelompok dengan penulisan sulit.
“Target saya, dengan pengelompokkan ini anak harus
sudah hafal dalam hitungan 5-10 menit. Jadi, dalam satu kali pertemuan, ke-40
huruf Jawa ini sudah dapat mereka hafalkan,” imbuh Putri.
Metode tersebut memerlukan kerja sama antara guru
dan siswa. Saat guru mengenalkan kelompok-kelompok tersebut, siswa diajak membayangkan
bentuk, mendeskripsikan, sambil menggerakkan jari ke udara untuk menuliskan
aksara yang dimaksud. Cara ini diulang-ulang agar proses menghafal menjadi
lebih cepat. Jika di kelompok satu siswa belum hafal, tidak boleh pindah ke
kelompok dua. Demikian seterusnya.
Putri mencontohkan, penulisan aksara ke dua (Na)
yang masuk dalam kelompok mudah. Untuk pasangan Na, Putri meminta muridnya
menghafal sambil membayangkan dan mengucap kalimat ‘turun belok ke kanan”.
Begitu juga ketika harus menghafal pasangan aksara Bo, siswa diminta menghafal
dengan menghafal kalimat “C plunker N”.
“Itu teknik pengajaran kepenulisan. Kalau untuk
penggunaan bahasanya, ya seperti tadi. Saya latih mereka untuk menggunakan
bahasa jawa dalam percakapan. Lengkap dengan struktur bahasa yang harus
dipakai. Kalau untuk orang yang lebih tua pakai krama inggil, dengan teman bisa
ngoko alus, dan lain sebagainya,” imbuh ibu tiga anak yang berkat inovasinya
tersebut, berhasil memenangi Lomba Karya Inovasi Pembelajaran Guru
SMP Kelompok Sosial
Budaya tahun 2015, sebagai Juara I tingkat
Nasional. (nurhayati)
JADIKAN BAHASA JAWA SEBAGAI
BAHASA IBU
Bahasa Jawa adalah bahasa yang agung. Bahasa yang
lahir dan diciptakan leluhur bukan sekedar untuk percakapan. Didalamnya terdapat
nilai luhur yang diajarkan. Hal ini nampak pada adanya strata penggunaan
bahasa, tergantung pada lawan bicara. Hal itu menjadi ciri khas Bahasa Jawa,
atau pada sebagian besar bahasa daerah yang tidak dimiliki bahasa lain di
dunia.
“Kalau sampai ini gak ada yang ngopeni
pasti akan punah. Karena tidak ada yang menggunakan. Dan saya tidak mau itu
terjadi,” ujar perempuan kelahiran Jember, 01 Oktober 1963 tersebut.
Putri menyadari, bahwa kewajiban melestarikan budaya
daerah termasuk bahasa bukan menjadi tugasnya seorang. Tapi ia mencoba untuk
mengambil bagian dalam peran besar tersebut. Mengingat bahwa dirinya terlahir,
hidup, dan dibesarkan dengan adat budaya Jawa. Jika bukan orang Jawa sendiri
yang melestarikan, lalu siapa lagi, begitu Putri menganalogikan. Putri juga
menceritakan, bagaimana Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa sehari-hari bahkan
dalam pemerintahan di Republik Suriname, salah satu negara bagian Amerika
Selatan.
“Mereka tidak malu menggunakan itu. Kenapa kita yang
Jawa asli justru enggan menggunakannya. Itu yang saya tidak habis pikir,” imbuh
Putri heran.
Karenanya, Guru Bahasa Jawa kelas VIII dan IX SMPN 10 Surabaya tersebut berharap besar agar
semua keluarga Jawa menggunakan Bahasa Jawa. Dimulai dari ibu yang merupakan
guru pertama dan utama seorang anak. Bahkan sejak masih dalam kandungan.
“Bahasa Indonesia pasti akan diajarkan di sekolah.
Tapi Bahasa Jawa, belum tentu guru yang mengajar memiliki latar belakang Jawa.
Jika ibu menggunakan Bahasa Jawa pada anak, paling tidak membantu guru. Ada
kerjasama untuk melestarikan bahasa dan
Budaya Jawa,” pungkas Putri penuh harap. (ati)
BIODATA
Nama : Dra Putri Hayuningtyas, MPd
Alamat :
Pakis Gunung II/43 Surabaya
Profesi :
Guru Bahasa Jawa SMPN 10 Surabaya
TTL :
Jember, 01 Oktober 1963
Suami :
Gatot Eko Widyanto
Putra/i :
1.
Fitri Prima Yunita, S.Kom
2.
Dimas Fauzi Dhyaksa, SE
3.
Nafi’ Laksmana Dirgayusa S.Kom
Prestasi :
1.
Juara I Guru Inovatif tingkat Prov Jatim 2014
2.
Juara II Guru Berprestasi tingkat Kota Surabaya 2015
3.
Juara I Guru Inovatif tingkat Nasional 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar