Hari itu, aku pulang dengan
perasaan hancur ke rumah orang tuaku, atau harus kusebut orang yang telah
mengasuhku? Hari dimana Khrisna menyatakan bahwa aku bukanlah putra ibuku,
Radha. Melainkan putra dari Ratu Hastinapura, Ratu Kunti. Anugerah dari
Suryadev.
Sejujurnya aku lebih memilih untuk
menyangkal hal itu. Bahkan jika sekali lagi aku harus hidup dalam
kebohongan, aku lebih memilih Ibu Radha dan Adhirata mengatakan bahwa apa yang
dikatakan Khisna adalah kebohongan.
Sejak masih kecil aku memang selalu
dekat kepada Suryadev, aku bisa melihat langsung matahari yang terik, dimana
orang lain berusaha untuk menghindari matahari tersebut. Tidak peduli seberat
apapun perasaanku, tapi setiap kali aku melihat matahari aku bisa merasa
langsung tenang, hatiku pun penuh dengan kebahagiaan dan akupun merasa nyaman. Tapi
itu semua bukan berarti bahwa aku adalah anugrah dari Suryadev.
Dan terlebih
bagaimana aku akan menghadapi kenyataan, mengangkat senjata untuk membunuh
kalian, adik-adikku.
….
"Dunia
mengenalku dengan nama Radheya, Ibu Radha. Sekarang, nama mana yang harus aku pakai?
nama mana yang harus aku pakai?”
Aku berperang dengan kenyataan
yang seolah menghirup habis pasokan oksigen di sekitarku. Terngiang bagaimana
dari Radheya, aku menjadi sosok tanpa nama yang berhak kusandang. Teringat bagaimana
seumur hidupku tanpa sengaja, aku selalu berakhir di kaki ibu kita. Merasakan sakit
atas kebenaran ibu kita yang memilih bungkam bahkan ketika aku berada di
depannya. Juga bagaimana aku melihat wajah terlukamu saat Pangeran Duryudana
memaksamu untuk mencuci kakiku. Orang yang kau anggap musuh. Dan bagaimana aku
dengan tanpa ragu mengatakan kelak jika bertemu di medan perang maka kematianmu
akan terjadi di tanganku.
Sementara sekarang aku merasa
tidak lagi memiliki nyawa yang tersisa di tubuhku. Masih adakah rasa sakit yang
lebih lengkap dari ini adikku?
….
Vrushali : Tuanku, aku telah mendengar bahwa Khrisna memiliki dua
ibu dan krisna menghormati dan mengasihi kedua ibunya dengan sama. Mengapa kamu
menganggap ini sebagai aib pada keberadaanmu?
Karna : Ketika seseorang sepanjang hidupnya begitu ingin
melihat orang lain menderita, kemudian dibertahu bahwa orang lain itu adalah
pantulan dirinya sendiri. Dan bahwa ketika dia menderita maka pantulan dirinya
itu pun akan menderita juga. Sekarang katakan bagaimana orang itu bisa tenang,
Vrusali. Aku berjuang selama hidupku agar mendapatkan rasa hormat yang layak
semampuku. Aku bahkan bersaing dengan seluruh dunia, aku menghadapi penghinaan
lebih buruk daripada kematian disetiap langkahku. Seharusnya tidak perlu
seperti ini, Vrusali. Hal seperti ini seharusnya tidak pernah terjadi.
Ini tentang kau adikku, Arjuna. Sebesar aku selama ini membencimu, dengan
semua kenyataan ini dapatkah aku melewati batasku sebagai kakak yang seharusnya
memberikan restuku. Bukannya berdoa untuk kematianmu.
Karna : Aku telah melihat Arjuna sebagai lambang
penghinaanku. Aku berkata pada diriku sendiri berulang kali, bahwa di hari aku
membunuh Arjuna, seluruh dunia akan tahu pada hari itu bahwa anak kusir sekalipun
bisa menjadi ksatria terbaik di dunia. Tapi Arjuna adalah saudaraku, Vrusali.
Dia adalah adikku. Bahkan aku pun putra dari Kunti. Aku bukan anak dari Radha.
Bagaimana caraku menghadapi keadaan ini, Vrusali.
Aku sangat berhutang budi pada temanku, Duryudana. Bagaimana aku
bisa mengganggapnya sebagai musuhku sendiri, Vrusali. Aku tidak memiliki apa-apa
kecuali kemarahan untuk melawan Arjuna. Bagaimana mungkin aku bisa menawarkan
bantuan kepadanya. Apakah ini tipuan dari Basudeva, ketika itu adalah waktu
untuk menyesatkan semua penderitaan dalam hidupku. Sekarang Dia seperti telah
membuatku tidak bersenjata. Mereka adalah saudara- sarudaraku, Vrusali.
Bagaimana aku bisa menggunakan senjataku pada mereka, Vrusali. Bagaimana aku
bisa melakukannya? Bagaimana aku bisa menggunakan senjata terhadap
saudara-saudaraku vrushali? Bagaimana aku bisa menggunakan senjata terhadap adikku
sendiri?
Vrushali : Tuanku, hanya dia yang bisa menjawab semua pertanyaanmu. Yang
merupakan akar penyebab dari situasi ini. Tuanku, temuilah Ratu Kunti dan
bertanya kepadanya. Jika kebenaran berarti segalanya.
Aku terjaga semalaman, berjalan melintasi Sungai Gangga tempat
dimana Ibu membuangku. Sungai yang membawaku ke pelukan Ibu Radha. Aku bahkan
mengingat dengan jelas bagaimana aku merasa gila untuk mempersembahkan bunga
teratai, saat kedatangannya di Hastinapura setelah kompetisi memanah di
gelangga istana. Aku tahu sekarang, kenapa setiap kali melihat kelopak bunga
teratai, aku selalu mengingat kakinya. Itu karena aku dibuang bersama kelopak
teratai yang seolah telah dipetik dari nurani keibuannya.
…..
Karna : Setiap peminta, setiap pemohon, setiap
pengemis atau yang terhilang apakah ada orang disana yang bisa menerima sedekah
dariku dan bisa pula membantuku.
Kunti : Karna Putraku, aku adalah seorang
pengemis. Inilah aku ibumu. Aku datang kesini untuk meminta, maukah kau
mengabulkannya. Putraku karna, ibumu ada disini, berharap mendapatkan pengakuan
darimu apa kau bisa mengabulkan permohonanku.
Karna : Ibu ratu
Kunti : Tidak putraku. Panggil saja aku ibu. Ibumu.
Butuh keberanian besar untuk mendatangimu, butuh keberanian yang sangat besar.
Karna : Apa butuh waktu yang begitu lama bagi
seorang ibu ksatria mengumpulkan keberanian?.
Kunti : Pada saat kau dilahirkan, aku tidak
punya keberanian. Aku harus menghadapi pertanyaan masyarakat, aku bisa menerima
kharakterku dipertanyakan. Aku bisa menerima itu. Tapi bagaimana dengan
kehormatan ayahku. Bagaimana mungkin aku bisa menodai itu, Nak .
Karna : Sudah jelas martabat ayahmu lebih
berharga dari kehidupan putramu.
Kunti : Tidak nak. Aku melakukan kesalahan yang
sangat besar. Aku kurang bisa memahami akibat dari kesalahan yang telah aku
buat.
Karna : Dan aku adalah hasil dari kesalahanmu.
Seluruh hidupku ini adalah hasil dari kesalahanmu.
Karna : Sekarang baru datang untuk menjadi ibuku?
sekarang kau baru datang? Apa yang harus aku lakukan pada ibuku, yang sudah
terjaga selama beberapa hari. Yang menangis setiap kali aku tidur dengan lapar,
setiap kali seseorang mengejekku, setiap kali ia melihat busur di tanganku. Dia
yang memegang tanganku dan mengajariku tentang toleransi. Apa yang harus
kulakukan pada ibu itu, yang sedang menangis saat ini karena semua orang tidak
mengganggapku anaknya lagi. Tapi anak orang lain. Apa yang harus aku lakukan
pada ibu itu, yang selama ini memelukku ketika kau sendiri malah meninggalkanku.
Apa yang harus kulakukan pada ibu itu?
Kunti : Meninggalkanmu adalah kesalahanku,
maafkan aku, Nak. Maafkan aku. Tapi aku disini sekarang. Untuk bertemu
denganmu. Kita bisa mengubah keadaan, Nak. Kita bisa mengubah semuanya.
Karna : Bagaimana seseorang bisa mengubah masa
lalunya, Ibu Ratu. Kau sudah meninggalkanku, bisakah kau mengubah itu? Aku
selalu ada di depanmu selama ini. Tapi kau tidak pernah bisa menerimaku. Bisakah
kau merubah keadaan itu? Adikku adalah musuhku saat ini, bisakah kau merubah
keadaan ini? Buah yang sudah terjatuh dari pohonnya tidak akan pernah bisa
dikembalikan ke pohonnya lagi. Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu, baik kau
maupun aku. Putramu sudah tenggelam di dalam gelombang kemalangan, dimana kau sudah
meninggalkannya waktu itu, Ibu Ratu.
Kunti : Kumohon, bantu aku mencari anakku itu,
Karna.
Karna : Kemana kau akan mencarinya? Bahkan setelah
kobaran api mereda, kau masih bisa merasakan panas pada abunya dalam artian
yang sama. Bahkan putramu yang sudah terbakar dalam api, masih merasakan sakit
dan terhina. Jangan mencoba untuk mencarinya sekarang, ibu Ratu.
Kunti : Kita bisa mengakhiri kerumitan dan
kepahitan ini nak. Sekarang, kau tidak akan merasakan sakit, penghinaan dan
juga air mata. Kau juga akan disebut Pandava, Nak. Kau adalah anak tertuaku. Jangan
berpihak pada Duryudhana lagi, datanglah ke sisi adik–adikmu dan bimbinglah
mereka.
Karna : Kau mau aku meninggalkan teman–temanku? Tangan
yang telah mendapatkan kaki selama masa sulit. Kau mau aku meninggalkan tangan
itu? Jika ini caraku membayar semua bantuan yang dianugrahkan padaku, apa itu
akan membuatmu bangga padaku?
Kunti : Duryodana selalu berbuat jahat, mengapa
kau berpihak padanya nak?
Karna : Karena dia pernah melakukan perbuatan
benar sebelumnya. Di dalam arena dia mengesampingkan kasta, keyakinan kelas
sosial, posisi dan semuanya lalu menawarkan persahabatannya padaku. Bhisma Yang
Agung pun tidak pernah melakukan itu. Guru yang berpengalaman luas seperti
Drona juga tidak melakukan hal itu. Bahkan orang yang telah melahirkanku ke
dunia ini pun tidak pernah memberikan dukungannya. Selama masa kegelapan itu
hanya satu yang menawarkan dukungannya dan karena satu perbuatan benar itu aku
bisa mengorbankan seratus nyawa demi orang itu. Senjataku akan selamanya
berhutang budi pada Pangeran Duryudhana, Ibu Ratu.
Kunti : Apa kau akan memegang senjata melawan
saudaramu sendiri, Nak?
Karna : Dan itu hasil yang paling mengerikan dari
kesalahan yang kau lakukan. Bahkan setelah aku menyerah pada Duryudhana, kenapa
kau tidak juga mau menerimaku?
Jika kau mau melakukan itu, maka hari ini, aku akan dikenal sebagai putramu.
Aku akan berdiri dan mendukungmu. Tapi sekarang, sekarang waktu sudah berubah. Aku
sudah terikat saat ini. Aku menyaksikan kekejaman di setiap langkahku, jiwaku
mati di setiap langkah, tapi aku sudah terikat oleh sebuah janji. Terkubur di bawah
bantuan yang diberikan olehnya, aku tidak bisa mengorbankan Sang Pangeran, aku
tidak bisa melanggar janji itu. Kalau tidak, aku akan kehilangan harga diriku.
Setiap kali anak panahku melukai saudara-saudaraku, maka hatiku pun akan
berdarah juga. Aku harus hidup lewat penderitaan ini sekarang. Tapi aku tidak
bisa melanggar sumpahku dan menentang kewajibanku.
Kunti : Kalau begitu jangan ikut berperang, Nak.
Itu tidak akan melanggar keyakinan.
Karna : Vrusali punya sebuah pertanyaan untukmu,
Ibu Ratu. Apakah masuk akal bila kebanggan seseorang menjadi keyakinan mereka,
apa itu layak ?
Kunti : Keyakinan yang berubah menjadi
kebanggaan adalah hal yang sah.
Karna : Aku sadar benar akan keyakinanku, aku tidak
bisa meninggalkannya. Baik keyakinanku atau pun Pangeran Duryudhana. Sampai
nanti Ibu Ratu.
Kau memilih untuk tetap diam selama
hidupmu, tapi rasa sakitnya ditanggung oleh diriku sendiri. Aku sudah terbiasa
hidup dalam penderitaan, tapi dengan memecah keheninganmu itu, tolong jangan
sakiti semua orang. Jangan katakan kebenaran ini pada kelima adikku itu.
Aku juga tahu mereka memegang teguh keyakinan mereka, mereka nanti
pasti akan menyerah. Dan aku, aku harus membunuh mereka dan mempersembahkannya
pada Pangeran Duryudhana. Biarkan perang ini terjadi, Ibu Ratu. Jangan beritahu
mereka tentang penderitaanku ini. Suka cita mereka terletak pada
ketidaktahuannya. Aku selalu hidup sebagai putra Ibu Rada, dan itu akan menjadi
identitasku sampai mati.
Kunti : Bagaimana aku bisa menanggungnya. Anak-anakku
sendiri nantinya akan saling membunuh. Bagaimana aku bisa melihatnya, bagaimana
bisa akibat dari satu kesalahanku, terjadi hal yang begitu mengerikan. Apakah
ini kau sebut adil, Nak. Tolong jawab aku, bagaimana bisa begitu?
Karna : Bukankah kau kesini meminta pengakuan
dariku, Ibu Ratu. Biarlah aku memberikannya padamu. Kau hanya perlu berkabung
untuk kematian satu putramu saja. Aku tidak akan membunuh empat putramu yang
lain. Hanya aku atau Arjuna yang akan bertarung sampai kematian menjemput kami.
Jika aku mati di tangan Arjuna nantinya, kelima putramu pasti akan tetap hidup.
Tapi jika Arjuna mati di tanganku, kelima putramu juga akan tetap hidup. Karena
pada saat itu, aku akan memanggilmu sebagai ibu. Ini adalah janjiku, Ibu Ratu. Dan
ini adalah pengakuanku untukmu.