Teruntuk kau yang kelak akan
menjadi imam bagiku dan anak-anak kita.
Aku menulis ini tepat ketika sakit
akibat tamu bulanan yang menyiksa. Beberapa menakutiku dengan kemungkinan tidak
suburnya rahimku. Tapi kau tahu, aku akan selalu mengabaikan justifikasi itu. Karena
tak ada yang berhak mendahului Kuasa Tuhan. Juga tak ada yang dapat menyakiti
kita kecuali kita memberinya kesempatan untuk menyakiti kita.
Aku masih sepenuhnya yakin dengan
mimpi sederhana tentang keluarga kecil yang akan kita bangun. Aku, kau, dan
anak-anak yang akan lahir dari rahimku. Anak-anak yang akan meramaikan
kehidupan kita. Kau akan mendebatku tentang laki-laki atau perempuan sebagai
anak pertama? Bagaimana jika kita berdoa agar memiliki anak kembar, jadi kita
tidak perlu berdebat siapa yang akan menang atau kalah.
Aku sadar apa yang akan kau dengar
dariku mungkin terkesan terburu-buru, ditengah proposal hidup yang masih kita
susun untuk diajukan pada sang Pemberi Hidup. Ketahuilah, ini kulakukan karena
aku tidak tahu harus membagi ini pada siapa. Entah apa yang akan terjadi
didepan kita tapi telah kutasbihkan namamu sebagai satu-satunya yang akan
menerima bakti akan kesetiaan dan cinta yang Tuhan anugerahkan untukku.
Kau tahu hidupku selalu dipenuhi
dengan ‘ketidakbenaran’ sesuatu yang kau larang untuk kusebut sebagai kutukan. Kumohon
biasakan dirimu dengan hal itu. Satu-persatu akan kita buktikan itu tidak
berlaku bagi kita. Aku selalu meyakinkan diriku untuk tidak lagi merasa takut karena kau ada untukku. Tapi bagaimana
jika ketakutanku itu ada kaitannya denganmu?
Aku telah melihat begitu banyak
pernikahan berubah menjadi upacara kematian tanpa pemakaman. Bagaimana tidak,
ketika selalu kami perempuan yang akan menerima tulah ketika kehidupan
pernikahan berjalan tak sebagaimana mestinya. Atau tak seperti yang pria
inginkan. kenapa selalu kami yang harus berkorban meninggalkan satu untuk yang
lain?
Baiklah kita lupakan hal itu. Kepalaku
seketika pening membicarakannya. Tapi kumohon dengarkan apa yang ingin kuminta
untuk kita. Ya, Kita. Karena setelah menikah bukan lagi tentang aku atau kau, tapi
kita.
Ketahuilah, setelah menikah kau tak
hanya mengikatkan diri denganku, tapi juga keluargaku. Berlaku juga sebaliknya.
Apa yang kita lalui dan rasakan akan berimbas pada keluarga kita. Jadi kumohon
pertimbangkan itu untuk apapun yang ingin kau lakukan. Aku sadar, kita tidak
hidup di negeri dongeng dimana semuanya berlaku secara magis. Disini kita hanya
menuai apa yang kita tanam. Akan ada banyak onak dan duri dalam perjalanan
kita, untuk menguji sebarapa kuat kita akan menjalankan kehidupan ini bersama.
Jika kelak terjadi perselisihan
diantara kita, seberapapun marahnya kau padaku kumohon jangan biarkan keluarga
kita melihat kebencian dimatamu. Marahlah padaku, tapi jangan pernah mengangkat
tanganmu padaku. Jika kesalahanku masih bisa kuperbaiki, bisakah kau tidak
menaikkan oktaf suaramu padaku. Bisakah kau memelukku dan mengatakan kau tidak
suka dengan yang kulakukan atau kuucapkan, setelah itu mintalah aku berubah. Aku
bersumpah, selama kau memintanya dengan cinta dimatamu bahkan hidupku pun akan
kupersembahkan di kakimu.
Atau jika itu tidak bisa kau
lakukan, bisakah kau tetap ada dalam jarak pandangku. Tetaplah tidur
disampingku bahkan sekalipun dengan cara memunggungiku. Jangan pernah meminta
pergi atau menjauh dariku. Karena aku tidak akan bisa mengerti apapun tanpa kau
ada disampingku. Biarkan aku belajar dari kesalahanku tapi jangan
meninggalkanku.
Kau mungkin akan begitu sibuk
dengan dunia atau karirmu. Aku tidak akan protes akan hal itu. Karena kutahu
dibalik semuanya terselip sumpahmu untuk membahagiakanku. Tapi bisakah kau
tidak bosan dan marah saat aku terlampau sering bertanya? Sungguh itu bukan
kecemburuan, hanya kekhawatiran dan kerinduan yang mungkin akan sulit
kubahasakan. Jika tidak mungkin bagimu bahkan untuk memelukku di malam hari
karena kesibukanmu, sisakan sedetik saja dari waktumu untuk tersenyum padaku. Dengan
begitu aku akan tahu bahwa kau baik-baik saja.
Lalu anak-anak kita. Kita mungkin
akan berselisih tentang bagaimana seharusnya kita mendidik mereka. Aku mungkin
juga akan melakukan kesalahan, karena aku tidak bisa menjamin akulah sosok ibu
terbaik, tapi percayalah bahwa aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kalian.
Jika kelak aku terpaksa harus memarahi anak-anak kita karena kesalahannya,
bisakah kita tidak memperdebatkan itu didepan anak kita. Bicaralah padaku saat
kita hanya berdua. Karena kuharap anak-anak kita akan tumbuh menjadi pribadi
yang tangguh dan penuh tanggung jawab. Bukannya cengeng dan manja karena merasa
selalu memiliki seseorang yang akan menyelamatkannya ketika melakukan
kesalahan.
Dan jika aku tidak ingin kau
mengangkat tangan padaku, itu berlaku juga untuk anak-anak kita. Kita akan
mendidik mereka dengan kasih sayang dan ketegasan, tapi bukan dengan teriakan
dan pukulan. Itu tidak akan mendidik mereka, kau tahu.
Dan jika kau tidak keberatan, bisakah
aku mengkafling senyummu setiap kali aku membuka dan menutup mata? Hanya untukku.