Kamis, 23 Oktober 2014

The Untold Love, Kavaca & Kundala 2


Indradev, ayahmu datang menemuiku, Adikku. Saat itu aku tengah melakukan pujasurya. Kau tentu tahu, bahwa aku telah mengikat diriku dengan amal dan bersumpah, siapapun yang datang selepas aku menyelesaikan pemujaanku maka dia tidak akan pulang dengan tangan hampa. Tidak peduli dia manusia, hewan, dewa, bahkan iblis sekalipun.

Seperti yang juga telah diperingatkan ayahku, Suryadev. Indradev datang menyamar menjadi seorang brahmana dan meminta amal dariku.
“Maafkan aku anakku, jika nanti kurawa menang maka seluruh dinasti akan hancur dan menegakkan keadilan akan menjadi tidak mungkin lagi. Maka satu-satunya cara adalah agar kau berpura-pura menjadi benteng mereka. Tetapi jika kau berjanji untuk mundur dari perang ini maka aku akan membebaskanmu dari semua sumpahmu. Keputusan ada di tanganmu, apakah kau memilih mundur dari perang ini atau berikan kavaca dan kundala yang menjadi pelindungmu,”
Arjuna, ayahmu mencoba bermain dengan harga diriku sebagai kesatria. Tapi aku mengerti, semua itu dilakukan karena cinta kasihnya padamu. Maka inilah yang kulakukan, Adikku. Kulepas Kavaca dan Kundala milikku dan memberimu kesempatan untuk memenangkan perang ini. Bagiku cukup, aku telah merasakan kenikmatan kemenangan. Aku menang, Arjuna. Aku menang tanpa harus menyakitimu.
Sampai kemudian kau datang dan mendapati kecurangan yang Indradev lakukan padaku. Aku tahu, harga diri kesatriamu terluka. Kau mulai merasa dunia tidak adil padamu, juga kemampuanmu. Sungguh ini jauh lebih menyakitiku dibanding luka di sekujur tubuhku. Tapi aku tak berdaya.
Muncul keinginan untuk meneguhkan hatimu, Adikku. Tapi hal itu tak mungkin lagi sekarang. Karena itulah kuminta anugerah Indradev. Sebuah senjata yang sebanding dengan kekuatanmu.
Kau pasti brpikir, senjata ini kuminta sebagai pamungkas ketika kelak aku harus berduel denganmu di medan pertempuran. Bahkan ketika kucoba menggali kembali kebencianku setelah tahu kau adikku, aku tidak sanggup lagi, Arjuna. Kau adalah pantulan jiwaku. Mengarahkan senjata padamu, sama halnya dengan bersiap menuju kematianku sendiri. Aku tak berdaya.
Kelak, jikapun dharma membuatku harus mengarahkan senjata padamu, sungguhpun itu bukan lagi karena kebencianku. Itu hanya ketidakberdayaan. Adikku, lebih baik terlahir beruntung dibanding kaya. Tapi keduanya pun tak ada dalam garis nasibku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar