Selasa, 10 Desember 2019

NUR-KU

(Bersambung)


Akhirnya, aku menemukan alasan untuk menulis. Sesuatu yang selalu kucari. Satu dari sedikit hal yang mampu mempertahankan kewarasanku yang seringkali menguap. Sebuah Challenge dari saudaraku, Johan Rifki Maimunuddin, yang lebih suka kupanggil Joe.
Barangkali ini tak seperti espektasimu, Saudaraku. Karena jika kau mengharap tulisan yang serius dan berbobot, kau meminta pada orang yang salah. Aku hanya satu dari saudara perempuanmu yang tak terlalu pandai dan suka berkhayal.
Bulan Desember ini : *Berlapis Cahaya*
Menerima tema ini pada 30 November lalu, sontak membuatku memikirkan dua hal. Pertama, diriku sendiri; Kedua, Madinah. Tanya kenapa?
Aku, terlahir dan diberi nama kedua, Nur Hayati. Setelah sebelumnya sempat menyandang nama Yusnia Zahrotul Hasanah. Nama yang dianggap terlalu berat bagi anak sulung sepertiku. Entah apa pertimbangannya, mungkin benar terlalu berat, karena ada mufrod dari julukan Putri Nabi Muhammad dalam nama itu, Zahra----Azzahra.
Nur berarti cahaya. Madinah, Madinatul Munawwaroh, Kota yang bercahaya. Terlihat clue-nya? Begitulah kadang ide di otakku muncul. Seringkali tidak singkron, berloncatan, dan tak bisa dipahami selain oleh diriku sendiri.
Dan untuk kali ini, aku akan berusaha menata kembali kenangan 14 purnama yang lalu. 21 Oktober 2018 atau 12 Safar 1440 H. Hari yang akan selalu menjadi kenangan sakral bagiku. Hari yang akan selalu kukenang dengan haru biru dan bahagia tak terperi. Perjalanan umroh perdanaku.
***
Beberapa bulan sebelum tanggal sakral itu, kabar keberangkatanku diumumkan. Bagai kabar yang tak tahu harus kurespon bagaimana, aku hanya tercengang. 'Yakin ini bukan mimpi? Atau aku melantur?.' Tapi sekeras apapun usaha yang kulakukan untuk tersadar--dari sesuatu yang kusangka lamunan--semua tak berubah.
"Bapak sudah mendaftarkan kita berempat untuk umroh tahun ini," ddduuuaarrrr . . . . . Oke, jika suara paling mengejutkan adalah ledakan bom yang mampu memporakporandakan sekitar, maka bom yang satu ini berhasil membuatku berkeping-keping. Bukan hancur, hanya begitu terkejutnya sampai tak yakin harus tertawa dulu atau menangis sekalian.
Pada akhirnya, tak satupun dari dua opsi itu yang kulakukan. Aku hanya tercengang sembari menatap wajah pria berperangai teduh yang kupanggil ‘Bapak’ itu dengan berbagai perasaan, yang sekali lagi tak bisa kudefinisikan. Meski duniaku seolah terhenti, toh, semua berjalan seperti yang seharusnya. Aku mengurus pembaruan KTP, Akta Lahir, Kartu Keluarga, Penambahan nama, ijin cuti, hingga paspor tentu saja.
Sehari menjelang keberangkatanku, aku masih seperti manusia linglung yang melakukan segala hal secara otomatis. Bukan karena aku berpikir perlu melakukan ini dan itu. Otakku berhenti bekerja dengan benar. Lantunan doa dari sanak, kerabat, dan tetangga seperti menggema di kepalaku. “Ya Rabb, semuanya masih seperti mimpi,”
21 Oktober 2018. Pagi masih buta ketika perjalanan menuju Bandara Juanda T1. Subuh pun belumlah tiba. Aku mendekap erat buku panduan umroh yang kuterima dari travel, meski pada akhirnya hanya Sholawat Nabi yang tak kuijinkan lepas dari bibir dan pikiranku.
"Jangan pernah lepas sholawat, dalam keadaan apapun," pesan ibuku jauh hari sejak kabar keberangkatanku ditetapkan. Pesan yang selalu diulang-ulang setiap ada kesempatan. Entah kenapa, aku kembali melihat wajah sendu disana. Ada segurat bahagia yang diselimuti kekhwatiran khas seorang ibu. Wajah yang selalu kudapati setiap kali aku hendak bepergian.
Hah, ibu tetaplah ibu. Seberapapun bengalnya, aku tetaplah putrinya. Yang dibanding lemah lembut dan penurut, aku cenderung pendiam tapi pembangkang sekaligus. "Mungkin tanda lahir di kaki itu yang membuatmu tak bisa diam,"
Selain bingung, aku juga mendadak menjadi cengeng. Air mata menggenang di pelupuk mataku, ketika tiba waktunya berpamitan pada keluarga. Aku tentu tak bisa menangis di depan mereka, tidak boleh. Itulah mantera yang terus kubaca dalam hatiku. Mereka keluargaku, tapi aku tak cukup berani terlihat lemah didepan mereka. Aku lebih memilih dipandang bengal dan keras kepala. Itu lebih terdengar menyenangkan.
"Meski meninggal di tanah suci menjadi impian banyak orang, tapi jangan pernah sekalipun berpikir ingin meninggal disana. Ingatlah, kami disini menunggumu dengan doa dan kerinduan," Pesan paman kembali menyentuh jiwaku. Membuat air mataku nyaris jatuh tanpa kuminta. Entah kenapa aku mudah sekali ingin menangis hari itu. Seolah-olah hatiku mencair menjadi telaga air mata yang selalu siap tumpah. Membuatku mudah tersentuh dan terharu.
Setelah perjuangan keras mencegah air mata membanjir dengan tidak tahu diri. Air mata pertamaku hari itu jatuh tepat ketika aku memasuki pintu check in bandara dan mengirim pesan pamit pada Bapak.
"Jangan lupa doakan Bapak ya Nur. Sampaikan salam Bapak untuk Kanjeng Nabi," ucapnya saat mengantar kepergian kami. Ah, sayang sekali Bapak tak bertemu Abi dan Umi.
"Panjenengan akan menjadi doa pertama saya. Terima kasih untuk semuanya. Saya tidak akan bisa membalas apa-apa. Semoga Bapak selalu dilimpahi dengan kebahagiaan dan keberkahan dalam hidup,"
***
Aku masih ingat dengan jelas, keinginan tersembunyi yang selalu kupatrikan dalam hati. “Jika aku ditaqdirkan pergi ke Luar Negeri, aku ingin kota yang pertama kali kujejaki adalah Tanah Suci.”
Mimpi itu terwujud.
Aku tak pernah menduga, hal semacam ini akan terjadi dalam hidupku. Keberuntungan tak terduga, rejeki yang tak disangka-sangka. Sesuatu yang kuyakini adalah karma baik dari tirakat orang tua dan leluhurku. Karena  aku sadar, siapa lah aku tanpa doa dan restu mereka. Hanya anak gadis bengal yang kerap membangkang. Hamba yang selalu khilaf pada Rabb-nya.
Pada akhirnya, aku juga disadarkan pada banyak hal. Cinta luar biasa yang tersaji indah dalam hidupku. Ibu dan ayah yang sama bengalnya denganku. Tak pernah ada kata cinta keluar dari mereka. Tapi aku tahu, bahwa dalam diam mereka selalu menitikkan air mata di setiap doanya untukku. Bahwa aku memiliki lingkungan yang luar biasa dengan teman-teman yang tak ubahnya saudara.
Jika kali ini aku masih merasa sendiri, maka kukira hatiku tertinggal di suatu tempat. Dan jika pernah sekalinya aku merasa hidup ini gelap, maka mungkin aku buta untuk melihat cahaya-cahaya terang yang selalu menemaniku. Keluargaku, Sahabatku. Mereka adalah cahayaku. Nurku. (1)

Sidoarjo, 07 Desember 2019 Pukul 22.51 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar