"Gaun apa yang akan kau pakai
malam ini?" tanyamu di pagi hari
Tanpa lupa mengobrak-abrik isi lemari
Yang telah dengan setengah hati kutata berhari-hari
"Apa aku harus memakai sesuatu yang istimewa?"
jawabku asal.
"Tentu saja," jawabmu mantab. "Ini bukan
rutinitas yang akan kau lalui setiap hari. Tampillah dengan mempesona. Bukankah
dia istimewa?" ucapmu dengan pertanyaan yang aku yakin sama sekali tidak
butuh jawaban.
"Seistimewa apa?"
Apakah seistimewa roti lapis yang selalu kau buatkan untuk
pagiku yang sibuk
Atau seistimewa selimut yang selalu kau balutkan setiap
malam
bahkan ketika aku lupa melepas sepatu sebelum tidur
Ataukah masih lebih istimewa dari pijatan lembutmu di
kepalaku ketika aku mengeluh pusing?
"Ayo, katakan! Apakah ada yang lebih istimewa dari
itu?"
"Kau terus mendebatku. Dia bukan ibumu yang akan
melakukan setiap hal kecil yang menjadi tugas kami itu. Sebaliknya, kau yang
harus menjaganya," satu jeweran mendarat di telinga
Jaga rumahnya untuk tetap nyaman ditinggali
Jaga piringnya untuk tetap terisi
Jaga ranjangnya untuk tetap hangat ditiduri
Juga jaga hatinya untuk tetap kau miliki
"Sebanyak itu?"
"Akan lebih banyak lagi. Tapi kau akan
menikmatinya,"
"Kalau begitu dia tidak istimewa," ucapku
menghakimi.
"Kau mau mendebatku lagi?" sekarang kau mulai
berkacak pinggang.
"Tidak. Tidak. Baiklah, aku akan menurutimu ibuku yang
istimewa dan satu-satunya,"
Akan kupakai gaun paling istimewa yang kau beli dari hasil
menjual sawah
Supaya dia tahu, aku adalah putri dari ibu yang istimewa
yang menyayangiku seolah aku adalah satu-satunya
Akan kupakai bedak berwarna tanah
Supaya dia melihat bagaimana aku akan hidup dalam dunianya
Akan kupasang celak yang hitam bagai tinta di mataku
Supaya dia ingat, bagaimana garis hidup kami menyatu
Juga akan kupoleskan gincu berwarna merah
Supaya dia tidak lupa,
Disini,
Ada hati sewarna darah
Yang harus dia jaga dengan nyawanya
"Sekarang aku sempurna kan?" aku berputar bagai
manekin pajangan
"Belum,"
"Kenapa lagi?"
"Karena kau lupa memakai sepatumu,"
"Ya ampun....!"