"Hai . . ." sapamu dengan kelembutan yang mematikan.
Aku tersenyum selebar yang kubisa. Menggantikan lidahku yang kelu
sekedar untuk menjawabmu.
"Senyummu mematikan. Jadi sebaiknya kau menjawabku saja,
sebelum aku terbunuh oleh pesonamu," kali ini senyum menantang tang
membuatku gemas.
"Kupikir itu kalimatku. Kau mencurinya," aku mencoba
terlihat marah, meski jelas gagal. Toh, bibirku berkedut geli melihat tingkah
polahmu.
Kau tertawa begitu lebar hingga seolah bebanku terlepas meski
hanya terlupakan. Sejenak.
"Kenapa semua nampak berwarna denganmu? Kau seperti bias
cahaya. Hangat, ceria, manis. Tidak sepenuhnya mewakilimu, tapi ya, kau
setidaknya seperti itu,"
"Aku tidak begitu, jika kau tidak keberatan aku
menyanggahnya. Tapi jika kau ingin aku seperti itu, akan kulakukan sebaik
yang bisa kutunjukkan,"
"Kenapa menurutiku? Jika itu bukan dirimu, jangan memaksakan
diri!"
"Hatiku harus dipaksa, karena dia cukup bengal. Kau tidak
tahu bagaimana kerasnya dia,"
"Ohya? Aku jadi penasaran,"
"Puaskan rasa penasaranmu, Samudera. Entah untuk berakhir
membenciku karena jengah atau menerimaku,”
“Kupikir aku tak pernah bilang menolakmu?”
“Hanya belum kukira,”
“Sepercaya diri itu? Sebanyak apa kau mengenalku?”
“Tidak sama sekali,”
“Lalu jangan menilaiku dengan mudah,”
“Tidak. Hanya menjaga jarak,”
“Kenapa?”
“Karena mungkin saja aku sekedar menghalangi jalanmu bukannya
mengiringi langkahmu,”
“Kau sangat pandai berdebat,”
“Yes, I Am,”
“Saat kau jadi milikku, bisakah kau hanya menurutiku?”
Kupikir
aku bisa melakukannya. Tapi, tidak menyenangkan membuatmu tahu banyak hal
sekarang. Jadi, biarkan aku bermain sedikit denganmu.
"Beri aku satu alasan kuat untuk melakukannya!"
"Karena kau milikku!"
"Karena kau milikku!"
*SAMUDERA*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar