Rabu, 21 November 2018

SAMUDERAKU


Kita bertemu di padang rumput, tempat terakhir kali kau meninggalkanku. Aku masih sering ke tempat ini sekedar untuk mneikmati rasa sakit yang kau tinggalkan. Sedikit konyol, tapi itu mmebantuku tetap sadar aku pernah atau masih memiliki sebagian keterikatan denganmu. Kau pun dengan gayamu yang angkuh datang lantas tersenyum tanpa dosa. Meski matamu seperti biasa, menyinarkan luka yang sama-sama kita miliki.

"Sekarang apa lagi?" tanyamu sok tahu.

"Kenapa?"


"Kau menghela napas. Hal yang hanya pernah kau lakukan ketika marah tapi tak bisa menyampaikannya," Lagi-lagi kau sok tahu. Sok tahu yang memang tahu.


"Kau mengenalku dengan baik, ya," ucapku dengan senyum. Berharap bisa menggapaimu dan melintasi tepi yang memisahkan kita. Tepi yang kita buat untuk menjaga masing-masing dari hati kita luka.


"Apa itu sebuah penyataan atau pertanyaan?"



"Jawablah jika kau mau dan abaikan jika kau anggap tidak perlu. Aku lelah, Candu. Jangan memintaku berpikir lebih keras hari ini!" Sekali lagi aku menghela napas dan menyandarkan kepala pada dahan pohon terakhir yang hidup dan menjadi saksi pertemuan kita.



"Kau tak bisa. Otak cantikmu adalah duniamu. Kau hanya bisa memilih diam tapi bukan berhenti berpikir,"


"Boleh kutitipkan otak bengal ini padamu? Sebentar saja,"


"Kau yakin aku takkan mematahkannya seperti hatimu? Aku tidak bisa dipercaya,"



"Patahkan saja! Hancurkan kalau bisa. Sehingga aku tak perlu lagi memiliki keduanya, maka mungkin aku akan berhenti merasa sakit," tantangku tanpa rasa takut.



"Tidak seperti itu cara kerjanya, The Sweetest Heart," Kau menarik napas dan menghembuskannya, memberiku senyum pemakluman. Seolah yang kulakukan adalah kenakalan kecil yang membuatmu gemas.


"Sekarang katakan padaku, bagaimana sang samudera? Tidakkah basah yang dibawanya telah menggantikan cahayaku yang silau?"


"Kau bertanya atau mencoba mencibirku?"


"Aku memastikan keberadaanku,"


"Kau masih disana. Tepat di tempatmu yang semula. Siapa yang berani menggantikanmu? Kau sumber cahaya, sumberku,"



"Aku senang mendengarnya, tapi juga terluka. Tanya kenapa?"


"Tidak mau. Aku sudah tahu jawabannya. Kau hanya mengulangnya, lantas tak bisa melakukan apa-apa. Kemudian aku terluka berulang-ulang. Jelas itu bukan pilihan yang bagus,"



"Itulah dirimu. Otak cantikmu ini memproses segalanya terlampau cepat, hingga kadang kau lupa, bumi kadang juga melambat meski tak berhenti,"


"Bisakah kulihat senyummu sebelum pergi?"


"Berikan cintamu sebagai gantinya,"

Kau tertawa hingga menangis. Atau menangis dengan tertawa.

"My Sweetest Heart, sejak awal aku hanya milikmu. Aku hanya tidak bersamamu,"


"Kalimat itu lagi. Pergilah!"

"Nice Dream, My Sweetest Heart!"

Dan kau pergi dengan gaya angkuhmu yang kusuka. Aku suka dan membencimu di satu waktu. Candu, sungguh kau racun yang tak berpenawar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar