BIODATA
Nama : Dra Putu Sulistiani Prabowo,
Apt
Alamat : Jl Jemursari Utara
II/19, Surabaya Indonesia
Suami :Drs H Edi Budi Prabowo, Apt
Anak :1. Pranaya Yudha Mahardika, SP
MIB
2. Anindita Saraswati, SH
Pendidikan : S2 Apotekker
TTL : Singaraja, 5 Agustus 1957
JAGA
EKSKLUSIFITAS BATIK
Namanya
Putu Sulistiani. Dalam dunia usaha dan kerajinan batik barangkali namanya sudah
tidak asing lagi. Terutama setelah dirinya dikukuhkan menjadi Ketua Asosiasi
perajin Batik Jatim. Siapa sangka, perajin yang mulai menggaet pasar luar
negeri ini adalah seorang apotekker. Tak ada warisan keahlian ataupun basic
pendidikan seni, yang ada hanya bakat terpendam. Seperti apakah?
Senja mulai beranjak dari
singgasananya ketika Puspa memasuki halaman rumah dengan pintu pagar
kayu berukir khas perumahan ala Jawa. Berbagai aksesori di gazebo depan rumah
pun tebuat dari kayu berpelitur menambah kesan etnik suasana. Di sudut sebelah
barat rumah, sekumpulan perempuan paruh baya tengah sibuk memainkan canting di
atas kain putih. Disisi lain ada pula yang tengah menjemur kain batik yang
nampak basah selepas dilakukan pewarnaan.
Kesibukan itulah yang terjadi hampir setiap harinya di rumah Putu
Sulistiani. Saat ditemui, perempuan berdarah Bali itu pun tengah sibuk menjelaskan
dan mengantar berkeliling buyer yang diketahui berasal dari Jepang
melihat proses membatik.
“Beginilah kesibukannya, saya galeri sekaligus gerai disini saja.
Karena kami ingin mereka bisa sekalian lihat prosesnya. Sekaligus mengeducate
pembeli mengenai bagaimana prosesnya dan kenapa batik tulis itu tergolong
mahal. Karena memang prosesnya susah. Sehingga mereka bisa lebih menghargai
sebuah karya batik,” ujar Putu Sulistiani membuka pembicaraan mengenai
kiprahnya di dunia seni dan usaha batik.
Jika umumnya perajin batik mengawali usaha dari pewarnaan alami, lalu
beralih pada pewarnaan sintetis dengan pertimbangan menekan biaya produksi.
Tidak demikian dengan Putu Sulistiani. Perajin bergelar sarjana farmasi ini
justru mengawali kiprah batiknya dari pewarnaan sintetis. Kemudian merambah
pada pewarnaan alami untuk memenuhi keinginan dan menggaet pasar yang lebih
luas.
Terkait kualitas, Putu Sulistiani denga tegas menyatakan bahwa batik
dengan pewarna sintetis maupun alami keduanya dibuat dengan kualitas yang sama.
Sehingga tidak ada perbandingan mencolok dari kedua jenis batik yang dibuatnya.
“Jangan salah lho, ada juga yang tidak suka dengan pewarna
alami. Kesannya burek (pudar, red) dan tidak cerah di wajah katanya.
Sehingga pilihannya batik sintetis tapi dengan kualitas yang sebanding dengan batik
pewarna alam,” terang Putu Sulistiani.
Sementara itu mengenai prospek usaha batik, Putu Sulistiani menyatakan
bahwa saat ini cenderung mengalami trend penurunan. Diantaranya disebabkan
banyaknya event pameran hasil kerajinan sejenis batik. Kendati bermanfaat
secara promotif, namun juga menyebabkan semakin mudahnya batik dalam berbagai
jenis ditemukan di pasaran. Sehingga batik tidak lagi menjadi barang eksklusif
yang banyak diburu.
Meski begitu sebagai pengusaha yang telah memasuki usia satu dasawarsa,
Putu Sulistiani punya trik sendiri untuk mengendalikan minat pasar. Tak hanya
berinovasi dalam setiap desain motif batik, Putu Sulistiani juga berkreasi
dalam desain baju yang lebih casual dan berkelas dari kain batik miliknya.
Perajin yang mengawali kiprahnya di
dunia batik sejak 13 september 2004 ini mengaku belum memiliki pakem khusus
dalam motif batik yang dibuatnya. Mengambil ide dasar batik khas Jatim dengan
desain utama bunga teratai dan ayam bekisar, Putu Sulistiani mengkreasikan dua
maskot batik Jatim tersebut. Salah satu jenis desain batik yang diberinya nama
Surya Majapahit, menggambarkan bunga teratai dengan delapan penjuru mata angin
terpajang rapi di rumah sekaligus galeri miliknya.
Waspadai
Kompetitor
Memasuki usia satu dasawarsa, usaha
batik yang dirintisnya terus berkembang. Bukan saja pasar lokal, pasar
mancanegara pun mulai melirik usaha berbasis kerajinan tersebut. Hal itu perlu
diwaspadai mengingat Indonesia hingga saat ini cenderung kalah dalam hal SDM
yang profesional di bidangnya.
Menghadapi era pasar global tahun
2015, para pelaku usaha kecil menengah (UKM) dituntut untuk terus berinovasi
guna memastikan usahanya tetap berjaya ditengah gempuran produk-produk asing
yang mulai menjarah pasar lokal. Dalam hal batik misalnya, tak hanya sesama
kerajinan batik yang menjadi kompetitor bagi pengembangan usaha. Saat ini mulai
banyak diproduksi tekstil bermotif batik dengan harga yang sangat terjangkau.
Jika sudah begitu, satu-satunya langkah yang diambil adalah bagaimana kerajinan
batik bisa bersaing namun dengan tetap menjaga mutu dan ciri khas dari batik
itu sendiri.
Putu Sulistiani juga sempat mengaku
was-was pada buyer asing yang terlampau protektif ketika berkunjung ke
galerinya. Kerap kali mereka tak hanya bertanya seputar pengerjaan batik. Tapi
perihal gaji, jam kerja pegawai, merek bahan, hingga pasar yang menyediakan
bahan baku tak luput dari pengamatan mereka.
“Kadang kita itu bangga kalau mau mengajarkan pada orang lain, tapi
hati-hati dibalik itu. Nantinya mereka kan mempelajari dengan lebih canggih, jadilah
mereka bikin batik juga. Karena saya tahu, daya dukung mereka terutama SDM itu
lebih ekspert ketimbang yang kita miliki,” jelas Putu Sulistiani serius.
Kalau harus berbagi ilmu, jelas Putu
Sulistiani, dirinya lebih memilih untuk mengkader generasi lokal muda berbakat.
Kendati sebagai pengusaha yang tidak lepas dari perhitungan laba dan modal, ibu
dari dua orang putri ini mengaku pengusaha seyogyanya tidak hanya memikirkan
keuntungan diri pribadi. Baginya batik bukanlah sekedar karya seni bernilai
jual tinggi, batik juga warisan budaya yang kelestariannya menjadi tanggung jawab
bersama.
Putu juga menyesalkan semakin sedikitnya generasi muda yang tertarik
menekuni batik. Mereka cenderung memilih bekerja sebagai buruh pabrik, lantaran
dianggap lebih menguntungkan. Sedangkan
membatik, umumnya didominasi kalangan perempuan paruh baya hanya karena
tidak memiliki keahlian khusus.
“Kedepan kalau ingin melestarikan
batik, sementara pendapatan masih kecil mereka tidak akan mau membatik lagi.
Terutama generasi muda, makanya untuk pembatik
harus ada reward yang bagus, sehingga batik ini bisa lestari,”
ujar Putu Sulistiani menyarankan. (ati,tin)
BAKAT,
KREATRIFITAS, DAN KESEJAHTERAAN BERSAMA
Menggeluti dunia batik sejatinya bukanlah basicnya sejak awal. Betapa
tidak, dengan title apotekker di belakang namanya sudah membuktikan, bahwa ibu
dari dua putri sejatinya adalah sarjana farmasi. Namun, bakat tak pernah
memilih pada profesi apa dia melekat. Itulah gambaran apa yang dijalani Putu
Sulistyani. Seorang aptekker yang akhirnya memilih mejadi pengrajin sekaligus
pengusaha batik.
“Sejak kecil saya memang menyukai hal yang berbau seni. Saya ingat dulu
ketika masih di SMP ada pelajaran menggambar dan saya gambar motif batik. Sejak
saat itu saya mulai tertarik. Saya juga tidak tahu apa itu yang dinamakan
bakat,” kenang Putu Sulistiani.
Kalaulah apa yang dipilih Putu Sulistiani bagian dari bakat terpendam
yang dimiliki, bukan berarti uasah berjalan dengan mulus. Jatuh bangun
mengembangkan usaha menjadi cerita yang mengiringi perjalanannya hingga kini.
Istri dari Edi Budi Prabowo ini menceritakan bahwa dirinya pernah nyaris
bangkrut lantaran pesanan yang dibuat tidak sesuai dengan permintaan dan
dikembalikan. Malangnya, pesanan itu pun tidak dilengkapi dengan perjanjian
jual beli di awal. Sehingga Putu Sulistiani pun pasrah barang dikembalikan
tanpa kompensasi.
Namun kejadian ini justru menjadi nomenklatur pembuktian kreatifitasnya
sebagai perajin. Pesanan yang dikembalikan itu kemudian dimodifikasi ulang.
Hasilnya, semua pesanan gagal tersebut justru terjual dengan harga lebih mahal
dari penawaran sebelumnya.
“Itu hikmahnya ditolak tapi bisa kita jual lebih tinggi. Seorang
perajin memang harus pinter-pnter menyiasati hal semacam itu,” jelas perempuan yang
mengaku sebelumnya bekerja sebagai research and developer sebuah pabrik
kosmetik di Surabaya sejak tahun 1987-2002 ini.
Ditanya mengenai alasan ‘banting stir’ dari sarjana farmasi menjadi
perajin batik, Putu Sulistiani hanya menggeleng sembari melempar senyum renyah.
Perempuan yang baru saja dikukuhkan sebagai Ketua Asosiasi Perajin Batik Jawa
Timur ini, mengatakan dengan diplomatis bahwa tidak ada yang tidak mungkin
selama seseorang memiliki kemauan. Hal terpenting adalah adanya niat tulus dan
demi kesejahteraan bersama.
“Usaha apapun itu, tidak bisa hanya untuk kepentingan diri. Kita juga
harus punya komitmen. Seperti halnya usaha batik, disini banyak sekali yang
terlibat yang itu juga harus kita fikirkan kesejahteraanya. Bukan hanya
memperkaya diri,” ujar perempuan kelahiran Singaraja, 5 Agustus 1957 tersebut
memungkasi pembicaraan.
(ati,tin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar