Indradev, ayahmu datang menemuiku, Adikku. Saat itu aku
tengah melakukan pujasurya. Kau tentu tahu, bahwa aku telah mengikat diriku
dengan amal dan bersumpah, siapapun yang datang selepas aku menyelesaikan
pemujaanku maka dia tidak akan pulang dengan tangan hampa. Tidak peduli dia
manusia, hewan, dewa, bahkan iblis sekalipun.
Seperti yang juga telah diperingatkan ayahku, Suryadev.
Indradev datang menyamar menjadi seorang brahmana dan meminta amal dariku.
“Maafkan aku anakku, jika nanti kurawa menang maka seluruh
dinasti akan hancur dan menegakkan keadilan akan menjadi tidak mungkin lagi.
Maka satu-satunya cara adalah agar kau berpura-pura menjadi benteng mereka.
Tetapi jika kau berjanji untuk mundur dari perang ini maka aku akan
membebaskanmu dari semua sumpahmu. Keputusan ada di tanganmu, apakah kau memilih
mundur dari perang ini atau berikan kavaca dan kundala yang menjadi
pelindungmu,”
Arjuna, ayahmu mencoba bermain dengan harga diriku sebagai
kesatria. Tapi aku mengerti, semua itu dilakukan karena cinta kasihnya padamu.
Maka inilah yang kulakukan, Adikku. Kulepas Kavaca dan Kundala milikku dan
memberimu kesempatan untuk memenangkan perang ini. Bagiku cukup, aku telah
merasakan kenikmatan kemenangan. Aku menang, Arjuna. Aku menang tanpa harus
menyakitimu.
Sampai kemudian kau datang dan mendapati kecurangan yang
Indradev lakukan padaku. Aku tahu, harga diri kesatriamu terluka. Kau mulai
merasa dunia tidak adil padamu, juga kemampuanmu. Sungguh ini jauh lebih
menyakitiku dibanding luka di sekujur tubuhku. Tapi aku tak berdaya.
Muncul keinginan untuk meneguhkan hatimu, Adikku. Tapi hal
itu tak mungkin lagi sekarang. Karena itulah kuminta anugerah Indradev. Sebuah senjata
yang sebanding dengan kekuatanmu.
Kau pasti brpikir, senjata ini kuminta sebagai pamungkas
ketika kelak aku harus berduel denganmu di medan pertempuran. Bahkan ketika
kucoba menggali kembali kebencianku setelah tahu kau adikku, aku tidak sanggup
lagi, Arjuna. Kau adalah pantulan jiwaku. Mengarahkan senjata padamu, sama
halnya dengan bersiap menuju kematianku sendiri. Aku tak berdaya.
Kelak,
jikapun dharma membuatku harus mengarahkan senjata padamu, sungguhpun itu bukan
lagi karena kebencianku. Itu hanya ketidakberdayaan. Adikku, lebih baik
terlahir beruntung dibanding kaya. Tapi keduanya pun tak ada dalam garis
nasibku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar