Rabu, 24 Desember 2014

Putu Sulistiani Prabowo, Owner and Designer Brand Batik Dewi Saraswati Surabaya




BIODATA
Nama               : Dra Putu Sulistiani Prabowo, Apt
Alamat                        : Jl Jemursari Utara II/19, Surabaya Indonesia
Suami              :Drs H Edi Budi Prabowo, Apt
Anak               :1. Pranaya Yudha Mahardika, SP MIB
                         2. Anindita Saraswati, SH
Pendidikan      : S2 Apotekker
TTL                 : Singaraja, 5 Agustus 1957


JAGA EKSKLUSIFITAS BATIK

Namanya Putu Sulistiani. Dalam dunia usaha dan kerajinan batik barangkali namanya sudah tidak asing lagi. Terutama setelah dirinya dikukuhkan menjadi Ketua Asosiasi perajin Batik Jatim. Siapa sangka, perajin yang mulai menggaet pasar luar negeri ini adalah seorang apotekker. Tak ada warisan keahlian ataupun basic pendidikan seni, yang ada hanya bakat terpendam. Seperti apakah?


            Senja mulai beranjak dari singgasananya ketika Puspa memasuki halaman rumah dengan pintu pagar kayu berukir khas perumahan ala Jawa. Berbagai aksesori di gazebo depan rumah pun tebuat dari kayu berpelitur menambah kesan etnik suasana. Di sudut sebelah barat rumah, sekumpulan perempuan paruh baya tengah sibuk memainkan canting di atas kain putih. Disisi lain ada pula yang tengah menjemur kain batik yang nampak basah selepas dilakukan pewarnaan.
Kesibukan itulah yang terjadi hampir setiap harinya di rumah Putu Sulistiani. Saat ditemui, perempuan berdarah Bali itu pun tengah sibuk menjelaskan dan mengantar berkeliling buyer yang diketahui berasal dari Jepang melihat proses membatik.
“Beginilah kesibukannya, saya galeri sekaligus gerai disini saja. Karena kami ingin mereka bisa sekalian lihat prosesnya. Sekaligus mengeducate pembeli mengenai bagaimana prosesnya dan kenapa batik tulis itu tergolong mahal. Karena memang prosesnya susah. Sehingga mereka bisa lebih menghargai sebuah karya batik,” ujar Putu Sulistiani membuka pembicaraan mengenai kiprahnya di dunia seni dan usaha batik.
Jika umumnya perajin batik mengawali usaha dari pewarnaan alami, lalu beralih pada pewarnaan sintetis dengan pertimbangan menekan biaya produksi. Tidak demikian dengan Putu Sulistiani. Perajin bergelar sarjana farmasi ini justru mengawali kiprah batiknya dari pewarnaan sintetis. Kemudian merambah pada pewarnaan alami untuk memenuhi keinginan dan menggaet pasar yang lebih luas.
Terkait kualitas, Putu Sulistiani denga tegas menyatakan bahwa batik dengan pewarna sintetis maupun alami keduanya dibuat dengan kualitas yang sama. Sehingga tidak ada perbandingan mencolok dari kedua jenis batik yang dibuatnya.
“Jangan salah lho, ada juga yang tidak suka dengan pewarna alami. Kesannya burek (pudar, red) dan tidak cerah di wajah katanya. Sehingga pilihannya batik sintetis tapi dengan kualitas yang sebanding dengan batik pewarna alam,” terang Putu Sulistiani.
Sementara itu mengenai prospek usaha batik, Putu Sulistiani menyatakan bahwa saat ini cenderung mengalami trend penurunan. Diantaranya disebabkan banyaknya event pameran hasil kerajinan sejenis batik. Kendati bermanfaat secara promotif, namun juga menyebabkan semakin mudahnya batik dalam berbagai jenis ditemukan di pasaran. Sehingga batik tidak lagi menjadi barang eksklusif yang banyak diburu.
Meski begitu sebagai pengusaha yang telah memasuki usia satu dasawarsa, Putu Sulistiani punya trik sendiri untuk mengendalikan minat pasar. Tak hanya berinovasi dalam setiap desain motif batik, Putu Sulistiani juga berkreasi dalam desain baju yang lebih casual dan berkelas dari kain batik miliknya.
            Perajin yang mengawali kiprahnya di dunia batik sejak 13 september 2004 ini mengaku belum memiliki pakem khusus dalam motif batik yang dibuatnya. Mengambil ide dasar batik khas Jatim dengan desain utama bunga teratai dan ayam bekisar, Putu Sulistiani mengkreasikan dua maskot batik Jatim tersebut. Salah satu jenis desain batik yang diberinya nama Surya Majapahit, menggambarkan bunga teratai dengan delapan penjuru mata angin terpajang rapi di rumah sekaligus galeri miliknya.

Waspadai Kompetitor
            Memasuki usia satu dasawarsa, usaha batik yang dirintisnya terus berkembang. Bukan saja pasar lokal, pasar mancanegara pun mulai melirik usaha berbasis kerajinan tersebut. Hal itu perlu diwaspadai mengingat Indonesia hingga saat ini cenderung kalah dalam hal SDM yang profesional di bidangnya.
            Menghadapi era pasar global tahun 2015, para pelaku usaha kecil menengah (UKM) dituntut untuk terus berinovasi guna memastikan usahanya tetap berjaya ditengah gempuran produk-produk asing yang mulai menjarah pasar lokal. Dalam hal batik misalnya, tak hanya sesama kerajinan batik yang menjadi kompetitor bagi pengembangan usaha. Saat ini mulai banyak diproduksi tekstil bermotif batik dengan harga yang sangat terjangkau. Jika sudah begitu, satu-satunya langkah yang diambil adalah bagaimana kerajinan batik bisa bersaing namun dengan tetap menjaga mutu dan ciri khas dari batik itu sendiri.
            Putu Sulistiani juga sempat mengaku was-was pada buyer asing yang terlampau protektif ketika berkunjung ke galerinya. Kerap kali mereka tak hanya bertanya seputar pengerjaan batik. Tapi perihal gaji, jam kerja pegawai, merek bahan, hingga pasar yang menyediakan bahan baku tak luput dari pengamatan mereka.
“Kadang kita itu bangga kalau mau mengajarkan pada orang lain, tapi hati-hati dibalik itu. Nantinya mereka kan mempelajari dengan lebih canggih, jadilah mereka bikin batik juga. Karena saya tahu, daya dukung mereka terutama SDM itu lebih ekspert ketimbang yang kita miliki,” jelas Putu Sulistiani serius.
            Kalau harus berbagi ilmu, jelas Putu Sulistiani, dirinya lebih memilih untuk mengkader generasi lokal muda berbakat. Kendati sebagai pengusaha yang tidak lepas dari perhitungan laba dan modal, ibu dari dua orang putri ini mengaku pengusaha seyogyanya tidak hanya memikirkan keuntungan diri pribadi. Baginya batik bukanlah sekedar karya seni bernilai jual tinggi, batik juga warisan budaya yang kelestariannya menjadi tanggung jawab bersama.
Putu juga menyesalkan semakin sedikitnya generasi muda yang tertarik menekuni batik. Mereka cenderung memilih bekerja sebagai buruh pabrik, lantaran dianggap lebih menguntungkan. Sedangkan  membatik, umumnya didominasi kalangan perempuan paruh baya hanya karena tidak memiliki keahlian khusus.
            “Kedepan kalau ingin melestarikan batik, sementara pendapatan masih kecil mereka tidak akan mau membatik lagi. Terutama generasi muda, makanya untuk pembatik  harus ada reward yang bagus, sehingga batik ini bisa lestari,” ujar Putu Sulistiani  menyarankan. (ati,tin)

BAKAT, KREATRIFITAS, DAN KESEJAHTERAAN BERSAMA
Menggeluti dunia batik sejatinya bukanlah basicnya sejak awal. Betapa tidak, dengan title apotekker di belakang namanya sudah membuktikan, bahwa ibu dari dua putri sejatinya adalah sarjana farmasi. Namun, bakat tak pernah memilih pada profesi apa dia melekat. Itulah gambaran apa yang dijalani Putu Sulistyani. Seorang aptekker yang akhirnya memilih mejadi pengrajin sekaligus pengusaha batik.
“Sejak kecil saya memang menyukai hal yang berbau seni. Saya ingat dulu ketika masih di SMP ada pelajaran menggambar dan saya gambar motif batik. Sejak saat itu saya mulai tertarik. Saya juga tidak tahu apa itu yang dinamakan bakat,” kenang Putu Sulistiani.
Kalaulah apa yang dipilih Putu Sulistiani bagian dari bakat terpendam yang dimiliki, bukan berarti uasah berjalan dengan mulus. Jatuh bangun mengembangkan usaha menjadi cerita yang mengiringi perjalanannya hingga kini. Istri dari Edi Budi Prabowo ini menceritakan bahwa dirinya pernah nyaris bangkrut lantaran pesanan yang dibuat tidak sesuai dengan permintaan dan dikembalikan. Malangnya, pesanan itu pun tidak dilengkapi dengan perjanjian jual beli di awal. Sehingga Putu Sulistiani pun pasrah barang dikembalikan tanpa kompensasi.
Namun kejadian ini justru menjadi nomenklatur pembuktian kreatifitasnya sebagai perajin. Pesanan yang dikembalikan itu kemudian dimodifikasi ulang. Hasilnya, semua pesanan gagal tersebut justru terjual dengan harga lebih mahal dari penawaran sebelumnya.
“Itu hikmahnya ditolak tapi bisa kita jual lebih tinggi. Seorang perajin memang harus pinter-pnter menyiasati hal semacam itu,” jelas perempuan yang mengaku sebelumnya bekerja sebagai research and developer sebuah pabrik kosmetik di Surabaya sejak tahun 1987-2002 ini.
Ditanya mengenai alasan ‘banting stir’ dari sarjana farmasi menjadi perajin batik, Putu Sulistiani hanya menggeleng sembari melempar senyum renyah. Perempuan yang baru saja dikukuhkan sebagai Ketua Asosiasi Perajin Batik Jawa Timur ini, mengatakan dengan diplomatis bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama seseorang memiliki kemauan. Hal terpenting adalah adanya niat tulus dan demi kesejahteraan bersama.
“Usaha apapun itu, tidak bisa hanya untuk kepentingan diri. Kita juga harus punya komitmen. Seperti halnya usaha batik, disini banyak sekali yang terlibat yang itu juga harus kita fikirkan kesejahteraanya. Bukan hanya memperkaya diri,” ujar perempuan kelahiran Singaraja, 5 Agustus 1957 tersebut memungkasi pembicaraan.
(ati,tin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar