Kau terus bertanya alasan
dari kemarahan dan sinisku, meski tak satupun penjelasan kuberikan untukmu.
Entahlah mungkin hatiku telah mati rasa atau kau yang tak pandai membaca
celahnya. Kini, setelah kupahami semuanya kita seolah benar-benar tak bisa lagi
berpikir bersama. Kembali atau pergilah, meski sejujurnya aku tak sekuat itu
setelah kusadari . . .
Suatu pagi yang seharusnya indah,
Kenyataannya pagi ini memang indah. Matahari bersinar lamat, kendati jam
di pergelangan kiriku telah menunjuk angka 7. Jajaran pohon pinus di
sekelilingku membuatnya terhalang dariku. Udara pagi pun masih terasa sejuk
dari tempat ini dan seharusnya mendamaikan jiwaku.
Mungkin aku terlelap sejenak. Hingga sebuah suara membuatku terjaga
sekalipun tak lantas membuatku terperanjat. Suara siapa? Entahlah. Itu juga
yang sedang kupikirkan. Satu dari orang-orang yang kini mengisi beberapa sudut
taman, aku rasa tidak mungkin. Kami bahkan tak saling mengenal.
Sudahlah! Otakku menolak mencerna. Mungkin karena lelah.
***
“Pagi, ada kabar apa hari ini?” tanyaku masih dengan tas dan beberapa
map yang kugamit. Mungkin karena aku tak menyebutkan nama, tiga sosok hidup
didalam ruangan yang sama denganku tak bergeming. Mereka sibuk, atau pura-pura
sibuk.
Kuletakkan tas dan map yang tadi kubawa dan duduk disamping perempuan
berkacamata yang tengah sibuk dengan komik naruto favoritnya. Dewi, namanya. Kusenggol
lengannya dan memberi isyarat menunjuk kedua rekanku yang lain. yang ditanya
hanya mengernyitkan dahi dan menggeleng enggan.
“Waktu aku datang udah kayak gitu,” bisiknya seolah tak ingin keduanya
mendengar yang kami bicarakan.
Meski nampak sibuk, tapi aku tahu keduanya tak sedang mengerjakan
apapun. Imran dan Hasymi. Laptop Imran hanya menunjukkan beberapa gambar yang
dilihat acak, tak seperti sedang dipilih. Hasymi lebih parah lagi laptopnya
menyala tapi hanya terlihat foto avenged Savenfold yang menjadi desktop
backgroundnya.
“Imran, aku rasa foto yang kemarin rencananya kita pasang di banner
kurang pas deh, kenapa gak pakai foto kegiatan kita di Bromo dulu. Ohya Hasy, kamu
udah ke percetakan? Undangan harus sudah kelar awal minggu depan. Kalau tidak
pimpinan kita itu bisa berceramah seharian,” cerocosku lantas mengambil alih
laptop yang dipegang Imran tanpa permisi. Keduanya bergeming sebatas saling
pandang.
Belum sempat mereka merespon pertanyaanku, seorang lelaki jangkung
berpakaian batik coklat melepas sepatu dan melemparnya serampangan di depan
pintu dan sibuk dengan telepon genggamnya. Aku yang tadinya berpikir membuat
kedua temanku ini bicara malah ikut-ikutan bergeming.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanyanya pada kami berempat. Aku melirik
sepatunya yang tergeletak tak beraturan hingga masuk kedalam ruangan yang
sengaja kami pasang karpet tanpa kursi supaya lebih santai. Harusnya dia sadar
dengan tulisan “Alas Kaki dilepas” yang
kami tempel di pintu.
“Oh itu. Ya ya maaf,” dia sadar dengan yang kumaksud lantas merapikan
sepatunya.
“Ehm . . iya! Soal foto aku juga emang udah rencana mau merubahnya. Foto
itu terlalu gelap dan pastinya jelek begitu dicetak. Tadi aku udah sempat
kumpulin beberapa foto, kamu bisa pilih yang menurut kamu pas entar biar aku
sampaikan ke Pras untuk segera di desain,” ujar Imran mengalihkan perhatianku
ke arahnya.
“Undangannya udah ada di percetakan, rencananya sore ini aku ambil. Kamu
tinggal siapin list undangannya entar biar aku dan Dewi yang handle. Ya kan
Dew?,”
Dewi mengacungkan jempol tanda sepakat.
“Darimana saja? Sudah dua hari ini gak ke basecamp?” tanya Maulana yang
telah duduk disalah satu sudut ruangan didekat map dan tas yang tadinya
kuletakkan.
“Aku bisa menghandle semua pekerjaanmu jika memang kamu terlalu sibuk.
Sam mungkin memang lebih butuh bantuanmu ketimbang kami.”
“Sebentar, maksud kamu apa? Apa selama ini pekerjaanku disini
terbengkalai?” jawabku dengan pertanyaan.
“Memang belum dan aku tidak akan mengambil resiko sampai semuanya kacau.
Ini menyangkut acara tahunan kampus dan aku tidak mau semua berantakan,” balas
Maulana nyaris tanpa ekspresi. Tangannya sibuk membolak-balik map milikku.
“Seperti yang kamu bilang ini acara kampus, menyangkut kepentingan
banyak orang. Aku tidak mau egois, kuanggap kau bercanda, kan kuabaikan bahwa
aku tersinggung dengan ucapanmu. Lain kali berpikirlah dua kali sebelum
berbicara seperti itu,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya. Jika boleh jujur
rasanya ingin pergi saja meninggalkan ruangan yang tiba-tiba terasa sangat
pengap ini.
Maulana beranjak dari tempatnya duduk berjalan mendekatiku, Imran dan
Hasymi.
“Aku memberimu kesempatan untuk tidak memperumit keadaan. Tidak semua
hal bisa dikompromikan. Aku harap kau mengerti, itu saja,” ucapnya sembari
menepuk punggungku dan berjalan meninggalkan kami.
Sudah dua bulan ini aku memang membagi tenaga untuk dua kegiatan bisa
dibilang cukup menyita waktu. Aku tim pelaksana dari Lomba Karya Tulis Ilmiah
Nasional yang digelar setiap tahun di kampusku. Kegiatan ini menjadi sangat
vital karena akan dihadiri oleh berbagai utusan dari universitas dan institut
dari seluruh Indonesia. Juga beberapa utusan universitasluar negeri yang
melakukan studi banding. Singkat kata semua harus berjalan lancar jika tidak,
nama baik kampus ini yang menjadi taruhannya.
Di jurusan, aku dipercaya sebagai asisten editor jurnal fakultas. Sam,
merupakan salah seorang senior yang juga ketua HMJ di jurusanku. Dari dialah
aku mendapatkan kepercayaan untuk mendampingi penulisan tersebut. Entah dengan
alasan apa, yang jelas Sam dan Maulana adalah musuh bebuyutan. Ya, meskipun
mereka tidak pernah beradu tanding seperti dalam film-film aksi yang pernah
kulihat. Mereka tetap saling menyapa jika kebetulan berpapasan di jalan.
Sekedar untuk basa-basi kukira.
Maulana teman seangkatanku di beberapa kegiatan ekstra kampus. Teman
baik jika boleh dikatakan begitu walaupun kami nyaris seperti anjing dan kucing
yang tak pernah akur. Maulana anak dari salah seorang pejabat di kantor
rektorat dan hal itu membuatnya sedikit banyak dikenal oleh beberapa orang
penting di kampus ini.
Proyek LKTIN ini pun salah satunya karena kedekatan itu. Maulana
diberikan wewenang untuk menggandeng beberapa lembaga intra dan ekstra kampus
untuk pelaksanaannya. Aku menjadi satu dari orang yang dipilih untuk
membantunya.
Yang jadi pertanyaan sekarang, aku termasuk yang paling paham dengan
sikap dan tabiat Maulana. Marah, mengomel, intruksi, setelah itu tertawa konyol
tanpa berdosa menjadi lagu hariannya. Tapi kali ini aku merasa dia jauh lebih
menjengkelkan daripada yang pernah aku kompromikan.
“Kenapa begitu sulit membuatmu mengerti?!” umpat Maulana didepan pintu
dan pergi dengan geram setelah menatap tajam ke arahku.
Aku yang tadinya beranjak untuk mengejar Maulana justru terduduk lemas
hingga menimpa kaki Imran yang tadinya berselonjor kaki. Imran seperti
mendapatiku hendak roboh menopang punggung dengan tangan kanannya. Tangannya
yang lain menggenggam tanganku, memastikan aku duduk dalam posisi yang benar.
“Jangan bicara apa-apa?” potongku ketika Imran dan Hasymi hendak membuka
mulut
“Mungkin dia benar, aku terlalu lelah dengan banyak kegiatan. Belum
lagi, skripsiku yang sudah diujung tanduk. Rasanya aku memang butuh istirahat,”
ucapku kemudian
“Maulana memang sedikit keterlaluan, tadi juga dia sempat marah-marah
karena dua hari ini kamu tidak disini. Aku udah bilang bahwa pekerjaanmu tetap
terkonsep dengan baik. Jadi aku harap jangan diambil hati ya. Kita semua kan
tahu seperti apa dia, sebentar lagi juga dia baik,” ujar Hasymi.
“Kamu terlalu banyak bicara. Lain kali jangan pernah lagi berusaha
membelaku di depan Maulana. Kesalahan kecil yang kalian lakukan akan jadi
kiamat bagi Maulana jika itu aku,” aku beranjak menggamit tas dan map ku
kembali.
“Aku balik dulu, kerjakan saja apa yang menjadi tugas kalian. Aku juga
akan menyelesaikan tugasku,” lantas aku pergi dari ruangan itu mengacuhkan
ketiga rekanku yang mungkin terpaku di tempatnya.
***
Aku baru sadar, aku terjaga dari tidur singkatku di bangku taman ini
bukan oleh suara siapapun melainkan suaraku sendiri. Nadya, nama gadis bermata
api itulah yang pertama kali muncul dari mulutku pagi ini dan seolah
menyentakku.
Dimana dia sekarang? Bagaimana keadaannya? Sedang sibuk apa dia? Bersama
siapa? Huuh…! Pertanyaan terakhir terasa mencekik. Aku menelan ludah melewati
kerongkongan yang seolah menjadi semakin sempit ketika menuju dadaku.
“Maulana..!” suara serak yang sangat kukenal, Imran. Dia sudah ada
dihadapanku ketika aku hendak menoleh.
“Kamu itu udah tuli, pikun atau bagaimana. Hanphone mana?” cercanya
dengan nafas tersengal.
Dengan lugu kuulurkan handphone yang kuletakkan disampingku padanya.
“Lihat!” ucapnya menunjukkan layar hanphoneku.
Hanya nampak layar handphone bergambar logo kampus. Tapi sedetik
kemudian aku tersadar saat melongok jam yang terpampang. Jam menunjukkan pukul
07.15. terperanjat dan segera berlari menuju motor yang terparkir di tepi
taman. Imran menguntit di belakangku. Aku baru sadar ini hari wisudaku, jam
07.00 itu artinya aku terlambat 15 menit.
Mungkin benar, aturan ada untuk dilanggar. Nyatanya aku tetap bisa masuk
ke ruang wisuda dengan sedikit lobying. Atau mungkin karena orang tuaku.
Biarlah!
Aku menyisir barisan kedua dari barisan tempatku duduk, dari ujung depan
hingga buncitan terakhir. Berharap menemukan sesuatu. Tapi nihil. Tak ada
satupun wajah yang kucari.
***
Pagi sekali, terlalu pagi untuk memulai kuliah, terlalu pagi untuk juga
memasuki basecamp kegiatan ekstrakampus yang kumuhnya tingkat langit ini.
kukatakan kumuh bukan karena kotor, tapi justru karena banyaknya barang dengan
segala fungsi dan coraknya berjubel menjadi satu. Ya, meskipun semua tertat
dengan rapi. Tapi jangan coba mencari barang jika bukan kau sendiri yang
meletakkannya. Dijamin takkan bisa ditemukan.
Aku berputar memandangi sekeliling tempat yang telah menjadi
keseharianku selama berada di kampus. Seperti rumah kedua. Tiap sudutnya
menyimpan kenangan, tertawa kecil ketika seberkas memori konyol melintas di
otakku dan seketika menitikkan air mata tanpa sebab.
“Nadya, kenapa hanya berdiri? Kamu kelihatan asing dengan tempat ini,”
sapa Imran yang baru saja selesai mandi. Celana kolor pendek dan kaos oblong
membuat tubuh tambunnya nampak seperti boneka teddy bear.
Lucu, tapi aku tidak tertawa. Aku hanya tersenyum lantas membuka tas,
menyodorkan beberapa map dan amplop coklat padanya. Dia menerimanya.
“Sejauh mana sekarang perkembangan acara kalian?” tanyaku kemudian
sambil mengambil sebuah modul kuliah yang kuyakini milik Maulana. Aku tahu itu
karena ada tanda tangan di halaman depannya.
“Acara kalian? Sejak kapan ada kata kalian, bukannya ini acara kita?”
jawabnya dengan sedikit sinis kukira
“Sory, aku salah pakai istilah ya. Ya . . . maksudku LKTIN” kilahku
“Kamu bertanya seolah kamu tidak ikut mengerjakannya, seperti yang kamu
tahu persiapan sudah bisa dikatakan finishing, Cuma tinggal memastikan kesiapan
pengisi acara inti, rundown acara darimu sudah dibawa ke rektorat, tinggal
menyesuaikan dengan jadwal para penggede
aja!” Imran bicara tanpa menghentikan aktifitasnya, ganti baju di bilik ruangan
lain di samping tempatku berdiri sejak tadi. Hanya terpisah oleh selembar kayu
triplek setinggi 2 meter. Rasanya seperti berbicara dengan angin.
Beberapa waktu kemudian kudengar hp Imran yang tergeletak di dekatku
berdiri, berdering. Kulihat nama Maulana yang muncul. Aku memanggil Imran agar
mengangkat hp miliknya. Belum sempat diangkat si penelepon sudah muncul dari
pintu depan. Raut mukanya nampak lusuh. Mungkin lelah.
“Eh, Nadya. Apa kabar?” sapanya datar lantas membongkar beberapa file di
laci meja komputer yang biasa kupakai.
“Baik!” dengan sedikit senyuman ramah.
“Imran, file proposal dan MoU yang . . .” aku menjulurkan beberapa map
yang tadi kuserahkan pada Imran.
“Semuanya yang dibutuhkan untuk penanda tanganan kontrak kerja sudah ada
di map itu. Tinggal dicek jika ada yang perlu disesuaikan aku bisa ganti
secepatnya,” terangku tanpa menunggu Maulana bertanya.
Maulana meletakkan map-map itu diatas meja. Membolak-balik halaman tanpa
dibaca kukira. Beberapa saat kemudian Imran muncul dengan sisir di tangan
kanannya. Ransel abu-abu kesayangannya terselempang di bahu kanannya.
“Eh, aku ada kuliah jam kedua, mungkin jam 9an aku baru bisa nemenin
kamu, Lan. Atau kalau buru-buru ajak Nadya aja!” lantas memasang sepatu didepan
pintu.
“Imran, kita teman tapi aku gak suka kalau kamu gak profesional.
Bukannya aku minta kamu yang siapkan semua surat-surat ini.” ucap Maulana
dengan kemarahan yang dipendam kukira.
Imran menoleh ke arahku dengan penuh tanda tanya. Aku beri isyarat agar
dia jangan menjawab.
“Maulana, aku minta maaf jika aku sudah bekerja dengan tidak
profesional. Tapi tolong jangan limpahkan kemarahan atas kesalahanku pada
Imran,”
“Apa aku terlihat marah? aku pimpinan disini, aku berhak kasih komando
pada timku. Dan sebagai pimpinan aku juga berhak menetukan siapa yang kuijinkan
bekerja bersamaku atau tidak. Aku harap kalian menghargai itu,” jawabnya lantas
menyulut rokok.
Takkan kujelaskan bagaimana rasanya. Selain aku sendiri bingung. Siapa
yang bisa tebak Maulana akan berbicara seperti itu. Tapi aku cukup pandai menangkap
maksudnya. Selama ini aku tetap bertahan dalam tim ini meskipun Maulana nyaris
menganggapku seperti tiada
Kali ini mungkin sudah cukup. Semua persiapan telah kubereskan,
selanjutnya biar mereka yang tuntaskan. Aku yakin mereka mampu. Tak perlu ada
aku. Ya, tak perlu.
Aku pergi tanpa berpamitan pada Maulana, hanya segurat senyum untuk
Imran yang terpaku di depan pintu dengan sepatu yang terpasang sebelah. Kutepuk
punggungnya sebagai isyarat bahwa aku baik-baik saja. Mungkin juga bermakna
selamat tinggal.
***
“Lan, seperti yang kamu bilang, kita teman. Apapun yang terjadi
selamanya akan seperti itu. Tapi jujur, aku tidak suka caramu memperlakukan
Nadya,” ucap Imran lemah, tapi tak mengurangi aura kekecewaan di dalamnya.
Kemudian kembali memasang sepatunya yang ternyata baru terpasang sebelah ketika
Nadya pergi.
“Aku juga tidak bersikap seperti itu. Aku juga muak dengan semua
kekonyolan ini,” kusandarkan kepalaku
pada meja komputer yang sehari-hari dipakai Nadya. Pening.
“Lalu apa maksud semua ini? Lan ingat kita butuh dia,” nyaris hampir
membentak.
“Aku juga ingin dia tetap ada disini. Bukan cuma untuk acara ini, tapi .
. .” pening di kepalaku semakin berat. Rasanya aku harus istirahat. Kurebahkan
tubuhku di karpet.
“Aku mungkin yang paling tahu siapa kamu, jika kamu mencintai Nadya
harusnya pertahankan dia disisimu, Bukan malah menyingkirkan dia,” bisik Imran
padaku.
“Ada Sam diantara kami. Cukup satu kali aku berurusan dengannya,”
Imran menghela nafas panjang. Seolah melepas sesuatu yang mengganjal.
Beranjak pergi meninggalkan aku yag meringkuk di basecamp.
“Mungkin karena Nadya temanku, jadi aku yakin dia bukan Gladis yang
meninggalkanmu demi Sam, atau siapapun perempuan yang pernah melukai hatimu”
ucapnya sebelum menghilang dari pandanganku.
Langit-langit putih diatasku seperti hendak runtuh. Tulangku terasa tak
bertenaga. Secepatnya kupaksa diriku terlelap. Benar, aku butuh istirahat.
***
Kupandang langit-langit gedung megah tempat wisuda ini. putih bersih,
semburatnya perlahan nampak seperti langit. cahaya matahari yang menerobos dari
celah jendela kaca sedikit menyilaukan. Tiba-tiba teringat kenangan setahun
yang lalu, saat kami, aku, Nadya, Imran, Hasymi, Dewi dan beberapa teman
memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan dengan berkemah. Bumi Perkemahan
Cuban Rondo menjanjikan suasana yang cukup alami untuk mengusir penat.
Aku juga masih ingat, bagaimana aku membuat Nadya marah karena kejahilanku.
Aku memasang cabe bubuk teramat banyak di makanannya dan itu membuatnya muntah
seketika. Itu rencana Imran meski dia menyarankan untuk memasang garam. Tapi
justru kuganti dengan cabai bubuk.
Warna merah dari caos sarden yang kami bawa sebagai bekal tentu saja
menyamarkan warna bubuk cabainya. Malam harinya, sebagai hukuman aku terpaksa
begadang menjaga Nadya yang tiba-tiba mengalami demam. Ringkih sekali gadis
ini, pikirku.
Ukh . . . kenapa aku jadi ikut-ikutan mual. Keplaku semakin pening
ketika berjalan mengikuti rombongan untuk merampungkan prosesi wisuda. Menerima
ijasah dan sang rektor memindahkan benang toga yang nangkring di kepalaku.
Berbagai wangi dari parfum yang berjubel di ruangan ini membuatku pun mual. Kutahan
sepenuhnya karena tak mungkin aku muntah disini dalam kondisi seperti ini.
Kakiku semakin lemas ketika menunggu giliran MC memanggil namaku.
Keringat dingin dan sakit di kepalaku makin tak tertahan. Hingga akupun
terhuyung tepat di depan salah seorang dosen yang ditugaskan untuk mengatur
barisan.
Aku sempat mendengar sebuah suara memanggilku. Terdengar keras, semakin
lambat dan akhirnya hilang. Sempat aku melihat gadis bermata api itu, sebelum
akhirnya semua menjadi gelap, lantas aku
tak melihat atau mendengar apapun.
***
Mungkin aku hanya takut,
jika kau terlalu indah untuk kumiliki. Sehingga kuciptakan tameng untuk
membentengi diriku darimu. Padahal, senyum perahu naga dan binar mata apimu itu
yang selalu kurindukan. Kini, aku hanya bisa berharap kau bahagia dengan jalan
yang kau pilih. Dan aku menjadi kuat meski tanpamu.
Hanya saja, jika waktu bisa
diulang meski itu tidak mungkin. Satu hal yang aku ingin kau tahu, aku rasa aku
mencintaimu. Aku tidak yakin apa besok akan tetap seperti itu, Seperti halnya
aku tidak yakin apa aku masih bisa bertemu denganmu.