Hidup kadang memang terlalu sulit untuk dipahami. Teramat rumit untuk diterjemahkan. Ataukah kita yang teramat rumit untuk memahami dan menerjemahkannya??. Dan entahlah, karena pertanyaan itupun menjadi teramat berat di kepalaku. Aku hanya bisa berpikir, hidup ini akan tetap berjalan seberapapun pertanyaan yang menggudang di otakmu. Kau tahu, senyummu itulah yang kini tengah mengendap di otakku. Bodohnya aku tak bisa berpaling. Lebih bodoh lagi, karena aku tak ingin berpaling. Dan karena teramat bodohnya, aku suka kebodohan ini. Aku menikmatinya.
Pagi itu aku melihatmu tersenyum, , , , ,
“Pagi , , ,”. Sebuah sapaan membuyarkan lamunanku. Refleks kuremas kertas yang baru saja kucoret tanpa melanjutkan lagi kalimatnya.
“ Pa . . Pagi . . .”. jawabku sedikit gugup.
“Hey . . . kenapa? Kayak lihat hantu aja” ucapnya seenaknya dan mengambil soft drink di tanganku. Kemudian pergi begitu saja.
“hey itu . . .”
“ambil lagi di dalam , , , ini buat aku”. Jawabnya dari kejauhan.
Kucoba melanjutkan kembali tulisanku, tapi , , ,
“hah . . . benar-benar merusak mood. Sinting!. Gerutuku dalam hati. Aku justru pergi mengambil soft drink pengganti ke dapur.
Saat kembali aku mencari kertas yang tadi kuselipkan di sofa, tapi tak menemukannya. Mungkin di tong sampah pikirku. Karena saat itu kulihat petugas kebersihan villa tengah menenteng bak sampahnya. Aku mencoba mengejarnya. Si pencuri soft drink mencegahku.
“Hey, Ryas, ayo ke kebun belakang, semua peserta sudah menunggu” ucap Airlangga, si pencuri soft drink.
Kuurungkan niatku mengejar tukang kebersihan itu. Aku harus beli buku harian setelah ini. Janjiku dalam hati. Kemudian berjalan menuju teras belakang. Hari ini dan sampai tiga hari mendatang, sesuai jadwal, kami harus mengawal Pengkaderan untuk organisasi pers kampusku.
Pembukaan telah dimulai ketika aku dan Angga, (panggilan untuk Airlangga) sampai di kebun belakang. Dia selalu protes jika aku memanggilnya seperti itu. Karena memang hanya aku yang memanggilnya seperti itu. Yang lain lebih suka memanggilnya Elang. Atau lebih tepatnya karena dia yang minta. Kenapa? Aku tak tahu. Yang aku tahu, aku suka membuatnya jengkel.
Aku terperanjat ketika tanpa kusadari MC memanggil namaku untuk memberikan sambutan. “ Angga?? Bukannya seharusnya Pimpinan Umum yang sambutan” bisikku pada Angga. “Ini kesekian kalinya aku bilang, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Ngerti! Ini permintaan khusus PU, jadi nurut aja ya, cepet” perintahnya sok berkuasa. “Gak mau!!” ucapku ketus. Tanpa banyak bicara ditariknya tanganku dan dibawa keatas panggung. “Teman-teman , , senior kalian yang satu ini memang terkenal pemalu, tapi kalian akan sangat menyukai dia jika telah mengenalnya. Dia kru kebanggaan angkatan kami, Nareswari Aryasatya”. Tanpa perasaan disodorkannya mikrofon padaku kemudian seperti biasa nyelonong pergi.
Aku terdiam cukup lama. Menatap kesal ke arah Angga.
“Teman-teman, , , saya tidak tahu harus berkata apa, semuanya mendadak. Tiba-tiba saya dipanggil dan diminta untuk memberikan sambutan. Satu-satunya yang akan saya katakan saat ini adalah , , , ,” aku menghentikan kalimatku. Terpejam beberapa saat, mengatur nafas dan kembali bicara.
“. . . . jika Mampu merubah keadaan, rubahlah. Jika tak mampu, terimalah!. Di tempat ini, akan kita lihat, siapa yang mampu merubah keadaan. Dan siapa yang hanya akan menerima keadaan. Semangat!!” aku kembali ke barisan panitia. Semua peserta Nampak tercengang. Bukan karena sambutanku yang berkesan. Tapi justru karena, bisa jadi ini akan menjadi sambutan tersingkat sepanjang jaman. Haha . . . betapa menghayalnya aku.
Tahukah kau, aku merasa takut tadinya. Tapi senyummu kembali menguatkanku. Senyummu yang kini berkarang di benakku.
“Kau benar-benar tak terduga Ryas”. Ucap Angga
“Jika melihat sesuatu di luarnya saja, maka kau hanya akan mendapati sebuah kesia-siaan”. Ucapku sedikit berfilosofi.
“Bukan itu, kau memberi sambutan kurang dari lima menit. Gak beres, , ,” ucapnya menggeleng kepala heran, atau bingung. Terserahlah aku suka membuatnya susah.
“Kamu tuh yang gak beres. Mentang-mentang protokoler, ngatur jadwal seenaknya. Lain kali bikin aku shock awas!! Ancamku sambil mengacungkan tinju. Tapi yang diancam cuma nyengir bagai tak berdosa.
Tuhan, aku suka senyum itu. Jika ini adalah sebuah kebodohan. Maka biarkan ini tetap menjadi kebodohanku yang terakhir. Karena aku suka senyum itu. Dan aku tak perlu alasan untuk itu. Kumohon jangan minta alasan Tuhan. Aku tak tahu,
Siang Kemarin Kau Nampak bersemangat.
“Nah sekarang pukul 11.45, satu jam lagi saya berharap teman-teman sudah ada di forum ini lagi lengkap dengan tugas yang sudah kami berikan. Selamat mencoba. Semangat!” ucapku menutup forum dan membiarkan para peserta berdiskusi sesuka mereka. This is time to relax. Aku merebahkan tubuhku di sofa yang ada di ruang tamu villa.
“Capek??”
“Huh dasar pengganggu, sukanya ngagetin”. Gerutuku sembari kembali menyandarkan kembali kepalaku di bahu Sofa.
“Cewek ini gak ada simpati sama sekali, uda diperhatiin juga,”
“hem . . . gak ngaru kalo cuma perhatian dari kamu”. Lantas aku pergi ke ruang istirahat panitia.
Cinta selalu menjadi alasan yang kuat untuk melakukan hal yang konyol.
Aku kembali ke forum tepat jam 12.45, waktu itu sebagian peserta masih sibuk mondar-mandir sebagian lagi nampak serius berdiskusi. Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka yang ribut sendiri. Sepeuluh menit kemudian forum kembali dibuka. Kali ini Angga yang menghandle pembukaannya.
“Kalo semua orang hoby ngaret kayak kamu, gimana mau maju negeri ini??” bisikku bernada jutek pada Angga tanpa melihat ke arahnya.
“udah jangan mulai deh, ini didalam forum. Kalo mau perang entar aja diluar”. Aku tak menjawab lantas kembali menghandle review tugas yang tadinya kuberikan pada segenap peserta diklat.
Hal aneh yang kerap kurasakan, kenapa kau nampak begitu indah dengan segala keterbatasanmu. Dan aku semakin tak peduli, apa dunia memandangmu
Menjadi panitia dari sebuah acara, pengisi acara, bahkan kadang juga harus menjadi konseptor acara sekaligus adalah hal yang paling melelahkan. Tapi, entah kenapa aku merasa lega di hari terakhir. Saat upacara penutupan. Rasanya seperti telah menyelesaikan segunung pekerjaan. Capek itu pasti, tapi yang lebih pasti lagi aku tidak akan pernah bosan dengan segala kesibukan ini. benar-benar konyol.
Di hari terakhir ini, Angga kembali memaksaku untuk memberikan sambutan penutupan atas nama penyelenggara. Disinilah bagian anehnya, karena tak seperti biasa aku terus berdebat dengan Angga. Kali ini aku maju dengan senang hati berdiri dan memegang kendali. Mungkin Angga bertanya-tanya dengan sikapku. Itu terlihat ketika dia justru bengong ketika tanpa komentar aku maju menuju podium.
“ . . . . cinta, selalu memiliki jalannya sendiri untuk muncul dan memenuhi kehidupan kita. Dan karena cinta itu pula, kami semua ada dihadapan kalian mengalahkan segenap kesibukan dan penat dengan satu harapan kelak kalianlah yang menggantikan posisi kami, dan berjuang bersama melanjutkan tongkat estafet menuju perubahan. Kalian seperti malaikat yang dikirim Tuhan untuk meneruskan perjuangan ini. maka belajarlah untuk mencintai profesi baru kalian, jurnalisme masa depan untuk perubahan”. Kali ini sambutanku sedikit lebih panjang dari sebelumnya. Tapi tetap saja penonton selalu bengong.
Tuhan, aku tidak tahu untuk alasan apa Engkau yakinkan aku untuk bertahan. Aku berharap cintaMu, cintanya, dan cintaku, bukanlah alasan yang terlalu konyol untuk semua ini, ,
“Ryas, aku nggak nyangka kamu bakal bertahan sejauh ini. sepertinya aku tidak salah mengandalkanmu” ucap Angga ditengah kesibukan prepare pulang.
Aku tersenyum ke arahnya. “aku punya alasan”
“Alasan?? Apa??”
“cinta.”
Aku jatuh cinta pada semua hal tentangmu. Pikirmu,caramu, dan senymmu, semua nampak sangat indah di mataku. Kaulah alasanku bertahan.
“Kak Ryas , , didepan ada tamu!” panggil salah seorang peserta diklat
“Siapa dek?”
“Kurang tahu kak, katanya ada perlu sama kakak”
“oh yaudah. Kalian cepat siap-siap. Bis nya bentar lagi dateng” ucapku lantas bergegas menuju ruang tamu.
“Assalamu Alaikum, anda mencari saya?”
Si tamu berdiri membelakangiku
“Kakak???” aku lantas berhambur memeluknya.
“Kapan dateng?? Kok gak kabari aku?” rajukku
“Baru aja, dari bandara kakak langsung kesini,”
“Hah . . . kangen banget sama kakak!” lantas memeluknya lagi
“Udah ah malu sama yuniornya. Udah gede masih manja sama kakak”
“Ye, biarin! Kakak, kakakku sendiri bukan pinjem punya orang”
“Emang kakak barang sewaan” ucapnya geram dan mencubit hidungku
“Aduh, ,kenapa si semua orang gemar banget mencubit hidungku??” ucapku sembari memijit hidungku yang sebearnya tak terasa sakit.
“karena hidungmu mancung, mancung ke dalam” candanya
Aku Cuma cemberut
“oya kakak punya sesuatu buat kamu” dibukanya tas kertas dan mengeluarkan sebuah bingkisan
Aku bergegas membuka bingkisan itu yang beberapa saat kemudian kutahu isinya adalah sebuah buku agenda bermotif batik yang sangat manis.
“Cantik sekali, kakak masih ingat rupanya kalau aku suka banget pada semua hal berbau batik”
Aku membolak-balik buku itu, kemudian kutemukan tulisan didalamnya.
Hidup kadang memang terlalu sulit untuk dipahami. Teramat rumit untuk diterjemahkan. Ataukah kita yang teramat rumit untuk memahami dan menerjemahkannya??. Dan entahlah, karena pertanyaan itupun menjadi teramat berat di kepalaku. Aku hanya bisa berpikir, hidup ini akan tetap berjalan seberapapun pertanyaan yang menggudang di otakmu. Kau tahu, senyummu itulah yang kini tengah mengendap di otakku. Bodohnya aku tak bisa berpaling. Lebih bodoh lagi, karena aku tak ingin berpaling. Dan karena teramat bodohnya, aku suka kebodohan ini. Aku menikmatinya.
Pagi itu aku melihatmu tersenyum, , , , ,
Tahukah kau, aku merasa takut tadinya. Tapi senyummu kembali menguatkanku. Senyummu yang kini berkarang di benakku.
Tuhan, aku suka senyum itu. Jika ini adalah sebuah kebodohan. Maka biarkan ini tetap menjadi kebodohanku yang terakhir. Karena aku suka senyum itu. Dan aku tak perlu alasan untuk itu. Kumohon jangan minta alasan Tuhan. Aku tak tahu,
Siang Kemarin Kau nampak sangat bersemangat.
Cinta selalu menjadi alasan yang kuat untuk melakukan hal yang konyol.
Hal aneh yang kerap kurasakan, kenapa kau nampak begitu indah dengan segala keterbatasanmu. Dan aku semakin tak peduli, apa dunia memandangmu
Tuhan, aku tidak tahu untuk alasan apa Engkau yakinkan aku untuk bertahan. Aku berharap cintaMu, cintanya, dan cintaku, bukanlah alasan yang terlalu konyol untuk semua ini, ,
Aku jatuh cinta pada semua hal tentangmu. Pikirmu,caramu, dan senymmu, semua nampak sangat indah di mataku. Kaulah alasanku bertahan.
. . . . .
“Kak, tulisan ini??”
“Mirip dengan tulisanmu”
Aku mengangguk.
“Bukan cuma mirip, tapi ini seperti copyannya”
Kakak tersenyum.
“Memang itu tulisanmu. Tapi kakak yang menyalinnya ke buku itu.”
“apa?? Tapi kakak dapat darimana semua tulisanku ini? aku bahkan tidak menyimpannya. Semuanya hilang selesai aku tulis”
“Dia!” kakak menunjuk sesorang di belakang kami, yang ternyata adalah Angga.
“Angga??”
Angga berjalan ke arah kami dan berjabat tangan dengan Kakak.
“Kamu mau tahu, hilangnya semua kertas coretan kamu? Ini dia orangnya. Elang . . eh Angga yang sudah mengambilnya”
“Apa?!!” aku terkejut dan melotot ke arah Angga
“Eits . . . Tunggu jangan marah, aku melakukan semua itu karena permintaan Mas Farhan. Ya kan Mas?” ucapnya meminta pembelaan
“Iya Ryas, kakak yang minta Angga untuk melakukan semuanya. Karena kakak ingin tahu apa sebenarnya yang sangat dibutuhkan oleh adik kakak ini. dan kakak belikan buku itu supaya kamu jangan lagi mencoret-coretkan tulisanmu di sembarang tempat. Semua tulisanmu itu akan jadi arsip hidupmu”
Aku terharu dan kembali memeluk kakak,
“Eh . . gak malu sama Angga?!”
Aku menggeleng.
“Ohya, , sepertinya tulisan itu masih belum lengkap” Ucap Angga
“Siapa ya, yang dimaksud dalam tulisan itu?” goda Angga
“Adik kakak tengah jatuh cinta?” tanya Kak Farhan
“Iya!” Jawabku Mantab.
“Ohya?? Siapa??” tanya Kak Farhan dan Angga kompak
“Semuanya. Semua hal tentang LPM. Aku merasa bangga menjadi bagian dari tempat ini. berjuang bersama untuk sebuah tujuan yang sangat sederhana. Mungkin tidak banyak yang aku dapatkan secara material bahkan tidak ada, tapi disini aku menemukan arti sebuah pengabdian, sebuah pelajaran mengenai kehidupan. Aku jatuh cinta pada profesi ini. melihat senyum rekan-rekanku, pergulatan pemikiran mereka, cara mereka memandang kehidupan, sungguh semua itu tidak mungkin aku dapatkan jika aku hanya duduk manis sebagai mahasiswa”.
Kali ini Kak Farhan memelukku dan mengecup kepalaku.
“Teruslah belajar untuk menjadi bijaksana. Kakak bangga padamu”