Senin, 03 Agustus 2015

Karna: Menuju Pembebasan (3)

 

Khrisna               : Jangan berpikir, Temanku! Bunuh Raja Angga, Karna!
Karna                  : Jika aku dapat mengangkat roda keretaku keluar dari lumpur, Arjuna lalu kecepatan waktu akan berubah. Bagaimanapun aku akan berusaha untuk mengeluarkan roda keretaku. Aku adalah Ksatria. Berusahan sampai nafas terakhir adalah tugasku. Bagaimanapun, sekarang matahari terbenam sebentar lagi. Sebelum Suryadev bersembunyi, kamu harus membunuhku. Sekarang aku ingin berkeliling bersama ayahku.
Khrisna               : Hanya tersisa 15 menit lagi sampai matahari terbenan, Temanku! Ambil keuntungan dari kesempatan ini! Bebaskan Raja Angga Karna dari beban dosanya!

Terompet telah ditiup. Genderang telah ditabuh. Tujuan telah tercapai. Kemenangan seharusnya menjadi nyata ada di pihak kami. Tapi kenapa aku meneteskan air mata? Hatiku seperti tercabik. Bahkan seolah panah yang kulontarkan menebas lehermu menancap tepat di jantungku. Kenapa kebenaran ini harus kau sembunyikan, dan menjadikan kami menanggung beban dosa akan kematianmu?

***

Aku tengah menikmati sakit akan penebusan dosaku tadinya. Sebelum, suara magisnya menyentakku. Dan akhirnya kutahu, ini tidak akan hanya menjadi penebusan dosa tapi juga pembebasanku. Terima kasih adikku. Di tanganmu, jalanku menjadi sedemikian mudah.

Aku mencoba menggapainya, tanganku ingin menggenggamnya. Aku ingin memilikinya disaat terakhirku. Aku ingin semua yang tidak bisa kudapat seumur hidupku. Hanya sekali, hari ini, dan untuk terakhir kalinya. Biarkan aku menikmati, memiliki nama yang berhak untuk kusandang. Kauntheya, Putra Kunti.

Kunti                   : Anakku!
Karna                  : Kau memberi tilak padaku, Ibu. Aku telah mendapatkan pembebasan dari semua dosaku.
Kunti                   : Tapi bagaimana aku bisa mencapai kebebasan dari dosa kematianmu, Anakku?
***
Air mataku menetes, hatiku serasa bagai disayat. Tapi aku pun tak pernah tahu, jika itu karena sebagian dari jiwakulah yang sebenarrnya tengah meregang nyawa.

Arjuna                : Kenapa ibuku menangis seperti itu untuk kematian seorang musuh?
Khrisna               : Permusuhan sudah berakhir, Temanku. Sekaranglah waktunya kita mengingat hubungan seseorang. Hubungan yang terlahir dari tangisan dan berakhir dengan menggenangi mereka
Arjuna                : Apa maksudmu?
Khrisna               : Tanyakan pertanyaan ini kepada ibumu, Kunti!
***
Kunti                   : Aku tidak pernah menaruh kepalamu di pangkuanku. Seumur hidupku, cinta seorang ibu tetap menderita diam-diam.
Karna                  : Inilah kemalanganku, Ibu. Aku tidak pernah memberimu kebahagiaan. Aku malah mendapatkan pangkuan Ibu Radha. Bagaimanapun, aku tidak pernah bisa memberimu pembaktian dari seorang anak, Ibu. Ibu, letakkan kepalaku di pangkuanmu, Ibu!
Kunti                   : Baiklah.
Karna                  : Aku berharap untuk meninggalkan semua penderitaanku, dan permusuhan di pangkuanmu sebelum aku pergi, Ibu. Letakkan kepalaku di pangkuanmu, Ibu!

Rasanya damai, Tuhan. Aku tidak butuh apa-apa lagi. Cukup seperti ini. Dan ambillah nyawaku, kapanpun Engkau mau. Ampuni aku, jika aku cukup pantas untuk itu. Tapi bahkan hal inipun sudah melebihi surga bagiku. Terima kasih untuk pangkuan ibuku.

***

Mereka datang, adik-adikku. Seperti selayaknya kematian seorang musuh. Mereka datang untuk merayakan kemenangannya. Karena aku adalah kunci terakhir dari pembebasan yang tengah mereka perjuangkan. Aku melihat kebencian dimata adik-adikku, kecuali Arjuna. Dimatanya ada luka yang seolah merenggut seluruh hawa kehidupannya. Ibu, kumohon jangan sakiti adik-adikku dengan membuka kebenaran ini. Ini menjadi seolah pembebasanku yang lagi-lagi ternoda. Air mata dan kelemahan mereka bukan hal terakhir yang ingin aku lihat, Ibu!


Bhima                 : Ibu! Apa yang kau lakukan? Dia adalah musuh kami.
Kunti                   : Tidak, Bhima! Akulah musuhnya! Siapa tahu, kenapa kau menuntut balas dendam dari dia dalam hidupnya dan kenapa aku memberinya penderitaan terus menerus. Dan sebuah kehidupan dari perjuangan keras.
Nakula                : Kamu memberi Karna Raja Angga kehidupan penuh penderitaan? Apa yang kamu katakan, Ibu? Maharathi ini selalu mengambil senjata melawan anakmu. Dia tetap bersaing dengan anakmu dengan percuma. Dia membunuh Putra Abhimanyu tanpa ampun. Dia telah mengambil sumpah untuk membunuh kelima anakmu.
Kunti                   : Tidak, Nakula! Dia telah mengambil sumpah untuk menjaga kelima anakku tetap hidup. Itulah kenapa, ia tidak membunuh satupun dari kalian.
Yudhistira           : Ibu, apa yang kamu katakan? Tolong katakan dengan jelas!
Kunti                   : Yudhistira, Anakku…
Karna                  : Tidak…
Tidak, Ibu Ratu! Tolong diamlah! Rasa hormat, nama baik, cinta, pengabdian, semuanya adalah istana pasir. Mereka dibangun dengan sesaat. Aku telah disiapkan, sekarang aku telah disipkan untuk mati. Dengan kehilangan kehormatanmu, apa yang akan kamu dapatkan? Dan bahkan apa yang aku dapatkan dari itu? Nasib misterius kami seharusnya dikubur dalam kedalaman waktu, Ibu Ratu.
Kunti                   : Tidak, Sayang! Kamu tidak memberikanku hukuman apapun. Seluruh hidupmu, yang kamu dapatkan hanya untuk menanggung hukuman dari kejahatanku. Sekarang bahkan jika anakku, jika mereka menghinaku dan terus menghinaku atau memberiku sebuah hukuman itu menjadi sesungguhnya benar.
Arjuna                : Bahkan menanyakan hal ini membuat hatiku gemetar, Ibu! Tapi, misteri apa itu? Kejahatan apa? Dan hukuman apa? Hukuman apa, Ibu?
Kunti                   : Kejahatan sebelum pernikahan. Maharesi Durwasa telah memperingatkanku untuk tidak memakai mantra ini diluar keinginan. Sebaliknya, bukannya memetik buah, aku malah menerima penderitaan. bagaimanapun, aku hanyalah seorang anak kecil. Kekuatan mantra tidak dapat aku pahami.

(Suryadev           : Kekuatan mantra tidak datang dalam kesia-siaan. Ketika aku meninggalkan bagian dari kekuatanku akan kembali denganmu dalam wujud seorang bayi laki-laki. Anakku akan menjadi tidak terkalahkan Kunti. Seluruh dunia akan mengenalmu dengan nama Karna.)

Radha                 : Anakku! Anakku…
                           Ibu Ratu, kau telah mengambil nyawa anakku. Apakah kamu berencana untuk merebut kenangan anakku sekarang?! Karna adalah anakku. Dia anakku. Kamu adalah Radheya, Nak. Kamu adalah Radheya! Kamu bukan putra dari wanita licik ini! Seekor buaya menelan anaknya sendiri, aku telah mendengar hal semacam ini. Jika kamu telah melahirkan anakku, lalu itu membuatmu lebih licik dari seekor buaya!
Karna                  : Ibu Radha,
Radha                 : Anakku,
Karna                  : Ibu Radha, aku adalah anakmu, Ibu Radha.
Radha                 : Ya,
Karna                  : Aku adalah anakmu. Ibu Kunti, Jangan menyalahkan Ibu Kunti!
Radha                 : Kenapa bukan aku, anakku? Kenapa bukan aku? Kamu adalah ibu dari anakku? Apa yang kamu tahu tentang anakku? Apa kamu tahu masa kecilnya? Masa kecil anakku dipenuhi dengan kedewaan. Dia pernah melompat dari gunung. Kamu diterima di Hastinapura dengan mandi bunga, apakah kamu ingat, Ibu Ratu? Itu adalah kemampuan anakku. Kamu telah membuang anakku, dan kamu hadir disini sebagai ibunya?
Karna                  : Ibu Radha, akulah anakmu, Ibu Radha. Kalau Ibu Kunti tidak membuangku bagaimana aku akan mendapatkanmu, Ibu Radha? Dia, Vasudev, diapun anak dari dua ibu, lalu kenapa aku tidak bisa seperti itu, Ibu Radha? Kenapa aku tidak bisa?
Sadewa               : Apakah Karna Raja Angga anakmu, Ibu?
Kunti                   : Ya, anakku. Karna Raja Angga adalah kakak tertuamu. Dia adalah anakku. Anakku..

***

Masa-masa itu kembali diputar layaknya pertunjukan yang kami saksikan sendiri. Hari-hari dimana kami dengan kejamnya, mencabut seluruh hakmu di masyarakat bahkan dari pengabdian kami. Kakak, bagaimana bisa kami buta akan sinar keagunganmu? Dan bagaimana bisa kau biarkan kami menanggung kutukan akan kebenaran yang kau simpan ini? Apakah ini hukuman untuk kami? Kakak, jika saja kutahu ini sebelaumnya, maka sungguh jangankan kemenangan ini, nyawa kami pun akan kami persempahkan di telapak kakimu.

Arjuna                : Apa yang membuat perbedaan, anggaplah ini kalimat kematianmu. Karna Raja Angga kamu telah mengambil harga diri dalam kemampuanmu dan juga kebijakan untuk penyalahgunaan seperti pengemis lemah? Ingatlah! Kamu akan kehilangan kemampuanmu dan pengetahuanmu saat waktunya kamu mati. Jiwamu akan habis ketika kamu mati.
Bhima                 : Pergilah, Anak Kusir! Dengarkan ayahmu, karena dia tahu orang sepertimu tidak punya kemampuan!
Karna                  : Ketika aku melihat teratai ini aku teringat akan kakimu, Yang Mulia!
Nakula                : Kita seharusnya menunduk sebelum menghadapi kematian Karna Raja Angga!
***
Yudhistira           : Kamu telah melakukan perbuatan yang tidak benar, Ibu! Siapa yang menyembunyikannya adalah dosa, yang mengungkapkannya dianggap terpuji.
Karna                  : Tidak!
Yudhistira           : Dengan menjaga pahala sebagai rahasia kamu memberi kesialan dosa!
Nakula                : Kami seharusnya menyentuh kaki kakak kami. Tapi, kita malah menaruh senjata dihadapannya.
Bhima                 : Dia berhak sebagai yang terhormat. Akan tetapi aku menghinanya sepanjang hidupku. Dia layak menjadi bagian dari mahkota. Bagaimanapun aku selalu menganggap bahwa mutiara tetap berharga walaupun diletakkan di kaki.
Arjuna                : Aku telah melakukan perbuatan yang jahat, Kakak! Bagaimana bisa, Ibu? Bagaimana bisa kamu membuat dosa besar?
Karna                  : Aku yang melakukannya, Arjuna! Untuk membuktikan bahwa aku itu hebat. Tetapi aku senang, pada akhirnya aku sudah membuktikan bahwa diriku hebat. Untuk membunuhku kamu harus melakukan penipuan.
Arjuna                : Bagimana aku bisa selamat dari beban dosa ini, Kakak? Bagaimana bisa?
Karna                  : Letakkan kepalamu di pangkuan ibu, Arjuna! Disitulah tempat keselamatanmu berada. Aku telah menemukan milikku.
                           Ibu Radha! Inilah waktu untuk kepergianku, Ibu Radha!
                           Adik-adikku tercinta! Sebagai kakak tertuamu, maukah kalian mengikuti perintahku? Tolong jangan menghina Ibu Kunti. Dan kau Arjuna, ajarkanlah anakku kesaktian.
Arjuna                : Aku berjanji, Kakak! Anakmu akan mendapatkan kehormatan yang selayaknya dia dapatkan. Kaulah pewaris tahta Indraprastha. Anakmu juga akan menjadi pewaris ini, Kakak. Dia akan mewarisinya.
Karna                  : Melawanmu adalah kesalahan terbesarku, Arjuna. Aku mungkin hebat, tapi kamu lebih hebat. Kamu tiada duanya, Adikku. Kamu tiada duanya. Pemakaman terakhirku, pantasnya dilakukan olehmu, Adikku.
                           Vrushali! Apakah kamu ingat, Vrushali? Aku pernah berkata padamu, kalau seseorang yang berkeliling melalui lautan dapat dipimpin oleh bintang kutub sekalipun. Kau selalu menuntunku ke jalan yang benar, Vrushali. Walaupun itu terjadi di nasibku, aku pasti akan menempuh itu suatu hari nanti. Tapi kebahagiaan itu, aku tidak ditakdirkan untuk mendapatkannya, Vrushali. Berkeliling melewati samudera kehidupan, aku kehilangan pandangan bintang kutubnya. Aku mengabaikan bintang petunjuk itu, Vrushali. Maafkan aku, Vrushali!
                           Aku akan pergi, Ibu!



***

Tubuhmu yang terbaring di atas kayu pembakaran, kau memintaku menyelesaikan upacara terakhirmu. Ini seperti aku melakukan puja untuk kematianku sendiri, Kakak! Bagaimana bisa hidup menjadi begitu tidak adil bagi kita berdua? Api yang sedikit demi sedikit memisahkan ragamu dari kami, membakar kami sepenuhnya. Selamanya, takkan lagi ada kebanggaan akan kemenangan yang kau tebus dengan nyawamu. Takkan ada. Seumur hidup kami menabur luka di hatimu. Dan kami akan menghabiskan seumur hidup kami untuk meratapinya.

Arjuna                : Perang ini bercampur menjadi kesedihan dan kebahagiaan dengan cara membedakan kesedihan dan kebahagiaan telah menjadi tidak mungkin, Madhav.
Khrisna               : Ini adalah kenyataan dari perang, temanku. Itulah mengapa, hal terbesar dalam kehidupan adalah bukan kekerasan. Tidak ada dasar yang lebih besar daripada bukan kekerasan.
Sadewa               : Tapi kamu membiarkannya menjadi perang besar, Vasudev?
Khrisna               : Kamu tidak pernah mengambil bagian dalam perang ini, Sadewa! Ketidakkerasan kami akan menjadikan kami sebagai pengecut. Bukan kekerasan adalah keberhasilan, hanya ketika ini lahir dari kekuatan dan kemampuan dan bukan ketakutan. Dengan kata lain, ketidakkerasan kami akan menjadikan kami disebut pengecut , Sadewa! Bagaimanapun inilah waktunya untuk perang ini berakhir.
Bhima                 : Vasudev benar. Hanya Duryodhana yang belum dihukum. Aku akan membunuhnya saat fajar.
Khrisna               : Kamu tidak kan bisa membunuhnya kalau begitu, Kakak Bhima! Duryodhana adalah ksatria yang mampu tapi kamu harus membunuhnya saat matahari terbenam. Kalian semua harus pergi dan beristirahat sekarang. Kita semua harus bersiap untuk perang besok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar