Menelusuri jejak sejarah selalu menarik. Tak hanya melihat kilas balik peradaban di masa lampau, namun juga berbagai tradisi dan kepercayaan yang berkembang di masyarakat, menarik untuk dikaji. Salah satunya jejak kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke Nusantara. Peninggalannya berupa masjid, kolam tempat wudlu, hingga peninggalan purbakala lain menjadi kekayaan Nusantara yang harus dilestarikan.
Berkunjung ke Desa Leran, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, orang seolah ‘dipaksa’ mengurutkan kembali fakta sejarah tentang masuknya agama Islam ke Nusantara. Salah satunya adalah kedatangan Maulana Malik Ibrahim pada kisaran tahun 1370-1371 M, yang konon mengendarai kapal dan mendarat di Desa Sembalo yang kini dikenal dengan nama Desa Leran.
Gresik, khususnya Desa
Leran, sejak abad ke-11 dikenal sebagai pusat perdagangan internasional, atau
dikenal dengan nama Kota Bandar. Sebagai Kota Bandar, Gresik banyak dikunjungi
pedagang China, Arab, Gujarat, Kalkuta, Siam, Benggali, Campa dan lain-lain.
Mengacu
pada fakta sejarah tersebut, penamaan Leran yang berasal dari kata “Lerenan”
berarti tempat peristirahanan atau persinggahan. Tempo dulu, Leran punya peran
penting dalam penyebaran Islam. Khususnya di Tanah Jawa. Desa ini juga menjadi
tempat pendaratan Maulana Malik Ibrahim. Pria yang kemudian dikenal dengan nama
Sunan Gresik ini diyakini menjadi salah satu penyebar Islam pertama di Pulau
Jawa.
Namun
sejarah sebagai pelabuhan internasional kala itu agaknya telah terkikis habis.
Desa yang terletak tujuh kilometer di barat laut Kota Gresik itu secara fisik tidak
banyak berbeda dengan kota lain pada umumnya. Tanah-tanah gersang di kampung
yang luasnya kira-kira 1.300 meter persegi itu sekarang lebih didominasi oleh
petak-petak tambak.
Meski
demikian, sisa-sisa kejayaan Leran masih bisa ditelusuri dari sejumlah
peninggalan. Salah satunya, masjid yang dibangun Maulana Malik Ibrahim. Masjid
yang diberi nama Masjid Maulana Malik Ibrahim, atau orang lokal menyebutnya Masjid
Pesucinan itu dibangun di tepian kolam besar di sebelah timur Dusun Pesucinan.
Meski sebagai masjid yang
bernilai sejarah, jangan membayangkan kondisi masjid yang penuh dengan unsur
klasik. Karena hampir keseluruhan bagian masjid telah mengalami renovasi.
Sehingga yang akan ditemui adalah masjid dengan arsitektur yang benar-benar
baru dan modern.
Namun sebagai upaya
pelestarian, tanah masjid telah disertifikasi Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3) sebagai peninggalan sejarah. Sehingga meski telah dipugar
menjadi masjid modern, namun lokasi masjid masih diakui sebagai tempat
bersejarah.
Seperti halnya bentuk
gapura yang menyambut kedatangan pengunjung ketika hendak memasuki areal masjid.
Sebuah gapura persegi dengan lubang masuk berbentuk lengkung, dan sepasang
ornamen simetris berhias ukiran kaligrafi Arab.
Masjid Pesucinan memiliki
atap bergaya limasan dengan atap berupa cungkup dari gerabah. Menurut Amirul,
Carik Desa Leran, yang mendampingi Derap Desa berkeliling, cungkup tersebut
merupakan satu-satunya bagian asli dari masjid. Selebihnya telah diganti atau
diubah selama masa renovasi. Termasuk bedug penanda masuknya waktu salat, yang
kini berada di Museum Kabupaten Gresik.
Memasuki bagian dalam
masjid, pandangan mata akan langsung disuguhkan pada sebuah mimbar salat dengan
bentuk yang relatif unik. Mimbar yang konon dibuat dari pilar-pilar asli Masjid
Pesucinan ini terlihat penuh dengan berbagai macam ornamen. Mimbar kayu ini menjadi
satu-satunya benda menarik yang ada di dalam ruangan Masjid Pesucinan Leran.
Masih di bagian dalam
masjid, ruang utamanya tidak terlalu luas. Terdapat empat pilar kayu yang
menyangga bagian tengah masjid. Saat kami menengadah ke atas melihat bagian
langit-langit masjid, tidak tampak ukir-ukiran seperti kebanyakan masjid. Meski
relatif baru, agaknya kesan simpel dan sederhana tetap dipertahankan dalam
arsitektur masjid.
Saat itu, Masjid Pesucinan
untuk kesekian-kalinya kembali direnovasi. Tampak berserakan material bangunan
yang sedianya digunakan memperluas bagian dalam masjid di bagian barat masjid.
“Semua bagian masjid bisa
dibilang sudah tidak ada yang asli selain cungkup di atap. Bahkan tembok ini
yang nantinya dirobohkan dan diperluas, juga baru. Ini sisa pemugaran sekitar
tahun 1980-an,” kata Amir sembari memandu berkeliling di area masjid.
Pesucinan dan Air Penyembuh
Tidak banyaknya literatur
yang menjelaskan secara rinci kedatangan Maulana Malik Ibrahim ke Desa Leran, juga
pembangunan masjid. Sehingga memunculkan banyak asumsi yang berkembang di
masyarakat. Mulai dari yang berkaitan dengan aspek historis hingga magis.
Masyarakat percaya, sosok
Maulana Malik Ibrahim adalah ‘waliyullah’ dengan karomah luar biasa. Sebagian
masyarakat percaya, Masjid Pesucinan tidak dibangun sebagaimana pada umumnya, namun
muncul secara tiba-tiba pada tengah malam. Hal ini diyakini karena masyarakat
pada masa itu banyak yang masih beragama Hindu-Budha, sehingga pembangunan
masjid akan mengganggu tatanan sosial masyarakat kala itu.
Berkembang pula
kepercayaan bahwa kapal yang dinaiki Maulana Malik Ibrahim saat mendarat di Leran, masih berada di
sekitar lokasi masjid. Namun telah terkubur di bawah Bumi Leran. Hal ini
didasarkan pada pengalaman penggalian tim arkeologi dari BP3 Prov Jatim yang
menemukan beberapa peninggalan purbakala yang diyakini sebagai bagian dari bangkai
kapal Maulana Malik Ibrahim.
Amir menuturkan bahwa
dari cerita yang berkembang di masyarakat, pernah ada yang mencoba menerawang
keberadaan kapat tersebut. Dan dibenarkan kalau kapal itu masih terkubur di
tanah. Tetapi setelah dilakukan penggalian kapal itu tidak dapat ditemukan.
“Kepercayaan di
masyarakat begitu. Namun karena kapal itu milik orang yang punya karomah atau
dengan kata lain kesaktian, maka barang-barangnya pun sakti. Kira-kira begitu
yang diyakini masyarakat,” ujar Amir.
Satu lagi yang tidak
kalah menarik adalah keberadaan sumur dan kolam air di sebelah utara bagian
utama masjid sebelum pelebaran. Kubangan air yang oleh masyarakat sekitar
disebut Pesucinan (tempat bersuci, Jawa) juga diyakini salah satu peninggalan
Maulana Malik Ibrahim.
Sesuai dengan namanya
yang kemudian diadopsi sebagai nama dusun, tempat itu dulunya dipakai Maulana
Malik Ibrahim dan pengikutnya berwudlu sebelum melaksanakan salat. Ada pula
yang mengatakan, dinamakan Pesucinan karena masjid itu merupakan tempat
mensucikan diri bagi penduduk lokal yang masuk Islam. Salah satu alat
mensucikan diri adalah dengan membasuh diri menggunakan air yang ada di kolam
samping masjid.
Menariknya lagi, tak
hanya dianggap sebagai tempat berwudlu, endapan air yang terdapat pada kubangan
kolam tempat dikumpulkannya air yang diambil dari sumur di sebelahnya diyakini
mampu mengobati penyakit gondok. Di samping juga airnya, dipercaya bisa mengobati
segala macam penyakit.
Kala itu salah seorang
warga, Mukhtar Jamil (60 tahun) yang tengah menuruni kolam berbentuk persegi
dan berundak guna mengambil air. Sebelumnya dia tampak merapalkan beberapa
bacaan doa. Lelaki sepuh tersebut mengaku mengambil air untuk puteranya yang
disinyalir terkena penyakit kiriman (teluh, red).
“Orang sini percaya air
ini bisa menyembuhkan segala penyakit, medis maupun non-medis. Kebiasaannya,
sebelum mengambil air, mereka Wasilah Alfatihah dulu ditujukan pada Maulana
Malik Ibrahim dan beberapa ahli kubur yang ada di kompleks pemakaman Fatimah
Binti Maimun,” tutur Amir.
Tak hanya masyarakat
sekitar, beberapa pengunjung dari dalam dan luar kota kerap pulang dengan
membawa air yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan. Amir sendiri menilai,
terlepas dari aspek kebenarannya, hal itu ia kembalikan kepada keyakinan
masing-masing individu.
Ia hanya bisa
mengingatkan bahwa kesembuhan sepenuhnya dari Tuhan. “Mitos atau bukan itu
kadang ‘kan sugesti. Orang kadang sembuh dari sakit, salah satunya juga
ditunjang bagaimana sugesti terhadap dirinya,” lanjutnya. (hay, uul, eru, yus)