DATA DESA
Nama Desa : Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan
Kepala Desa : Chalimin, SPd
Sekretaris Desa : Drs M Baqir Yasin
Dusun :
-Dusun Sawo : Kasun Habib Sholeh
-Dusun Ringin : Kasun Samin Arif Ardianto
-Dusun Gayam : Kasun Nur ‘Aini, SPdi
-Dusun Asem : Kasun Abd Muntaqim, SPd
-Dusun Palirangan : Kasun Mushofan
-Dusun Bango : Kasun Khozin, Spdi
-Dusun Sejajar : Kasun Monaha
Perangkat Desa :
-Kasi Pemerintahan : Ali Mas’ud, SPd
-Kasi Ekonomi dan Pembangunan : Drs A Munir, SPd
-Kasi Kesmas : Mu’tashom
-Kasi Trantib : Drs Bondo, SPd
-Pembantu Kesmas : Ridluwan
-Kaur Keuangan : H Moh Sholeh, BA
-Pemb. Kasun Sawo : H Moh Said
-Pemb. Kasun Ringin : Ali Ma’sum
-Pemb. Kasun Asem : Mulyan
-Pamb. Kasun Palirangan : Tadjir
-Pemb. Kasun Bango : Moh Fauzi, SPdi
Alokasi Dana Desa : Rp 51 Juta
Luas Wilayah : 12.8187 Ha
Potensi Pertanian : Dominan jagung, padi, kacang tanah, dll
Batas Wilayah Desa :
-Utara : Desa Kranji, Paciran
-Barat : Desa Sugihan, Solokuro
-Timur : Desa Takerharjo, Solokuro
-Selatan : Desa Godog, Laren
-------------------------------
Pertanian Oke, Reyeng
Yes!
Meski bermasalah dengan pasokan air alias ‘tadah hujan’, Desa Payaman,
Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, membuktikan diri menjadi desa makmur dan berhasil dalam pertanian. Desa yang lantas
didapuk sebagai tuan rumah Pencanangan Gerakan Pertanian Organik dan Pengukuhan Petani Ramah Lingkungan yang dimotori oleh
Kapal (Kenduri Agung Pengabdi Lingkungan) Jatim, 13 April 2013 lalu, ternyata juga terkenal sebagai sentra kerajinan reyeng. Lantas seperti apakah kondisi serta bagaimana sepak terjang warganya?
Ribuan orang memadati
alun-alun Desa Payaman,
siang itu. pejuang pengabdi lingkungan, penjual makanan,
penjual mainan, hingga masyarakat tua, muda dan anak-anak berduyun-duyun
menyaksikan gawe akbar yang dihadiri orang nomor satu di Jawa Timur--Gubernur
Soekarwo-- tersebut.
Kesibukan yang tak kalah riuh juga tampak di
Kantor Balai Desa Payaman. Sebuah mobil pick
up warna biru terparkir di depan tangga masuk balai desa. Di dalamnya berbagai jenis pala pendem (umbi-umbian) yang telah dimasak ditata rapi dan siap
dikirim ke alun-alun desa.
“Mangga disambi ini hasil bumi
sendiri
(silahkan dinikmati),” ujar M
Baqir, carik (Sekdes) Desa Payaman, memersilahkan
wartawan
Derap Desa saat ditemui di tengah kesibukannya mengontrol pendistribusian konsumsi acara.
Harus diakui memang agak susah menemukan desa dengan tujuh dusun itu. Berjarak sekitar 7 kilometer dari Paciran, jalan menuju
Payaman melewati ladang dan sawah yang luas. Jalannya tak terlalu lebar, tapi jangan khawatir, semuanya sudah beraspal. Meski sedikit berlubang dan bergelombang
di beberapa titik. Di sepanjang jalan tampak
sisa-sisa hujan, becek hingga genangan air.
Meski berjarak tidak jauh dari Pesisir Laut Jawa, namun hanya segelintir
penduduknya yang berprofesi sebagai penangkap ikan. Terhitung hanya sekitar 14-15 orang yang biasa melaut. Itu
pun dengan intensitas yang sangat minim. Bidang pertanian
masih menjadi garapan primadona di desa yang masuk dalam Kecamatan Solokuro ini.
Di musim tanam pertama lalu, hama tidak begitu menjadi persoalan. Karena
itu akhir bulan Maret lalu petani di Desa Payaman berhasil memanen tanamannya.
Sedangkan untuk mangsa kesanga (masa tanam kedua) baru akan dipanen pada sekitar Juni atau Juli mendatang. Sawah di Desa Payaman termasuk
sawah tadah hujan, maka dalam setahun bisa dipanen hingga dua kali.
Hasil pertanian unggulan Desa Payaman seperti padi, jagung, termasuk kacang
tanah. Beberapa juga ada pertanian buah meski belum dikelola secara maksimal.
Mengingat kebutuhan air di Desa Payaman masih menjadi perhatian serius terutama
di masa-masa kemarau. Untuk memenuhi kebutuhan air, baik keperluan rumah tangga atau pertanian, masyarakat Payaman
memenuhinya dari desa-desa lain terutama Desa Solokuro.
“Di
sini air kurang. Sehingga kami harus mengambil dari desa sebelah, khususnya Solokuro. Meskipun ada sumur yang sumber airnya
bisa dimanfaatkan tapi karena orang banyak ya nggak mencukupi,” jelas M Baqir.
Meskipun begitu, salah satu faktor keberhasilan pertanian di Desa Payaman
adalah keberadaan kelompok tani yang aktif di setiap dusun, baik dalam persediaan benih maupun pupuk. Di Desa Payaman
sedikitnya ada 9 kelompok tani yang tersebar dari Dusun Sawo, Dusun Ringin,
Dusun Gayam, Dusun Asem, Dusun Palirangan, Dusun Bango, dan Dusun Sejajar. Neberapa dusun karena faktor luas daerah dan daya jangkau
malah mempunyai dua kelompok tani.
Selain itu, dipilihnya Desa Payaman untuk ditempati gawe akbar Kapal
Jatim ini juga tidak lepas dari keberhasilan pemakaian
pupuk organik produksi Kapal
pada pertanian di Desa Payaman.
Kapal
Jatim sebagai perhimpunan para pengabdi lingkungan mencoba
mengambil peran penguatan komitmen masyarakat dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dengan fasilitasi Pemerintah Provinsi
Jawa Timur.
Salah
satu misi lembaga ini yakni mewujudkan tata kelola lingkungan berbasis
partisipatif masyarakat yang bersendikan kearifan lokal. “Pupuk yang diproduksi Kapal di sini berhasil, hasilnya bagus. Selain itu harganya yang terjangkau. Mungkin karena bahannya organik,” ujar Carik
bernama lengkap M Baqir Yasin ini.
Manfaatkan Bambu
Jawa
Penggemar ikan laut, atau minimal pernah berbelanja ikan di pasar
tradisinal, pasti tahu reyeng. Reyeng adalah
tempat ikan—baik segar atau kering—yang terbuat dari anyaman bambu. Di beberapa
daerah memiliki nama yang berbeda seperti tumbu
ataupun keranjang ikan. Kendati
pertanian masih menjadi mata pecaharian utama penduduk Desa Payaman, namun kebanyakan dari masyarakat juga pelaku home industry dalam pembuatan reyeng atau tumbu.
Tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai 70 persen dari keseluruhan
penduduk desa yang pernah terpilih sebagai satu dari 12 desa pelaksana ADD (Alokasi Dana
Desa) terbaik tahun 2011. Sementara prosentase yang lebih kecil
sebanyak 30 persen, merupakan pedagang dan kebanyakan adalah buruh migran.
Mengenai penjualan reyeng, selama
ini masyarakat menjualnya melalui pengepul yang kemudian dipasarkan di Paciran,
Blimbing, Banyuwangi hingga Pati, Jawa Tengah. Industri dengan bahan baku pring jawa (bambu jawa) ini terbilang
sangat efektif memanfaatkan aset lokal yang mungkin selama ini terbengkalai.
Maklum, bambu jawa yang terkenal banyak duri tersebut cukup sulit untuk
dimanfaatkan.
Kini, meski hanya pekerjaan sampingan beberapa masyarakat mulai mencoba
menanam bambu jawa untuk memenuhi pesanan yang kadang membludak. Juga
mengantisipasi semakin berkurang jumlah bambu jawa liar, lantaran banyaknya
masyarakat yang mulai tergiur menggeluti pembuatan reyeng.
“Sekarang sudah ada yang nanem piyambak (menanam sendiri). Dua tahun sudah bisa
ditebang. Kadang juga beli, soalnya nggak mencukupi bahannya kalau dari
sini sendiri,” tutur carik bertubuh jangkung ini.
Meski digeluti oleh sebagian besar masyarakat Desa
Payaman, industri reyeng masih
menggunakan alat manual yang tradisional. Sehingga dalam sehari hanya sekitar
100-200 biji reyeng yang dapat dibuat, bergantung
pada kemampuan dan tenaga di industri rumahan tersebut.
Karena industri pembuatan reyeng ini dilakukan di masa-masa kosong bertani sebagai pengisi
waktu luang dan tidak memiliki tempat khusus. Rata-rata reyeng yang dijual warga Payaman dihargai Rp 120,- perbiji sedikitnya satu bundel,
yang berisi seribu biji reyeng.
Sekitar tahun 1997, desa dengan
ADD sebesar Rp 51 juta itu, sempat mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kabupaten
Lamongan untuk mesin penipis bambu bagi perajin reyeng. Hal itu agar industri pembuatan reyeng semakin berdaya kendati hanya sebagai sambilan. Namun
waktu itu pemerintah belum bisa mengabulkan permohonan itu karena tidak adanya
mesin yang dimaksud.
“Alat pemotongnya sudah bagus, ada gunting dari Malaysia,
Singapura. Tapi kalau untuk menipiskan masih dengan alat seadanya, karena itu
kami mengajukan permohonan, biar produksi warga bisa bertambah,” tutur M Baqir
yang telah menjabat sebagai carik
sejak tahun 1993.
Di
samping membuat reyeng, tak sedikit juga warga Payaman yang membuat roti dan
kemplang—krupuk yang terbuat dari tepung terigu—untuk kemudian dijual di pasar.
Ada juga warga yang membuka galeri atau butik pakaian
baik dewasa maupun anak-anak. “Warga di sini terkenal ulet dan pekerja keras, nggak suka nganggur,” imbuh carik yang juga seorang guru tersebut.
Kisah ‘Pak, Nyaman’ dan Sumur Pitu
Pertama kali
mendengar nama Desa ‘Payaman’ sempat ragu jika desa ini merupakan bagian dari
Kabupaten Lamongan. Pasalnya, penamaan desa yang sekilas tak memiliki unsur
bahasa Jawa. Berbeda dengan sembilan desa lainnya di Kecamatan Solokuro yakni Desa. Solokuro, Tebluru, Sugihan, Dadapan, Tenggulun,
Banyubang, Dagan, Bluri, Takerharjo, terdengar masih njawani.
Dikisahkan, Payaman yang dulunya pedesaan terpencil dan termasuk dalam wilayah pesisir pantai utara (Pantura), ternyata memiliki sejarah dan cerita tersendiri yang berkaitan dengan Bumi Sakera (Madura) dalam proses asal-usulnya.
Dahulu, pada masa Kerajaan
Majapahit, seorang Adipati Madura yaitu Arya Wiraraja diutus Raden Wijaya menyeru
rakyat Madura agar menyebar ke seluruh wilayah Jawa, terutama Jawa Timur. Raden Wijaya menaruh kepercayaan sepenuhnya pada
orang Madura karena mereka juga ikut andil dalam mendirikan Kerajaan Majapahit.
Berangkatlah sebagian
besar rakyat Madura berbondong bondong ke tanah Jawa. Ketika sampai di
Jawa rombongan tersebut akhirnya menyebar.
Sebagian ada yang ke timur dan ada juga yang ke barat. Ke timur,
rombongan itu menempati wilayah mulai Surabaya hingga Banyuwangi, sedang yang ke barat menempati wilayah dari Surabaya, Gresik, Lamongan hingga Tuban.
Salah satu rombongan
yang dipimpin seorang pemuda bernama Aryo Bumi memisahkan diri dari
rombongannya yang ke Tuban. Dengan ditemani istri dengan dua orang pembantu Aryo Bumi pergi ke selatan Pantura.
Sampai di kawasan yang
penuh hutan bambu dan pohon-pohon besar Aryo Bumi merasa tempat itu sangat
cocok untuk ditempati. Aryo Bumi pun mulai membersihkan tempat itu dan
mendirikan rumah kecil untuk berteduh.
Beberapa bulan
berlalu Aryo Bumi mulai memikirkan nama tempat itu. Dalam kebingungannya Aryo
Bumi melihat istrinya di luar rumah sambil menikmati sejuknya angin pagi dan
berkata “Pak Nyaman”. “Pak” merujuk kepada suaminya Aryo Bumi, panggilan bagi
suami. Sedangkan “Nyaman” sama halnya dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa
Jawa, bisa juga diartikan beragam sesuai pemakaiannya. Dari kejadian itulah
Aryo Bumi mendapat ide untuk memberi nama tempat itu dengan “Pakyaman” atau “Payaman”.
Asal muasal tersebut
memang tak tertulis secara resmi dalam buku sejarah mana pun. Namun sejarah akan tetap menjadi sejarah. Desa Payaman, umumnya Lamongan, akan tetap dikenal sebagai salah
satu ‘Bumi Wali Sanga’ dengan adanya makam para wali, Sunan Drajat, Sunan Sendang Duwur dan
lain-lain.
Ditambah lagi keberadaan sumber mata air yang sangat penting bagi penduduk Lamongan. Sumur yang konon tak pernah kering tersebut menjadi sumber utama pemenuhan
kebutuhan air masyarakat, yang juga dinilai memiliki nilai magis.
Sumur pitu, begitu Baqir dan seluruh masyarakat
menyebutnya. Setidaknya tiga dari tujuh sumur tersebut berada di wilayah Desa
Payaman. Tiga sumur itu bernama Blimbing, Planangan, dan Pawadonan. Selebihnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten
Lamongan.
Sampai sekarang
ketujuh sumur tersebut masih digunakan warga, di samping sumur-sumur buatan
warga. Namun, sejak banyak warga yang menggunakan pompa air, debit air sumur menjadi berkurang. Hal ini mengharuskan
warga untuk membeli air dari desa sebelah,yakni Desa Solokuro.
“Ya, setiap daerah itu pasti punya sejarah dan
keunikannya sendiri, termasuk Payaman ini. Mengenai kebenarannya saya juga
tidak bisa memastikan,” pungkasnya mencari jalan tengah. (hay, uul)
------------------------------------------
Biodata
Nama : Drs M Baqir Yasin
Usia : 54 tahun
Jabatan : Sekretaris Desa Payaman
Sejak ` : Awal 1993
Pekerjaan lain : Mengajar di pesantren
Tak Ada Hari Libur, Total Mengabdi
Nama M. Baqir Yasin, bisa jadi merupakan satu dari sedikit
‘golongan tua’ yang masih eksis dalam pemerintahan Desa Payaman. Dirinya yang
telah 20 tahun mengabdikan diri sebagai perangkat desa, tak ayal
menjadi salah satu figur yang disegani di kalangan masyarakat Desa Payaman.
Pria 54 tahun ini masih tampak trengginas
dan cekatan. Berkali-kali obrolan wartawan Derap
Desa dengannya harus terpotong lantaran banyaknya warga yang meminta
tanda tangannya untuk pengesahan surat-surat penting.
Telepon genggamnya pun seolah tak mau ketinggalan, membuat pria ini harus keluar masuk pendapa desa, memastikan semua petugas menjalankan kewajibannya. “Ngapunten lho
(Maaf ya), sejak tadi ditinggal-tinggal. Lah
semua sama-sama kewajiban,” ujarnya dengan peluh di wajahnya.
Sejak menjabat di awal 1993, dirinya langsung dipercaya menjadi Sekretaris Desa. Waktu 20 tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal pahit
manis dari jabatan yang diamanahkan kepadanya. Kendati acapkali merasakan
kejenuhan namun semua tetap dijalaninya dengan penuh dedikasi.
Setali tiga uang dengan sepupunya, Maymunah yang telah
menjabat sebagai Ketua PKK selama 25 tahun lamanya. “Sebenarnya hal ini tidak bagus ya, karena bagaimana pun regenerasi itu penting. Setiap kali masa jabatan
berakhir kami selalu mengajukan penggantian pengurus. Tapi masyarakat tidak
menghendaki,” keluh Maymunah.
“Ya, kita bisa jadi tidak peduli dan tetap bersikukuh
tidak mau. Tapi bagaimana jadinya ke depan jika kami seperti itu. Justru organisasi akan semakin kacau. Jadi kita pasrah dan
mencoba ikhlas menjalaninya,” imbuh M Baqir.
Tak lepas dari dedikasi orang-orang seperti M Baqir dan
Maymunah, Desa Payaman banyak disegani oleh daerah lain. Seperti yang diungkap
keduanya bahwa telah banyak daerah khususnya di Kecamatan Solokuro yang
mengadakan studi banding ke Desa Payaman.
Seperti studi banding PKK desa, Posyandu, hingga tata
administrasi desa. Dalam dua tahun terakhir Desa Payaman tercatat sebagai satu
dari beberapa desa terbaik kategori pelaksana ADD. Sedianya tahun ini untuk
Desa Payaman mendapatkan peringkat kedua untuk kategori yang sama pada pelaksanaan
pengelolaan ADD tahun 2012.
Ditanya mengenai langkah yang dijalankan sehingga mampu
menorehkan prestasi tersebut, M Baqir menyebutkan bahwa desa hanya melakukan
seperti apa yang sudah ditentukan. Alokasi dana desa sebesar Rp
51 juta setelah dikurangi anggaran kegiatan menjadi Rp 36 juta. Dari jumlah itulah kemudian dibagikan untuk anggaran per
dusun sebesar Rp
5,5 juta.
Tidak mudah. Itulah kata yang muncul kemudian setelah
dijelaskan bagaimana menjalankan tugas sebagai perangkat desa. Bahkan M. Baqir
mengaku dirinya tak pernah memiliki hari libur. Pasalnya, dirinya yang juga
seorang guru di sebuah pesantren harus membagi waktu bagi dua tugas yang
dipandangnya sebagai bentuk pengabdian masyarakat.
“Senin hingga Jumat saya di balai
desa sebagai carik. Nanti Sabtu dan Ahad saya mengajar, karena saya juga seorang guru,” ujar
sekretaris desa yang berpendidikan terakhir S2 ini.