DATA DESA
Nama Desa : Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan
Nama Kades : Muhammad Hajar
Ketua BPD :
Darwis
Sekdes :
Liman Carik
Pamong Desa :
Liman Pettong
Jumlah Penduduk : 6000
Jiwa
Jumlah KK :
2000 KK
Batas Desa
·
Barat : Desa Debung, Kec Geger
·
Timur : Desa Durin Timur Kec Konang
·
Utara : Desa Durin Barat, Desa Kanegarah
Kec Konang
·
Selatan :
Desa Lembung, Desa Ampara’an Kec Kokop
Jumlah Dusun 4
·
Dusun Paser : Kasun Muhammad Ramli
·
Dusun Manggala : Kasun Syaru’din
·
Dusun Sok-Sok : Kasun Muhammad Fahri
·
Dusun Prenduan : Kasun Farid
Potensi Lahan
Pertanian : Padi,
jagung, ubi-ubian dan beberapa buah tropis seperti kelapa, mangga, jambu biji,
dan pisang. Setahun terakhir tengah diuji cobakan perkebunan tebu.
Perkebunan : Mayoritas
jati, mahoni, trembesi, dan bambu. Tapi masih sebatas tanaman liar yang ditanam
untuk mengisi lahan kosong.
Desa Batokaban, Kec Konang, Kab Bangkalan
TERTINGGAL, DESA NOL PEMBANGUNAN
“Jika di kota setiap Bulan Agustus mengibarkan bendera merah
putih dan melakukan upacara. Disini tidak perlu mengibarkan merah putih, karena
kami belum merdeka,” Itulah satu dari keluhan yang terdengar ketika mengunjungi
salah satu desa di Kabupaten ujung paling barat pulau Madura yang berbatasan
langsung dengan ibukota Jatim, Kota Surabaya. Tepatnya Desa Batokaban, Kec
Konang, Kab Bangkalan. Seperti apakah kondisinya?
Desa Batokaban bisa ditempuh dengan satu jam perjalanan motor dari arah timur (belok kanan) perempatan Jembatan Suramadu. Melintasi tiga kecamatan yakni Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Geger, dan Kecamatan Blega.
Di siang hari, terik matahari yang serasa membakar ubun-ubun bukan lagi hal baru. Ditambah kemudian jalanan aspal yang sudah mulai mencuat disana-sini seolah memberi peringatan bagi para pengguna jalan agar jangan sekalipun bermain kebut-kebutan di jalan ini. Beruntung jika hanya terperosok ke sawah atau ladang milik warga. Jalan berkelok yang terjal bisa jadi ancaman tersendiri jika harus beradu badan dengan kendaraan lain.
Memasuki Desa Batokaban
atmosfer yang berbeda mulai tercium sepanjang perjalanan. Meskipun Batokaban
seperti pada umumnya desa-desa di Kecamatan Konang. Dominasi lahan pertanian
dan perkebunan, pemukiman dengan jarak yang masih jarang, wilayah lembah,
perbukitan, dan beberapa jalan berbatu yang akan sangat licin jika musim hujan
(kontur tanah liat).
Desa Batokaban di
sebelah timur berbatasan langsung dengan Desa Durin Timur yang masih merupakan
daerah Kec Konang. Di sebelah barat
terdapat Desa Debung, Kec Geger. Sebelah utara merupakan Desa Durin
Barat, Desa Kanegarah yang juga wilayah Kec Konang. Sedangkan di sebelah
Selatan terdapat Desa Lembung dan Desa Ampara’an, Kec Kokop
Hal yang paling dominan
yang akan terasa bagi pendatang adalah sulitnya akses keluar masuk bagi
kendaraan. Satu-satunya alat transportasi yang kerap dipakai warga adalah
sepeda motor. Mengingat jalan utama desa yang kecil, sangat sulit untuk dilalui
oleh kendaraan besar. Jika pun terpaksa menggunakan kendaraan besar, harus
memutar dulu dari arah barat Kec Tanah Merah yang sebagian telah beraspal dan
beberapa titik telah di makadam secara manual.
“Kalau untuk jalan
sebenarnya kita dapat bantuan dari PNPM Mandiri, tapi itu tidak maksimal.
Sebatas satu sampai satu setengah kilometer. Sementara Batokaban ini luas,”
ungkap Liman, Sekretaris Desa Batokaban.
Sejauh ini, titik
pengaspalan jalan di Desa Batokaban memang masih jauh dari cukup. Dari empat
dusun yang dimiliki, baru sebagian kecil dari Dusun Sok-Sok yang memiliki jalan
beraspal. Ini tidak lain karena di dusun ini terdapat beberapa pusat pendidikan
seperti SDN Batokaban 2, RA Al Aziziyah, MI dan MTS Al Ikhlas, dan beberapa
tempat pendidikan lain. Beberapa ruas jalan di Dusun Manggala yang berjajar
dengan Dusun Sok-Sok baru nampak sisa makadam yang juga mulai rusak.
Terkendala SDM
Desa
Batokaban, yang berdasarkan penuturan Sekdes memiliki penduduk sebanyak kurang
lebih 6000 jiwa dengan sekitar 2000 Kepala Keluarga. Jumlah yang besar, tapi
suasana di desa ini nampak lengang. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk
memilih menjadi perantauan ke luar kota bahkan keluar negeri. Jumlahnya
mencengangkan, yakni sekitar 70 persen.
Penghasilan
dari hasil pertanian yang tidak bisa diharapkan, menjadi salah satu alasan kuat
bagi para muda-mudi untuk menghadapi realitas tersebut secara pragmatis. Para
pemudanya akan lebih memilih merantau. Begitupun dengan para
gadis yang telah beranjak dewasa akan memilih bekerja atau menikah muda.
Kesadaran
akan pentingnya pendidikan juga masih sangat minim. Bisa menemukan lulusan
sekolah menengah merupakah hal yang luar biasa disini. Keluarga dengan tingkat
ekonomi menengah ke atas paling tinggi akan mengirim putra-putrinya ke
pesantren selepas lulus dari Sekolah dasar atau Sekolah Menengah Pertama.
Beruntung jika saat berada di Pesantren mereka dapat mengenyam pendidikan
Menengah Atas. Selepas itu, secara tidak langsung para muda-mudi ini dituntut
oleh keadaan untuk segera memiliki penghasilan (bekerja).
Salah
seorang Ustadz (Panggilan khusus bagi pemuda yang mengajar ngaji) mengiyakan keadaan tersebut. Menurutnya, semakin tahun
dirasakannya Batokaban semakin sepi. Kader-kader muda yang diharapkannya bisa
menemaninya melakukan perubahan justru pergi dan tidak bisa lagi diharapkan
kedatangannya. Terlebih ketika para tetua yang semakin hari juga dirasakannya
semakin berkurang.
“Kalau bicara mengenai
perubahan, ya sulit. Lha wong yang mau diajak berubah aklarkaran kaloar kabbih, (Bertebaran pergi, red)” ujar Ustadz
bernama Ma’ruf ini.
Pemuda berumur 27 tahun
ini bisa dikatakan satu dari kalangan yang beruntung. Pasalnya, terlahir dari
keluarga yang sangat mengutamakan pendidikan (Keturunan Kyai Sepuh Desa
Batokaban), Ma’ruf juga berkesempatan mengenyam pendidikan S1 melalui beasiswa
guru madin yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi beberapa waktu lalu. (hay)
TERTINGGAL DI SEMUA LINI
Dalam berbagai kesempatan Menteri Pembangunan Daerah
Tertinggal (PDT) Helmy Faishal Zaini menyatakan bahwa Pulau Madura akan bebas
dari status daerah tertinggal pada tahun 2014. Di Indonesia, ada 183 kabupaten
yang masuk kategori daerah tertinggal dengan tiga diantaranya berada di
Madura yakni Pamekasan, Sampang dan
Kabupaten Bangkalan.
Beberapa ketentuan sebuah daerah masuk dalam kategori
tertinggal, seperti tingginya angka buta huruf dan anak putus sekolah,
pendapatan perkapita masih rendah, ketersediaan air bersih kurang, serta aliran
listrik yang belum merata.
Merujuk pada berbagai kategori tersebut maka bukan hal
yang berlebihan jika dikatakan Desa Batokaban, satu diantara desa-desa
tertinggal tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Liman, bahwa berbicara
mengenai pembangunan Desa Batokaban ibarat membenahi gubuk reyot. Bukan dengan menambal
di sana-sini, melainkan merombak total.
Namun jika harus memilih skala prioritas, Liman mengutamakan untuk perbaikan akses jalan dan jembatan penghubung per dusun. Akses jalan menjadi prioritas karena menurutnya hal itu sedikit banyak mempengaruhi sebagian besar kegiatan sehari-hari warga. Jika akses jalan memadai, bukan tidak mungkin pembangunan desa akan semakin mudah pula begitu harapnya.
Jembatan penghubung antar dusun menurutnya menjadi sangat
penting ketika menghadapi musim penghujan dimana sebagian besar sungai mulai
terisi air. Sedangkan hampir
setiap dusun di Batokaban terpisah oleh aliran sungai, yang akan dengan
otomatis menjadi jalan lapang saat musim hujan karena airnya mengering.
“Selama ini kan bukan
tidak ada pembangunan tapi ya itu, sulitnya akses jalan menjadikan pembangunan itu terhenti. Misal mau bangun rumah atau
jalan. Untuk mengangkut material saja kita harus menunggu musim kemarau karena
kalau musim hujan jalan tidak akan bisa dilewati oleh kendaraan karena becek
dan rawan longsor,” ungkap Sekdes yang telah menjabat selama 13 tahun ini.
Namun di musim kemarau
masalah lain yang juga mengganjal adalah keterbatasan sumber air. Hal ini juga kemudian menjadikan aktifitas pertanian
yang menjadi sumber penghidupan masyarakat terhenti. Di musin kemarau hampir dipastikan seluruh sungai yang ada di Desa
Batokaban pun ikut mengering. Kalau pun ada yang masih bisa digunakan, itupun
dengan kodisi yang memprihatinkan. Debit air yang sedikit, jauh, kurang bersih, dan masih
harus berantrian dengan banyak orang.
Pada musim ini hanya
nampak beberapa tanaman tropis yang tidak membutuhkan perawatan khusus yang masih nampak
tertanam di ladang-ladang warga. Beberapa jenis umbi-umbian seperti ketela
pohon, kacang, talas.
Tanaman utama seperti Padi
dan jagung hanya bisa ditanam pada musim hujan. Kendatipun begitu, Liman
menuturkan bahwa masyarakat menyiasatinya dengan menanam secara bersusun. Artinya setelah selesai
dipanen langsung ditanami lagi jika dilihat cuaca masih memungkinkan. Jika terpaksa tidak ada hujan, jalan
satu-satunya adalah mendesel atau memikul air dari sisa
air di sungai. Sehingga pada musim hujan yang maksimal hanya enam bulan itu
petani tetap bisa memanen padi atau jagung sebanyak dua kali.
“Kalau bisa lagi urusan air sebenarnya pengeboran. Kami juga tengah
mengusahakan pembangunan waduk, tapi belum
bisa dipakai karena waduknya terlanjur kering,” jelas Carik yang memiliki nama
yang sama dengan pamong desa yang juga masih kerabatnya tersebut.
Minim Pemberdayaan
“Kalau semisal ingin mengajukan dana bantuan ke Provinsi bagaimana caranya?” pertanyaan yang cukup menggelitik dari Sekdes paruh baya tersebut. Bersama dengan rokok kreteknya yang tak berhenti mengepul. Pria berkulit gelap itu menuturkan keluh kesahnya.Sebagai putra daerah yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di Desa Batokaban, dirinya sangat ingin melihat tempat kelahirannya ini menjadi lebih maju. Sebagai Sekdes yang telah diberikan kepercayaan penuh oleh masyarakat dan juga kepala desa untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak perihal upaya pembangunan desa, dirinya mengaku nyaris putus asa.
“Karena kalau di Bangkalan (Pemerintah Kabupaten, red) sendiri selama ini sangat sulit, entah karena terlalu banyak
antrian atau bagaimana, sehingga lama sekali untuk proses acc. Bahkan kadang pengajuan
kita tak pernah mendapatkan respon. Seandainya ada jalan, mungkin akan lebih cepat jika bisa langsung mengajukan ke Provinsi,” ujarnya dengan raut muka penuh harap.
Bantuan alat pertanian semacam traktor, menjadi salah satu mimpinya agar
pertanian di Batokaban dengan kondisi cuaca yang tidak bisa diprediksi menjadi
lebih optimal. Baik dari segi efisiensi waktu dan
tenaga, yang selanjutnya akan memaksimalkan hasil.
“Pertanian disini masih menggunakan sistem tradisional. Membajak menggunakan sapi, sapinya masih harus menyewa
sekaligus tenaga pembajaknya dan harus bergantian. Jadi dana yang dikeluarkan
juga lebih banyak. Hasilnya juga belum tentu menutup semua biaya itu,” jelas
Sekdes yang menggenapkan umurnya pada 28 November tersebut.
Kondisi ini dipertegas dengan banyaknya warga yang
menjadi perantauan sehingga dalam kondisi sibuk seperti masa panen, atau hajatan
sulit mengajak orang untuk gotong royong. Pilihan terakhir adalah membayar kuli, yang otomatis merogoh kocek lebih
dalam.
Terkait fasilitas untuk sarana
kesehatan, Desa yang dikatakan paling luas dibanding desa-desa lain
disekitarnya itu hanya memiliki satu bidan desa dan mantri yang berada di
sebelahnya, yakni Desa Debung, Kec Geger. Beberapa kali dirinya mengajukan
penambahan tenaga kesehatan tapi terkendala kondisi yang menyebabkan para bidan
tersebut tidak betah dan akhirnya meminta untuk dipindahkan.
Kendatipun dengan segala kekurangan
tersebut, ada beberapa hal yang tak luput disyukurinya adalah sudah masuknya
aliran listrik ke Desa Batokaban. Meskipun masih menggunakan tiang pancang
manual seperti bambu atau kayu, Kedepan telah ada rencana untuk membangun tiang
yang lebih permanen.
“Kalau untuk listrik sudah mulai masuk tiang pancangnya dari Desa Durin Timur (batas timur desa). Ke Batokaban tinggal tunggu gilirannya
aja, Insyaallah akan segera
dipasang,” harapnya.
“Pokok’en
mon bede program bantuan dari pemerintah mesti nemmu lebbun ke tokaban. Jek
lakar pas tadek sekabbinnah, (Yang jelas, jika ada program bantuan apapun
dari pemerintah pasti akan bisa dijalankan di Batokaban. Karena memang disini
segalanya masih minim, red)” imbuhnya setengah berkelakar. (hay)
BIODATA SEKDES
Nama :
Liman
TTL :
28 November 1973
Alamat :
Dusun Manggala, Desa Batokaban Konang Bangkalan
Istri :
Nima
Anak :
Muharrom
Jabatan :
Sekretaris Desa Batokaban
Menjabat Sejak : Tahun 2000 Pengangkatan PNS tahun
2007, aktif mulai tahun 2009.
Lebih Pamor dari Kades
Menjadi Sekdes di Desa terpencil
seperti Batokaban bukanlah sesuatu yang membanggakan. Setidaknya itu yang
tersirat dari raut wajah Liman, kala menceritakan kondisi desa tumpah darahnya
ini. namun berbekal kepercayaan masyarakat dirinya tetap memilih bertahan
menjadi carik.
Liman menyadari minimnya sumber daya
yang dimiliki oleh Batokaban menjadi salah satu alasan kenapa hingga saat ini
Batokaban masih saja menjadi desa tertinggal. Keterbatasan itu berimbas pada
tidak berjalannya birokrasi pemerintahan desa. Struktur pemerintahan desa tidak
dijalankan sebagaimana tupoksinya.
Dirinya juga mengibaratkan bahwa pemerintahan
desa masih seperti kerajaan kecil. Kuasa penuh ada di tangan kepala desa.
Sehingga kerapkali aparatur desa hanya sekedar perlengkapan yang tidak memiliki
fungsinya.
Sebagai putra daerah dirinya paham
betul dengan segala seluk beluk mengenai Desa Batokaban. Bahkan bisa dibilang
dirinya yang lebih dikenal luas oleh masyarakat dibanding Kepala Desa (Kades)
sendiri. Sehingga kendatipun secara struktural dirinya berada dibawah Kades, dalam keadaan genting dan penting justru dirinya yang menjadi tameng, dan pusat
penyelesaian.
“Selama ini kalau untuk ke masyarakat sebenarnya tidak mengalami kesulitan
karena mereka kan noro’ buntek, (Menurut saja, red). Masyarakat permintaannya
itu sederhana, asalkan desa aman, tidak ada maling. Kesulitan justru jika harus menyatukan
kemauan dengan kepala desa,” ujar
Sekdes yang juga menyayangkan belum adanya kantor desa yang bisa dipakai utuk
menjalankan administrasi desa, sebagaimana wewenangnya.
“Sampai saat ini Batokaban tidak memiliki balai desa. Balai desa ya
mengikuti rumah kades. Kades ke barat ya ikut ke barat. Ke timur ya ke timur,” imbuhnya menganalogikan. (hay)